Senin, 26 Maret 2012

Momentum Pendistribusian Guru

Dimuat di Padang Ekspres, Senin, 26/03/2012 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Ironis melihat ribuan guru honorer berdemo di ibu kota menuntut pengangkatan dan kesejahteraan. Persoalan guru di Indonesia sangat semrawut, selain tingkat pendidikan beragam, tidak meratanya distribusi guru, kesenjangan pendapatan, dan banyak institusi yang berwenang mengangkat guru (KOMPAS, 5/3/2012). Dengan pelbagai pertimbangan, Mendikbud kemudian merespons akan mengangkat guru honorer menjadi PNS sebanyak 30 persen dari total 650.000 guru. 

Kebijakan ini di satu sisi mengakomodasi tuntutan tenaga honorer, ditermin lain bertentangan dengan profesionalisme guru. Karena sekolah membutuhkan guru berkompeten dan mampu mengajar dengan baik, bukan lamanya jadi guru honorer yang dijadikan pertimbangan untuk mengangkat PNS. Memang semenjak diberlakukan sertifikasi guru untuk meningkatkan kompetensi sekaligus kesejahteraan pendidik, animo khalayak untuk menjadi guru meningkat. Bahkan mahasiswa dari jurusan nonkependidikan pun berbalik arah hendak menjadi pendidik. 

Pada umumnya dorongan untuk menjadi guru karena tergiur gaji pasti, jika diangkat menjadi PNS, plus tunjangan berlebih sesuai gaji jika lulus sertifikasi. Di termin lain, data Bappenas (Badan Perencanaan Nasional) tahun 2009 menunjukkan jumlah angkatan kerja mencapai 21,2 juta orang. Dari angka tersebut, 22,2 persen atau 4,1 juta merupakan pengangguran yang terdiri dari masyarakat umum. Adapun pengangguran terdidik atau mahasiswa tak dapat kerja lebih dari 2 juta orang. Momentum penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil) tenaga administratif dan tenaga edukatif (guru) yang dibuka beberapa tahun terakhir, membuat mereka berbondong-bondong mendaftar demi menghindari jurang pengangguran (jobless).

Nilai positifnya ialah pemerintah memiliki banyak opsi untuk menyeleksi sesuai bakat dan kompetensi untuk ditempa di LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Nilai negatifnya ialah cara pandang orang per orang saat ini untuk menjadi guru karena materi, bukan panggilan nurani. Ihwal ini sangatlah berpengaruh pada pola fikir dan mengajarnya nanti. Padahal profesi guru ialah panggilan jiwa untuk mengabdi demi mencerdaskan tunas bangsa negeri ini. Maka pekerjaan ini menuntut kesabaran, ketelatenan, dan ketekunan dalam proses pelimpahan ilmu setiap hari. Orientasi materi akan membuat fikiran dan badan guru rentan menunggu gaji diakhir bulan dan sedikit mengabaikan perkembangan anak asuhnya.

 Sebagaimana dilansir kompas.com, Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu Pendidikan Nasional, Syawal Gultom mengatakan, rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia. Rasio di Indonesia, ungkapnya, sekitar 1:18. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20). Hal ini diamini Mendikbud dengan mengungkapkan, jika diberlakukan standar Rasio Siswa Guru (RSG) internasional, Indonesia kelebihan pasokan guru 20 persen atau 500 ribu. Lebih lanjut Muhammad Nuh menerangkan sebanyak 68% sekolah di perkotaan dan 52% sekolah perdesaan kelebihan guru. Sementara, 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Ini artinya problemnya bukan minimnya guru di daerah terpencil, tetapi manajemen distribusi guru yang perlu diperbaiki karena marak menumpuk di kota. Perkara ini menjadi penyakit akut tahunan karena belum adanya strategi yang tepat untuk penataan guru. Jika tidak disiasati secepatnya banyak guru akan terpusat di Jawa dan banyak pula guru yang akan pensiun massal 2014 nanti, sehingga perlu regenerasi.

 Berpijak realitas di muka, distribusi guru ke daerah tertinggal kini merupakan momentum yang tepat untuk mengurai semrawutnya problem dunia guru. Karena maraknya minat menjadi guru, sehingga dapat disodorkan syarat mengenai siap ditempatkan di daerah manapun atau tidak diangkat menjadi guru. Selain itu, Kemendikbud baru saja menandatangani SKB (Surat Keputusan Bersama) lima menteri yang berkomitmen bersama Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan untuk memperbaiki mekanisme penataan guru. 

Penulis menawarkan beberapa gagasan untuk memperlancar agenda distribusi guru dengan menjangkau daerah yang tak terjangkau. Pertama, untuk mengirim guru ke lokasi tertinggal, Kemendikbud perlu bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan daerah setempat. Karena selama ini salah satu masalah tidak meratanya guru disebabkan berbenturan dengan UU No.32/ 2004 tentang otonomi daerah, yang mana setiap kabupaten memiliki kewenangan lebih besar untuk mengatur penempatan guru. Ke depan mungkin pengelolaannya seperti pemerintah pusat mengatur transmigran. Pemerintah pusat dapat membuka penawaran atau lowongan bagi guru atau sarjana yang siap ditempatkan ke daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar). Tentunya dengan gaji dan penginapan yang layak. Sebagaimana pemerintah menyediakan rumah dan lahan untuk dikelola transmigran.

Program ini dapat dijadikan sebagai prasyarat untuk mengikuti pendidikan profesi sekaligus mengajukan sertifikasi. Dengan demikian mau tidak mau, guru atau calon guru pasti akan mengikutinya. Teknisnya Kemendikbud dapat bekerja sama dengan setiap perguruan tinggi yang membuka jurusan keguruan. Kedua, ditandatanganinya SKB lima menteri membuat pengaturan penempatan guru menjadi sentralistik. Sehingga Mendikbud mempunyai otoritas dapat mengeluarkan SK (Surat Keputusan) bagi setiap pendidik atau calon pendidik untuk siap ditempatkan di area tertinggal. Dampaknya guru harus mematuhi atau memilih kehilangan pekerjaan.

Bagi guru yang belum mampu memenuhi standar 24 jam mengajar setiap pekan, ketimbang ke sana kemari mengajar di sekolah lain untuk menambal kekurangan jam mengajar, dapat dilibatkan di program ini. Keuntungannya redistribusi guru ke daerah tertinggal dapat memeratakan kualitas pendidikan plus menguji militansi guru sebelum di angkat menjadi PNS. Selain itu juga dapat membentuk kepekaan sosial, karena guru harus beradaptasi dengan kultur dan budaya setempat sehingga membentuk sikap toleransi. Dan memperkuat rasa keindonesiaan yang mulai luntur, karena guru berkarya demi bangsa di luar tempat kelahirannya.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Pusaka Pendidikan

Kamis, 22 Maret 2012

Mahasiswa Harus Tradisikan Menulis


Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 22 Maret 2012


Republika edisi Senin, 27 Februari 2012 mengangkat headline “Hentikan Copy-Paste”. Koran komunitas muslim ini mengutip data Kemendikbud tentang rendahnya produktivitas karya ilmiah dalam jurnal dibanding negara tetangga, Thailand 59.332, Malaysia 55.221, dan Indonesia 13.047. Sedangkan perbandingan jumlah penduduk dengan jurnal publikasi (1996-2010) menunjukkan Thailand peringkat 42, Malaysia 43, dan Indonesia 64. Atau sebanyak 239 juta jiwa hanya memiliki 54 karya ilmiah per populasi satu juta penduduk.

Data inilah yang menjadi premis kebijakan Kemendikbud untuk memberlakukan publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan strata 1, S2, dan S3. Tak heran jika kebijakan ini dianggap reaksioner dan tak memiliki perencanaan yang matang. Ihwal ini terlibat minimnya jumlah jurnal di Indonesia sebagai daya dukung sebagaimana dilansir kompas.com. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, hingga saat ini jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi.

Seyogianya bukan lantaran anak bangsa kalah dengan negeri jiran dalam menerbitkan karya ilmiah kemudian dibuatlah peraturan ini. Tetapi harusnya ikhtiar pemerintah untuk melestarikan tradisi intelektual (membaca, menulis, riset, dan diskusi) yang kini tak begitu menjamur di kalangan mahasiswa.

Bisa jadi sedikitnya eksistensi jurnal di tanah air, lantaran tak banyaknya pasokan tulisan dari calon sarjana ibu pertiwi. Sehingga pihak redaksi tak punya banyak opsi untuk memuat gagasan seseorang. Kondisi ini membuat redaksi penerbit jurnal terpaksa menagih dan meresume skripsi, tesis, atau disertasi bernilai A demi keberlanjutan terbitnya jurnal agar nilai akreditasinya tak turun.

Di sudut lain, bagi mahasiswa pragmatis merespon kebijakan ini dapat memesan pihak ketiga untuk membuatkan tugas akhir atau menyuap pihak redaksi jurnal untuk mengorbitkan karyanya seadanya. Suap, traksaksi dagang skripsi, plagiat, dan mafia gelar mungkin adalah ekses dari kebijakan ini. Namun, penyimpangan ini tak akan terjadi jika setiap mahasiswa mentradisikan menulis sejak dini di kampus.

Langkah ini dapat dimulai dengan membiasakan menulis artikel di media massa. Materi yang dituangkan pun tak perlu berat-berat, cukup apa yang diperoleh di jurusan masing-masing dikontekstualisasikan dengan isu lokal atau nasional yang relevan dengan jurusan. Selain itu, bahan materi dan referensinya dapat diperoleh melalui surat kabar, hasil riset institusi atau tokoh dan hasil diskusi yang disarikan. Menulis selain melatih mahasiswa berfikir sistematis, juga dapat menjadi medium untuk memberikan pencerahan dan manfaat bagi khalayak ramai.

Jika tak kunjung dimuat oleh surat kabar, media blog, dan situs jejaring sosial dapat digunakan sebagai ruang aktualisasi mahasiswa. Pada intinya menulis menjadi target keseharian untuk mengekspresikan gagasan melalui tinta dan pena. Aktivitas ini juga menjadi tanggung jawab moral seorang mahasiswa yang memperoleh julukan agen perubahan untuk mewasiatkan gugus gagasannya kepada generasi berikutnya. Sebab sepudar-pudar tulisan yang bermanfaat, itu lebih baik daripada fikiran yang tak pernah dilestarikan. Karena secara psikologis dan tinjauan ilmu kesehatan, menulis tidak membuat orang cepat pikun karena otak dan hatinya dinamis bekerja. Keduanya bekerja lantaran rasa sensitifnya pada realitas sosial yang diinderanya.

Akhirnya, mahasiswa bukanlah intelektual pohon pisang yang hanya ditakdirkan berbuah lalu mati. Sebuah analogi dari hanya menulis skripsi lalu tiada lagi. Tetapi menjadikan menulis sebagai bagian investasi amal di dunia dan di akhirat nanti.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Selasa, 06 Maret 2012

Mengawal Anak Menonton Televisi

Dimuat di Citizen Jurnalism, Tribun Jogja, Selasa, 6/2/2012 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Data KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menunjukkan sebanyak 1,4 juta anak menonton TV pada kisaran waktu jam 18-21. Sangatlah disayangkan karena waktu itu adalah untuk belajar. Acara TV pada waktu itu adalah sinetron, bukan acara anak. Jika dikalkulasi rata-rata anak menonton sinetron 50 menit per hari, atau lebih banyak dari menyaksikan tayangan anak yang hanya 20 menit per hari. “Buruknya bagi anak adalah fase pertumbuhan mereka masih tahap meniru (modelling), dengan tingkat selektifitas yang rendah. Sehingga anak akan menerima apa saja tanpa mengkritisinya atau menolak. Lebih parahnya ketika di rumah orang tua menyerahkan pengasuhan anak pada TV dan tidak mendampinginya” ujar Fuad Nashori dalam Sekolah Ayah Bunda “Bahaya Pengaruh Media pada Anak”, Minggu, 4 Maret 2012 di Masjid Nurul Ashri. 

Lebih jauh, dosen Psikologi UII ini juga menuturkan hasil riset dari Lefkowitz menemukan bahwa sebagian besar dari 900 anak yang diamati selama 10 tahun secara berkesinambungan memiliki agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang jarang menonton sajian kekerasan. Penelitian lain dari Children Hospital (Boston, USA) terhadap 754 anak menunjukkan mereka yang banyak menonton televisi (terutama drama/sinetron percintaan) lebih dini dalam pertumbuhan seksual. Bagi tumbuh kembangnya otak, anak dibawah lima tahun yang rutin menonton TV akan mengalami hambatan membaca pada usia 6-7 tahun. 


Secara emosional pun anak akan cenderung mempunyai sikap individual yang tinggi. Karena anak lebih dekat pada media TV, Internet, Ipad ketimbang belajar berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Bagi orang dewasa pun dapat demikian, karena pesatnya perkembangan teknologi sisi positifnya dapat membantu aktivitas manusia tetapi secara tidak langsung dapat membuat diri kita berperilaku layaknya anak autis atau asyik pada dunianya sendiri. Mengaca pada problem di muka, Rahmat Arifin selaku ketua KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) cabang DIY berpendapat pentingnya diberikan pendidikan media atau media literacy dalam kurikulum pendidikan anak. Orientasinya adalah agar anak melek media dan kritis sehingga dapat memilih mana yang layak disaksikan dan mana yang tidak. Di negara maju, pendidikan media sudah diterapkan pada kurikulum yang diajakan mulai anak pra sekolah. Pertanyaannya ialah siapa yang berperan besar mengajarkannya. Di sekolah guru memiliki peranan signifikan untuk melakukannya. Sedangkan ketika di rumah, orang tua dapat membangun kebiasaan bermedia yang sehat. Kiatnya ayah atau ibu dapat mendesain ruangan agar TV di letakkan di ruang tengah, bukan di kamar tidur anak. Sehingga orang tua dapat mengontrol dan memantau agar anak tidak melihat tayangan seks, mistis, dan kekerasan. Selain mendampingi anak menonton TV, cara kedua orang tua dapat membuat jadwal menonton TV yang diletakkan di atas TV. Hal ini untuk memudahkan anak mengingatnya, memilihkan acara yang bermanfaat sekaligus belajar mengatur waktu. 

Jika anak didampingi pembantu, ajarkan pembantu untuk memilihkan acara yang positif. Dan yang lebih urgen adalah alihkan perhatian anak secara bertahap dari kebiasaan buruk menonton TV dengan mentradisikan membaca buku. Sebab membaca buku mempunyai sisi maslahat yang lebih banyak daripada mudharatnya. Penelitian Fuad Nashori (2003) memaparkan, terbentuknya kepribadian anak yang baik karena intensitas yang tinggi orang tua dalam mendampingi dan mendidik anak bukan diserahkan pada media. Jika demikian, kenapa kita tidak mencobanya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Selasa, 28 Februari 2012

Publikasi Karya Tulis Ilmiah


Dimuat di Suara Karya, Selasa, 21 Februari 2012


Kebijakan terbaru dari Kemendikbud tentang kewajiban publikasi karya tulis ilmiah di jurnal untuk syarat kelulusan program strata 1 (S1) menuai pendapat beragam. Kebijakan itu sendiri sudah pasti akan diberlakukan mulai Agustus 2012 karena telah tertuang dalam surat edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3. Surat tertanggal 27 Januari 2012 ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia.

Peraturan di muka mempunyai sisi maslahat, yakni menggairahkan iklim meneliti dan menulis di kalangan mahasiswa. Sebab, hasil karya tulis mahasiswa dianggap tertinggal dibanding negeri jiran Malaysia. Untuk memacunya, kata Mendikbud perlu sedikit 'pemaksaan'. Salah satunya melalui mewajibkan untuk membuat karya tulis ilmiah dan harus terbit di media jurnal.

Jika demikian, mari kita kalkulasi dengan hitungan matematis. Asumsinya, dari 3.000 PTN dan PTS di Tanah Air, ada 750.000 calon sarjana setiap tahunnya. Maka, harus ada puluhan ribu jurnal di negeri ini. Seandainya ada 2.000 jurnal dan terbit setahun dua kali dengan sekali terbit per edisi memuat 5 karya, menurut Edy Suandi Hamid (Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan calon sarjana. Untuk memecahkan problem ini, harus ada Permendiknas yang ditujukan kepada setiap jurusan di setiap perguruan tinggi untuk mengakomodasi karya tulis setiap mahasiswa.

Pertanyaannya, jika mahasiswa sudah membuat skripsi dan karya tulis tetapi tidak dimuat di jurnal, apakah kelulusannya akan tertunda? Bagaimana pula kualifikasi jurnalnya? Tentu bukan sembarang jurnal melainkan yang terakreditasi Kemendikbud. Persoalan ini perlu dijawab terlebih dahulu. Karena, kebijakan tanpa disertai daya dukung, tidak akan mulus di lapangan.

Eksesnya kelak dikhawatirkan terjadi jual beli karya tulis, bahkan sampai tahap suap-menyuap agar karya tulisnya dapat dimuat di jurnal. Jika tidak ada standarisasi jurnal dan karya tulis ilmiah, nanti akan muncul jurnal dan karya tulis ilmiah abal-abal. Inilah konsekuensi akibat dipaksakan harus dimuat lantaran untuk mengejar syarat kelulusan.

Tidakkah kebijakan ini perlu dilakukan bertahap, misalnya, bisa diterapkan di lingkungan mahasiswa S2 dan S3 terlebih dahulu. Sementara mahasiswa S1, syarat kelulusannya diturunkan dari menulis karya tulis menjadi menulis artikel di media massa dengan standar beberapa kali dimuat. Dengan demikian, dorongan kepada mahasiswa untuk mentradisikan menulis tetaplah ada.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Kenaikkan BBM Harus Bertahap


Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 23 Februari 2012


Pemerintah berada dalam posisi serba sulit. Berapapun besarnya subdisi BBM yang diberikan tak akan mampu melawan permintaan pasar. Seperti semakin banyaknya kendaraan bermotor dan mobil pribadi serta kemungkinan melambungnya harga minyak dunia jika Iran memblokade selar Hormuz sebagai jalur suplai sepertiga minyak dunia. Saat ini pengeluaran subdisi BBM 2012 mencapai Rp.123,6 triliun. Kalkulasinya jika produksi BBM sekitar Rp 8200,- per liter, berarti pemerintah memberikan bantuan Rp 3700,- per liter.

Uang sebesar itu, jika terus menerus digelontorkan akan membebani negara. Padahal jika difokuskan pada hal bidang lain, dapat membeli kerera api baru sebagai angkutan massal masyarakat, membangun infrastruktur, akses transportasi, dan mendukung industri kreatif sebagai penopang sektor ekonomi Indonesia.

Ditermin lain, pemerintah menghadapi dilema karena belum siapnya masyarakat menerima pencabutan subsidi atau bahasa kasarnya kenaikkan harga BBM. Kita lihat saja pengalihan pembelian dari premium ke pertamax saja banyak rakyat yang tidak mau karena harganya mahal. Sementara untuk menghindarkan ketergantungan khalayak pada BBM, rencana pemerintah untuk melaksanakan konversi BBM ke gas belum siap sepenuhnya karena perangkatnya mahal. Seperti pembelian alat konversi (konventer kit) 250.000 unit untuk Jawa-Bali dengan harga 2,5 juta per satuannya.

Jika kebijakannya ini dipaksakan akan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Tentu kita dapat belajar dari Nigeria yang memutuskan mencabut subsidi BBM seluruhnya. Sehingga harga BBM sebelumnya Rp 3600,-/liter sekarang merangkak dua kali lipat menjadi Rp 7890/liter. Massa pun merespon dengan turun ke jalan dan merusak fasilitas umum. Memang Indonesia tak bisa disamakan dengan Nigeria karena di sana produksi minyak lebih besar dan tingkat konsumsinya lebih sedikit. Tetapi efek sosialnya patut diantisipasi pemerintah jika tak ingin kerusuhan 1998 berulang dan membuat harga minyak fluktuatif.

Solusi jangka pendeknya pemerintah dapat memberlakukan kenaikkan harga BBM secara bertahap, sembari mempersiapkan secepat mungkin program konversi ke gas. Hitungannya pencabutan subsidi BBM Rp.1000,- saja dapat menghemat 38 triliun atau lebih baik daripada pembatasan pemakaian BBM tak bersubsidi bagi mobil pribadi yang hanya 8 triliun.

Langkah ini harus didukung dengan kebijakan lain untuk meredam kekecewaan masyarakat seperti ada pengecualian bagi kendaraan umum. Agar dampak terhadap naiknya biaya transportasi tak terjadi. Sehingga apabila publik merasa keberatan menggunakan kendaraan pribadi karena BBM mahal, memiliki opsi memakai kendaraan massal yang lebih murah. Oleh sebab itu, angkutan umum seperti bus way dan kereta api di kota besar pun perlu diperbanyak disertai pelayanan yang semakin baik.

Kedua, memberikan keringanan pada kebutuhan umum masyarakat seperti kebijakan wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan Kemendiknas tahun ini untuk memangkas angka putus sekolah dan kemudahan bagi masyarakat tidak mampu untuk periksa di rumah sakit dapat segera direalisasikan. Kebijakan ini dapat meminimalisir frustasi sosial yang agaknya kini menjadi budaya massa layaknya kasus Mesuji dan Bima.

Ketiga, peningkatan produksi kebutuhan pokok dalam negeri perlu digalakkan untuk mengurangi nilai impor pangan dan menghambat efek domino kenaikkan harga BBM. Dan yang tak kalah penting ialah dukungan pemerintah terhadap sektor riil dan industri kreatif dapat diwujudkan. Sebab, ranah industri inilah yang selama ini menjadi tameng dan perisai ekonomi nasional dari terjangan badai krisis ekonomi global. So, pemahaman kondisi dan alternatif solusi kawanan masyarakat amatlah dibutuhkan untuk melebur problem pelik ini.

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Peneliti Transform Institute

Mengkritisi Program Publikasi Ilmiah


Dimuat di Nguda Rasa, Merapi, Selasa, 21 Februari 2012


Kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3 sebagai bagian syarat kelulusan mendapat argumen beragam . Surat tertanggal 27 Januari 2012 ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia itu terkesan emosial karena tak dikomunikasikan ke pihak pemangku kebijakan perguruan tinggi (PT) terlebih dahulu untuk menyusunnya. Karena hanya surat edaran dan belum berkuatan hukum, maka Aptisi (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) melalului ketuanya Edy Suandi Hamid menolaknya. Asosiasi yang membawahi lebih dari 3000 PTS ini karena daya dukung jurnal di tanah air belum merata.

Di sisi lain ketentuan pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan dipandang menyalahi aturan, karena yang menentukan lulus atau tidaknya mahasiswa adalah mutlak otonomi kampus. Hal ini seperti kebijakan ujian nasional sebagai syarat lulus sekolah bagi jenjang sekolah dasar dan menengah, hanya saja bagi mahasiswa berwujud artikel ilmiah. Kesan yang mencuat ialah pemerintah seakan mempersulit para mahasiswa untuk memperoleh gelar studinya. Peraturan ini menjadi diskriminatis karena kebanyakan jurnal ilmiah yang terakreditasi Dikti hanya bermukim di kampus-kampus besar seperti UGM, UI, ITB, IPB dsb. Sementara di kampus lain ketersediaan jurnal tidaklah banyak dan kualifikasinya pun mungkin di bawah grade A.

Jika mengacu delapan standar nasional pendidikan sesuai PP No.19/2005 yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Hendaknya pemerintah memikirkan terlebih dahulu fasilitas pendukung seperti ketersediaan jurnal, pengelolaan tentang standarisasi karya layak muatnya, dan pembiayaan penerbitannya. Begitupun penilaian substansi gagasan yang menjadi isi dalam jurnal. Pada titik ini, kebijakan Kemendikbud ini dapat dikata mendadak atau reaksioner atas ketertinggalan produktifitas mahasiswa membuat karya ilmiah dengan Malaysia, ketimbang memperhatikan kesiapan infrastruktur penopang.

Mengacu jurnal nature yang terbit beberapa waktu lampau melansir. Karya ilmiah saintis Indonesia dalam jurnal internasional adalah 0,88 artikel per satu juta penduduk. Sedangkan negeri jiran Malaysia sebanyak 20,78. Atau kalkulasinya dalam klasemen, Indonesia berada dalam posisi 134 dunia sedangkan Malaysia menempati posisi 67. Kebijakan kewajiban publikasi ilmiah memang bermaksud positif untuk melecut tradisi intelektual mahasiswa yakni membaca, menulis, riset, dan diskusi yang tergolong rendah. Tetapi aturan ini tak akan mulus di lapangan jika sebagian besar perguruan tinggi menolak lantaran minimnya kesiapan.

Situs kompas.com mengabarkan, sedikitnya jumlah publikasi karya ilmiah mempengaruhi minimnya intensitas penerbitan jurnal. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi. Bayangkan seandainya setiap tahun ada 750.000 caln sarjana, maka dibutuhkan ribuan jurnal untuk mengakomodasi karyanya. Lantas pertanyaannya, ke mana sisa 3000 jurnalnya. Kevakuman ini terjadi karena defisitnya tulisan mahasiswa, sehingga jurnal tersebut mati suri.

Tengok saja, menurut Edison Munaf (2011) sebagaimana dikutip Jusman Dalle di harian Jawa Pos Edisi Senin (13/2/2012) pada 2010 total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel. Terpaut jauh dibanding Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843). Data lainnya dari survei SCImago menyebutkan publikasi hasil penelitian di Indonesia selama 13 tahun (1996–2008) hanya sekitar 9.194 tulisan.

Bisa dibayangkan, mengaca angka di muka. Jika tak diantisipasi kebijakan ini akan memunculkan karya abal-abal, jurnal siluman, bahkan ghostwritter. Sebab daripada lama-lama menanggung biaya belajar di kampus, lebih baik cari jalan pintas bayar pihak ketiga agar cepat lulus kuliah. Namun bagi mahasiswa idealis, kebijakan ini justru memacu untuk semakin produktif berkarya dan membiasakan menulis jurnal. Agar kelak ketika melanjutkan studi S2 atau S3 tak menjadi beban untuk menembus jurnal internasional.

Bertolak dari premis di atas, pemerintah perlu mengakomodir semua pihak agar tercipta kemaslahatan bersama. Kebijakan ini dapat tetap dilanjutkan namun bertahap sembari menyempurnakan kesiapan. Penulis menawarkan, pertama kewajiban publikasi ilmiah ke jurnal lebih baik bagi mahasiswa S2 dan S3 saja. Sementara karena banyaknya calon sarjana S1, lebih bijak ketentuannya menerbitkan artikel di media massa. Kecuali bagi skripsi bernilai A dapat dikirimkan ke jurnal. Rasionalisasinya skripsi tersebut sudah pasti bagus karena sangat sulit mendapat nilai A untuk mempertahankan idenya di depan 3-5 dosen ahli.

Kedua, langkah efiensi dapat dilakukan dengan membuat jurnal edisi online dengan bandwitch berkapasitas besar untuk tampung ribuan karya. Opsi lainnya Mendikbud dapat perintahkan setiap jurusan atau fakultas membuat jurnal dengan mendaftar di ISSN (Internasional Standar Serial Number) agar kekurangan jurnal tertutupi. Tentunya dengan standarisasi Dikti.

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Opsi Sulit Naikkan Harga BBM


Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, Kamis, 9 Februari 2012


Bisa dikata, posisi pemerintah kini serba sulit. Maju kena, mundur pun kena. Harga BBM harus dinaikan jika pemerintah tak mau terus menerus menanggung pengeluarkan uang subsidi yang mencapai Rp. 165,2 triliun dalam APBN 2011. Sedangkan tahun 2012 ini hanya dianggarkan Rp.123,6 triliun. Duit sebanyak ini harusnya dapat dialokasikan ke kepentingan lain seperti membangun transportasi untuk memperlancar roda ekonomi, membangun infrastruktur untuk membuka lapangan kerja, atau membeli kereta api baru sebagai angkutan massal rakyat.

Tetapi kendalanya justru tersandera di DPR. UU APBN 2012 mengatakan tidak ada opsi untuk menaikkan BBM karena akan memberatkan rakyat. Dalam perangkat peraturan tersebut hanya tertera pilihan membatasi penggunaan BBM. Diksi membatasi dan mencabut subsidi sebenarnya hanyalah bahasa halus saja untuk menaikkan sedikit demi sedikit harga BBM.

Jika BBM naik, efeknya tarif transportasi pun membumbung dan harge kebutuhan pokok pun bakal meroket. Belajar dari Nigeria, negeri yang juga kaya minyak tetapi memutuskan memangkas biaya subsidi seluruhnya. Sehingga harga BBM sebelumnya Rp 3600,-/liter sekarang merangkak dua kali lipat menjadi Rp 7890/liter. Khalayak ramai pun turun ke jalan menolak sikap rezim yang memberatkan kehidupan lantaran efek domino di harga-harga kebutuhan lainnya.

Pada konteks ini jika opsi menaikkan yang diterjadi, maka pemerintah harus piawai mengantisipasi. Memang santer terdengar kabar alternatif untuk mengonversi BBM ke BBG, tetapi sampai saat ini kesiapan perangkat kerasnya belum matang. Jika dipaksa beralih ke pertamax, produksinya setahun hanya 1 juta barel dan selebihnya impor. Imbasnya SPBU lain yang mengeruk keuntungan. Harganya pun dua kali lipat harga BBM. Sikap ini tentu merugikan negara dan pasti ditolak rakyat. Maka cukup rasional jika ada usulan untuk menunda terlebih dahulu pencabutan subsidi di Jawa-Bali ini karena belum siapnya sarana prasarana pendukung.

Jika pencabutan harus dimulai 1 April 2012, maka pemerintah harus bertindak cepat seperti masih memberlakukan harga subsidi bagi angkutan umum atau memotong 50% biaya periksa di rumah sakit dan biaya akses pendidikan. Langkah-langkah seperti ini dapat sedikit meredam kemarahan rakyat. Pilihan lainnya ialah jika tak ingin dianggap keputusannya ilegal karena dalam UU tidak ada kata menaikan pemerintah harus merevisi UU dalam APBN perubahan sehingga memiliki dasar yuridis yang jelas, sebari menyiapkan proyek konversi ke gas. Hal ini akan menghemat uang negara yang sebenarnya dapat dialihkan untuk kemaslahatan lainnya.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman