Selasa, 23 Oktober 2012

Evaluasi Pemberian Grasi

Dimuat di Republika Jogja, 23 Oktober 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Putusan peninjauan kembali MA dan pemberian grasi presiden terhadap terpidana mati kasus narkoba Hengky Kurniawan (HK) dan Deni Setia Maharwa (DSM) seakan antiklimaks dengan perjuangan melawan narkoba selama ini. MA mengubah hukuman HK menjadi 15 tahun penjara dan DSM mendapatkan ampunan menjadi kurungan badan seumur hidup. Beberapa silam, Presiden juga memutuskan grasi bagi Schapelle Corby (ratu mariyuana Australia). Jika dibaca latar kebijakannya, motif politik menjadi pendorongnya. Dampaknya beberapa tahanan warga negara Indonesia dibebaskan dari terali besi di negeri Kanguru.

Selasa, 02 Oktober 2012

Rohis Bukan Teroris

Rumah Pensil Publisher

Dimuat di Republika Jogja, 2 Oktober 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Dua pekan terakhir media banyak menyorot ditangkapnya beberapa orang terduga teroris oleh Detasemen khusus (Densus 88) di Solo. Bombastisnya arus pemberitaan ini membuat televisi swasta nasional, menyimpulkan tanpa dasar pola rekrutmen teroris kini menyasar generasi muda melalui aktivitas rohis di sekolah. Sontak, aktivis rohis dan lembaga dakwah kampus pun menuntut Metro Tv untuk meminta maaf atas informasi salah tersebut. Ihwal ini membuat identitas umat muslim terusik dan selalu menjadi kambing hitam atas tindakan kekerasan yang dilakukan kalangan ekstremis yang salah menafsirkan makna jihad dalam kitab suci.

Sabtu, 08 September 2012

Puasa, Pemaaf, dan Peminta Maaf


Dimuat di Buletin RESOLUSI, September 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Puasa seakan divisualisasikan memperlemah tubuh dengan lapar dan dahaga. Iklan di televisi mengatakannya dengan berbagai jargon produk makanan dan minuman. Maaf penulis sebut merk dagang seperti Okky Jelly Drink “penahan dan penunda rasa lapar”, Promaag “jika anda berpuasa mengalami gangguan pencernaan, minumlah Promaag”, atau Pocari Sweat dan Mizone yang gencar menawarkan minuman penambah hidrogen dan ion tubuh saat Ramadhan. Pengaruh media massa ini memengaruhi cara pandang setiap orang. Bahkan pemerintah daerah pun membuat kebijakan memangkas waktu kerja bagi PNS di bulan Ramadhan, masuk jam delapan dan pulang jam dua belas. Cara pandang tersebut memberikan kesimpulan seakan puasa menghambat progesifitas dan produktivitas kerja.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Filosofi Puasa

Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 3 Agustus 2012

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Puasa merupakan medium ibadah mencapai derajat takwa. Demikian titah firmannya. Perkara orang menjadi badan sehat, itu dampak fisiologis. Bukan orientasi ibadah. Kita harus piawai membedakannya. Ada hadist “berpuasalah, niscaya kamu sehat”. Diriwayatkan At Tabrani dari Abu Hurairah dan Ibnu Adiyy dari Ali dan Ibnu Abbas. Kendati status hadist tersebut masih diperdebatkan para ulama. Tapi matan atau redaksi sabda Nabi dimuka terbukti kebenarannya. Ilmuwan barat yang faham ilmu anatomi tubuh dan fisiologi akan berpuasa karena menyehatkan.
Nalarnya, perut adalah salah satu organ tubuh yang tak berhenti bekerja semenjak lahir hingga kini. Inilah mengapa mungkin penyakit yang pernah dialami manusia adalah sakit perut. Ibarat mesin jika terus menerus bekerja tanpa rehat dan diperbaharui onderdilnya, akan rapuh dan cepat rusak. Begitupun perut di tubuh manusia. Tips untuk merawatnya bisa dengan puasa.

Rumah Pensil Publisher

Berpuasa akan membuat lambung dan usus istirahat sejenak. Namun, jika anda berpuasa dengan niatan menyehatkan bukan karena Allah akan membuat aktivitas puasa menjadi sia-sia. Sebab niat merupakan rukun puasa, dan Allah hanya akan menerima pahala serta mengampuni dosa bagi orang yang berniat lurus puasanya.
Ramadhan disebut pula syahrullah(bulan Allah), karena setiap amalan puasa hanya untuk Allah. Syari’at puasa diturunkan pada tahun kedua hijriah, setelah Muhammad saw dan kaum Yahudi, Nasrani, dan paganis Madinah bersepakat menandatangani piagam Madinah. Perjanjian ini berisi kebebasan beragama dan melaksanakan ritual agama tanpa gangguan dari pihak lain. Sehingga secara sosial politik kondusif untuk melaksanakan puasa.
Di segi lain, aturan puasa diberlakukan dua tahun setelah hijrah. Jika hijrah merupakan langkah seleksi Allah untuk menguji kalangan Muhajirin apakah memilih Islam dengan pergi Madinah. Atau bertahan di Makkah karena cinta karib kerabat, harta, dan tanah. Maka puasa bertujuan memverifikasi ulang setiap muslim akan komitmennya terhadap Islam.
Menurut Sa’id Hawwa dalam Al Islam, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tahun Qamariyah lebih pendek sepuluh hari dari tahun Syamsiyah. Sehingga kehadiran Ramadhan lebih cepat sepuluh hari dari Ramadhan sebelumnya. Jika seorang muslim sudah berpuasa 36 tahun, berarti dia telah berpuasa di seluruh macam hari dan aneka musim setiap tahunnya. Begitupun dengan makanan dan buah-buahan yang tumbuh pada musim tertentu. Maka manusia dilatih tidak makan buah-buahan yang berbuah pada waktu tertentu, sebaliknya hal ini menjadikan manusia memungkinkan memakan semua buah-buahan pada setiap Ramadhan yang dilaluinya.
Di bulan yang penuh berkah dan maghfirah ini, Muhammad saw menganjurkan memperbanyak membaca Al Qur’an, Shadaqah, dan amalan terpuji karena pahalanya akan berlipat. “Sesiapa berbuat bijak” kata Allah dalam Al An’am:160. “Mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya”. Rasulullah melengkapi “sesiapa puasa penuh di bulan Ramadhan ditambah enam hari di Syawal, maka setara dengan puasa setahun penuh”. Ibnu Qayyim dalam Zaa’dul Ma’ad mengkalkulasi, jika sehari puasa berpahal sepuluh berarti 30 hari dikali 10=300. Ditambah 6 hari dikali 10=60. Akhirnya 300+60=360 hari atau hampir satu tahun. Tidak sampai 365 hari karena ada hari lain yang pantang berpuasa yakni idul fitri, idul adha, dan hari Tasyrik (tiga hari setelah idul adha). Semoga puasa ini menjadikan kita generasi bertakwa yang memperoleh pencerahan batin (ghayat an nuraniyyah) dan menirkan naluri kebinatangan (al bahimiyyah) yang sempat menguasai diri.
Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"
Direktur Eksekutif Lingkar Studi Muballigh

Sabtu, 07 Juli 2012

Era Baru Mesir

Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 28 Juni 20 12

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Sorot mata dunia internasional kini mengarah ke Mesir. Menangnya Muhammad Mursi yang diusung Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) melawan Ahmad Shafik (Calon independen) dalam pemilu presiden 16-17 Juni 2012 mengakhiri dominasi militer selama 70 tahun di negeri piramida. Mursi memperoleh suara 13,2 juta suara (51,7 persen) sedangkan Shafik (mantan komandan angkatan udara dan perdana menteri Mubarak) mendapat 12,3 juta suara (48,3 persen) dari 25,8 juta pemilih.

Catatannya ialah kendati meraup suara rakyat terbanyak, tapi presiden Mesir terpilih tak ditopang dukungan legislatif. Sebab, setelah Mahkamah Agung membubarkan parlemen yang mayoritas diisi fraksi FJP dan An Nur Party, kini untuk sementara militer memegang kendali. Berdasarkan undang-undang darurat yang dikeluarkan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF), selama belum ada tim ad hoc perumus undang-undang. Selain itu, presiden tak mempunyai otoritas penuh atas militer alias tak bisa lakukan intervensi. Aturan lain juga menyebutkan militer berhak untuk menangkap siapa saja yang membuat kerusuhan tanpa persetujuan presiden.
Ihwal ini sama saja tukar guling posisi pemerintahan. Jika sebelumnya rakyat membentuk parlemen jalanan melawan militer yang memegang eskekutif. Sekarang setelah rakyat sukses membawa Mursi sebagai presiden (eksekutif), kedudukan militer berpindah menjadi legislatif. Indonesia pernah mengalaminya ketika militer mempunyai dwifungsi yang dilegalkan orde baru. Imbasnya para tentara pun mempunyai pekerjaan ganda, menjadi tentara dan politisi. Padahal untuk negara demokrasi yang sehat, tentara harus ditempatkan secara profesional menurut tugas pokok dan fungsinya. Jika hendak menjadi politisi atau anggota eskekutif, legislatif, dan yudikatif tentara harus rela melepas karir militer agar tidak terjadi konflik kepentingan (conflict of interest). Tendensi dobel jabatan tersebut meliputi praktif bisnis dan proyek yang digarap dengan memanfaatkan uang negara.
Agenda mendesak yang sesegera mungkin dilakuan Mursi ialah menjadi presiden sipil pertama yang mengakomodir semua kalangan demi stabilitas nasional. Caranya dapat menempatkan tokoh-tokoh Mesir mapan yang sevisi untuk menduduki posisi strategis dalam kabinet. Orientasi terdekat tentu menciptakan stabilitas, keamanan, dan keadilan sosial agar kembali menarik minat investor untuk membangun usaha di negeri para Nabi itu untuk memutar roda perekonomian rakyat. Langkah lainnya ialah membangun komunikasi dengan mitra koalisi dan militer untuk menyusun undang-undang baru. Jika memungkinkan tentu undang-undang darurat perlu direvisi karena bertolak belakang dengan norma umum sistem pemerintahan demokrasi, di mana presiden berkuasa penuh atas militer sebagaimana pernah ditetapkan dalam undang-undang 1971. Urusan dalam negeri lain yang perlu diselesaikan yakni memastikan hak-hak kaum minoritas seperti kristen koptik terlindungi dengan memberikan keleluasaan beribadah dan menjalankan ritual keagamaan keseharian.
Pada bab kebijakan luar negeri banyak pengamat mengatakan akan banyak terjadi perubahan drastis, wabil khusus pada Amerika Serikat dan Israel. Jika rezim sebelumnya merupakan sekutu terdekat negeri paman Sam, kini pemerintahan Mesir tak akan mudah untuk didikte. Israel sebagai negera terdekat pun mulai cemas. Bahkan media massa setempat memuat headline “Kegelapan di Mesir” sebagai wujud rasa gentar jika “cahaya Islam” menerangi Mesir. Pintu perbatasan Raffah yang sebelumnya tertutup, mendatang akan terbuka untuk memperlancar lalu lalang pengungsi Palestina yang diserobot tanahnya oleh Israel. Posisi Mesir sangat strategis untuk mempengaruhi peta politik timur tengah. Sementara Mursi bukanlah malaikat yang dapat merubah Mesir dalam sekejap. Dibutuhkan solidaritas rakyat di segenap elemen sosial untuk berbenah bersama ke arah lebih baik. Ingat, revolusi belum berhenti jika militer masih membayangi.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Indonesia Negara Gagal?

Dimuat di Koran Merapi, Rabu, 27 Juni 2012

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Sepekan terakhir pemerintah dibuat kebakaran jenggot dengan dipublikasikannya hasil survei Indonesia negara gagal. Survei dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing Fund For Peace (FFC) tentang fail state index atau indek negara gagal menyimpulkan Indonesia berada diposisi 63 dari 178 negara. Penelitian menggunakan metodologi Conflict Assesment System Tool (CAST) yang telah dikembangkan dalam satu dekade terakhir. Negara paling gagal adalah Somalia. Sedangkan negara tersukses pengelolaannya ialah Finlandia disusul Swiss dan Denmark.
Adapun indikator yang digunakan lembaga independen nonprofit berbasis di Washingtong DC, USA, ini terdiri dari dua belas aspek; tekanan sosial, politik, isu pembangunan tak merata, pengungsian dan IDPs (Internally Displaced Persons), legitimasi negara, protes kelompok masyarakat, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), aparat keamanan, intervensi eksternal, faksionalisasi elit, kemiskinan dan penurunan ekonomi, serta pelayanan publik.


 
Adanya survei yang mencoreng kredibilitas pemerintahan SBY-Boediono dijadikan bahan politisi oposisi untuk menyerang pemerintah. Secara substansi pemerintah diminta introspeksi diri dan melakukan evaluasi kinerja menyeluruh. Kendati sekadar informasi, namun jangan diremehkan karena angka di muka menunjukkan salah urus negara.
Jika ditelisik lebih detail, dari perspektif tekanan sosial yang meliputi angka kemiskinan mencapai kurang lebih 30 juta warga negara. Aspek politik menunjukkan 17 kepala daerah dari 33 kepala daerah di Indonesia terjerat korupsi. Selain itu, berdasarkan data Global Corruption Information 2005-2010 lima institusi paling korupsi ialah partai politik, parlemen, polisi, peradilan, dan dunia bisnis. Artinya dunia politik kita sangat kotor seakan praktik money politic, suap, jual beli pasal konstitusi telah membudaya.
Di sisi ekonomi, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia menanjak, tapi catatannya total utang juga turut naik mencapai 1800 trilyun rupiah. Lonjakan utang meningkat dua kali lipat lebih sejak lima tahun silam. Konflik sosial pun mengemuka di Lampung menyangkut persoalan agraria, Kalimantan Selatan lantaran distribusi kekayaan alam tak merata, dan konflik antar suku dan separatis di Papua. Benarkah Indonesia Negara Gagal?
Lantas dengan pelbagai permasalahan di atas, layakkah Indonesia diganjar dengan gelar negara gagal! Tentu publik harus melihatnya secara komprehensif, jangan parsial tahun ini saja. Agar khalayak memandang menyeluruh, berikut penulis sampaikan hasil riset institusi asing lainnya tentang Indonesia. Penulis bukan bermaksud membela pemerintah Indonesia, namun sebagai warga negara kita harus menggunakan akal sehat dan berpihak pada kebenaran dengan mengacu hasil penelitian yang valid dan terjaga integritasnya.
Fund For Peace (FFP) melansir selama enam tahun terakhir Indonesia mengalami perbaikan posisi dan menjauh dari indek negara gagal. Tahun 2006 Indonesia menempati posisi 32, 2007 ada di 55, 2008 nomor 60, 2009 naik dua digit menjadi 62, 2010 turun 61, 2011 dilevel 64, dan tahun ini turun satu angka menjadi 63. Dalam menjalankan pemerintahan di negara ASEAN menurut kajian Economist Intelligence Unit sejak 2006-2010 Indonesia mengalami progress dari 7,14 (2006) menjadi 7,5 (2010) atau masuk dua besar bersanding dengan Singapura. Fungsi pemerintah meliputi demokratisasi semakin baik, riset Freedom House (organisasi pers internasional) dengan proses penelitian berupa hak-hak politik dan kebebasan sipil menyimpulkan kebebasan pers pun meningkat dari 121 di tahun 2006 menjadi 107 (2010).
Prestasi kinerja ekonomi juga tak kalah kinclong. Badan Pusat Statistik (BPS) merealease pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen dengan pendapatan per kapita di atas USD3.500 yang merupakan titik penting bagi tranformasi perekonomian Indonesia. Dengan besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp7.427,1 triliun (USD850 miliar). Angka ini termasuk besar mengingat rata-rata negara Eropa hanya mencapai 5 persen lantaran krisis utang yang melanda Yunani merembet ke negara lain. Tetapi sebagian kalangan berpendapat bahwa angka funtastis di atas terasa tidak adil karena 70 persen uang berputar di pasar finansial bukan di sektor riil. Jika benar utang 1800 trilyun untuk kesejahteraan rakyat pemerintah harus transapran dan akuntabel mengenai alokasi dananya.
Pada bab korupsi. Kontrol terhadap korupsi terlihat adanya perubahan signifikan. Kajian Worldwide Governance Indicators memaparkan sejak 2003-2008 mengalami kenaikan dari 16 menjadi bertengger di nomor 33 (dari 161 negara yang disurvei). Lembaga antikorupsi pun menjamur, seperti KPK, Pukat UGM, ICW, Pengadilan tindak pidana korupsi dsb. Data dari Transparency International (TI) juga menjelaskan kecenderungan membaik, mulai angka 1,7 (1999), menjadi 2,0 di tahun 2004 dan 2,8 di tahun 2010. Adapun uang negara yang berhasil diselamatkan KPK dari kasus korupsi mencapai 151 trilyun atau meroket drastis dari 2005 yang hanya 6,9 trilyun. Sedangkan dari gratifikasi 2005 mengembalikan ke negara 15 juta dan meningkat 1,7 trilyun di tahun 2010.
Data dari lembaga asing di atas mengindikasikan Indonesia menjauh dari ambang negara gagal. Jika mengalami penurunan satu tingkat dari tahun lalu, hal ini mungkin karena kasus kerusuhan di Papua, Lampung, dan Kalimantan Selatan tahun ini yang membuat nilai keamanan, protes kelompok masyarakat, dan tekanan sosial melorot. Namun dari keseluruhan indikator, Indonesia menampakan ikhtiar untuk bermetamorfosa lebih baik. Semoga konsisten demi perbaikan.
Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Pendidikan Pancasila Melalui Keteladanan

Dimuat di Suara Karya, Jumat, 8 Juni 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Adalah niscaya 1 Juni ialah hari kelahiran Pancasila. Setiap tahun segenap khalayak memperingatinya. Namun, adalah kurang terasa jika acara tersebut sekadar seremonial belaka, tanpa berdampak sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi terkini dipenuhi dengan pelbagai kekerasan, tawuran, demoralisasi elite dengan korupsi dan kolusi, serta amoralitas rakyat dengan main hakim sendiri. Seakan raib cara pandang yang digagas the founding father 67 tahun silam.
Pancasila yang disebut Soekarno sebagai the filosophie grondslag kini hanya menjadi semboyan tanpa pengamalan. Dalam sejarah rezim, peran negara untuk menanamkan Pancasila sebagai dasar negara kepada warga negara terlihat lebay atau berlebihan sehingga kontraproduktif dengan tujuan. Di era orde lama, Pancasila diinterpretasikan pemimpin besar revolusi dalam doktrin manifesti politik dan USDEK (U)UD 1945, (S)osialisme ala Indonesia, (D)emokrasi terpimpin, (E)konomi terpimpin, dan (K)epribadian Indonesia. Hal ini demi menyatukan nasionalis, agama, dan komunis yang sempat berdebat panjang atas gagalnya majelis konstituante yang bermandat merancang UUD baru menggantikan UUDS 1950. Karena kekecewaan inilah presiden pertama RI ini lantas mengumandangkan dekrit presiden 5 Juli 1959 dan menegaskan kembali ke Pancasila dengan demokrasi terpimpin. Besarnya pengaruh Soekarno dan tiada oposisi seimbang membuat Pancasila diterjemahkan seorang tunggal. Efeknya tak terjadi sisi interaktif dengan rakyat dalam proses pengajaran Pancasila.
Orde baru datang merevisi ide nasakom, karena komunis dianggap anti tuhan dan aspek ini bertentangan dengan sila keTuhanan yang Maha Esa. Pada segi pendidikan Pancasila kepada rakyatnya, Soeharto memberlakukan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Malangnya, P4 menerapkan metode indoktrinasi dan komunikasi satu arah dengan memposisikan negara serba benar. Wujudnya segala pemikiran dan asas organisasi yang bertolak belakang dengan Pancasila dianggap subversif dan layak diperangi. Kebijakan yang tidak memunculkan sisi dialogis dan komunikasi timbal balik antara negara dengan warga negara ini, malah berakibat tergerusnya nilai Pancasila itu sendiri.
Kata Pancasila memang tidak tertera dalam UUD 1945 dan pembukaannya. Namun, setiap presiden yang memimpin negeri ini terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, bersepakat ruh yang tertuang dalam prembule UUD 1945 yaitu lima sila merupakan jalan kemaslahatan berbangsa. Kontekstualisasinya langkah pengejawantahan Pancasila ialah melalui keteladanan sikap dan buah tutur yang sesuai. Inilah bentuk keteladanan yang harus dimulai dari elit bangsa hingga pemimpin daerah. Sebab, selama ini demoralisasi terjadi lantaran terjadi mismatch antara perkataan dan perbuatan pemimpin. Antara janji kampanye dan tidak terealisasinya saat menjabat.
Hemat penulis, aktualisasi nilai Pancasila bukanlah melalui bermegah mewah perhelatan acara hari Pancasila. Namun, melalui keteladanan punggawa negeri setiap harinya dengan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidupnya. Dengan demikian secara tidak langsung, para pemimpin dan negarawan telah menyebarkan nilai pancasila melalui perilakunya. Muaranya masyarakat akan bersimpati untuk menirunya, karena dalam perspektif mereka nilai Pancasila abstrak dalam arti belum memahami sepenuhnya. Maka dibutuhkan pencontohan nyata yang diperagakan pemimpinnya. Akhirnya kebiasaan yang berulang-ulang inilah akan mengkristal menjadi karakter bangsa yang berlandaskan Pancasila. Semoga.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan UNY

Tragedi Lumpur Lapindo

Dimuat di Bernas Jogja, 1 Juni 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Enam tahun sudah tragedi lumpur Lapindo. Lumpur tanah yang menyembur di daerah Porong, Sidoarjo tersebut membuat puluhan desa dan ribuan kepala keluarga mengungsi. Para ahli mengatakan lumpur Lapindo akan berhenti pada 2030. Dampak buruknya ke depan selain menerjang rumah penduduk juga melalap fasilitas umum seperti jalan raya dan jalur rel kerata api serta memuat gas metan beracun. Kendati ada ikhtiar proses ganti rugi, tetapi hingga kini belum sepenuhnya tuntas pembayarannya. Tercatat ada 4229 berkas korban dengan nilai ganti rugi 920 Milyar yang belum dilunasi. Dengan adanya kasus ini, tentu akan mengganjal prosesi pencalonan Aburizal Bakrie selaku si empu perusahaan menuju RI 1. Karena calon presiden hendaknya terbebas dari isu negatif yang menderanya untuk meminimalisir kampanye negatif lawan politiknya.
Sampai saat masih diperdebatkan, apakah luapan lumpur Lapindo ini merupakan bencana alam atau kesalahan pengeboran perusahaan. Jika terkategori peristiwa alam yang berefek sosial, maka negara harus turut serta menyelesaikannya. Namun, jika kesalahan drilingatau pengeboran korporasi maka hanya pabrik tambang saja yang melakukan ganti rugi. Malangnya, timbul kesan negara ditaklukkan korporasi lantaran negara turut serta menanggung biaya pemecahan lumpur Lapindo. Terdata sejak 6 September 2006 sebanyak 6 Trilyun lebih APBN terkuras. Lebih rincinya 2006-2010 dikucurkan 2,8 Trilyun untuk penanggulangan dan kini dianggarkan 2011-2014 5,8 Trilyun. Hal ini membuat sebagian kalangan ingin mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas pengalokasian uang negara untuk penuntasan bencana lumpur Lapindo yang seharusnya ditanggung perusahaan saja.
Sungguh ironis uang negara yang seyogianya dialokasinya untuk kesejahteraan rakyat, malah diberikan kepada korporasi raksasa untuk membantu merampungkan permasalahannya. Lebih detailnya ada dua kategori yaitu korban terdampak dibayar PT Minarak Lapindo Jaya dan di luar peta terdampak ditanggung pemerintah. Tetapi dengan 150.000 m kubik per hari lumpur yang dikeluarkan dengan rentang waktu satu dekade mendatang, pemerintah akan lebih banyak menanggungnya karena daya sebar lumpur kian meluas. Semburan lumpur yang terus mengucur dan berlarutnya penanggulangannya sempat memunculkan film dokumenter berjudul “Mud Max” yang kritis menyorotinya.
Bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2012, dengan memahami sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada titik ini kita berharap pihak PT Lapindo segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi tanah, bangunan, dan menyumbat kutukan alam lumpur Lapindo. Semoga.
Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Senin, 26 Maret 2012

Momentum Pendistribusian Guru

Dimuat di Padang Ekspres, Senin, 26/03/2012 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Ironis melihat ribuan guru honorer berdemo di ibu kota menuntut pengangkatan dan kesejahteraan. Persoalan guru di Indonesia sangat semrawut, selain tingkat pendidikan beragam, tidak meratanya distribusi guru, kesenjangan pendapatan, dan banyak institusi yang berwenang mengangkat guru (KOMPAS, 5/3/2012). Dengan pelbagai pertimbangan, Mendikbud kemudian merespons akan mengangkat guru honorer menjadi PNS sebanyak 30 persen dari total 650.000 guru. 

Kebijakan ini di satu sisi mengakomodasi tuntutan tenaga honorer, ditermin lain bertentangan dengan profesionalisme guru. Karena sekolah membutuhkan guru berkompeten dan mampu mengajar dengan baik, bukan lamanya jadi guru honorer yang dijadikan pertimbangan untuk mengangkat PNS. Memang semenjak diberlakukan sertifikasi guru untuk meningkatkan kompetensi sekaligus kesejahteraan pendidik, animo khalayak untuk menjadi guru meningkat. Bahkan mahasiswa dari jurusan nonkependidikan pun berbalik arah hendak menjadi pendidik. 

Pada umumnya dorongan untuk menjadi guru karena tergiur gaji pasti, jika diangkat menjadi PNS, plus tunjangan berlebih sesuai gaji jika lulus sertifikasi. Di termin lain, data Bappenas (Badan Perencanaan Nasional) tahun 2009 menunjukkan jumlah angkatan kerja mencapai 21,2 juta orang. Dari angka tersebut, 22,2 persen atau 4,1 juta merupakan pengangguran yang terdiri dari masyarakat umum. Adapun pengangguran terdidik atau mahasiswa tak dapat kerja lebih dari 2 juta orang. Momentum penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil) tenaga administratif dan tenaga edukatif (guru) yang dibuka beberapa tahun terakhir, membuat mereka berbondong-bondong mendaftar demi menghindari jurang pengangguran (jobless).

Nilai positifnya ialah pemerintah memiliki banyak opsi untuk menyeleksi sesuai bakat dan kompetensi untuk ditempa di LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Nilai negatifnya ialah cara pandang orang per orang saat ini untuk menjadi guru karena materi, bukan panggilan nurani. Ihwal ini sangatlah berpengaruh pada pola fikir dan mengajarnya nanti. Padahal profesi guru ialah panggilan jiwa untuk mengabdi demi mencerdaskan tunas bangsa negeri ini. Maka pekerjaan ini menuntut kesabaran, ketelatenan, dan ketekunan dalam proses pelimpahan ilmu setiap hari. Orientasi materi akan membuat fikiran dan badan guru rentan menunggu gaji diakhir bulan dan sedikit mengabaikan perkembangan anak asuhnya.

 Sebagaimana dilansir kompas.com, Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu Pendidikan Nasional, Syawal Gultom mengatakan, rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia. Rasio di Indonesia, ungkapnya, sekitar 1:18. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20). Hal ini diamini Mendikbud dengan mengungkapkan, jika diberlakukan standar Rasio Siswa Guru (RSG) internasional, Indonesia kelebihan pasokan guru 20 persen atau 500 ribu. Lebih lanjut Muhammad Nuh menerangkan sebanyak 68% sekolah di perkotaan dan 52% sekolah perdesaan kelebihan guru. Sementara, 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Ini artinya problemnya bukan minimnya guru di daerah terpencil, tetapi manajemen distribusi guru yang perlu diperbaiki karena marak menumpuk di kota. Perkara ini menjadi penyakit akut tahunan karena belum adanya strategi yang tepat untuk penataan guru. Jika tidak disiasati secepatnya banyak guru akan terpusat di Jawa dan banyak pula guru yang akan pensiun massal 2014 nanti, sehingga perlu regenerasi.

 Berpijak realitas di muka, distribusi guru ke daerah tertinggal kini merupakan momentum yang tepat untuk mengurai semrawutnya problem dunia guru. Karena maraknya minat menjadi guru, sehingga dapat disodorkan syarat mengenai siap ditempatkan di daerah manapun atau tidak diangkat menjadi guru. Selain itu, Kemendikbud baru saja menandatangani SKB (Surat Keputusan Bersama) lima menteri yang berkomitmen bersama Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan untuk memperbaiki mekanisme penataan guru. 

Penulis menawarkan beberapa gagasan untuk memperlancar agenda distribusi guru dengan menjangkau daerah yang tak terjangkau. Pertama, untuk mengirim guru ke lokasi tertinggal, Kemendikbud perlu bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan daerah setempat. Karena selama ini salah satu masalah tidak meratanya guru disebabkan berbenturan dengan UU No.32/ 2004 tentang otonomi daerah, yang mana setiap kabupaten memiliki kewenangan lebih besar untuk mengatur penempatan guru. Ke depan mungkin pengelolaannya seperti pemerintah pusat mengatur transmigran. Pemerintah pusat dapat membuka penawaran atau lowongan bagi guru atau sarjana yang siap ditempatkan ke daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar). Tentunya dengan gaji dan penginapan yang layak. Sebagaimana pemerintah menyediakan rumah dan lahan untuk dikelola transmigran.

Program ini dapat dijadikan sebagai prasyarat untuk mengikuti pendidikan profesi sekaligus mengajukan sertifikasi. Dengan demikian mau tidak mau, guru atau calon guru pasti akan mengikutinya. Teknisnya Kemendikbud dapat bekerja sama dengan setiap perguruan tinggi yang membuka jurusan keguruan. Kedua, ditandatanganinya SKB lima menteri membuat pengaturan penempatan guru menjadi sentralistik. Sehingga Mendikbud mempunyai otoritas dapat mengeluarkan SK (Surat Keputusan) bagi setiap pendidik atau calon pendidik untuk siap ditempatkan di area tertinggal. Dampaknya guru harus mematuhi atau memilih kehilangan pekerjaan.

Bagi guru yang belum mampu memenuhi standar 24 jam mengajar setiap pekan, ketimbang ke sana kemari mengajar di sekolah lain untuk menambal kekurangan jam mengajar, dapat dilibatkan di program ini. Keuntungannya redistribusi guru ke daerah tertinggal dapat memeratakan kualitas pendidikan plus menguji militansi guru sebelum di angkat menjadi PNS. Selain itu juga dapat membentuk kepekaan sosial, karena guru harus beradaptasi dengan kultur dan budaya setempat sehingga membentuk sikap toleransi. Dan memperkuat rasa keindonesiaan yang mulai luntur, karena guru berkarya demi bangsa di luar tempat kelahirannya.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Pusaka Pendidikan

Kamis, 22 Maret 2012

Mahasiswa Harus Tradisikan Menulis


Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 22 Maret 2012


Republika edisi Senin, 27 Februari 2012 mengangkat headline “Hentikan Copy-Paste”. Koran komunitas muslim ini mengutip data Kemendikbud tentang rendahnya produktivitas karya ilmiah dalam jurnal dibanding negara tetangga, Thailand 59.332, Malaysia 55.221, dan Indonesia 13.047. Sedangkan perbandingan jumlah penduduk dengan jurnal publikasi (1996-2010) menunjukkan Thailand peringkat 42, Malaysia 43, dan Indonesia 64. Atau sebanyak 239 juta jiwa hanya memiliki 54 karya ilmiah per populasi satu juta penduduk.

Data inilah yang menjadi premis kebijakan Kemendikbud untuk memberlakukan publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan strata 1, S2, dan S3. Tak heran jika kebijakan ini dianggap reaksioner dan tak memiliki perencanaan yang matang. Ihwal ini terlibat minimnya jumlah jurnal di Indonesia sebagai daya dukung sebagaimana dilansir kompas.com. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, hingga saat ini jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi.

Seyogianya bukan lantaran anak bangsa kalah dengan negeri jiran dalam menerbitkan karya ilmiah kemudian dibuatlah peraturan ini. Tetapi harusnya ikhtiar pemerintah untuk melestarikan tradisi intelektual (membaca, menulis, riset, dan diskusi) yang kini tak begitu menjamur di kalangan mahasiswa.

Bisa jadi sedikitnya eksistensi jurnal di tanah air, lantaran tak banyaknya pasokan tulisan dari calon sarjana ibu pertiwi. Sehingga pihak redaksi tak punya banyak opsi untuk memuat gagasan seseorang. Kondisi ini membuat redaksi penerbit jurnal terpaksa menagih dan meresume skripsi, tesis, atau disertasi bernilai A demi keberlanjutan terbitnya jurnal agar nilai akreditasinya tak turun.

Di sudut lain, bagi mahasiswa pragmatis merespon kebijakan ini dapat memesan pihak ketiga untuk membuatkan tugas akhir atau menyuap pihak redaksi jurnal untuk mengorbitkan karyanya seadanya. Suap, traksaksi dagang skripsi, plagiat, dan mafia gelar mungkin adalah ekses dari kebijakan ini. Namun, penyimpangan ini tak akan terjadi jika setiap mahasiswa mentradisikan menulis sejak dini di kampus.

Langkah ini dapat dimulai dengan membiasakan menulis artikel di media massa. Materi yang dituangkan pun tak perlu berat-berat, cukup apa yang diperoleh di jurusan masing-masing dikontekstualisasikan dengan isu lokal atau nasional yang relevan dengan jurusan. Selain itu, bahan materi dan referensinya dapat diperoleh melalui surat kabar, hasil riset institusi atau tokoh dan hasil diskusi yang disarikan. Menulis selain melatih mahasiswa berfikir sistematis, juga dapat menjadi medium untuk memberikan pencerahan dan manfaat bagi khalayak ramai.

Jika tak kunjung dimuat oleh surat kabar, media blog, dan situs jejaring sosial dapat digunakan sebagai ruang aktualisasi mahasiswa. Pada intinya menulis menjadi target keseharian untuk mengekspresikan gagasan melalui tinta dan pena. Aktivitas ini juga menjadi tanggung jawab moral seorang mahasiswa yang memperoleh julukan agen perubahan untuk mewasiatkan gugus gagasannya kepada generasi berikutnya. Sebab sepudar-pudar tulisan yang bermanfaat, itu lebih baik daripada fikiran yang tak pernah dilestarikan. Karena secara psikologis dan tinjauan ilmu kesehatan, menulis tidak membuat orang cepat pikun karena otak dan hatinya dinamis bekerja. Keduanya bekerja lantaran rasa sensitifnya pada realitas sosial yang diinderanya.

Akhirnya, mahasiswa bukanlah intelektual pohon pisang yang hanya ditakdirkan berbuah lalu mati. Sebuah analogi dari hanya menulis skripsi lalu tiada lagi. Tetapi menjadikan menulis sebagai bagian investasi amal di dunia dan di akhirat nanti.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Selasa, 06 Maret 2012

Mengawal Anak Menonton Televisi

Dimuat di Citizen Jurnalism, Tribun Jogja, Selasa, 6/2/2012 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Data KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menunjukkan sebanyak 1,4 juta anak menonton TV pada kisaran waktu jam 18-21. Sangatlah disayangkan karena waktu itu adalah untuk belajar. Acara TV pada waktu itu adalah sinetron, bukan acara anak. Jika dikalkulasi rata-rata anak menonton sinetron 50 menit per hari, atau lebih banyak dari menyaksikan tayangan anak yang hanya 20 menit per hari. “Buruknya bagi anak adalah fase pertumbuhan mereka masih tahap meniru (modelling), dengan tingkat selektifitas yang rendah. Sehingga anak akan menerima apa saja tanpa mengkritisinya atau menolak. Lebih parahnya ketika di rumah orang tua menyerahkan pengasuhan anak pada TV dan tidak mendampinginya” ujar Fuad Nashori dalam Sekolah Ayah Bunda “Bahaya Pengaruh Media pada Anak”, Minggu, 4 Maret 2012 di Masjid Nurul Ashri. 

Lebih jauh, dosen Psikologi UII ini juga menuturkan hasil riset dari Lefkowitz menemukan bahwa sebagian besar dari 900 anak yang diamati selama 10 tahun secara berkesinambungan memiliki agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang jarang menonton sajian kekerasan. Penelitian lain dari Children Hospital (Boston, USA) terhadap 754 anak menunjukkan mereka yang banyak menonton televisi (terutama drama/sinetron percintaan) lebih dini dalam pertumbuhan seksual. Bagi tumbuh kembangnya otak, anak dibawah lima tahun yang rutin menonton TV akan mengalami hambatan membaca pada usia 6-7 tahun. 


Secara emosional pun anak akan cenderung mempunyai sikap individual yang tinggi. Karena anak lebih dekat pada media TV, Internet, Ipad ketimbang belajar berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Bagi orang dewasa pun dapat demikian, karena pesatnya perkembangan teknologi sisi positifnya dapat membantu aktivitas manusia tetapi secara tidak langsung dapat membuat diri kita berperilaku layaknya anak autis atau asyik pada dunianya sendiri. Mengaca pada problem di muka, Rahmat Arifin selaku ketua KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) cabang DIY berpendapat pentingnya diberikan pendidikan media atau media literacy dalam kurikulum pendidikan anak. Orientasinya adalah agar anak melek media dan kritis sehingga dapat memilih mana yang layak disaksikan dan mana yang tidak. Di negara maju, pendidikan media sudah diterapkan pada kurikulum yang diajakan mulai anak pra sekolah. Pertanyaannya ialah siapa yang berperan besar mengajarkannya. Di sekolah guru memiliki peranan signifikan untuk melakukannya. Sedangkan ketika di rumah, orang tua dapat membangun kebiasaan bermedia yang sehat. Kiatnya ayah atau ibu dapat mendesain ruangan agar TV di letakkan di ruang tengah, bukan di kamar tidur anak. Sehingga orang tua dapat mengontrol dan memantau agar anak tidak melihat tayangan seks, mistis, dan kekerasan. Selain mendampingi anak menonton TV, cara kedua orang tua dapat membuat jadwal menonton TV yang diletakkan di atas TV. Hal ini untuk memudahkan anak mengingatnya, memilihkan acara yang bermanfaat sekaligus belajar mengatur waktu. 

Jika anak didampingi pembantu, ajarkan pembantu untuk memilihkan acara yang positif. Dan yang lebih urgen adalah alihkan perhatian anak secara bertahap dari kebiasaan buruk menonton TV dengan mentradisikan membaca buku. Sebab membaca buku mempunyai sisi maslahat yang lebih banyak daripada mudharatnya. Penelitian Fuad Nashori (2003) memaparkan, terbentuknya kepribadian anak yang baik karena intensitas yang tinggi orang tua dalam mendampingi dan mendidik anak bukan diserahkan pada media. Jika demikian, kenapa kita tidak mencobanya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Selasa, 28 Februari 2012

Publikasi Karya Tulis Ilmiah


Dimuat di Suara Karya, Selasa, 21 Februari 2012


Kebijakan terbaru dari Kemendikbud tentang kewajiban publikasi karya tulis ilmiah di jurnal untuk syarat kelulusan program strata 1 (S1) menuai pendapat beragam. Kebijakan itu sendiri sudah pasti akan diberlakukan mulai Agustus 2012 karena telah tertuang dalam surat edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3. Surat tertanggal 27 Januari 2012 ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia.

Peraturan di muka mempunyai sisi maslahat, yakni menggairahkan iklim meneliti dan menulis di kalangan mahasiswa. Sebab, hasil karya tulis mahasiswa dianggap tertinggal dibanding negeri jiran Malaysia. Untuk memacunya, kata Mendikbud perlu sedikit 'pemaksaan'. Salah satunya melalui mewajibkan untuk membuat karya tulis ilmiah dan harus terbit di media jurnal.

Jika demikian, mari kita kalkulasi dengan hitungan matematis. Asumsinya, dari 3.000 PTN dan PTS di Tanah Air, ada 750.000 calon sarjana setiap tahunnya. Maka, harus ada puluhan ribu jurnal di negeri ini. Seandainya ada 2.000 jurnal dan terbit setahun dua kali dengan sekali terbit per edisi memuat 5 karya, menurut Edy Suandi Hamid (Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan calon sarjana. Untuk memecahkan problem ini, harus ada Permendiknas yang ditujukan kepada setiap jurusan di setiap perguruan tinggi untuk mengakomodasi karya tulis setiap mahasiswa.

Pertanyaannya, jika mahasiswa sudah membuat skripsi dan karya tulis tetapi tidak dimuat di jurnal, apakah kelulusannya akan tertunda? Bagaimana pula kualifikasi jurnalnya? Tentu bukan sembarang jurnal melainkan yang terakreditasi Kemendikbud. Persoalan ini perlu dijawab terlebih dahulu. Karena, kebijakan tanpa disertai daya dukung, tidak akan mulus di lapangan.

Eksesnya kelak dikhawatirkan terjadi jual beli karya tulis, bahkan sampai tahap suap-menyuap agar karya tulisnya dapat dimuat di jurnal. Jika tidak ada standarisasi jurnal dan karya tulis ilmiah, nanti akan muncul jurnal dan karya tulis ilmiah abal-abal. Inilah konsekuensi akibat dipaksakan harus dimuat lantaran untuk mengejar syarat kelulusan.

Tidakkah kebijakan ini perlu dilakukan bertahap, misalnya, bisa diterapkan di lingkungan mahasiswa S2 dan S3 terlebih dahulu. Sementara mahasiswa S1, syarat kelulusannya diturunkan dari menulis karya tulis menjadi menulis artikel di media massa dengan standar beberapa kali dimuat. Dengan demikian, dorongan kepada mahasiswa untuk mentradisikan menulis tetaplah ada.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Kenaikkan BBM Harus Bertahap


Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 23 Februari 2012


Pemerintah berada dalam posisi serba sulit. Berapapun besarnya subdisi BBM yang diberikan tak akan mampu melawan permintaan pasar. Seperti semakin banyaknya kendaraan bermotor dan mobil pribadi serta kemungkinan melambungnya harga minyak dunia jika Iran memblokade selar Hormuz sebagai jalur suplai sepertiga minyak dunia. Saat ini pengeluaran subdisi BBM 2012 mencapai Rp.123,6 triliun. Kalkulasinya jika produksi BBM sekitar Rp 8200,- per liter, berarti pemerintah memberikan bantuan Rp 3700,- per liter.

Uang sebesar itu, jika terus menerus digelontorkan akan membebani negara. Padahal jika difokuskan pada hal bidang lain, dapat membeli kerera api baru sebagai angkutan massal masyarakat, membangun infrastruktur, akses transportasi, dan mendukung industri kreatif sebagai penopang sektor ekonomi Indonesia.

Ditermin lain, pemerintah menghadapi dilema karena belum siapnya masyarakat menerima pencabutan subsidi atau bahasa kasarnya kenaikkan harga BBM. Kita lihat saja pengalihan pembelian dari premium ke pertamax saja banyak rakyat yang tidak mau karena harganya mahal. Sementara untuk menghindarkan ketergantungan khalayak pada BBM, rencana pemerintah untuk melaksanakan konversi BBM ke gas belum siap sepenuhnya karena perangkatnya mahal. Seperti pembelian alat konversi (konventer kit) 250.000 unit untuk Jawa-Bali dengan harga 2,5 juta per satuannya.

Jika kebijakannya ini dipaksakan akan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Tentu kita dapat belajar dari Nigeria yang memutuskan mencabut subsidi BBM seluruhnya. Sehingga harga BBM sebelumnya Rp 3600,-/liter sekarang merangkak dua kali lipat menjadi Rp 7890/liter. Massa pun merespon dengan turun ke jalan dan merusak fasilitas umum. Memang Indonesia tak bisa disamakan dengan Nigeria karena di sana produksi minyak lebih besar dan tingkat konsumsinya lebih sedikit. Tetapi efek sosialnya patut diantisipasi pemerintah jika tak ingin kerusuhan 1998 berulang dan membuat harga minyak fluktuatif.

Solusi jangka pendeknya pemerintah dapat memberlakukan kenaikkan harga BBM secara bertahap, sembari mempersiapkan secepat mungkin program konversi ke gas. Hitungannya pencabutan subsidi BBM Rp.1000,- saja dapat menghemat 38 triliun atau lebih baik daripada pembatasan pemakaian BBM tak bersubsidi bagi mobil pribadi yang hanya 8 triliun.

Langkah ini harus didukung dengan kebijakan lain untuk meredam kekecewaan masyarakat seperti ada pengecualian bagi kendaraan umum. Agar dampak terhadap naiknya biaya transportasi tak terjadi. Sehingga apabila publik merasa keberatan menggunakan kendaraan pribadi karena BBM mahal, memiliki opsi memakai kendaraan massal yang lebih murah. Oleh sebab itu, angkutan umum seperti bus way dan kereta api di kota besar pun perlu diperbanyak disertai pelayanan yang semakin baik.

Kedua, memberikan keringanan pada kebutuhan umum masyarakat seperti kebijakan wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan Kemendiknas tahun ini untuk memangkas angka putus sekolah dan kemudahan bagi masyarakat tidak mampu untuk periksa di rumah sakit dapat segera direalisasikan. Kebijakan ini dapat meminimalisir frustasi sosial yang agaknya kini menjadi budaya massa layaknya kasus Mesuji dan Bima.

Ketiga, peningkatan produksi kebutuhan pokok dalam negeri perlu digalakkan untuk mengurangi nilai impor pangan dan menghambat efek domino kenaikkan harga BBM. Dan yang tak kalah penting ialah dukungan pemerintah terhadap sektor riil dan industri kreatif dapat diwujudkan. Sebab, ranah industri inilah yang selama ini menjadi tameng dan perisai ekonomi nasional dari terjangan badai krisis ekonomi global. So, pemahaman kondisi dan alternatif solusi kawanan masyarakat amatlah dibutuhkan untuk melebur problem pelik ini.

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Peneliti Transform Institute

Mengkritisi Program Publikasi Ilmiah


Dimuat di Nguda Rasa, Merapi, Selasa, 21 Februari 2012


Kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3 sebagai bagian syarat kelulusan mendapat argumen beragam . Surat tertanggal 27 Januari 2012 ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia itu terkesan emosial karena tak dikomunikasikan ke pihak pemangku kebijakan perguruan tinggi (PT) terlebih dahulu untuk menyusunnya. Karena hanya surat edaran dan belum berkuatan hukum, maka Aptisi (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) melalului ketuanya Edy Suandi Hamid menolaknya. Asosiasi yang membawahi lebih dari 3000 PTS ini karena daya dukung jurnal di tanah air belum merata.

Di sisi lain ketentuan pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan dipandang menyalahi aturan, karena yang menentukan lulus atau tidaknya mahasiswa adalah mutlak otonomi kampus. Hal ini seperti kebijakan ujian nasional sebagai syarat lulus sekolah bagi jenjang sekolah dasar dan menengah, hanya saja bagi mahasiswa berwujud artikel ilmiah. Kesan yang mencuat ialah pemerintah seakan mempersulit para mahasiswa untuk memperoleh gelar studinya. Peraturan ini menjadi diskriminatis karena kebanyakan jurnal ilmiah yang terakreditasi Dikti hanya bermukim di kampus-kampus besar seperti UGM, UI, ITB, IPB dsb. Sementara di kampus lain ketersediaan jurnal tidaklah banyak dan kualifikasinya pun mungkin di bawah grade A.

Jika mengacu delapan standar nasional pendidikan sesuai PP No.19/2005 yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Hendaknya pemerintah memikirkan terlebih dahulu fasilitas pendukung seperti ketersediaan jurnal, pengelolaan tentang standarisasi karya layak muatnya, dan pembiayaan penerbitannya. Begitupun penilaian substansi gagasan yang menjadi isi dalam jurnal. Pada titik ini, kebijakan Kemendikbud ini dapat dikata mendadak atau reaksioner atas ketertinggalan produktifitas mahasiswa membuat karya ilmiah dengan Malaysia, ketimbang memperhatikan kesiapan infrastruktur penopang.

Mengacu jurnal nature yang terbit beberapa waktu lampau melansir. Karya ilmiah saintis Indonesia dalam jurnal internasional adalah 0,88 artikel per satu juta penduduk. Sedangkan negeri jiran Malaysia sebanyak 20,78. Atau kalkulasinya dalam klasemen, Indonesia berada dalam posisi 134 dunia sedangkan Malaysia menempati posisi 67. Kebijakan kewajiban publikasi ilmiah memang bermaksud positif untuk melecut tradisi intelektual mahasiswa yakni membaca, menulis, riset, dan diskusi yang tergolong rendah. Tetapi aturan ini tak akan mulus di lapangan jika sebagian besar perguruan tinggi menolak lantaran minimnya kesiapan.

Situs kompas.com mengabarkan, sedikitnya jumlah publikasi karya ilmiah mempengaruhi minimnya intensitas penerbitan jurnal. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi. Bayangkan seandainya setiap tahun ada 750.000 caln sarjana, maka dibutuhkan ribuan jurnal untuk mengakomodasi karyanya. Lantas pertanyaannya, ke mana sisa 3000 jurnalnya. Kevakuman ini terjadi karena defisitnya tulisan mahasiswa, sehingga jurnal tersebut mati suri.

Tengok saja, menurut Edison Munaf (2011) sebagaimana dikutip Jusman Dalle di harian Jawa Pos Edisi Senin (13/2/2012) pada 2010 total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel. Terpaut jauh dibanding Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843). Data lainnya dari survei SCImago menyebutkan publikasi hasil penelitian di Indonesia selama 13 tahun (1996–2008) hanya sekitar 9.194 tulisan.

Bisa dibayangkan, mengaca angka di muka. Jika tak diantisipasi kebijakan ini akan memunculkan karya abal-abal, jurnal siluman, bahkan ghostwritter. Sebab daripada lama-lama menanggung biaya belajar di kampus, lebih baik cari jalan pintas bayar pihak ketiga agar cepat lulus kuliah. Namun bagi mahasiswa idealis, kebijakan ini justru memacu untuk semakin produktif berkarya dan membiasakan menulis jurnal. Agar kelak ketika melanjutkan studi S2 atau S3 tak menjadi beban untuk menembus jurnal internasional.

Bertolak dari premis di atas, pemerintah perlu mengakomodir semua pihak agar tercipta kemaslahatan bersama. Kebijakan ini dapat tetap dilanjutkan namun bertahap sembari menyempurnakan kesiapan. Penulis menawarkan, pertama kewajiban publikasi ilmiah ke jurnal lebih baik bagi mahasiswa S2 dan S3 saja. Sementara karena banyaknya calon sarjana S1, lebih bijak ketentuannya menerbitkan artikel di media massa. Kecuali bagi skripsi bernilai A dapat dikirimkan ke jurnal. Rasionalisasinya skripsi tersebut sudah pasti bagus karena sangat sulit mendapat nilai A untuk mempertahankan idenya di depan 3-5 dosen ahli.

Kedua, langkah efiensi dapat dilakukan dengan membuat jurnal edisi online dengan bandwitch berkapasitas besar untuk tampung ribuan karya. Opsi lainnya Mendikbud dapat perintahkan setiap jurusan atau fakultas membuat jurnal dengan mendaftar di ISSN (Internasional Standar Serial Number) agar kekurangan jurnal tertutupi. Tentunya dengan standarisasi Dikti.

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Opsi Sulit Naikkan Harga BBM


Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, Kamis, 9 Februari 2012


Bisa dikata, posisi pemerintah kini serba sulit. Maju kena, mundur pun kena. Harga BBM harus dinaikan jika pemerintah tak mau terus menerus menanggung pengeluarkan uang subsidi yang mencapai Rp. 165,2 triliun dalam APBN 2011. Sedangkan tahun 2012 ini hanya dianggarkan Rp.123,6 triliun. Duit sebanyak ini harusnya dapat dialokasikan ke kepentingan lain seperti membangun transportasi untuk memperlancar roda ekonomi, membangun infrastruktur untuk membuka lapangan kerja, atau membeli kereta api baru sebagai angkutan massal rakyat.

Tetapi kendalanya justru tersandera di DPR. UU APBN 2012 mengatakan tidak ada opsi untuk menaikkan BBM karena akan memberatkan rakyat. Dalam perangkat peraturan tersebut hanya tertera pilihan membatasi penggunaan BBM. Diksi membatasi dan mencabut subsidi sebenarnya hanyalah bahasa halus saja untuk menaikkan sedikit demi sedikit harga BBM.

Jika BBM naik, efeknya tarif transportasi pun membumbung dan harge kebutuhan pokok pun bakal meroket. Belajar dari Nigeria, negeri yang juga kaya minyak tetapi memutuskan memangkas biaya subsidi seluruhnya. Sehingga harga BBM sebelumnya Rp 3600,-/liter sekarang merangkak dua kali lipat menjadi Rp 7890/liter. Khalayak ramai pun turun ke jalan menolak sikap rezim yang memberatkan kehidupan lantaran efek domino di harga-harga kebutuhan lainnya.

Pada konteks ini jika opsi menaikkan yang diterjadi, maka pemerintah harus piawai mengantisipasi. Memang santer terdengar kabar alternatif untuk mengonversi BBM ke BBG, tetapi sampai saat ini kesiapan perangkat kerasnya belum matang. Jika dipaksa beralih ke pertamax, produksinya setahun hanya 1 juta barel dan selebihnya impor. Imbasnya SPBU lain yang mengeruk keuntungan. Harganya pun dua kali lipat harga BBM. Sikap ini tentu merugikan negara dan pasti ditolak rakyat. Maka cukup rasional jika ada usulan untuk menunda terlebih dahulu pencabutan subsidi di Jawa-Bali ini karena belum siapnya sarana prasarana pendukung.

Jika pencabutan harus dimulai 1 April 2012, maka pemerintah harus bertindak cepat seperti masih memberlakukan harga subsidi bagi angkutan umum atau memotong 50% biaya periksa di rumah sakit dan biaya akses pendidikan. Langkah-langkah seperti ini dapat sedikit meredam kemarahan rakyat. Pilihan lainnya ialah jika tak ingin dianggap keputusannya ilegal karena dalam UU tidak ada kata menaikan pemerintah harus merevisi UU dalam APBN perubahan sehingga memiliki dasar yuridis yang jelas, sebari menyiapkan proyek konversi ke gas. Hal ini akan menghemat uang negara yang sebenarnya dapat dialihkan untuk kemaslahatan lainnya.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Rabu, 25 Januari 2012

Antisipasi Kenaikkan Harga BBM

Dimuat di Koran Merapi, Rabu, 25 Januari 2012 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 1 April 2012 kemungkinan besar terjadi. Pasalnya jika terlalu lama akan membebani negara dalam memberikan subsidi. Pada 2012 pemerintahan SBY-Boediono menganggarkan Rp 123,6 triliun untuk subsidi BBM atau lebih rendah ketimbang APBN 2011 yang mencapai Rp. 165,2 triliun. Hal ini mengingat kebijakan mengkonversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) yang dimulai tahun ini. Seyogianya, uang dimuka dapat digunakan untuk membuka akses jalan untuk mempermudah perputaran roda ekonomi masyarakat, memberikan bantuan kepada industri kreatif yang menyelamatkan Indonesia dari badai krisis ekonomi global, atau membangun infrastruktur untuk menyerap banyak lapangan kerja sekaligus mengurangi pengangguran sebanyak 31 juta orang. Atau membeli beberapa kereta api sebagai angkutan massal yang efektif dan efisien. 


Pengalihan ini dilakukan untuk menghindari ketergantungan akut pada BBM dengan cadangan minyak negeri ini 3,7 miliar barel sebagai mana dikatakan wakil menteri ESDM Widjajono Partowidagdo. Adapun perkiraan total konsumsi 1,3 juta bph (barel per hari), sementara produksinya 0,9 juta bph. Kesenjangan inilah yang disiasati pemerintah dengan tidak melulu impor tetapi mengganti dengan gas karena Indonesia memiliki cadangan gas dan batu bara yang melimpah. Implementasinya sangatlah besar manfaatnya karena digunakan sebagian besar penduduk Indonesia yang kini berjumlah 241 juta, baik untuk kebutuhan transportasi, rumah tangga, maupun home industri sebagai penggerak sektor ekonomi riil. Malangnya, konversi ini dimungkinkan mundur lantaran kesiapan Pertamina selaku operator lapangan untuk menyediakan perangkat keras belum lengkap sepenuhnya.

Menurut Menteri ESDM Jero Wacik ketersediaan konventer kit menjadi pertimbangan. Kebutuhannya 250.000 unit, sementara sekarang baru tersedia 300 unit. Ditundanya program konversi ini akan membuat pemerintah menanggung biaya lebih panjang untuk membantu rakyat membeli BBM ditengah kelesuan ekonomi dan utang luar negeri yang membumbung 700 triliun. Solusi jangka pendeknya ialah menaikkan BBM secara bertahap. Jika dikalkulasi, kenaikkan BBM Rp.1000,- saja dapat menghemat 38 triliun atau lebih baik daripada pembatasan pemakaian BBM tak bersubsidi bagi mobil pribadi yang hanya 8 triliun. Konsekuensinya bisakah masyarakat menerimanya dengan catatan efek domino kebutuhan pokok dan transportasi ikut naik. Hal ini mesti difikirkan jika tak ingin terjadi kerusuhan sosial seperti di Nigeria yang memaksa pemerintahnya mencabut kembali keputusan menaikkan BBM. Belum lagi antisipasi diblokadenya selat Hormuz oleh Iran sebagai jalur sepertiga suplai minyak dunia yang berpotensi membuat fluktuasi harga minyak kapanpun, juga patut mendapat perhatian. 

Berpijak dari analisa di muka, ada beberapa alternatif kebijakan yang dapat dipilih pemerintah ke depan. Pertama, opsi mencabut subsidi BBM Rp. 500-1500,- bagi Jawa dan Bali dapat dilakukan sembari mempercepat pembenahan infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG). Sebagai kompensasinya pemerintah dapat memberlakukan pengecualian bagi angkutan umum. Sehingga jika warga hendak berhemat tak memakai kendaraan pribadi, ia dapat menggunakan kendaraan massal. Selain itu mendorong percepatan wajib belajar 12 tahun dapat dilakukan dengan mengalokasikan uang penghematan ke penambahan Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan menambah kuota beasiswa bidik misi yang kini hanya mencapai 30.000 orang per tahun agar kalangan menengah ke bawah dapat mengakses pendidikan tinggi. Hal ini perlu dilakukan untuk meredam kekecewaan masyarakat atas naiknya harga BBM sekaligus meminimalisir terjadinya gejolak sosial. 

Kedua, Pertamina perlu membuka kilang minyak baru untuk menaikan tingkat produksi BBM dalam negeri demi mengejar defisit dengan angka konsumsi. Selain itu pemerintah perlu melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang konversi BBM ke BBG sesegera mungkin karena pada umum pandangan masyarakat gas yang dipakai untuk bahan bakar kendaraan sama dengan gas untuk memasak. Padahal amatlah berbeda LPG dengan Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquefied Gas for Vehicle (LGV). Standarisasi penggunaannya juga mesti dilakukan bagi 1,29 juta unit mobil pribadi se Jawa-Bali jika beraliah ke CNG atau LGV. Menurut Menteri Koordinator Perokonomian, Hatta Rajasa, pemilik tinggal memasang konventer kit yang harganya masih relatif mahal 2,5 juta per unit. Strateginya pemerintah akan mengimpor sebanyak 250.000 unit untuk selanjutnya dibagikan kepada angkutan umum secara gratis. 

Ketiga, pemeritah perlu mendukung berjalannya industri kreatif dalam negeri yang proses produksinya tak banyak membutuhkan BBM melainkan tenaga listrik. Sebab, versi Badan Pusat Statistik (BPS) kontribusi ekonomi kreatif 7,6% dari PDB dan mengalami pertumbuhan 2006-2009 sebanyak 2,9% per tahun. Data 2008 menunjukkan jumlah perusahaan industri kreatif 3.001.635. Jika terus didorong akan berpeluang menahan gempuran krisis ekonomi global dan mengurangi ketergangtungan dengan negara lain, karena produk dan pangsa pasarnya spesifik. Dan jika BBM dinaikan tidak terlalu kena dampak, karena olahan produksinya banyak menggunakan BBM. Justru malah dapat menyelamatkan perekonomian negara yang ditopang sektor riil. 

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute

Kamis, 19 Januari 2012

Strategi Tingkatkan Profesionalisme Guru

Dimuat di Suara Karya, Rabu, 18 Januari 2012 

Perhatian pemerintah terhadap guru dengan meningkatkan kesejahteraan guru membuat khalayak ramai berlomba untuk menjadi pendidik. Dengan menjadi guru, mereka memimpikan gaji tetap per bulan dan harapan dapat tunjangan jika lulus sertifikasi nanti. Malangnya, orientasi menjadi guru kini menjadi standar ganda, antara kompetensi dan kompensasi, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Pasal 1 ayat 1).

Rumah Pensil Publisher


Mendidik adalah panggilan jiwa, yang membutuhkan ketulusan nurani dan kecerdasan intelektual untuk mengkreasikan proses pewarisan ilmu ke peserta didik. Jika seseorang, tujuan awal menjadi guru berobsesi materi (meskipun tidak dipungkiri setiap orang membutuhkannya), hal ini akan memengaruhi pola fikir dan pola mengajar ke anak asuhnya. Proses transfer ilmu dalam keseharian pun akan terasa melelahkan karena hanya menanti gaji di akhir bulan. Padahal, guru tak sekadar demikian, terlalu pragmatis jika orientasinya melulu seperti itu. Jiwa, raga, waktu, dan upaya seorang guru dibutuhkan layaknya ibu yang mendidik anak kandungnya tanpa pamrih. Tanpa menanti-nanti upah setiap bulannya. 

Di satu sisi, ikhtiar pemerintah via sertifikasi guru dan uji kompetensi dengan target seluruh guru profesional pada 2015 patut diapresiasi. Tetapi, pasca proses itu, belum begitu nyata tanda profesionalisme yang digadang-gadang selama ini. Bahkan kritik menyapa dari petinggi negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluhkan besarnya gaji guru tanpa disertai profesionalisme pasti. Berpijak pada persoalan tersebut, Pusaka Pendidikan dan KMIP UNY bermaksud mengadakan seminar regional pendidikan beryajuk "Strategi Meningkatkan Profesionalisme Guru" bersama Prof Djemari Mardapi PhD (Kepala BSNP) dan Ahmad Zaenal Fanani (Ketua PGRI DIY) pada Kamis, 19 Januari 2012 pukul 08.00-12.00 WIB di Ruang Abdullah Sigit Hall Lt 3 FIP UNY. Bagi para peserta dikenakan kontribusi Rp 15.000 per orang. Pendaftaran dapat dilakukan ke Iqbal (081802635614) dan Zikrina (085742472246). Pastikan Anda terlibat dan ajak relasi lainnya ya. 

Vivit Nur Arista Putra 

Direktur Eksekutif Pusaka Pendidikan

Jumat, 06 Januari 2012

Mahasiswa Pribadi Terpilih


Dimuat di Suara Merdeka, 5 Januari 2012


Mahasiswa membawa serentetan peran dan tuntutan sebagai konsekuensi logis status. Agen of change, iron stock, dan moral force, adalah tuntutan massa saat berbicara mahasiswa. Ihwal tersebut memang tidak muncul begitu saja, perjalanan sejarah perjuangan mahasiswa telah melahirkan konsep peran itu.

Gerakan mahasiswa masa lampau telah banyak mempengaruhi pengambil kebijakan di negeri ini, bahkan suksesi kepemimpinan 1998 tak lepas dari aksi mahasiswa. Maka tak heran jika mahasiswa di era reformasi dinisbatkan menjadi pilar kelima demokrasi.

Kini, bukanlah hal bijak mengingat masa lampau dan bersembunyi di balik kebesaran status. Sebab, bukan sandangan status yang membuat mahasiswa berarti, tetapi kesadaran terhadap tuntutan dan harapan di balik julukan tersebut yang menentukan (Sudjatmika Dwiatmaja; 2005).

Tantangannya ialah justru datang dari pihak kampus sendiri sebagai arena belajar mahasiswa.

Sekarang perguruan tinggi tak seperti dulu, di masa kini kampus justru menjauhkan mahasiswa dengan realitas. Sebagai contoh kebijakan Sistem Kredit Semester (SKS) adalah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) gaya baru.

Imbasnya mahasiswa menjadi fokus akademik dan berkutat pada teori pelajaran serta berlomba cepat lulus lantaran didera mahalnya biaya perkuliahan per semesternya. Tidak salah memang, tetapi jika sikap ini justru menimbulkan ketikpekaan terhadap kondisi sosial, mahasiswa malah menjadi kelompok rentan yang harus ditolong untuk disadarkan.

Menjadi insan pembelajar adalah keniscayaan. Sebab, mahasiswa harus mencerahkan dirinya sebelum membelajarkan lingkungan. Maka sense of crise pun menjadi karakter wajib dengan realitas sosial menjadi bacaan keseharian dan solusi sosial menjadi tuntutan pemikiran.

Mahasiswa berada pada posisi pengawal dan transformasi nilai. Berpijak dari pikiran inilah mahasiswa harus matang secara spiritualitas, intelektualitas, dan moralitas, sebagai bekal untuk-meminjam istilah Paulo Freire-memberikan kesadaran (contientizacao) yang berorientasi perbaikan umat.

Tuntutan di muka hanya akan menjadi jargon dan retorika kosong, tanpa cara pandang dan paradigma profetik di kepala. Harus dipahami analog mahasiswa faktual segaris sepemaknaan dengan nabi. Jika nabi tercerahkan oleh wahyu, maka mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Mereka adalah the choosen people (pribadi terpilih) yang menggenggam tugas sejarah untuk melakukan perbaikan kehidupan. Begitulah mahasiswa seharusnya, memberikan pencerahan ke khalayak.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman