Kamis, 19 Agustus 2010

Esensi dan Klasifikasi Puasa

Dalam pemaknaan pesan suci Ramadhan... 19 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

 “Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. Al Baqarah: 183). Pesan langit di muka mengandung maksud bahwa puasa adalah perintah imperatif moral agar setiap insan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya (takwa). Berasal dari kata “waqa” yang bermakna memelihara. 

Rumah Pensil Publisher

Said Hawwa menyebut esensi dari puasa ialah melemahkan berbagai kekuatan -hati dan perut- yang dijadikan sarana syetan mengajak orang kembali kepada keburukan. Secara filosofis puasa juga mengandung hikmah untuk membersihkan hati dan harta. Dalam lanjutan ayat di atas dikatakan “Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya. Dan puasamu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al Baqarah:184). Dan ketahuilah “amalah setiap anak Adam pahalanya untuk dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untukKu dan Aku akan memberikan pahala berkali lipat. Puasa adalah benteng, maka jika kalian berpuasa janganlah kalian berkata kotor, janganlah marah, dan jika ada orang yang mencaci maki dan menyerangmu katakanlah, sesungguhnya saya sedang puasa” (H.R. Bukhari-Muslim). 

Dalan riwayat Muslim disebutkan, “di bulan Ramadhan pahala anak Adam akan dilipatgandakan, satu amalan kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat pahala”. Imam Al Ghazali dalam kitab klasiknya Ihya’ Ulumuddin mengklasifikasikan tingkatan puasa setiap manusia ada tiga, yakni puasa umum, puasa khusus, dan puasa super khusus. Adapun puasa umum ialah puasa yang dilakukan mayoritas orang, menahan makan, minum, dan jima’ (bersetubuh). Sedangkan puasa khusus ialah menahan lapar dan dahaga dan menjaga indera tubuh penglihatan, pendengaran, lisan, tangan, kaki dari perbuatan maksiat. Puasa yang khusus lebih khusus lagi yaitu puasa hati dari kehendak hina dan segala fikiran duniawi serta mencegahnya dari memikirkan selain Allah. Puasa hati dari keinginan yang rendah dan fikiran yang tidak berharga. Puasa terakhir ini merupakan level para Nabi, para sahabat, dan muqarrabin. 

Para ulama menyebutnya kita tidak mungkin mecapai tingkatan ini, dan jenjang puasa yang kemungkinan dicapai ialah puasa khusus. Yaitu puasanya orang shalih yang menahan dan menjaga anggotan badannya dari maksiat. Untuk menyempurnakan puasa khusus ada enam perkara yang harus dilalui. Pertama, menundukkan pandangan dari objek yang membuat Allah murka dan benci. Sebab, pandangan adalah busur panah beracun iblis. Dari sanalah mula segala asal muara ucapan dan perilaku. Dan merupakan ujian terberat di tengah keterbukaan akses informasi dan vulgarnya siaran televisi yang menampilkan aksi seronok. Tetapi jikalau dapat menanggulanginya Sang Khalik menghadiahkan pahala setimpal “barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah maka ia telah diberi Allah keimanan yang mendapatkan kelezatannya di dalam hatinya” (H.R. Al Hakim). 

Kedua, menjaga lisan dari gosip, menggungjing orang lain, bualan sia-sia, maupun perkataan nista. Sebab, kesemuanya itu dapat merusak puasa. Jika tak ada topik penting pembicaraan yang disampaikan hendaknya diam atau mengisi waktu luang dengan membaca Al Qur’an. Ketahuilah “barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan. Kebaikan itu sendiri akan berlipat ganda menjadi sepuluh. Tidak aku katakana alif, lam, mim itu satu huruf, tetapi alif satu, lam satu huruf, dan mim satu huruf” kata Nabi yang diabadikan Imam At Tirmidzi. 

Ketiga, menahan pendengaran dari ihwal yang tak disukai Allah. Karena setiap yang diharamkan perkataannya, diharamkan pula pendengarannya. Oleh sebab itu, Allah menyamakan orang yang mendengarkan dengan orang yang memakan barang haram. “Mereka itu adalah orang yang suka mendengar berita bohong, dan banyak memakan yang haram” (Q.S. Al Ma’idah: 42). Keempat, menahan anggota tubuh dari dosa. Said Hawaa dalam bukunya Tazkiyatun Nafs (Mensucikan Jiwa) menerangkan barang yang haram adalah racun yang menghancurkan agama, sedangkan barang halal adalah obat bermanfaat bila dikonsumsi sedikit. Tetapi berbahaya jika terlalu banyak. Sebab tujuan puasa adalah mengurangi makanan halal tersebut. Baginda Nabi bertutur “berapa banyak orang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasannya kecuali lapar dan dahaga” (H.R. Nasa’i dan Ibnu Majah). Maka janganlah berlebihan saat berbuka. Bagaimana dapat mengedalikan hawa nafsu jika saat berbuka memanjakan nafsunya dengan makanan yang banyak. Karena orientasi puasa adalah pengosongan dan penundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa mencapai takwa. Kelima, hendaknya setelah berbuka, hatinya merasa khauf (cemas) dan raja’ (harap). Sebab, ia tidak tahu puasanya diterima atau ditolak. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilaksanakan. Sedangkan penuh harap berperan menumbuhkan optimism untuk menjalani puasa berikutnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Pondok Pesantren Takwinul Muballighin.

Tidak ada komentar: