Sabtu, 02 Januari 2021

Cerita Kami Merawat Ibu (Divonis Covid 19)

 

Ibu terkasih

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

“Selamat hari Ibu ya Buk. Semoga sehat selalu. Mohon doakan kami selalu ya.”

 Demikian pesan yang saya kirimkan ke Ibu pada Selasa, 22 Desember 2020 bertepatan Hari Ibu. Lama tidak direspon, setelah saya cek ternyata WA aktif terakhir pada hari Sabtu. Sore harinya, Agung memberi tahu saya via WA. Bahwa Bapak beserta adik saya Widi, Beta, Agung, dan keponakan saya Naira (2 tahun) membawa Ibu ke Rumah Sakit Islam (RSI) Magelang. Seusai diperiksa di sana, malah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Magelang. Saat dirawat di sana pada malam itu dilakukan rapid test dan hasilnya reaktif. Lalu Ibu dibawa ke ruang isolasi. Di sana berkumpul dengan pasien reaktif lainnya. Esok harinya Rabu, 23 Desember 2020 Ibu menjalani tes swab. Saya sempat khawatir karena Ibu punya komorbid (penyakit bawaan) diabetes. Selama di Jogja, saya selalu berkirim pesan via WA dan menelfon orang tua, mengingatkan agar Bapak dan Ibu makan tepat waktu dan istirahat yang cukup agar imunitas tubuh terjaga. Terdengar ditelfon suara Ibu batuk-batuk. Saya tak kuat.

Ibu saya adalah pensiunan PNS guru golongan IV B. Seharusnya dibawa ke ruang kelas I. Tetapi karena penuh, maka Ibu harus menunggu. Akhirnya pada Kamis, 24 Desember 2020 jam 12 malam Ibu dilarikan ke wisma Dewi Ratih nomor E1. Pada Jumat malam saya datang ke RSJ Magelang. Adik saya Agung sempat menunjukan lokasi kamar Ibu dari belakang. Kami melihat dari celah jendela, Ibu dan Bapak sudah terlelap di sana. Sebenarnya aturan rumah sakit, setiap pasien dengan hasil reaktif tidak boleh didampingi keluarga. Tetapi karena kondisi Ibu, Bapak memutuskan untuk tetap bersama. Itu pun dengan syarat tidak boleh keluar masuk kamar dan pasien tidak boleh dibesuk. Maka saya dan adik bergantian di ruang tunggu, jika sewaktu-waktu Bapak dan Ibu butuh sesuatu. Jika keluarga ingin mengirim apapun, harus melalui satpam yang jaga di depan wisma.


Sabtu pagi jam 5.30 saya mengirim mangga tanpa perantara penjaga. Melewati bagian selatan wisma Dewi Ratih, karena saya ingin melihat kondisi Ibu secara langsung. Mangga diterima Bapak, saya lihat Ibu masih istirahat. Satu bulan terakhir jika pulang ke Secang, saya selalu membelikan mangga, pir, dan air zam-zam untuk Bapak dan Ibu. Tiga jam kemudian Bapak telfon, bahwa Ibu ingin minum sari kedelai. Saya pun membelikan di mini market RSJ. Sekalian saya isikan air panas dalam termos. Setelah memberikan pesanan melalui teralis jendela, saya sempat menyapa Ibu sembari melambaikan tangan.

“Buk……”

“Doakan Ibu ya Mas… “

Demikian pintanya.

Saya sempat memfotonya. Segera saya pergi karena tak kuat melihatnya. Air mata saya mau tumpah. Terlihat Ibu bernafas tersengal-sengal dengan bantuan alat pernafasan. Pertanda saturnasi oksigennya menurun drastis.

Bakda luhur Ibu minta dibelikan pampers. Saya pun mematuhinya. Setelah semua kebutuhan Ibu saya penuhi, saya makan siang di utara RSJ. Sempat sejenak di sana karena hujan lebat. Usai reda, saya menuju masjid RSJ untuk shalat ashar dan banyak berdoa untuk kesembuhan Ibu. Menit cepat berlalu, selesai adzan maghrib saya mendapat pesan dari adik saya Agung Satriawan bahwa perawat mau bertemu. Saya pun pergi ke wisma Dewi Ratih dan bertemu dengan Bu Siska. Seorang tenaga kesehatan (Nakes) yang saat itu terjadwal mengurus ibu saya. Kami berbincang sebentar tentang perkembangan Ibu. Nakes Siska menjelaskan saturnasi oksigen Ibu menurun, dan hendak memasang ventilator lainnya yang diimpor dari Swiss. Saya pun mengiyakannya. Bu Siska tipikal Nakes yang memahami psikologi keluarga pasien. Bicaranya jelas, penuh empati, dan berusaha menguatkan saya. Karena saya tidak mendampingi Ibu sejak awal, saya dijelaskan kronologi Ibu masuk, keluhan, dan kondisi terkini.

AIRVO2 Alat Pernafasan Produk Swiss


Lalu Nakes Siska menguraikan hasil laboratorium di Salatiga,

“Ibu Siti Fathonah (61 tahun) positif covid-19 Mas…” (sambil menunjukan file laporan analisa epidemologis di Salatiga).

Saya tak percaya, dan melihat berulang-kali daftar nama di tab nya. Jika tak salah dari 30 an daftar nama, ada 6-7 orang yang negatif covid-19. Qadarullah, Ibu termasuk yang positif. Sempat tidak percaya Ibu kena covid-19. Jika benar lalu dari mana Ibu tertular?. Apakah dari keluarga terdekat? Sepekan silam ada dua kegiatan yang mengundang massa. Senin, 14 Desember 2020 Mbah Kakung kami, Sastro Kabul (84 tahun) meninggal. Hari berikutnya hingga Jumat, Ibu banyak menemui tamu yang melayat. Hari Sabtu, Ibu hadir di acara nikahan tetangga pukul 8 dan pulang pukul 11 siang. Saya tidak mau menyalahkan siapapun, semuanya telah terjadi. Beta bercerita, hari Senin Ibu sempat diantar periksa ke Pakdhe Hadi di Soropadan. Di sana Ibu bertemu dengan orang yang ‘telah dinyatakan sembuh dari covid-19’, beliau tidak pakai masker dan bersalaman dengan Ibu. Saat hendak cuci tangan kran airnya mati, tapi Beta menggantinya dengan hand sanitizer. Ah, fikiran saya jadi ke mana-mana. Ampuni kami yang sering su’udzan Ya Allah. Besok Selasa bakda ashar, barulah Ibu dibawa ke rumah sakit.

“Saat masuk Ibu mengeluhkan sesak nafas dan batuk-batuk Mas,” lanjut Nakes Siska. “Saturnasi oksigennya 85, kemudian turun menjadi 55, hari berikutnya 65. Padahal untuk orang normal 95, tanpa bantuan alat pernafasan. Mohon keluarga siap lahir dan batin untuk menghadapi kemungkinan terburuk.”

“Apa yang harus saya lakukan Bu. Bisakah saya cari pendonor plasma kovalesen, karena saya pernah baca ada yang sembuh menggunakan itu.”

“Saturnasi oksigen Ibu menurun Mas. Yang dibutuh Ibu sekarang adalah oksigen agar tubuh bisa terus bertahan. Penggunaan plasma kovalesen harus atas persetujuan dokter. Setahu saya, dokter di sini tidak menggunakannya karena hasilnya yang tidak berpengaruh besar. Kelihatannya yang melakukannya adalah Rumah Sakit Sardjito. Itu pun kalau dibawa ke sana riskan. Jika alat pernafasan bergeser sedikit bisa gagal nafas dan detak jantung berhenti.”

Saya terdiam lama…

Sedikit aneh mendengarnya. Sebab banyak kasus pasien covid-19 yang sembuh usai diberi plasma kovalesen dari mantan pasien covid-19. Bossman Mardigu Wowiejk contohnya. Saat tampil di Podcast Dedy Corbuzier, bisnisman ini mengampanyekan penggunaan plasma kovalesen. Jenderal Andika Perkasa pun menantang prajuritnya yang sembuh dari covid-19, untuk donor plasma. Jika muncul banyak kesadaran dari mantan penderita covid-19 untuk donor plasma, insyaallah banyak orang yang tertolong. Mengurangi beban rumah sakit menangani pasien. Bahkan industri farmasi dan perusahaan vaksin yang meraup untung dari adanya wabah ini, akan gulung tikar.

Tiba-tiba Bapak menelfon dan meminta, “Ibu dibawa pulang saja ya Mas…”

Saya bilang jangan Pak, Ibu tetap dirawat RSJ. Lalu HP saya matikan.

Pikiran saya kalut, sedih, dan segera saya kirim WA pada Bapak yang menemani Ibu, mengabarkan bahwa Ibu positif covid-19.

“Mohon Bapak dan Ibu tetap tenang agar imunitas tubuh tidak menurun.”

Rampung shalat maghrib, saya bersama Agung kembali menemui Nakes Siska. Kemudian beliau mengenalkan kami dengan seorang dokter. Jika tak salah dengar, dokter Stefi namanya. Dokter berparas tionghoa ini berperan sebagai dokter jaga. Qadarullah wa masyaafa’ala dokter spesialis paru-paru yang mengurus pasien wisma Dewi Ratih sedang libur karena bertepatan natal dan cuti akhir pekan.

Dokter Stefi menjelaskan keadaan Ibu sedang kritis. Kembali saya mengusulkan, bagaimana kalau saya cari pendonor plasma kovalesen. Beliau menerangkan, itu tidak bisa diterapkan pada kondisi Ibu seperti ini. Ketika dokter berkata, “Ibu kondisinya kritis. Mohon keluarga untuk banyak berdoa.” Saya menangkap pesan bahwa umur Ibu tidak lama lagi. Bahkan Nakes Siska, bercerita “saya telah bekerja sebagai tenaga kesehatan sejak 2007 Mas. Tahun ini adalah tantangan yang paling berat bagi setiap Nakes. Pengalaman kami mengurus pasien dengan komorbid diabetes, jantung, penyakit paru-paru, kalau terkena covid-19, kondisi kesehatannya akan terus menurun.” Keterangan itu membuat kami terdiam dan mengerti apa yang sebentar lagi akan terjadi.

“Nanti jika Ibu dipanggil gusti Allah Mas. Mohon keluarga siap lahir batin untuk menerima itu. Pemandian, pemulasaran, dan pemakaman jenazah akan dilakukan dengan protokol covid-19. Kami memiliki tim yang akan mengurusnya. Jenazah putri diurus putri. Putra diurus putra” ujar Nakes Siska. Perawat ini juga menerangkan akan segera menghubungi dinas kesehatan setempat dan Puskesmas Secang untuk mengurus pemakaman.

Malam itu saya pulang bermaksud mengabari adik saya Beta, bahwa Ibu divonis covid-19. Sambil membawa pakaian kotor Ibu, saya bergegas masuk rumah merendamnya. Beberapa detik berselang saya menerima WA dari Agung,

“Assalamualaikum. Tepat jam 20.41 WIB. Ibu kita tersayang dipanggil Allah Mas. Semoga kita kuat. Aamiin. Agung sayang Ibu.”

Saya terhentak. Sembari mengucap kalimat istirja’ dan berdoa Allahumma firlaha warhamha waafihi wakfuanha. Sejurus kemudian saya menyampaikan ke Beta, bahwa Ibu divonis positif covid-19 dan baru saja meninggal. Tangis kami pecah. Segera saya berkomunikasi dengan tokoh masyarakat, Pak Bayan, untuk mengurus pemakaman besok dengan protokol covid-19 dan mengedukasi warga. Jamak kita tahu bahwa keluarga penyintas covid-19 memperoleh sanksi sosial. Wabah ini memang membuat hubungan kita sesama manusia menjadi renggang. Komunikasi, edukasi, dan peduli adalah kunci dalam upaya saling menguatkan demi melalui musibah ini.

Saya menemui Pak Nasikhun Amin untuk mengabarkan bahwa Ibu saya kembali ke haribaan Allah. Sekaligus meminta tolong beliau untuk mengedukasi masyarakat besok bakda subuh dan malamnya memimpin tahlilan di mushola Al Muawanah. Kemudian saya dan Pak Ikun menuju ke tempat Pak Bayan untuk mengatur prosesi pemakaman esok. Kedua paman saya ternyata sudah tiba di sana. Pak Bayan berkomunikasi dengan koramil TNI dan Puskesmas Secang untuk acara penguburan. Kami memutuskan besok, karena malam telah larut. Hasil musyawarah tersebut saya sampaikan ke Agung yang bermalam di RSJ bersama Bapak dan Widi. Setiap ada pasien covid-19 yang wafat, RSJ Magelang langsung menginformasikan ke dinas kesehatan Kabupaten Magelang, Koramil, dan Puskesmas setempat. Malam itu ada 2 orang dari Secang yang meninggal, saya tidak tahu yang satunya.

Pemandangan Pilu. Bapak menunggu jenazah Ibu.


Adapun Beta, Paklek, Bulek, dan adik-adik sepupu malam itu shalat ghaib dan membaca Yasin karena jenazah tidak akan mampir ke rumah. Saya masih harus ke RSJ lagi untuk membawakan buku Yasin dan berembug agenda pemulasaran besok. Pukul 12 malam lebih saya sampai rumah. Badan letih dan saya bermaksud untuk istirahat. Terbayang wajah Ibu saat mengasuh saya di kala kecil, tutur katanya, senyumnya menyaksikan saya wisuda, tangisnya melihat saya gagal, cerianya merayakan syukuran milad saya, berfoto wisuda bersama saya, juga menaruh harapan lain yang belum saya tunaikan. Sekelabat mesin waktu memutar ragam kenangan bersama Ibu. Benar kata para shalihin. Sejatinya yang membuat sedih bukan kehilangan raganya. Tetapi pintu surga dari jalur berbakti kepada Ibu telah tertutup. Masih ada pintu surga yang lainnya. Semoga kita termasuk anak sholih dan sholihah yang senantiasa berbakti pada orang tua.

Bapak membaca Yasin dan tahlil 


Subuh telah tiba. Minggu, 27 Desember 2020. Mungkin akan menjadi hari yang saya kenang. Sosok yang melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik saya telah berpulang pada Yang Menciptakan. Seusai shalat subuh, saya berdzikir, dan mengirim Yasin kepada Ibu. Mematuhi sabda Nabi, “sesiapa membaca Yasin di waktu subuh akan dikabulkan hajatnya.” Keinginan saya dan keluarga agar Ibu dijauhkan dari adzab kubur dan siksa neraka. Semoga Ibu diterima Allah ta’ala, setiap amal baiknya dan ditempatkan pada firdaus al a’la.

Tuntas berdoa saya langsung berkoordinasi dengan paklek dan tetangga yang membantu menggali kubur. Kami membicarakan ukuran makam. Warga menggali tanah dengan panjang 2,3 meter dan lebar 1,3 meter. Tak lupa Pak Medi membelikan tambang untuk menurunkan peti mayat. Mas Adi Soropadan yang berpengalaman mengebumikan jenazah pasien covid-19 di Temanggung hadir turut membantu. Datanglah baju hazmat, sarung tangan, masker, dan sepatu boots persembahan dari pemerintah desa. Adik-adik Ibu dari Soropadan dan Nguwet, Temanggung berdatangan. Pukul 10 pagi kami rombongan menuju tempat pemakaman umum RT 9 Mirikerep. Kebijakan pemerintah kabupaten Magelang menyerahkan pemakaman penyintas covid-19 pada warga setempat. Hal ini berbeda dengan sikap pemerintah kota Magelang yang memusatkannya di pemakaman Giriloyo.

Pak Medi (adik Ibu) memakai APD membantu mengubur Ibu


Sampai di sana sudah hadir Bapak Babinsa dari Koramil TNI dan Pak Bayan. Disusul 2 polisi tegap. Makam telah siap, saya pun menfotonya untuk dikirim ke Agung yang siaga di RSJ. Malangnya RSJ belum mau mengirim jenazah sebelum petugas Puskesmas Secang hadir di sana. Kami harus menunggu 30 menit lebih pegawai Puskesmas yang lambat tiba. Konon di tempat lain, jika petugas Puskesmas datang duluan dan semuanya belum siap. Mereka akan memarahi warga dan keluarga. Kasus keluarga kami sebaliknya. Akhirnya yang dinanti terpenuhi. Utusan Puskesmas 2 perempuan hadir tanpa memakai APD. Padahal maksud RSJ, yang membantu memasukan jenazah ialah orang Puskesmas ber APD lengkap. Terjadilah gagal paham. Alhamdulillah jenazah Ibu bisa dikirim menggunakan mobil ambulance biru. Hanya ada seorang sopir ber APD dan Bapak di kursi depan. Agung dan Widi memakai mobil lain di belakang. Kami bertujuh menyambutnya. Ketiga paman saya pakai baju hazmat macam astronot. Adapun saya, Mas Adi, Pak Yatno tanpa baju hazmat (karena baju APD yang dikirim hanya 3). Namun kami bermasker, bersarung tangan, dan bersepatu. Sepupu kita, Zakaria berperan menyemprot disinfektan semaunya.

Paman turut serta memakamkan Ibu


            Kami berenam menggotong peti Ibu. Rangkaian tahlil dan shalawat terucap dari mulut kami. Disaksikan sedikit warga sekitar dari kejauhan. Sesampai di makam, kami menyangga peti Ibu dengan dua bambu. Saya fikir Pak Babin, 2 Polisi, dan 2 Ibu-ibu Puskesmas datang untuk membantu memasukan peti Ibu ke liang lahat. Ternyata mereka hanya menonton. Mereka memposisikan diri sebagai surveyor upacara kematian berprotokol covid-19. Hanya kami sekeluarga yang mengebumikan peti Ibu memakai tambang. Setelah itu, saya azan untuk Ibu. Tangis saya tak tertahan. Ini kali pertama saya mengazani mayit. Dan mayit itu adalah Ibu saya sendiri. Kami memasukan tanah perlahan. Menatanya layaknya makam. Di samping gundukan tanah itu, Bapak tampak lelah. Matanya sembab. Berikutnya sebagai suami, beliau memimpin tahlil di atas pusara istrinya. Di sisi lain, yang menggembirakan adalah kabar dari Rasulullah, “ketahuilah orang yang mati syahid ada 5 yaitu; orang yang mati karena tha’un (wabah), orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati tertimpa reruntuhan, dan orang yang syahid di jalan Allah” (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah). Menurut ulama fikih, tha’un adalah wabah yang menyebar luas dan menimbulkan kematian. Maka sesiapa yang mati karenanya adalah syahid. Semoga Ibu saya termasuk di dalamnya. Aamiin.

Kepada Pak Bayan, Pak Ikun, tokoh masyarakat, dan warga Mirikerep RT 9 yang membantu prosesi pemakaman Ibu saya. Juga membacakan Yasin dan tahlil hingga hari ke tujuh. Kami sekeluarga mengucapkan jazzakallahu khair (semoga Allah membalas dengan kebaikan) atas berbagai jerih payah Bapak dan Ibu sekalian.

 

Vivit, Beta, Widi, Agung, Catur, Naira

Anak Cucumu yang senantiasa mendoakanmu

 

Tidak ada komentar: