Senin, 02 Agustus 2010

Tradisikan Menulis, Lawan Copy Paste

Dimuat di Koran Merapi, Rubrik Nguda Rasa, 2 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Peter F. Drucker dalam bukunya Masyarakat Pascakapitalis mengatakan faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru (baca komunitas kampus), bukanlah sumber ekonomi dasar yang dijadikan modal (kapital), sumber daya alam tak selamanya menjadi andalan, bukan pula banyaknya tenaga kerja, melainkan pengetahuan. Begitu mulianya orang berilmu sampai-sampai banyak orang ingin mendapatkannya secara instan. Beberapa bulan lampau tercatat seorang calon guru besar di Parahyangan, Bandung, dan dua dosen universitas swasta di Jogja yang memalsu tesisnya dengan mengkloning pokok pikiran mahasiswa S-1. 

Selain itu, data yang dilansir sejumlah media massa memberi warta sebanyak 1082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan "guru profesional”. Maraknya aksi pemalsuan karya ini bermotif agar pelaku dinominasikan orang yang kredibel, berilmu, sehingga dikata pantas dihargai secara sosial dan tunjangan finansial. Malangnya, insan akademik yang hendak memperoleh julukan guru besar ini justru bertindak lebay atau melampaui batas dalam meraih titelnya tanpa melalui prosedur ilmiah. Kondisi ini membuat sebagian khalayak meragukan kapasitas seorang profesor di dunia kampus. Bahkan ihwal ini sempat dilontarkan menteri pendidikan Muhammad Nuh yang sedikit sanksi akan kualitas penyandang gelar doktor di Indonesia. Dugaan Mendiknas ini bukan tak berdasar. Minimnya penelitian dan karya berwujud buku atau karya tulis yang dihasilkan sekaliber guru besar, merupakan salah satu bukti pudarnya tradisi ilmiah intelektual kampus. Mau tidak mau harus dimafhumi rentetan insiden pendidikan di muka memberikan wajah buruk bagi intelektualitas kampus. 

Rumah Pensil Publisher

Perguruan tinggi yang menurut mandatnya diamanahi mengemban tridharma yakni dharma pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat belumlah melaksanakan sepenuhnya. Dua aktivitas terakhir amatlah jarang dilakukan para dosen. Jika meneliti dan mencerahkan masyarakat saja alpa diupayakan, ini mengindikasikan minimnya kepekaan sosial serta kurangnya kepedulian terhadap nasib dan problem keummatan. Jika sense of careness saja tidak mencuat dalam benaknya, tidaklah mungkin keluar sikap memecahkan duduk persoalan. Tradisi plagiarisme sama dengan mencuri. Budaya buruk ini mengakibatkan suatu bangsa malas berfikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai orisinalitas, kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa (Rhenald Khasali; 2010). Pernyataan guru besar manajemen UI tersebut adalah sindiran telak akan maraknya aksi penjiplakan karya dewasa ini. Malangnya duplikat karya itu dilakukan di lingkungan akademik oleh dosen dan mahasiswa yang seharusnya menghalau kebiasaan buruk ini. 

Jika diusut, ada beragam sebab yang membuat civitas akademika berpikir pragmatis dan mengharapkan hasil karya serbainstan atau siap saji. Pertama, Undang-undang Guru dan Dosen No.14/ 2005 menawarkan iming-iming berupa tunjangan struktural dan fungsional bagi seorang guru besar menjadikan setiap dosen ngebet meraihnya. Orientasi kompensasi berlebih ini kadang kala mengabaikan sisi kompetensi yang seyogianya dikuasai sebagai prasyarat awalnya. Maka tak heran, dosen setingkat magister ingin segera naik level agar eksistensi atau keberadaannya di lingkungan sosial dan tambahan finansial segera diakui. Konstruksi arah pikiran seperti ini berdampak pada sikap dan tindakan pragmatis yakni mencomot persis gugus gagasan orang lain. Hal ini semakin dipermudah dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi yang melicinkan akses kerja seseorang. Ditambah lagi, kurang telitinya penguji dalam mengoreksi hasil garapan skripsi atau disertasi pendidik, tentu perkara ini membuka celah untuk memplagiat. 

Kedua, tidak tegasnya otoritas dalam menjerat kasus penjiplakan membuat plagiator beraksi leluasa tanpa efek jera. Padahal, UU No. 19/ 2002 Pasal 72 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, dan menjual kepada umum suatu ciptaaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta diancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta. Kendati kaidah hukumnya gamblang sebagaimana dipaparkan di muka, akan tetapi seakan-akan pemerintah dihadapkan pada dilema. Di satu sisi pemerintah harus bertindak tegas dengan menghentikan atau mencopot gelar yang diembannya. Di termin lain, institusi pendidikan masih membutuhkan kontribusi pendidik dan dosen bersangkutan karena minimnya tenaga pengajar yang pakar. Jika demikian, tak pantaslah sarjana, doktor, dan profesor disebut seorang intelektual. Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. 

Akhirnya patutlah kita mengejek mereka layaknya jargon iklan rokok. Pengin eksis, jangan lebay plis! Akan tetapi insiden di muka tidak dapat dijadikan premis argumen matinya intelektualitas kampus? Pasalnya, tradisi ilmiah seperti forum diskusi, seminar, maupun pengajaran masih sering dijumpai. Persoalannya adalah ketidakmauan mengabadikan kesimpulan dan mengapungnya ide di ruang ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan. Tentu beragam sebab telah jamak diketahui, mulai dari majunya teknologi yang memudahkan budaya copy-paste, jarang membaca dan menelaah literatur, hingga ada yang menyatakan menulis adalah bakat khusus yang dimiliki seseorang. Sehingga ia urung untuk menulis. Cara pandang demikian perlu dirubah. Karena menulis hanya membutuhkan kemauan dan kegigihan untuk terus mencoba. Bayangkan jika kita merekam menggunakan recorder apa yang disampaikan dalam ruang kuliah, forum curah pendapat, kemudian mendengarkan kembali dan menuliskannya bukankah sudah tiga kali belajar. Sebab dengan menulis dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang tidak didapat dari membaca dan mendengar. Bahkan Bobby de Potter menjadikan menulis sebagai salah satu indikator keberhasilah hidup. Menjadi pertanyaan bagaimana mentradisikan menulis. Pertanyaan ini akan susah dijawab jika anda tidak segera menulis. 

Budaya plagiat dapat dilawan dengan membangun kebiasaan menulis. Tentu kemampuan menulis ini harus sebanding dengan apresiasi yang diberikan pihak perguruan tinggi seperti memberikan beasiswa bagi mahasiswa dan dosen yang mengabadikan fikirannya dalam wujud tulisan dan karyanya dimuat di media massa. Atau pihak rektorat dapat memberikan honorarium tambahan. Kiat ini dapat memantik mahasiswa maupun dosen agar terus menulis. Tentu tidak selamanya seorang penulis dihargai dalam bentuk materi. Keinginan untuk menyebarkan pemikiran dan menciptakan perbaikan melalui tulisan patut ditanamkan. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Tidak ada komentar: