Jumat, 01 Oktober 2010

Sejarah Berkata Yogyakarta Istimewa

Dimuat di Wacana, Bernas Jogja, 1 Oktober 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Minggu, 5 September 2010 kawula (masyarakat) Yogyakarta mengadakan upacara “sehari tanpa Indonesia”. Demikian harian lokal memuatnya dicover depan. Cukup beralasan memang, sebab seremonial tersebut dilangsungkan menggunakan bahasa Jawa dan tanpa mengibarkan sangkakala merah putih. Justru bendera kraton mengudara di sana. Massa aksi yang memakai pakaian tradional ini menuntut pemerintah pusat untuk segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dan meratifikasinya. Pasalnya dua tahun terakhir RUU Keistimewaan selalu terkatung-katung dan tak ada hasil kendati sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas). 


Hal inilah yang membuat Sri Sultan Hamengkubuwono X gerah dan menantang pemerintah pusat untuk melakukan referendum. Sebagai orang Jawa tulen, Sri Sultan tentu merasa pekewuh (tidak enak hati) jika terlalu menuntut penetapan, sebab akan menimbulkan kesan publik Sri Sultan meminta-minta jabatan. Tetapi jika tidak segera diselesaikan sampai periode kepemimpinannya berakhir, status Yogyakarta menjadi hambar. Maka publiklah yang harus bersuara menuntut pengesahan RUUK Yogyakarta. Persoalannya berkutat pada bagaimana suksesi kepemimpinan di pemerintahan daerah. Jika Yogyakarta dinisbatkan menjadi daerah istimewa, maka presiden RI akan menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai simbol penguasa lokal dengan masa jabatan seumur hidup. Sebagaimana yang telah diemban Hamengkubuwono IX (1945-1998). Tetapi jika Yogyakarta bukan dikategorikan daerah istimewa artinya proses penentuan pemimpin daerah dilakukan secara demokratis melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Di mana masing-masing partai politik dapat mengusung orang di luar kraton yang akan dicalonkan untuk menduduki posisi gubernur. 

Jika kenyataannya opsi kedua yang terjadi. Artinya pemerintah republik Indonesia buta sejarah dan tidak menghargai lagi peran historis Yogyakarta yang membuatnya didaulat menjadi daerah istimewa. Catatan sejarah menunjukkan Yogyakarta adalah teritorial yang memiliki otoritas khusus semenjak 250 tahun silam. M.C. Ricklefs dalam bukunya Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1729-1949 A History Division of Java mengisahkan sejak Belanda melakukan invasi ke tanah Jawa dan turut campur tangan terhadap kerajaan Jawa melalui serikat dagangnya VOC. Maka dibuatlah perjanjian Giyanti (13 Febuari 1755/Ba’da Mulud 1680) untuk meredam pengaruh luas Belanda. Hasilnya kemudian Raden Sujana atau pangeran Haryo Mangkubumi mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1755 di mana dalam hukum kolonial wilayah Yogyakarta dikategorikan Vorstenlanden (daerah kerajaan). Konsekuensi logisnya adalah adanya beberapa perbedaan hukum dan politik dengan wilayah pemerintahan kolonial Belanda lainnya (Ricklefs, 1974). Kerajaan ini berlangsung turun temurun hingga kini dibawah kekuasaan Hamengkubuwono X yang sekaligus menjadi gubernur DIY. 

Pada akhir perang dunia II Belanda meninggalkan Indonesia dan diganti penjajahan Jepang. Tahun 1941 tentara negeri Samurai merangsek masuk Yogyakarta dengan menistakan pemerintahan lokal dan terkesan mengadu domba pemerintahan Pakualaman dan Kasultanan. Pada saat itulah Pakualam VIII memutuskan bergabung kembali dengan Kasultanan. Hingga suatu ketika kedua pemimpin tersebut mendengar warta proklamasi kemerdekaan RI, kemudian menyampaikan surat kawat (telegram) kepada Presiden Soekarno yang dikenal dengan maklumat 5 September 1945 yang memutuskan Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat bergabung dengan pemerintah Indonesia. 

Adapun isinya ialah Pertama; Bahwa Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia. Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga; bahwa perhubungan antara Negeri Yogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kami bertanggungjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia (PK. Haryasudirja dan Sentanoe Kertonegoro). Pernyataan sikap di muka menegaskan bahwa Yogyakarta, pertama bersifat monarki. 

Kedua, kekuasaan sultan atas teritorial dan lembaga pemerintahan di dalamnya. Ketiga, akuntabilitas pengelolaan otoritas khusus langsung kepada Presiden dan tetap dalam kesatuan NKRI. Menerima permintaan ini, Soekarno merasa terharu dan sebagai tanda balas jasa, presiden pertama ini memberikan piagam pengakuan kekuasaan daerah istimewa Yogyakarta kepada Hamengkubuwono IX yang diterimanya 6 September 1945. Jika ditelisik lebih jauh latar Yogyakarta disebut daerah istimewa ialah sebagai tempat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebab, pasca RI dideklarasikan di Jakarta, ibukota menjadi tidak aman karena mendapat serbuan Belanda yang akan menjajah ulang Indonesia. 

Melihat hal ini, Hamengkubuwono IX mengusulkan kepada Soekarno agar ibukota negara dipindah ke Yogyakarta untuk menjalankan pemerintahan (1945-1950). Di sinilah Yogyakarta berperan sebagai motor penggerak perjuangan dan revolusi kemerdekaan. Di kota ini menjadi ajang pertempuran fisik 6 hari pada 1 Maret 1949. Dan nonfisik melalui perjuangan diplomasi untuk mengurai konflik RI-Belanda seperti konferensi tiga negara (KTN) dan berhasil dituntaskan dalam konferensi meja bundar di Den Haag 1949 dengan menjadikan Yogyakarta sebagai sentral juangnya. Perkembangan politik kontemporer, setelah penetapan Hamengkubuwono X dalam sidang rakyat tahun 1999 yang diulangi 2004 dan 2009. Kini pembahasan Yogyakarta menjadi daerah istimewa secara de jure atau legalitas formal yuridis terkatung-katung dan terkesan lambat oleh anggota parlemen. 

Menurut penulis kawula Yogyakarta terkesan merendah jika terlalu menuntut RUU ini segera diratifikasi. Karena secara de facto Yogyakarta murni istimewa, apalagi jika ditambah dengan perannya membantu mempertahankan kedaulatan NKRI. Anggota dewan perlu memandang dari kacamata historis sebagai pertimbangan perumusan RUU keistimewaan. Begitupun dengan rakyat Yogyakarta harus faham laku sejarah di kotanya dan membentuk gerakan massa untuk mendesak pemerintah RI menuntaskannya. Kendati sebenarnya tuntutan kawula (rakyat) kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini agaknya terlalu rendah. Sebab, tanpa legal formal yuridis Yogyakarta tetaplah istimewa. Dan catatan sejarah telah membuktikannya. Terlepas dari ihwal di muka makna keistimewaan janganlah selalu mengacu pada teks historis belaka. Keistimewaan dapat ditonjolkan melalui prestasi di dunia pendidikan, laku santun warganya, dan melestarikan tradisi budaya warisan leluhur. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Tidak ada komentar: