Rabu, 20 Oktober 2010

Mengurai Loyalitas Ekstrem Kesukuan

Dimuat di Akademia KOMPAS Jogja, 8 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Beberapa pekan terakhir jalinan kehidupan berbangsa dan bernegara terecoki konflik. Kasus teranyar, konflik antaretnis di Tarakan dan kerusuhan antarkomunitas di Jakarta menuai sorotan publik sepekan terakhir. Ini adalah kres lintas entis ketiga kalinya di pulau Borneo. Sebelumnya kita masih ingat konflik “segitiga” suku antara etnik Dayak dan Melayu versus Madura di Sambas, Kalimantan Barat. Serta konflik Sampit, Kalimantan Tengah antara Madura melawan Dayak satu dekade silam.

Khalayak menyaksikan di layar kaca, tampak huru-hara antarkubu berlangsung leluasa tanpa intervensi aparat. Seakan hubungan warga negara (citizenship) dan negara ada jarak (gap) dan sama-sama “terasing” atau “mengasingkan diri”. Dan layaknya film di televisi, konflik diredakan dengan cara-cara konvensional. Seperti polisi datang hanya berperan sebagai “pemadam kebakaran” bahkan represif untuk menghentikan bentrokan, melalui jalur pengadilan untuk memecahkan masalah, bahkan perjanjian perdamaian telah dilakukan untuk mengahiri keos. 


Di permukaan, memang problem konflik tampak usai. Tetapi, kasus di muka akan meletup ulang jika rasa dendam tersisa dan asal muasal masalah tidak diurai. Oleh sebab itu, perlunya mengkaji persoalan mendasar yang menjadi pangkal gejolak pertempuran. Menurut penulis ada pelbagai problematika yang melatarinya. Pertama, fenomena kerusuhan massal yang terjadi dalam rentang waktu relatif singkat di beberapa daerah disebabkan munculnya frustasi sosial di masyarakat lantaran tak mampu memecahkan pokok persoalan. Rebutan lahan parkir di Ibukota dan perkelahian remaja di Tarakan menjadi pemicu menyulutnya api konflik dua kelompok. 

Di termin lain, pemerintah tak mampu melindungi hak-hak warganya untuk mendapatkan rasa aman dan kesejahteraan. Padahal menurut John Locke, legitimasi kekuasaan negara ditentukan seberapa besar perannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Buruknya manajemen pemerintah berdampak pada lemahnya pelayanan publik, khususnya alokasi ekonomi yang tidak merata. Imbasnya memunculkan urbanisasi di daerah Jawa dan Sulawesi yang secara demografi mengalami kepadatan penduduk dan menyebar ke wilayah pelosok negeri. Terkhusus di Tarakan, yang notabene termasuk daerah berinflasi tinggi di Indonesia dan dihuni warga beragam etnis seperti Tidung (suku asli), Bugis, Jawa, NTT, Banjar dan sebagainya. Kenyataannya, dari segi sosial warga pendatang ternyata lebih survive yang mampu menguasai sektor ekonomi setempat. Ihwal inilah yang kemudian mencuatkan penyakit iri sosial.

Ini pertanda, meleburnya sentralisasi menjadi desentralisasi dengan kewenangan lebih gagal dan tak mampu memakmurkan rakyat. Bahkan wakil ketua DPD RI, Laode Ida mengatakan, manajemen otonomi daerah sekarang lebih berbasis pada kepentingan politik yang sarat orientasi pragmatis, terutama jabatan dan materi tanpa peduli dengan masyarakat lokal. Kedua, jika dikaitkan dengan gagasan Hakimul Ikhwan (Sosiolog UGM) persoalan di atas diperparah dengan rasa solidaritas yang masih sangat partikularistik dan tradisional primordial. Gejala ini ditandai dengan melihat orang luar (di luar kelompok) sebagai ancaman. Trust atau kepercayaan hanya mungkin dalam konteks relasi yang sangat sempit dan terbatas. Kepercayaan dan sikap solidaritas sulit sekali dibangun dengan relasi lintas komunitas. Akibatnya jabatan dan fasilitas publik dikelola dengan frame kekeluargaan, partikularistik yang dapat memantik kedengkian dan keonaran sosial. Hal ini diperparah jika tidak ada figur sentral kharismatik yang memperkuat konsolidasi warga sipil.

Jika chauvinisme (fanatisme terhadap suku) dan etno-nasionalisme semakin menguat, perkara ini akan menjadi faktor disintegrasi berbahaya. Negara harus cekatan bertindak untuk memutus loyalitas ekstrem terhadap suku dengan membentuk norma bersama tanpa menghapus jati diri etnis di tengah Pancasila yang tak lagi sakti.

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: