Sabtu, 15 Januari 2011

Menyoal Hak Menyatakan Pendapat

Dimuat di Lampung Post, 26 Januari 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pascaamar keputusan Mahkamah Konstitusi yang menerima uji materi Pasal 184 ayat (4) UU 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang mengatur syarat kuorum hak menyatakan pendapat dari tiga per empat anggota DPR menjadi dua per tiga memunculkan beragam tanggapan. Kendati hal ini tidak selalu linear dengan pemakzulan presiden tetapi dapat merupakan merupakan pintu gerbang untuk menuju ke sana. Pada dasarnya DPR selaku pengawas pemerintah memiliki tiga hak dalam mengontrol berjalannya eksekutif. Pertama, hak interpelasi atau hak bertanya kepada pemerintah. Ihwal ini dapat dilakukan anggota dewan secara personal. Kedua, hak angket secara sederhana yaitu hak bertanya tetapi sudah disertai prasangka kepada pemerintah atau lembaga lain. Semisal hak angket kasus Bank Century yang hingga kini masih alot penuntasannya. Ketiga, yakni hak tertinggi anggota parlemen yaitu hak menyatakan pendapat yang norma yuridisnya direvisi oleh MK kemarin. 

Rumah Pensil Publisher

Kini DPR mulai menggunakan hak menyatakan pendapat ini untuk mengusut tuntas kasus dana talangan Century yang sudah mendapat restu tanda tangan sekitar 123 anggotanya. Tetapi banyak pengamat politik mengatakan hak ini hanya akan digunakan secara politis untuk menaikkan bargaining atau daya tawar partai koalisi kepada presiden agar tidak kena imbas reshuffle. Sebenarnya ketiga hak dalam fungsi controling di muka merupakan produk hukum reformasi belajar dari kecelakaan sejarah ketiga Gus Dur diimpeachment atau diturunkan oleh MPR tahun 2001 silam. Para pakar tata negara menyimpulkan ada yang salah dengan struktur kenegaraan Indonesia yang notabene menganut sistem presidensial tetapi mudah sekali presiden untuk dimakzulkan. Jika demikian perkara ini layaknya negara penganut sistem parlementer di mana perdana menteri dapat diganti kapanpun oleh parlemen. 

Oleh sebab itu, dibuatlah instrumen UU yang rasional logis dan sistematis menganai pemakzulan presiden. Keputusan menurunkan Gus dur kala itu adalah keputusan politis bukan hukum. Terlepas benar atau salah keterlibatannya dalam korupsi buloggate faktanya setelah lengser ing keprabon kyai NU ini tidak dijerat hukuman apa-apa. Mengamati perkembangan politik terbaru agaknya untuk menyeret ke ranah pemakzulan prosesnya sangat panjang kendati MK sudah memberikan kelonggaran kuorum. Sebab, kendati dua pertiga anggota dewan membawa suatu perkara ke MK, kemudian MK masih memutuskan kasus tersebut benar atau salah. Jika terbukti salah masih MK melimpahkan ke MPR. Pada titik inilah MPR dapat memakzulkan atau memberi maaf kepada presiden. Peristiwa ini pernah terjadi ketika Bill Clinton yang terkena skandal di gedung putih dimaafkan oleh kongres dan DPR AS (House of Representative) kala itu. Tentu publik menantikan hasil kerja pemerintah untuk mencari siapa dalang Centurygate ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Tidak ada komentar: