Sabtu, 01 Januari 2011

Sepak Bola dan Nasionalisme

Dimuat di Harian Jogja, 4 Januari 2010 

Meratapi kekalahan timnas... 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Satu dasawarsa terakhir semangat nasionalisme atau cinta tanah air mulai luntur dari pundak lintas generasi bangsa. Kita terlalu sering menggerutu, underestimate, dan menjelek-jelekkan tanah air sendiri. Menurut penulis, faktor penyebabnya ialah maraknya centang perenang problematika yang tak kunjung tuntas dipecahkan seperti korupsi, harga pangan mahal, penegakkan hukum tebang pilih membuat kita selaku generasi muda melampiaskannya kepada pemerintah dan ibu pertiwi. Kini ketika melihat perjuangan tim nasional Indonesia di piala AFF, ekspektasi publik dan media sangat tinggi untuk menyaksikan tim Garuda menjadi terbaik di belahan Asia Tenggara.


Luapan keinginan ini wajar, sebab timnas dianggap sebagai representasi Indonesia dalam bidang olah raga yang mampu mengharumkan nama bangsa di bumi ASEAN. Kendati hanya runner up, khalayak mengapresiasi semangat tempur Firman Utina dkk. Bentangan spanduk Indonesia tetap semangat, Indonesia tanah tumpah darahku, hingga Garuda di dadaku menjadi manifestasi ungkapan semangat kebangkitan kebangsaan secara simbolik dalam benak penonton di seantero nusantara. Tentu selaku warga negara yang memiliki keterkaitan emosional dan darah menyeruaknya semangat nasionalisme adalah lumrah. Dan spirit juang putra terbaik Indonesia dalam kancah sepak bola dijadikan momentumnya. Ya, sepak bola memang dapat menyatukan batas dan ragam agama, etnis, dan budaya. Perhelatan turnamen dua tahunan ini seakan hadir untuk memberikan hiburan bagi rakyat Indonesia di tengah lilitan ekonomi dan kesulitan hidup yang mendera.

Di era rezim Soeharto loyalitas pada Pancasila dan Indonesia memang terasa. Namun jika mencermati liku sejarah, perasaan itu timbul karena paksaan penguasa melalui kebijakan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi dan kebijakan P4 (penghayatan, penerapan, dan pengamalan Pancasila). Kini rasa cinta tanah air mendadak menyeruak dengan sendirinya dengan terlibat secara emosional melihat timnas bertanding. Pelajaran moralnya, jika semangat kebangkitan kebangsaan mengemuka dengan stimulus yang disuka (baca; sepak bola). Maka menjadi pekerjaan rumah bagi kita untuk mengalihkan rasa kesuka-cintaan kepada termin hidup lainnya. Agar kita merasa memiliki, bangga, dan membela sehingga rasa nasionalism dapat berkibar tidak sekadar temporer, namun permanen dalam relung kalbu kita. 

Vivit Nur Arista Putra
Pengamat Sepak Bola

2 komentar:

Anonim mengatakan...

di uny sendiri,selain dr media tsbt, kalau menulis dpt insentif dr fakultas/rektorat nggak mas?
trmksh

salam,

Vivit Nur Arista Putra mengatakan...

Dapatlah. Plus fakultas. Lumayan kini sudah mandiri...