Jumat, 11 Maret 2011

Membaca Arah Reshuffle Kabinet

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Sepekan terakhit kata reshuffle begitu menggema di telinga masyarakat Indonesia. Khalayak menanti dengan ketegasan presiden untuk membuktikan ucapannya dalam pidatonya tentang pemberian sanksi bagi partai tak sepaham dengan koalisi. Pidato politik tersebut disampaikan sehari setelah keputusan sidang paripurna di DPR yang menyatakan menolak diberlakukannya hak angket pajak. Bukanlah hasil yang dikomentari presiden SBY, melainkan membelotnya dua partai mitra koalisi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung disahkannya hak angket untuk mengusut tuntas mafia pajak.


Padahal gugus gagasan awal digulirkannya hak angket dilontarkan politisi partai Demokrat. Faktanya menjelang perhelatan voting, sikap inkonsisten muncul dan berbalik menolak hak angket mafia pajak. Banyak alasan dikumandangkan seperti tidak efektifnya hak angket dsb. Tetapi itu hanyalah dalih. Dibalik keputusan tersebut tentu menimbulkan tanda tanya publik, kenapa partai berjargon nasionalis religius ini mendadak pindah haluan tidak menyetujui hak angket pajak. Apakah untuk mengamankan kekuasaan? Inilah yang sedang diduga khalayak. Memang secara kalimat verbal, pidato presiden selaku pimpinan lokomotif koalisi tidak mengarah langsung ke partai beringin dan partai ka’bah berlambang padi dan bulan sabit. Ini menjadi tipikal SBY yang selalu berkata multitafsir dan tidak mengucapkan kesimpulan tegas. Tetapi mencermati manuver politik keduanya dalam beberapa kasus seperti Centurygate dan perkara terbaru hak angket pajak, sangatlah terang posisi keduanya sedang terancam. Hanya soal waktu, momentum, dan lobi-lobi politiklah yang akan menentukan. Sebab, dalam pidatonya SBY mengatakan akan diberikan sanksi nanti. Ini pertanda masih ada komunikasi politik intens antar ketiganya untuk duduk bersama saling mengevaluasi, menginventarisir masalah, dan mengeluarkan policy (kebijakan) yang bisa jadi win-win solution (memuaskan ketiganya) atau malah win-lose solution (mengecewakan salah satu pihak).

Maka tak heran jika Aburizal Bakrie dan Anis Matta menyatakan siap diluar berperan sebagai oposisi atau masih dipertahankan berkoalisi jika presiden incumbent memberikan opsi diantara keduanya. Menjadi pertanyaan apakah pidato Pak Beye hanya sebuah gertakan untuk menggaungkan isu anyar dalam konstelasi politik nasional atau pernyataan serius lantaran geram terhadap tindakan kedua partai di muka yang menurutnya melanggar sebelas butir code of condact (tata kesepakatan berkoalisi). Jika peringatan serius beranikan SBY untuk mengambil kebijakan reshuffle dengan berbagai kemungkinan terburuk? Penulis berusaha untuk mengkalkulasi jika perombakan kabinet konkret dilaksanakan. Pertama, secara matematika politik jika Golkar dan PKS depak, pemerintah akan kehilangan dukungan di parlemen 29 persen. Atau setara dengan berkurangnya 164 suara, dengan rincian Golkar 107 anggota dan PKS 57 anggota. Ini angka yang sangat besar dan jika kedua bergabung dalam kelompok oposisi akan semakin kuat dan mampu mengendalikan parlemen. Maka terpangkasnya besarnya nominal dukungan di legislatif membuat partai pemerintah melakukan komunikasi politik dua arah dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan partai Gerindra untuk bergabung dalam sekretariat gabungan (Setgab). 

Namun, sebagaimana dituturkan Megawati secara tegas dan ideologis PDI-P agaknya tetap menjadi partai oposan bersama rakyat untuk mengawal pemerintah. Sementara Gerindra mengicar posisi Menteri BUMN dan Pertanian sebagai prasyarat terlibatnya dalam pasukan koalisi. Hal ini tentu membuat Demokrat menimang-nimang karena daya tawarnya terlalu tinggi. Jika partai pimpinan Prabowo tetap berkeuh menolak bersanding dalam koalisi, Demokrat akan mencari format lain koalisi dengan menyingkirkan salah satu dari dua parpol pemberontak. Kedua, jika yang ditalak adalah Golkar amatlah tidak mungkin karena selain kaya pengalaman bergelut dalam singgasana kekuasaan, partai jagoan di era orde baru ini juga memiliki basis massa kuat di DPR. Selain itu, para kadernya yang menjadi menteri menunjukkan kinerja yang tak terlalu buruk selama setahun terakhir. Jika tetap diputus tali kekerabatannya ini menyuratkan arogansi politik partai Demokrat dan tak rasional. 

Ketiga, jika PKS yang dicerai SBY mengalami beban moral lantaran partai berbasis massa kalangan terdidik ini adalah partai pertama yang diajak berkoalisi dan bercucur keringat deras mengantar SBY duduk di RI 1. Bahkan paduka presiden menjulukinya backbone (tulang punggung) koalisi bersama partai Demokrat. Disingkirkannya PKS akan sangat bergantung kesepakatan politis masuk tidaknya Gerindra dalam bahtera koalisi. Di satu sisi publik dan mitra koalisi akan sedikit kecewa karena Gerindra tak berkeluh keringat berkontribusi membawa SBY-Boediono menjadi petinggi republik ini, justru kala itu malah menjadi lawan politik. Tetapi semua dapat terjadi, jika melihat Golkar yang semula rival politik kini menjadi sahabat politik pemerintah. Inilah resiko politik transaksional. Akar masalahnya ialah pondasi koalisi tidak dibangun dengan orientasi demi kesejahteraan rakyat, tetapi justru bagi-bagi kekuasaan untuk kenyamanan SBY semata. Maka pemerintah dan partner koalisi akan saling sandera karena saling terjerat kepentingan.

Penulis sependat dengan pengamat politik J.Kristiadi bahwa pidato politik presiden tak ada urusannya dengan rakyat. SBY harus menjelaskan ke publik apa tujuan reshuffle? Apakah merupakan agenda mendesak yang kaitannya dengan kemaslahatan pembangunan di daerah. Atau sekadar menaikkan tensi politik saja agar terlihat serius mengurus umat. Terlepas dari isu pergantian jajaran menteri, tentu kita berharap agar para menteri tetap fokus bekerja untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: