Jumat, 11 Maret 2011

Reshuffle Tak Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Dimuat di Fokus Anda Republika, 9 Maret 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Koalisi super jumbo dalam wadah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menjadi tak menentu, setelah SBY berpidato pascarapat paripurna di DPR yang menyatakan pemberian sanksi bagi mitra koalisi yang tak komitmen mendukung pemerintah. Kalimat ironi ini tentu tertuju pada Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang sehari sebelumnya menyatakan dukungan terhadap hak angket pajak di parlemen. Menurut penulis, reshuffle harus dijelaskan ke publik secara logis. 


Jika pergantian kabinet hanya untuk mengamankan pemerintahan tentu hal ini amatlah pragmatis. Khalayak sama-sama tahu bahwa penggagas angket pajak berasal dari internal Partai Demokrat yang didukung partai lain termasuk Golkar dan PKS. Perkembangan selanjutnya, Demokrat yang awal mula berkoar menjelang pengambilan voting tak konsisten menindaklanjuti angket pajak. Justru malah balik menolak. Ihwal ini menimbulkan tanda tanya publik, apa alasan partai SBY ini menolak? Kesan inilah yang dibaca masyarakat luas, bahwa isu reshuffle yang dilontarkan presiden sehari setelah rapat paripurna di DPR hanya untuk menaikkan tensi politik agar pemerintah terlihat serius mengurus rakyatnya. Padahal berdasarkan survei Republika (Edisi Senin, 07 Maret 2011) masyarakat tak begitu peduli dengan bongkar pasang rezim. Karena reshuffle tak menjamin pemerintahan akan semakin baik.

Kendati demikian SBY segera mungkin dinanti ketegasannya, apakah ingin merombak mitra kerjanya di eksekutif atau tidak. Analisanya, agaknya presiden incumbent ini masih mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, secara matematika politik jika Golkar (107 anggota) dan PKS (57 anggota) ditendang, maka pemeritah akan kehilangan dukungan 164 suara. Lobi-lobi politik pun dilakukan ke PDI-P untuk terlibat bersama koalisi guna menanggulangi suara yang hilang. Kedua, jika Golkar yang dipangkas Demokrat akan kehilangan dukungan sangat besar yaitu 107 suara. Selain itu, partai beringin ini juga kenyang pengalaman di kekuasaan.

Ketiga, jika PKS yang diusir, beban moral tetaplah ada karena partai dengan basis kuat di kalangan menengah ke atas ini adalah pendukung pertama koalisi. Bahkan SBY pun menjuluki Demokrat dan PKS sebagai backbone koalisi. Pertimbangan lainnya ialah masih menunggu tawar menawar dengan Gerindra yang digadang-gadang masuk ke setgab sebelum mendepak PKS. Jika partai pimpinan Prabowo masuk akan melukai partai pengusung koalisi sejak awal lantaran Gerindra tak memeras kringat untuk mengatar SBY ke RI 1. Gerindra dipandang pragmatis dan hanya berorientasi jabatan karena sebelumnya adalah lawan politik SBY.

Kalangan akar rumput ingin bergegas mendengar keputusan SBY karena perkara reshuffle jelas tak ada kaitannya dengan agenda kesejahteraan rakyat. Reshuffle pun belum tentu menjamin program kerakyatan dilakukan semakin baik. Kita berharap para Menteri tetap fokus pada program kerja mereka tanpa terpengaruh arus politik reshuffle yang saling sandera antara presiden dan partai koalisinya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute  Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: