Rabu, 13 April 2011

Batalkan Pembangunan Gedung DPR

Diterbitkan pada April 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Wakil rakyat seakan mengidap penyakit tuna rungu. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap saja mengesahkan rencana pembangunan gedung baru dengan mengabaikan nasihat presiden agar seluruh pejabat negara melakukan efisiensi pembangunan gedung dan bangunan. Marzuki Alie juga mengabaikan suara penolakan rakyat lantaran menyedot anggaran 0,1 persen dari APBN dan tak akan menjamin produktifitas kerja parlemen. Sebagai catatan, 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam program legislasi nasional yang disusun tahun 2010, hanya 8 UU yang sudah diratifikasi. Rasionalisasi konstruksi gedung baru untuk meningkatkan kinerja check and balances agaknya hanya pepesan kosong dan penuh kebohongan. Sebab sedari awal prosesi pendirian gedung penuh cacat seperti tanpa di sayembarakan kepada kontraktor luar, selain itu masyarakat tak mendapat sosialisasi terlebih dahulu untuk memberi masukan. 

Berbagai dalih pimpinan DPR seperti proyek warisan, peningkatan kinerja, dan disetujui semua fraksi, berulang kali disuarakan untuk memuluskan pembangunan. Kendati anggaran sudah dipangkas dari rencana sebelumnya 1,6 T menjadi 1,136 T, tetapi untuk ukuran negara berkembang dengan pendapatan per kapita 3000 dolas AS per tahun, duit sebanyak itu akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pembangunan sosial. Jika dikaitkan dengan teori kebijakan publik, keinginan wakil rakyat di muka menyalahi beberapa asas. Pertama, desain gedung huruf N dengan 36 lantai ternyata tak sepenuhnya karya anak negeri. Maket gedung dengan kelengkapan kolang renang dan spa tersebut ternyata menjiplak gedung parlemen Chile. Dengan rancangan menjulang tinggi, terkesan menakut-nakuti rakyat dan membatasi akses wong cilik untuk menyampaikan aspirasi. 

Rumah Pensil Publisher

Seharusnya anggota legislatif membuka ruang lebar-lebar dengan gedung lebih sederhana, agar telinga mereka dapat mudah mendengar masukan masyarakat akar rumput. Kedua, jika terealisasi kebijakan pembangunan gedung tidak berpihak pada suara rakyat (not pro poor) yang secara akal sehat tentu mayoritas menolak ditengah belum terentaskannya 30 juta lebih warga miskin dan semakin maraknya pengangguran karena minimnya lapangan kerja yang berujung kriminalitas. Realitas ini hendaknya menjadi prioritas ketimbang mengurus fisik gedung yang tidak ada dampak secara langsung bagi penduduk menengah ke bawah. Aparat negera terlihat angkuh. Di tengah polemik kasus, ketua DPR malah berkomentar masyarakat jangan diajak ngobrol perkara ini. Ihwal ini menunjukkan tertutupnya mata dan hati nurani petinggi DPR. Efeknya seiring kebijakan dan sikap anggota dewan yang mementingkan dirinya sendiri, ekses negatifnya adalah akan terjadi krisis kepercayaan atau legitimasi dari khalayak ramai. Maka tak heran jika pemilihan umum mendatang terjadi kemerosotan suara rakyat atau menjamur gerakan golput, karena akar masalahnya terjadi pada anggota parlemen yang mengecewakan konstituennya. 

Beberapa LSM dan organisasi masyarakat pun beramai-ramai mengajukan somasi ke Badan Kehormatan atas sikap pimpinan DPR. Jika pemerintah eksekutif dan legislatif tak dapat dipercaya karena kebohongannya, masyarakat intelektual harus bersatu padu membentuk opini publik dengan gerakan massa untuk menuntut pembatalan pembangunan gedung keangkuhan. Slogan vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan yang mengemuka pada abad ke 18 melawan kezaliman Raja Louis XIV (1643-1715) karena mendeklarasikan “L’etat c’est moi” (negara adalah saya) agaknya patut kembali dikumandangkan. Sebab, jika ditarik dengan kaidah hidup di alam demokrasi, penguasa tidaklah mutlak. Yang absolut adalah suara rakyat. Daulat rakyat mengungguli daulat penguasa. Demikian pesan gerakan massa di timur tengah dewasa ini. Tidakkah para legislator belajar darinya? Semoga seruan ini menyadarkannya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 
Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: