Kamis, 07 April 2011

Pemerintah Harus Tegas Sikapi Ahmadiyah

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seruan dari Forum Umat Islam (FUI) agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah atau membentuk agama baru yang tak digubris pemerintah pusat, justru mendapat respon positif dari beberapa pemerintah daerah. Provinsi Jawa Timur dan Banten secara tegas melarang beredarnya ajaran Ahmadiyah melalui surat keputusan gubernur yang dikeluarkannya. Kebijakan ini agaknya harus diikuti provinsi lainnya untuk menjaga aqidah umat agar tidak terkontaminasi ajaran tak sesuai syariat. Tentu tanpa bermaksud generalisir, lantaran Ahmadiyah terpecah menjadi dua yakni Ahmadiyah Qadiyan yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad (MGA) Nabi baru dan Ahmadiyah Lahore yang hanya memandang MGA sebagai mujadid atau pembaharu. 

Setidaknya ada dua perspektif kenapa aliran Ahmadiyah harus dilarang. Pertama perspektif teologis, sejak awal berdirinya di India aliran ini memang sudah cacat dari lahir. Lanskap sosialnya kala itu umat Islam India sedang mengusir Inggris yang menjajah. Melihat kuatnya perlawanan serdadu Islam, Inggris melakukan politik devide et impera untuk memecah soliditas tentara Islam dari dalam. Dipilihlah MGA (1839-1908) sebagai tokoh pemecahnya. Menurut Abul Hasan Ali An Nadwi (Ulama India), MGA memfatwakan penghapusan syariat jihad, karena tokoh berpengaruh ihwal ini membuat semangat sebagian pejuang muslim luntur. Selain itu, menurut penelitian INSIST ia juga menggagas kitab Tazkirah sebagai rujukan dan ada beberapa ayat Al Qur’an yang dipelintir. Maka tuntutan bubarkan Ahmadiyah bukanlah melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan sebagai hukuman bagi organisasi yang menista aqidah Islam. Riset WAMY (Lembaga Pengkajian dan Penelitian) mengungkapkan, Qadiyanisme (demikian WAMY menyebutnya) merupakan gerakan yang muncul pada tahun 1900 yang dibidani penjajah Inggris di benua India dengan tujuan merusak dan menjatuhkan umat Islam dari segi ajarannya sendiri. 

Khusus dari segi jihad sehingga mereka tidak menghadapi penjajah Inggris dengan mengatasnamakan Islam. Corong gerakan ini adalah majalah “Religion” yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. (Hal 301, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Penerbit Al i’tishom). Adian Husaini dalam buku “Inilah Ahmadiyah” mengukip buku Dr. Ihsan Ilahi Zhahir “Al Qadiyaniyyah: Dirasat wa Tahlil” diterjemahkan Pustaka Darul dengan judul “Mengapa Ahmadiyah dilarang?”. Buku ini mengungkap sosok MGA dari sumber primer dokumen Ahmadiyah. Dikisahkan MGA pernah berkata “tidak diragukan lagi bahwa dilahirkan di tengah-tengah umat Muhammad saw, beribu-ribu orang wali dan orang pilihan tetapi tak seorang pun sama denganku.” Bahkan dengan bejatnya MGA memelintir firman Allah dengan menyatakan “Akulah yang dimaksud dalam firmanNya, “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam.” (Q.S. Al Anbiyah: 107).

Di bab lain MGA juga mengemukakan loyalitasnya kepada kolonial Inggris “kuhabiskan mayoritas masa hidupku untuk memberikan dukungan kepada pemerintah Britania dengan menentang ajaran jihad. Aku masih terus berupaya demikian hingga kaum muslimin menjadi setia dengan ikhlas kepada pemerintah ini.” Maka teranglah jika Ahmadiyah dikatakan sesat. Kedua perspektif sosio-yuridis, tidak tegasnya pemerintah pusat untuk membubarkan Ahmadiyah menimbulkan pertanyaan tersendiri. Tidak cukupkah bukti fatwa Rabithah Alam Al Islami, MUI, UN, dan Muhammadiyah tentang Ahmadiyah yang melecehkan agama Islam dan melanggar SKB. Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya tahun 1937 mengutip pesan baginda Nabi akan kedudukan Muhammad sebagai Nabi terakhir “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi.” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Di termin lain, rezim SBY tidak sedikitpun bertindak karena takut dipandang melanggar HAM oleh dunia internasional. Reputasi Indonesia yang tergolong sukses mengembangkan demokrasi akan luntur jika Ahmadiyah ditiadakan. 

Rumah Pensil Publisher

Pemerintah agaknya juga sengaja memelihara Ahmadiyah sebagai alat politik untuk memecah belah kekritisan umat Islam. Saharuddin Daming (Anggota Komnas HAM) berkomentar, tindakan aparat penegak hukum polisi dan kejaksaan agung dalam bentuk penangkapan atau penahanan pimpinan aliran sesat secara sosio-yuridis merupakan kebijakan sangat tepat dan berdasar. Hal ini diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (Perpres ini ditingkatkan menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pasal 1 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu.” Pasal 2 ayat 1 berbunyi “barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ayat 2 menegaskan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan, maka presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jadi fatwa MUI tentang kesesatan suatu kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam, bukanlah pelanggaran HAM. Memilihara ajaran agama adalah juga bagian dari menjalankan HAM. Kita perlu memahami, bahwa HAM dan kebebasan akan berakhir, ketika ada sistem hukum mengaturnya. (Hal 38, Inilah Ahmadiyah, BAB Pelarangan Aliran Sesat Tidak Melanggar HAM, Penerbit Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; 2008). 

Mengacu norma di atas, maka jelaslah Ahmadiyah dengan MGA nya yang mengaku Nabi baru merupakan aliran sesat yang harus ditindak tegas dan dibubarkan atau membentuk aliran baru tanpa embel-embel Islam. Bukankah Allah berkata “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (Al Kafirun: 5). Khalayak dapat mencermati latar terjadinya dua kasus Cikeusik dan Pandeglang yang berselang dua hari. Penulis menganalisa, kejadian di muka adalah respon pemerintah kepada ulama dan rohaniawan yang sebelumnya mengkritisi dan menggugat kebohongan pemerintah. Terkesan dua kasus dengan modus yang sama ini memang disetting agar tokoh agama fokus mengurus umatnya ketimbang mengontrol kebijakan pemerintah. Akhirnya jika pemerintah pusat tak serius menghapus Ahmadiyah, kita berharap kesigapan pemerintah daerah untuk melarang peredaran Ahmadiyah lebih luas. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Ponpes Takwinul Muballighin 

Tidak ada komentar: