Jumat, 01 Juli 2011

Memproteksi Buruh Migran

Dimuat di Nguda Rasa, Koran Merapi, Jum'at, 1 Juli 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Kasus pemancungan Ruyati binti Satubi tanpa sepengetahuan KBRI, menjadi tamparan keras pemeritah RI. Pertama, publik menyimpulkan pemerintah telah gagal melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Kedua, perkara ini sangat kontradiktif, karena eksekusi Ruyati terjadi selang beberapa hari ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di konferensi Internasional Labour Organization (ILO) ke 100 di Jenewa, Swiss, yang menjanjikan mekanisme proteksi terhadap buruh migran. Pidato yang berjudul “Forging a New Global Employment Framework for Social Justice and Equality” dengan mengajak agar kehormatan para pekerja harus dipromosikan dan dilindungi, seakan menjadi pepesan kosong dengan hadirnya tragedi Ruyati. Akar permasalahan berlarut-larutnya kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di mancanegara dapat dipilah menjadi item. 

Pertama, faktor eksternal yaitu lobi dan diplomasi tingkat tinggi yang lemah. Padahal diplomasi merupakan wujud politik luar negeri suatu negara. Hal ini terlihat tak seriusnya pendampingan hukum terhadap Ruyati hingga KBRI mengaku tak tahu menahu prosesi pemenggalan kepala Ruyati. Seharusnya KBRI dapat memperjuangkan hak-hak hukum terdakwa yang mungkin dapat meringankan hukuman menjadi seumur hidup. Ruyati memang membunuh, tetapi harusnya kita bertanya kenapa dia membunuh? Apakah di Indonesia diajarkan membunuh. Tidak. Karena Ruyati hendak dibunuh dengan cara disiksa berulang-kali setiap hari. Alasan membela diri dalam kaidah hukum dapat meringankan tuntutan terdakwa yang selayaknya dapat diperjuangkan pemerintah. Perjuangan ini dapat dilakukan dengan berdiplomasi antarpetinggi negeri seperti yang pernah dilakukan Gus Dur di tahun 1999 ketiga berhasil melobi Raja Fahd sehingga menunda hukum pancung Siti Zaenab, seorang TKI asal Madura. Sikap seperti inilah yang terlambat diupayakan SBY, sehingga lagi-lagi pidatonya berisi prihatin dan meratapi nasib. 


Oleh sebab itu, pemerintah harus menggalakkan lobi dan diplomasi tingkat tinggi dengan memanfaatkan forum tertinggi kedua negara seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) di mana Indonesia dan Arab Saudi menjadi anggota. Sebab, salah satu produk dari OKI ialah pernah menghasilkan norma hak asasi manusia versi Islam yang seyogyanya dapat dijadikan landasan hukum bagi kemaslahatan kedua negara. Ihwal ini penting untuk disegerakan mengingat Arab Saudi termasuk negara yang rumit duduk semeja untuk membicarakan proteksi butum migran. Karena tradisi arab sebagian masih menganggap pembantu adalah seperuh budak yang dapat sewenang-wenang diperlakukan. 

Berpijak dari perkara inilah pemerintah RI dapat mengupayakan pembuatan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) untuk sebagai dasar ikrar perlindungan para pekerja informal. Kedua, akar problema di segi domestik yaitu maraknya perusahaan jasa penyalur TKI yang menggirimkan tenaga kerja tak sesuai prosedur. Pemalsuan data dan umur terjadi, penempatan kerja yang ngawur, dan tak terampilkan calon TKI dalam berbahasa di tempat kerja serta tak faham hukum setempat membuat mereka menjadi bulan-bulanan majikan Arab. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang dikepalai Jumhur Hidayat harus mengevaluasi total perusahaan tersebut untuk meminimalisasi tindakan kriminal di tempat kerja. Jika perlu warga diizinkan berkerja di negeri orang tergolong usia produktif 25-40 tahun serta terampil berbahasa dan memiliki skill yang mumpuni. 

Pascakasus Ruyati Presiden memang menginstruksikan untuk melakuan moratorium dan pemutusan berkala pengiriman TKI ke Arab Saudi yang berjumlah 250 ribu setiap tahunnya. Tetapi agar moratorium tidak menjadi bumerang, pemerintah perlu membuka lapangan kerja seluas-luasnya di wilayah domestik. Karena terjadinya pemberhentian pengiriman tenaga kerja artinya menghapus lapangan kerja di luar negeri. Bisa jadi pemerintah akan didemo oleh calon TKI di negeri sendiri jika gagal menyediakan lapangan kerja di rumah sendiri. Maklum, lihat saja data terbaru hingga Februari 2011 total pengangguran di ibu pertiwi mencapai 8,32 juta. Jika ditambah TKI yang distop berkerja bisa melampaui 10 juta. 

Selain mencari investor, pemerintah dapat memberi modal kepada pengusaha UKMK untuk menjalankan roda usahanya dengan harap dapat menyerap lapangan kerja. Selanjutnya daerah-daerah lain yang menjadi basis calon TKI seperti di Probolinggo, Pacitan, Pati, Nusa Tenggara Timur dll dapat diupayakan gerakan transmigrasi ke daerah-daerah baru yang berpotensi menyerap tenaga kerja. Seperti Kalimantan dan Sumatra dengan usaha-usaha kelapa sawitnya. Langkah ini diikhtiarkan dapat mengurangi laju pengangguran yang bertumbuh pesat. Kiat Depdiknas berkerja sama dengan HIPMI pun patut diacungi jembol dengan memberikan modal kepada para sarjana, agar orientasi mereka ketika lulus tidak sekadar mencari kerja tetapi juga membuka lapangan kerja. Sementara keberadaan Satgas pengawas TKI menunjukkan lemahnya koordinasi antara Menakertrans, Kemenlu, dan BNP2TKI. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI 

Tidak ada komentar: