Rabu, 14 Desember 2011

Demokratisasi Keempat

Dimuat di Lampung Post, 17 November 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



Sebulan terakhir, Suriah menjadi pusat perhatian dunia. Uni Eropa dan PBB mengecam Presiden Abdullah Saleh karena menyerang demonstran. Hal ini terlepas aksi represif rezim yang membunuh ribuan demonstran antipemerintah. Peristiwa ini serupa dengan tragedi Tiananmen 1989 di China, di mana mahasiswa dan rakyat diberantas habis oleh negara. Jika diusut problem krisis politik di Timur Tengah ada dua. Pertama, tidak adanya demokratisasi bagi setiap warga negara. Suara pubik disumbat sehingga tak ada kritik dan kontrol sosial terhadap kekuasaan. 

Imbasnya, Presiden Saleh pun merasa serbabenar terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Termasuk membungkam media dan oposisi. Jika demikian, negeri pengekspor minyak ini lebih kejam dari Pemerintahan Firaun. Dalam catatan Komisi HAM PBB lebih dari 3.000 demonstran dibunuh. Masyarakat turun ke jalan lantaran menuntut mundur penguasa zalim dan menindas rakyatnya. Kedua, distribusi kekayaan tidak merata. Terjadi kesenjangan sosial yang sangat lebar antara elite politik dengan masyarakat akar rumput. Inilah yang membuat kalangan masyarakat menengah ke bawah menjerit karena tidak adanya keadilan. Berbeda dengan Oman yang lebih terkendali karena secara ekonomi kebutuhan masyarakat tercukupi. Bayangkan, negara di kawasan teluk ini hanya memiliki sekitar 300 ribu penduduk, tetapi residennya (warga asing yang domisili di Oman) mencapai 1,2 juta. Tentu, dari sektor inilah keuangan negara dapat tertolong sehingga dapat memakmurkan rakyatnya. 

Samuel P. Huntington dalam Third Wave Democratization mengemukakan yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah saat ini adalah gelombang demokratisasi keempat dalam sejarah dunia. Selain kedua faktor tersebut, akar masalah lainnya ialah lamanya presiden berkuasa dapat membuatnya lupa diri dan mamasung regenerasi. Sehingga krisis kepemimpinan pun muncul dan muaranya akan terjadi politik dinasti. Efek jangka panjangnya demokrasi sekadar prosedural karena pergantian puncak pemimpin hanya berputar di antara klan atau orang yang mempunyai hubungan darah dengan incumbent. 

Alhasil, jika pemimpin alpa kompetensi, bagaimana dapat mencukupi kebutuhan rakyat secara merata. Di sini kita dapat memetik pelajaran moral, yakni belum terintegrasinya demokrasi dengan kesejahteraan. Kini menjadi tantangan baru bagi negara Timur Tengah dan Afrika untuk membuka keran demokrasi. Begitu juga tokoh calon pengganti, agar jangan hanya ngotot menuntut suksesi tetapi tak memiliki kemampuan untuk mengisi. Reformasi total terhadap rezim menjadi syarat terbentuknya pemerintahan baru yang menjadi harapan baru bagi masyarakatnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar: