Selasa, 28 Februari 2012

Publikasi Karya Tulis Ilmiah


Dimuat di Suara Karya, Selasa, 21 Februari 2012


Kebijakan terbaru dari Kemendikbud tentang kewajiban publikasi karya tulis ilmiah di jurnal untuk syarat kelulusan program strata 1 (S1) menuai pendapat beragam. Kebijakan itu sendiri sudah pasti akan diberlakukan mulai Agustus 2012 karena telah tertuang dalam surat edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3. Surat tertanggal 27 Januari 2012 ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia.

Peraturan di muka mempunyai sisi maslahat, yakni menggairahkan iklim meneliti dan menulis di kalangan mahasiswa. Sebab, hasil karya tulis mahasiswa dianggap tertinggal dibanding negeri jiran Malaysia. Untuk memacunya, kata Mendikbud perlu sedikit 'pemaksaan'. Salah satunya melalui mewajibkan untuk membuat karya tulis ilmiah dan harus terbit di media jurnal.

Jika demikian, mari kita kalkulasi dengan hitungan matematis. Asumsinya, dari 3.000 PTN dan PTS di Tanah Air, ada 750.000 calon sarjana setiap tahunnya. Maka, harus ada puluhan ribu jurnal di negeri ini. Seandainya ada 2.000 jurnal dan terbit setahun dua kali dengan sekali terbit per edisi memuat 5 karya, menurut Edy Suandi Hamid (Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan calon sarjana. Untuk memecahkan problem ini, harus ada Permendiknas yang ditujukan kepada setiap jurusan di setiap perguruan tinggi untuk mengakomodasi karya tulis setiap mahasiswa.

Pertanyaannya, jika mahasiswa sudah membuat skripsi dan karya tulis tetapi tidak dimuat di jurnal, apakah kelulusannya akan tertunda? Bagaimana pula kualifikasi jurnalnya? Tentu bukan sembarang jurnal melainkan yang terakreditasi Kemendikbud. Persoalan ini perlu dijawab terlebih dahulu. Karena, kebijakan tanpa disertai daya dukung, tidak akan mulus di lapangan.

Eksesnya kelak dikhawatirkan terjadi jual beli karya tulis, bahkan sampai tahap suap-menyuap agar karya tulisnya dapat dimuat di jurnal. Jika tidak ada standarisasi jurnal dan karya tulis ilmiah, nanti akan muncul jurnal dan karya tulis ilmiah abal-abal. Inilah konsekuensi akibat dipaksakan harus dimuat lantaran untuk mengejar syarat kelulusan.

Tidakkah kebijakan ini perlu dilakukan bertahap, misalnya, bisa diterapkan di lingkungan mahasiswa S2 dan S3 terlebih dahulu. Sementara mahasiswa S1, syarat kelulusannya diturunkan dari menulis karya tulis menjadi menulis artikel di media massa dengan standar beberapa kali dimuat. Dengan demikian, dorongan kepada mahasiswa untuk mentradisikan menulis tetaplah ada.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Tidak ada komentar: