Sabtu, 29 Januari 2011

Mentradisikan Menulis

Mari tradisikan menulis kawan... 

Tradisi plagiarisme sama dengan mencuri, yang mengakibatkan suatu bangsa malas berfikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai originalitas, kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa (Rhenald Khasali; 2010). Pernyataan guru besar manajemen UI tersebut adalah sindiran telak akan maraknya aksi penjiplakan karya dewasa ini. Malangnya duplikat karya itu dilakukan di lingkungan akademik oleh dosen dan mahasiswa yang seharusnya menghalau kebiasaan buruk ini. Tercatat seorang calon guru besar di Parahyangan Bandung dan dua dosen di kampus swasta Jogja tertangkap basah mengkopi gugus gagasan skripsi mahasiswa S1. Akan tetapi insiden di muka tidak dapat dijadikan premis argument, matinya intelektualitas kampus? Pasalnya, tradisi ilmiah seperti forum diskusi, seminar, maupun pengajaran masih sering kita jumpai. Persoalannya adalah ketidakmauan mengabadikan kesimpulan dan mengapungnya ide di ruang ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan. 

Rumah Pensil Publisher

Tentu beragam sebab telah jamak diketahui, mulai dari majunya teknologi yang memudahkan budaya copy-paste, jarang membaca dan menelaah literatur, hingga ada yang menyatakan menulis adalah bakat khusus yang dimiliki seseorang. Sehingga ia urung untuk menulis. Cara pandang demikian perlu dirubah. Karena menulis hanya membutuhkan kemauan dan kegigihan untuk terus mencoba. Bayangkan jika kita merekam apa yang disampaikan dalam ruang kuliah kemudian mendengarkan kembali dan menulis bukankah sudah tiga kali belajar. Sebab dengan menulis dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang tidak didapat dari membaca dan mendengar. Bahkan Bobby de Potter menjadikan menulis sebagai salah satu indikator keberhasilah hidup. Menjadi pertanyaan bagaimana mentradisikan menulis. Pertanyaan ini akan susah dijawab jika anda tidak segera menulis. 

Maka budaya plagiat dapat dilawan dengan membangun kebiasaan menulis. Tentu kemampuan menulis ini harus sebanding dengan apresiasi yang diberikan pihak perguruan tinggi seperti memberikan beasiswa bagi mahasiswa dan dosen yang mengabadikan fikirannya dalam wujud tulisan dan karyanya dimuat di media massa. Kiat ini dapat memantik mahasiswa maupun dosen agar terus menulis. Tentu tidak selamanya seorang penulis dihargai dalam bentuk materi. Keinginan untuk menyebarkan pemikiran dan menciptakan perbaikan melalui tulisan patut ditanamkan. Sebab menurut Ali Syari’ati seorang intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. 

Vivit Nur Arista Putra Peneliti 
Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: