Apa yang disampaikan penulis buku ‘Orang Miskin Dilarang Sekolah’ ini diamini peserta sidang. Diberlakukannya Sistem Kredit Semester (SKS) di perguruan tinggi memang membuat mahasiswa ingin segera lulus secepatnya. Sebab, jika terlalu lama di kampus peserta didik tersandera biaya kuliah yang mahal. Tidak ada yang salah dengan fokus studi di kampus, tetapi jika hal ini menjadikan mahasiswa keblinger akan persoalan kemasyarakatan yang menjadi tuntutan pemecahan, tentu amatlah naif bagi seorang mahasiswa yang katanya dilabeli ‘agen of change’ dan intelektual ‘midle class’ ini. Kampus sebagai miniatur masyarakat ini haruslah mampu mendekatkan mahasiswa dengan problem pelik aktual, bukan malah menjauhkannya. Termasuk mengkritisi rezim Kabinet Indonesia Bersatu yang terjerembab umbar janjinya.
Lebih lanjut Eko Prasetyo berkomentar, “Nilai lebihnya KAMMI memiliki kaderisasi sistematis dan basis massa yang kuat. Ini dapat dijadikan modal gerakan untuk melawan kuasa modal yang menyeret mahasiswa menjadi hedonis dan kesewenang-wenangan birokrat kampus yang ingin memberangus gerakan mahasiswa. Contohnya, di UGM mahasiswa diminta bayar parkir motor di kampusnya sendiri” cetusnya.
Ke depan, mainstrem gerakan KAMMI UNY tetap konsisten mengusung pendidikan berkarakter profetik sebagai tawaran biasnya konsep pendidikan karakter yang masih abstrak. Pendidikan karakter berawal dari modelling atau cara meniru. Tentu objek yang dicontoh ialah manusia pilihan (the chosen people) yang sempurna dalam ucapan dan perilaku (karakter). Maka meneladani Nabi Muhammad sepenuhnyalah karakter tersebut dapat utuh diwujudkan kepada anak didik kita.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar