Senin, 10 Oktober 2011

Menanti Kepastian Reshuffle

Dimuat di Nguda Rasa Merapi, Jum'at 30 September 2011. 

Tak terasa masa abdi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II hampir dua tahun berlalu. Khalayak ramai yang dimotori mahasiswa siap menyambut momentum 20 Oktober 2011 dengan aksi di jalan untuk mengevaluasi kinerja rezim SBY-Boediono. Sebab, publiklah yang merasakan hasil kerja presiden dan jajaran menterinya. LSM, lembaga survei, dan media massa selaku pilar keempat demokrasi yang berperan mengawal jalannya pemerintahan berlomba memaparkan siapa saja para menteri yang mendapat rapor merah dan mengecewakan publik. Setahun memang waktu yang relatif pendek untuk menakar kontribusi para menteri. Tetapi paling tidak ada gebrakan kerja untuk membangun pondasi program kerja strategis empat tahun mendatang. 


Burhanudin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan sesuai rapor UKMP4, Freddy Numberi (Menteri Perhubungan), Darwin Saleh (Menteri ESDM), Tifatul Sembiring (Menkominfo), Patrialis Akbar (Menteri Hukum dan HAM), adalah pembantu presiden yang mendapat penilaian negatif. Belum lagi Muhaimin Iskandar yang terseret kasus korupsi di Kemenakertrans atau Musthofa Abu Bakar (Menteri BUMN) yang kini sakit-sakitan. Publik menagih janji presiden yang akan mengevaluasi setahun pemerintahannya. Hal ini tentu sangat mengecewakan, sebab kabinet ini sangat gemuk dibanding kabinet-kabinet sebelumnya. Gemuk karena diisi menteri representasi partai politik bukan kabinet ahli. Maka tak heran jika La Ode Ida menyatakan SBY harus mengganti menteri dari parpol yang memanfaatkan kementriannya sebagai sapi perahan partainya. 

Kendati SBY berpesan agar para menteri fokus kerja menuntaskan agenda bangsa, tetapi jika melihat Kabinet Indonesia Bersatu jilid I (2004-2009) reshuffle tetaplah terjadi. Tercatat ada tiga pergantian menteri dan tiga menteri yang dirotasi. Seperti, Hatta Rajasa kala itu Menhub menjadi Menteri Sekretaris Negara menggantikan Yusril Izha Mahendra. Presiden SBY merupakan tipikal pemimpin yang memperhatikan opini publik yang dibangun media massa. Maka cepat atau lambat para pengamat politik memprediksikan pergantian menteri akan terjadi. Presiden harus cepat mengambil keputusan tentunya dengan pertimbangan yang matang dan rasional. Pernyataan untuk reshuffle ini penting dikeluarkan untuk meredam kegelisan para menteri dan publik yang menantikannya. Jika hendak perombakan kabinet segera lakukan, jika tidak menteri akan lebih tentram dan fokus dalam bekerja. 

Di termin lain, memang ada prestasi tersendiri di pemerintahan kali ini, seperti Menteri Koordinator Perekonomian dengan capaian sektor ekonomi makro mengalami kenaikan dari 4,5 menjadi 5,5. Prediksi bank dunia pun tepat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen lebih di tahun ini. Tetapi, klaim kemajuan di muka seperti orde baru yang mengukur keberhasilan dari kenaikan nominal angka dan tidak berdampak pada pengembangan sektor riil. Padahal sektor domistiklah yang menyelamatkan Indonesia dari terjangan krisis ekonomi global 2009 silam. Pemerintah terlalu menggembar-gembor capaian ini dengan investor negeri sakura dalam Japan-Indonesia Economic Forum. Padahal Unit Kecil Mikro dan Menengah (UKMK) banting tulang mati-matian agar tetap eksis tanpa perhatian pemerintah. Artinya alokasi kredit usaha rakyat belumlah merata dirasakan pengusaha kecil. Pengangguranpun belum dikatakan menurun drastis dari 32,5 juta menjadi 31 juta. Untuk menyerap lapangan kerja diperlukan pertumbuhan ekonomi sampai 8 persen yang mungkin menjadi tantangan pemerintah ke depan. 

Kedua, di aspek pemberantasan korupsi. Tidak ada dalam sejarah Indonesia surat kabar menampilkan berita korupsi setiap hari. Selain menunjukkan kebebasan pers, hal ini juga memaparkan berhasilnya pemberangusan koruptor melalui institusi negara produk reformasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan Tipikor, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), komisi informasi, hingga MK. Belum lagi partisipasi publik yang antusias dari ICW, Pusat kajian antikorupsi FH UGM, Masyarakat Transparansi Indonesia yang turut berjihad perangi korupsi. Regulasia antikorupsi Indonesia pun terus membaik. Terakhir dilakukan harmonisasi dengan konvensi antikorupsi PBB yang diratifikasi. UU antikorupsi Indonesia juga dilengkapi UU KPK, UU antipencucian uang, UU keterbukaan informasi publik yang membantu membongkar kasus korupsi atau mafia anggaran (hal 148). Laporan kinerja KPK rentang waktu 2004-2010 terus menunjukkan peningkatan dari segi penanganan kasus untuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi. Alhasil data keuangan negara yang berhasil dikembalikan (asset recovery) dari korupsi maupun gratifikasi mencapai ratusan juta hingga 1 Trilyun lebih. 

Berpijak dari progress di muka yang perlu dilakukan bersama ialah memperkuat institusi pemberantasan korupsi sembari berantas mafia anggaran yang ada di parlemen, partai politik, dan peradilan yang merupakan institusi terkorup. Maka untuk mewujudkan agenda mendesak bangsa dibutuhkan kepemimpinan kuat (strong leadership) untuk mengarahkan jajarannya agar bekerja sesuai treknya. Pergantian kabinet memang hak prerogatif presiden, khalayak berharap pertimbangan reshuffle haruslah rasional dan menjauh dari aspek politis demi terlaksananya agenda bangsa dan negara yang berorientasi kesejahteraan rakyat. Keputusan ini menjadi pertaruhan SBY di 2014 nanti. Baik buruknya kinerja pemerintahan akan berdampak pada tingkat akseptabilitas dan elektabilitas suara partai Demokrat di masa transisi nanti. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar: