Rabu, 22 September 2010

DPR Kok Begitu

Dimuat di Suara Mahasiswa, Harian Jogja, Selasa, 21 September 2010

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Usulan pembangunan gedung baru DPR senilai 1,6 Trilyun menuai penolakan publik. Akhirnya setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, pimpinan DPR sepakat untuk menunda pendirian kantor anyar yang rencananya dilengkapi dengan kolam renang, spa, toko, apotek, dan tempat kebugaran. Rakyat jelas menolak. Dari survei Charta Politika menunjukkan 80,5 persen responden tidak setuju dengan kantor bagus anggota dewan. Padahal, jika dianggarkan untuk iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) duit sebanyak itu cukup untuk 22 Juta warga miskin selama setahun.

Artinya jika dikaitkan dengan teori public policy (kebijakan publik), kebijakan yang diambil wakil rakyat di Senayan tidak memenuhi berberapa asas. Pertama, pembangunan gedung mewah berdesain huruf N tidaklah rasional. Apalagi dilengkapi dengan kolam renang dan ruang spa. Seakan pejabat publik di Jakarta tidak memiliki rasa malu kepada rakyat yang telah mempercayakan mereka duduk di kursi parlemen. Muncul pertanyaan apakah ditopangnya fasilitas sedemikian rupa akan meningkatkan kinerja dewan legislatif? Padahal tahun 2010 saja dari 70 rancangan undang-undang yang menjadi target, yang terealisasi baru 7 RUU. Artinya tugas legal drafting (membuat dan meratifikasi undang-undang) tidak mainkan dengan apik oleh DPR.



Kedua, kebijakan ini tidak berpihak para rakyat (not pro poor). Tentu khalayak sulit menerima kemegahan yang disuguhkan, di tengah himpitan ekonomi dan maraknya pengangguran yang berakibat kemiskinan massal. Seakan penduduk Indonesia dilukai bertubi-tubi. Setelah surut usulan dana aspirasi yang dihaluskan menjadi dana pembangunan pedesaan sebesar 1 milyar per desa atau kelurahan. Di mana jika negeri ini memiliki 72.000 desa, maka negara harus merogoh kocek 72 trilyun. Belum lagi gagasan pengembangan rumah aspirasi yang masuk rencana strategis DPR 2010-2012 di 77 daerah pemilihan dengan alokasi 300 juta per anggota dewan yang dianggarkan ke negara. Kini publik dikagetkan dengan pengajuan pendirian kantor baru DPR seluas 120 meter persegi, yang menurut Mardian Umar selaku Kabiro Pemeliharaan dan Instalasi Setjen DPR keberadaan gedung baru sangat mendesak. Ihwal ini tentu menghina akal sehat publik yang sejatinya mendapat pelayanan prioritas.

Gedung bermahar 1,6 trilyun jelas inefisien. Tetapi malangnya, ketua DPR Marzuki Alie yang juga merangkap ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) berkeras tetap melanjutkan. Kendati diputuskan ditunda untuk dikaji ulang biaya pengeluarannya, penulis mengamati hal ini hanyalah sandiwara politik sembari menunggu publik lupa. Sebab, tipikal sebagian masyarakat Indonesia masih mengidap penyakit amnesia sejarah. Meskipun juga mudah diingatkan dan diprovokasi. Bisa jadi, kasus kontruksi ruang kerja baru layaknya mal ini terus ditimbul tenggelamkan sampai rakyat jenuh dan merelakan dengan terpaksa terrealisasi.

Penulis mencermati tugas DPR pada aspek controling (memantau kebijakan dan keputusan eksekutif) cukup baik dijalankan kendati mayoritas DPR di isi Partai Demokrat yang juga dominan di pemerintahan. Tetapi seiring manuver kebijakan egois yang sibuk memuliakan diri sendiri, DPR justru wajib dikontrol oleh media massa dan gerakan massa.

Akhirnya jika DPR senantiasa mengeluarkan usulan dan kebijakan yang tidak populis dan menyayat hati rakyat, ekses negatifnya ialah masyarakat luas tidak akan percaya (distrust) pada pemerintahan negara. Kekecewaan itu manifestasinya bisa dilihat dari minimnya tingkat partisipasi rakyat di pemilu dan pilkada mendatang, dan lebih memilih membentuk barisan Golput. Jika faktanya demikian, peristiwa ini sangat buruk bagi tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia. Karena, baik tidaknya iklim demokrasi tampak dari kesadaran, kepedulian, dan keikutsertaan masyarakat memberikan suara. Sebab, intisari demokrasi ialah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.


Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute 

Sabtu, 18 September 2010

Menanti Tanda Kebangkitan Indonesia

Seorang pemikir keagamaan dan kenegaraan Yudi Latif pernah berujar, “setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari tanda”. Soekarno dapat bertahan selama 20 tahun karena narasi revolusi yang dibawa rezimnya. Itulah tanda. Begitupun dengan Soeharto, dapat langgeng selama 32 tahun lantaran tanda “pembangunan” di yang digelorakannya. 

Kini, di era orde reformasi tanda ledakan perubahan belumlah tampak. Perjalanan, 12 tahun reformasi cenderung tak terarah, karena gagal menciptakan tanda. Agaknya selaku warga negara yang begitu peduli dengan bangsanya, patutlah hal ini direfleksikan seksama. Kita mungkin bisa mendesak suksesi reformasi, tetapi belum bisa mengisi. Di bulan Ramadhan ini, penulis mengajak pembaca untuk kilas balik sejarah eksisnya negeri ini. 

Rumah Pensil Publisher

Rijalul Imam dalam bukunya Capita Selekta, Membumikan Idiologi Menginspirasi Indonesia menjelaskan, Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan. Atau 10 hari pertama bulan penuh berkar ini yang dikenal sebagai hari-hari rahmat. Oleh sebab itu, wajar jika dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan “dengan rahmat Allah swt”. Jika dikaitkan dengan kita suci Al Qur’an, hari, bulan, dan tahun memiliki relevansinya dengan apa yang perlu diperbuat Indonesia dikala itu, dan aktivitas di masa mendatang. Tanggal 17-8-1945 mempunyai kesesuaian dengan Qur’an surat ke 8 Al Anfal ayatnya 17 yang berisi tentang kemerdekaan. “Bukanlah kalian yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kalian melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk member kemenangan bagi orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.” (Q.S. Al Anfal: 17).

Sedangkan tahun 1945 dapat dikaitkan dengan Q.S. Al Anfal ayat 45 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, apa kamu bertemu dengan musuh, maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. Pesan langit ini menegaskan merdeka bukanlah pertanda perkara usai. 

Pascakemerdekaan akan banyak masalah yang mendera, berpijak dari itulah rakyat Indonesia diminta untuk senantiasa mengumandangkan asma Allah manakala bersua dengan problem pelik. Bendera merah putih pun sesungguhnya adalah dua warna kecintaan Rasulullah. Nabi pernah bersabda “Sesungguhnya Allah melipat untukku bumi, maka aku bisa melihat ujung timur dan barat. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang dilipat untukku. Aku juga dikaruniai dua perbendaharaan (kekayaan) merah dan putih” (H.R. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Jadi jelaslah tanda kebangkitan itu telah digambarkan baginda Nabi dan diarahkan suara langit. 

Bahkan Prof. Arysio Santos (Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil) mengatakan, negeri Atlantis yang dikenal kaya raya di darat dan di laut yang tenggelam oleh lautan sejak berakhirnya zaman es 11.600 tahun silam setinggi 120-150 meter adalah Indonesia. Inilah tanda kekayaan alam negeri ini, tinggal bagaimana kita mengolah sumber daya itu secara arif, adil, dan mandiri demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Semua bergantung kepada pemuda yang menjadi tonggak perubahan bangsa. Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Mengevaluasi Hasil UN di Yogyakarta

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pengumuman hasil ujian nasional di DIY menjadi kado terburuk menjelang hari pendidikan nasional 2 Mei mendatang. Pasalnya, Yogyakarta yang dijuluki kota pendidikan dengan kompetensi pendidikan, kelengkapan fasilitas, dan kemudahan akses pendidikan tak berbanding positif dengan hasil evaluasi proses belajar mengajar. Tercatat 23,70 persen siswa dinyatakan tidak lulus ujian nasional (UN) atau setara dengan 9237 pelajar dan merupakan tertinggi di pulau Jawa. Angka ini menguat drastis empat kali lipat ketimbang tahun 2009 yang hanya mencapai 1825 mitra didik. Malangnya lagi di kabupaten kota tidak ada sekolah menengah atas yang meluluskan anak asuhnya hingga 100 persen. Tak heran jika insiden ini menuai sorotan media massa. 

Ihwal ini tentu menjadi bahan evaluasi bagi dinas pendidikan pemuda dan olah raga (Disdikpora) DIY. Ironisnya angka ketidaklulusan tertinggi di pulau Jawa ini hanya dikomentari miring oleh para pemangku kebijakan. Munculnya statmen dari policy maker (pengampu kebijakan) di DIY kendati banyak siswa yang tidak lulus ujian tetapi jogja berpredikat provinsi terjujur dalam pelaksanaan UN dan ketatnya pengawasan tim independen luar sekolah membuat anak-anak SMA tak menuai hasil positif, justru menista, merendahkan, dan mengaburkan nilai kejujuran itu sendiri. Pernyataan ini bisa ditafsirkan terbalik, jika tidak jujur para pelajar dapat lulus dan memperoleh hasil maksimal. Begitupun tanggapan ketua Disdikpora yang menyatakan besarnya nominal ketidaklulusan karena santer beredar jawaban soal palsu justru kontradiktif dengan label daerah terjujur dalam perhelatan UN yang dikumandangkan pemerintah sendiri. Logikanya, jika dugaan ini benar berarti Jogja bukan daerah terjujur. 

Penulis menganalisa ada pelbagai problem mendasar yang berakibat buruknya hasil pemetaan mutu pendidikan di Yogyakarta. Pertama, adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/ 2010 yang menyatakan bagi peserta didik yang tidak lulus UN dapat melakukan ujian ulangan justru dijadikan “dewa penolong” oleh siswa. Dalam benak mereka mungkin terbesit kenapa mesti serius dan giat belajar mempersiapkan UN jika tidak lulus dapat melakukan ujian ulangan dan jika tak lulus ujian ulangan dapat menempuh ujian paket. Bukankah yang penting lulus. Apalagi jadwal penyelenggaraan UN selisih dua hari dengan jadwal seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Sebagaimana komentar siswa yang dilansir media lokal mereka lebih fokus mengikuti ujian masuk PTN. Kedua, adanya kebijakan lokal berkaitan pemberian Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), yang dapat membantu siswa yang tidak lulus untuk tetap dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi bisa jadi melenakan siswa. Hal ini membuat para murid menjadi berleha-leha dan bersantai ria, sebab sudah memiliki garansi lulus SMA. 

Ketiga, suasana proses belajar mengajar dalam mempersiapkan UN dapat merusak sistem pendidikan. Suasana kelas dan proses transfer ilmu menjadi seperti bimbingan belajar. Bayangkan, menjelang UN per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out) UN sampai dua belas kali. Aktivitas ini tentu akan mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh siswa setiap harinya. Peserta didik pun kesehariannya akan diajari memecahkan soal dan seakan-akan roh keilmuan yang disalurkan tidak ada. Akhirnya kebijakan UN ini hanya akan menguntungkan pihak bimbingan belajar (bimbel) yang memproses secara sekejap kiat anak memecahkan soal. Dapat dirasakan, pengaruhnya ialah anak terbiasa dengan simbol-simbol maupun kisi-kisi belaka dan tak mewujud pada sikap mental serta pembentukan karakter anak. Keempat, model pembelajaran yang digunakan pendidik dalam menyalurkan ilmunya khususnya bagi kelas tiga menjadi ekspositori. Karena pelimpahan ilmu menjadi tergantung pada pendidik.

Ihwal ini dapat terlihat dengan kebiasaan mendikte soal ujian dengan panduan kisi-kisi yang diberikan. Repotnya jika prediksi soal yang diberikan tak keluar dan soal UN tak sesuai dengan pemecahan perkiraan soal yang diajarkan hal ini akan menyusahkan peserta didik dan dijadikan sumber alasan jika gagal lulus UN. Seharusnya model pembelajaran yang disuguhkan ialah heuristic di mana guru menjadikan murid sebagai mitra belajar dengan memberikan konsep dasar keilmuan sehingga mereka akan adaptif dalam menyelesaikan soal berwujud apapun. 

Banyaknya pelajar yang tidak lulus di Jogja memberikan tekanan psikologis karena mereka tidak dipersiapkan untuk gagal. Ditambah lagi tidak dewasanya menerima kenyataan. Dampaknya menjalar pada lingkup sosial. Peserta didik yang tidak lulus akan dijustifikasi. Bak petir di siang bolong, tekanan sosial ini membuat peserta didik depresi bahkan ada yang berniat bunuh diri. Kini, yang perlu dilakukan pemerintah setempat ialah melakukan pembinaan dan rehabilitasi mental serta mempersiapkan mereka menempuh ujian ulangan yang akan dihelat Mei besok. Karena, soal yang diberikanpun tidak jauh berbeda dengan UN. Selain itu, evaluasi terhadap kinerja sekolah dan pendidik mutlak dilakukan, sebab keduanya adalah instrumen penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 

Kamis, 02 September 2010

Tradisi Mudik Orang Udik

NB; 2 tahun ini penulis memutuskan tidak mudik di bulan puase...


Negeri ini memang penuh seremonial dalam perayaan setiap hal. Ramadhan disambut gegap gempita dengan memajang kalimat “penghormatan” dalam spanduk di ruang strategis keramaian kota. Begitupun televisi, tak luput dari puluhan iklan penyemarak. Produk-produk makanan, kartu celuller, hingga sinetron mendadak bernuansa Islam demi menyesuaikan tuntutan pasar. Seakan-akan pemilik modal ingin menjadikan bulan suci ini penuh konsumtif. Ihwal ini tentu bertolak belakang dengan pesan yang terkandung dari puasa, yakni menahan diri dari urusan perut bahkan dibawah perut demi kebersihan hati agar dikategorikan insan takwa sebagai orientasinya.

Sepuluh hari terakhir memang menjadi ujian kesungguhan manusia dalam pelaksanaan rukum Islam ketiga. Pada umumnya shaf masjid akan berkurang jama’ahnya dan pasar atau mal akan penuh sesak dengan orang pemburu busana. Belum lagi godaan mudik bagi orang udik, yang seakan memiliki medan magnet tersendiri untuk menarik orang desa kembali ke kampung halamannya. Tradisi penyambutan ramadhan hingga mudik mungkin hanya ada di Indonesia, satu kebiasaan yang sudah melekat kuat dalam kultural masyarakat nusantara.

Jika ditinjau secara sosiologis, penulis mengamati seseorang akan rindu suasana kebersamaan, spiritual tradisional, hingga kearifan lokal yang tidak di dapat di perkotaan. Sebab, nuansa interaksi sosial di kota besar umumnya sangat kurang dan lebih condong individualistis. Belum lagi keringnya suasana spiritual. Sikap ini berdampak pada rasa solidaritas sosial yang lemah. Ihwal ini tentu berbanding terbalik dengan fitrah manusia sebagai makhluk zoon polition yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan sentuhan orang lain. Pada persoalan apapun itu. Oleh sebab itu, kita dapat memahami petuah orang Jawa “mangan ora mangan sing penting ngumpul” (makan atau tidak, yang penting kumpul). Inilah pesan kebersamaan yang inheren (terikat tanpa sekat). Untuk berbagi dan memecahkan persoalan bersama. Dan kesemua itu hanya didapat di kampung. Suatu tempat sebagai medium pengakraban dengan cita rasa lokal untuk merajut kembali rasa kebersamaan yang hilang. Inilah dibalik tradisi mudik. Inilah budaya massa yang menggejala. Inilah aktivitas sosial untuk berlepas diri dari cangkang kerdil kedirian menuju agung khidmat pada ummat.


Vivit Nur Arista Putra
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

akuvivit.blogspot.com

Aktivis KAMMI UNY dan Transform Institute Jogjakarta
Kini sedang menimba ilmu di Pondok Pesantren Takwinul Muballighin

Kamis, 19 Agustus 2010

Membaca dan Menulis

Reorientasi bagi kutu buku dan pejuang pena... 19 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Sungguh bangunan Islam ini dipahat oleh orang yang rabun baca, tetapi ia memiliki pandangan yang melampaui zamannya. Adalah niscaya peradaban Islam ini didirikan oleh orang yang lumpuh menulis, tetapi ia dapat mencipta generasi terbaik yang tiada terulang sepanjang sejarah. Dialah Muhammad saw. Akan tetapi, janganlah kita maknai bahwa Nabi tidak menganjurkan dua aktivitas penting dalam sejarah pembangunan Islam, yakni membaca dan menulis. Allah tidak memberikan kemampuan baca dan tulis kepada Muhammad ialah bagian dari strateginya agar ajaran yang dibawa anak Abdullah itu murni pesan dari langit dan dapat segera diterima kaumnya. “Dan sekiranya kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang kafir itu berkata, ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata (Q.S. Al An’am: 7). Dalam lembaran Lauh Mahfudz lainnya diterangkan “berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi (tidak bisa baca dan tulis).… dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (Q.S. Al A’raaf:158). 

Demikian keterangan Allah akan maksudnya. Agar kaumnya yang notabene juga buta aksara dan gagap menulis dapat menerima ajaran Muhammad secara logis. Bahwa Rasulullah mendapatkan bimbingan langsung dari sang Khalik semata. Terlepas dari dua argumen di muka, ummat Islam diperintahkan untuk giat membaca dan menggoreskan pena. Lihatlah satu kalimat imperatif Al Qur’an yang rutin turun selama dua puluh tiga tahun diawali dengan lima ayat “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Rabbmulah yang Maha mulia, Yang mengajarkan manusia melalui perantaraan kalam, dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. Al Alaq:1-5). 


Dr. Raghib As Sirjani dalam bukunya “Spiritual Reading, Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca”, menafsirkan kalimat Allah di muka menjadi dua hal. Pertama, membaca itu harus dengan nama Allah dan tidak boleh membaca sesuatu yang membuat Allah murka. Maksudnya membaca itu haruslah dengan niat karena Allah dan sesuai aturan Allah untuk kemaslahatan bumi dan manusia, serta demi kebaikan dunia dan akhirat. Kedua, setiap insan yang membaca suatu ilmu, janganlah menjadikan sombong akan ilmu yang dikuasainya. Sebab, Allahlah yang memberikan ilmu kepadanya. “Bertakwalah kepada Allah dan dialah yang telah mengajarimu (Q.S. Al Baqarah:85). 

Di sisi lain, aktivitas menulis pun dititahkan dalam The Holy Qur’an, “Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (Q.S. Al Qalam: 1). Para Mufassirin atau ahli tafsir mengatakan, jika Allah bersumpah dengan makhluknya, maka ciptaannya itu memiliki peranan penting dalam kehidupan. Dalam konteks ayat ini adalah pena, dan kegunaannya dijabarkan pada kalimat berikutnya yakni untuk menulis. Sebab, dari tulisanlah kita dapat mengkaji pesan Allah. Bayangkan jika Al Qur’an tidak diabadikan berwujud tulisan di zaman Khalifah Umar bin Khatab, mungkin kaum muslimin akan kesulitan menelaah norma bimbingan hidup tersebut. Tanpa tulisan pula sejarah takkan dikenang, ia mungkin hanya kilasan kehidupan tanpa makna. Menulis itu mengikat ilmu, menyampaikan ilmu, mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, dan meneguhkan keimanan. Orang yang gemar membaca dan menulis tidak akan cepat pikun, karena fikiran dan hatinya dinamis bekerja. Tidak ada peradaban di bumi ini yang menjadikan tradisi membaca dan menulis sebagai penopang kejayaan selain Islam.

Adian Husaini dalam bukunya “Penyesatan Opini” menjelaskan bahwa aktivitas menulis yang dibawakan seorang wartawan dan penulis lepas maupun siapa saja ialah ibarat periwayat hadist. Hadist atau sabda Nabi akan dikatakan shahih (kuat atau valid) manakala bersumber dari periwayat yang beriman, jujur, dan moralnya terjaga. Sebaliknya, ucapan dan tingkah polah baginda Rasul tersebut akan disimpulkan dha’if (lemah) jika penulisnya tercela secara pemikiran dan sikap keseharian. Sebab, ide bermula dari tempurung kepalanya tidak ada niatan untuk menyebarluaskan kebajikan dan menghapuskan keburukan. Membaca mesti ditradisikan dan menulis menjadi wajib diupayakan. Sebab, kita akan dianggap serakah karena banyak ihwal yang dibaca (realita dan buku) tetapi nihil tulisan sebagai manifestasi mengkampanyekan ilmu. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Esensi dan Klasifikasi Puasa

Dalam pemaknaan pesan suci Ramadhan... 19 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

 “Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. Al Baqarah: 183). Pesan langit di muka mengandung maksud bahwa puasa adalah perintah imperatif moral agar setiap insan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya (takwa). Berasal dari kata “waqa” yang bermakna memelihara. 

Rumah Pensil Publisher

Said Hawwa menyebut esensi dari puasa ialah melemahkan berbagai kekuatan -hati dan perut- yang dijadikan sarana syetan mengajak orang kembali kepada keburukan. Secara filosofis puasa juga mengandung hikmah untuk membersihkan hati dan harta. Dalam lanjutan ayat di atas dikatakan “Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya. Dan puasamu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al Baqarah:184). Dan ketahuilah “amalah setiap anak Adam pahalanya untuk dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untukKu dan Aku akan memberikan pahala berkali lipat. Puasa adalah benteng, maka jika kalian berpuasa janganlah kalian berkata kotor, janganlah marah, dan jika ada orang yang mencaci maki dan menyerangmu katakanlah, sesungguhnya saya sedang puasa” (H.R. Bukhari-Muslim). 

Dalan riwayat Muslim disebutkan, “di bulan Ramadhan pahala anak Adam akan dilipatgandakan, satu amalan kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat pahala”. Imam Al Ghazali dalam kitab klasiknya Ihya’ Ulumuddin mengklasifikasikan tingkatan puasa setiap manusia ada tiga, yakni puasa umum, puasa khusus, dan puasa super khusus. Adapun puasa umum ialah puasa yang dilakukan mayoritas orang, menahan makan, minum, dan jima’ (bersetubuh). Sedangkan puasa khusus ialah menahan lapar dan dahaga dan menjaga indera tubuh penglihatan, pendengaran, lisan, tangan, kaki dari perbuatan maksiat. Puasa yang khusus lebih khusus lagi yaitu puasa hati dari kehendak hina dan segala fikiran duniawi serta mencegahnya dari memikirkan selain Allah. Puasa hati dari keinginan yang rendah dan fikiran yang tidak berharga. Puasa terakhir ini merupakan level para Nabi, para sahabat, dan muqarrabin. 

Para ulama menyebutnya kita tidak mungkin mecapai tingkatan ini, dan jenjang puasa yang kemungkinan dicapai ialah puasa khusus. Yaitu puasanya orang shalih yang menahan dan menjaga anggotan badannya dari maksiat. Untuk menyempurnakan puasa khusus ada enam perkara yang harus dilalui. Pertama, menundukkan pandangan dari objek yang membuat Allah murka dan benci. Sebab, pandangan adalah busur panah beracun iblis. Dari sanalah mula segala asal muara ucapan dan perilaku. Dan merupakan ujian terberat di tengah keterbukaan akses informasi dan vulgarnya siaran televisi yang menampilkan aksi seronok. Tetapi jikalau dapat menanggulanginya Sang Khalik menghadiahkan pahala setimpal “barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah maka ia telah diberi Allah keimanan yang mendapatkan kelezatannya di dalam hatinya” (H.R. Al Hakim). 

Kedua, menjaga lisan dari gosip, menggungjing orang lain, bualan sia-sia, maupun perkataan nista. Sebab, kesemuanya itu dapat merusak puasa. Jika tak ada topik penting pembicaraan yang disampaikan hendaknya diam atau mengisi waktu luang dengan membaca Al Qur’an. Ketahuilah “barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan. Kebaikan itu sendiri akan berlipat ganda menjadi sepuluh. Tidak aku katakana alif, lam, mim itu satu huruf, tetapi alif satu, lam satu huruf, dan mim satu huruf” kata Nabi yang diabadikan Imam At Tirmidzi. 

Ketiga, menahan pendengaran dari ihwal yang tak disukai Allah. Karena setiap yang diharamkan perkataannya, diharamkan pula pendengarannya. Oleh sebab itu, Allah menyamakan orang yang mendengarkan dengan orang yang memakan barang haram. “Mereka itu adalah orang yang suka mendengar berita bohong, dan banyak memakan yang haram” (Q.S. Al Ma’idah: 42). Keempat, menahan anggota tubuh dari dosa. Said Hawaa dalam bukunya Tazkiyatun Nafs (Mensucikan Jiwa) menerangkan barang yang haram adalah racun yang menghancurkan agama, sedangkan barang halal adalah obat bermanfaat bila dikonsumsi sedikit. Tetapi berbahaya jika terlalu banyak. Sebab tujuan puasa adalah mengurangi makanan halal tersebut. Baginda Nabi bertutur “berapa banyak orang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasannya kecuali lapar dan dahaga” (H.R. Nasa’i dan Ibnu Majah). Maka janganlah berlebihan saat berbuka. Bagaimana dapat mengedalikan hawa nafsu jika saat berbuka memanjakan nafsunya dengan makanan yang banyak. Karena orientasi puasa adalah pengosongan dan penundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa mencapai takwa. Kelima, hendaknya setelah berbuka, hatinya merasa khauf (cemas) dan raja’ (harap). Sebab, ia tidak tahu puasanya diterima atau ditolak. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilaksanakan. Sedangkan penuh harap berperan menumbuhkan optimism untuk menjalani puasa berikutnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Pondok Pesantren Takwinul Muballighin.

Senin, 02 Agustus 2010

Tradisikan Menulis, Lawan Copy Paste

Dimuat di Koran Merapi, Rubrik Nguda Rasa, 2 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Peter F. Drucker dalam bukunya Masyarakat Pascakapitalis mengatakan faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru (baca komunitas kampus), bukanlah sumber ekonomi dasar yang dijadikan modal (kapital), sumber daya alam tak selamanya menjadi andalan, bukan pula banyaknya tenaga kerja, melainkan pengetahuan. Begitu mulianya orang berilmu sampai-sampai banyak orang ingin mendapatkannya secara instan. Beberapa bulan lampau tercatat seorang calon guru besar di Parahyangan, Bandung, dan dua dosen universitas swasta di Jogja yang memalsu tesisnya dengan mengkloning pokok pikiran mahasiswa S-1. 

Selain itu, data yang dilansir sejumlah media massa memberi warta sebanyak 1082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan "guru profesional”. Maraknya aksi pemalsuan karya ini bermotif agar pelaku dinominasikan orang yang kredibel, berilmu, sehingga dikata pantas dihargai secara sosial dan tunjangan finansial. Malangnya, insan akademik yang hendak memperoleh julukan guru besar ini justru bertindak lebay atau melampaui batas dalam meraih titelnya tanpa melalui prosedur ilmiah. Kondisi ini membuat sebagian khalayak meragukan kapasitas seorang profesor di dunia kampus. Bahkan ihwal ini sempat dilontarkan menteri pendidikan Muhammad Nuh yang sedikit sanksi akan kualitas penyandang gelar doktor di Indonesia. Dugaan Mendiknas ini bukan tak berdasar. Minimnya penelitian dan karya berwujud buku atau karya tulis yang dihasilkan sekaliber guru besar, merupakan salah satu bukti pudarnya tradisi ilmiah intelektual kampus. Mau tidak mau harus dimafhumi rentetan insiden pendidikan di muka memberikan wajah buruk bagi intelektualitas kampus. 

Rumah Pensil Publisher

Perguruan tinggi yang menurut mandatnya diamanahi mengemban tridharma yakni dharma pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat belumlah melaksanakan sepenuhnya. Dua aktivitas terakhir amatlah jarang dilakukan para dosen. Jika meneliti dan mencerahkan masyarakat saja alpa diupayakan, ini mengindikasikan minimnya kepekaan sosial serta kurangnya kepedulian terhadap nasib dan problem keummatan. Jika sense of careness saja tidak mencuat dalam benaknya, tidaklah mungkin keluar sikap memecahkan duduk persoalan. Tradisi plagiarisme sama dengan mencuri. Budaya buruk ini mengakibatkan suatu bangsa malas berfikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai orisinalitas, kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa (Rhenald Khasali; 2010). Pernyataan guru besar manajemen UI tersebut adalah sindiran telak akan maraknya aksi penjiplakan karya dewasa ini. Malangnya duplikat karya itu dilakukan di lingkungan akademik oleh dosen dan mahasiswa yang seharusnya menghalau kebiasaan buruk ini. 

Jika diusut, ada beragam sebab yang membuat civitas akademika berpikir pragmatis dan mengharapkan hasil karya serbainstan atau siap saji. Pertama, Undang-undang Guru dan Dosen No.14/ 2005 menawarkan iming-iming berupa tunjangan struktural dan fungsional bagi seorang guru besar menjadikan setiap dosen ngebet meraihnya. Orientasi kompensasi berlebih ini kadang kala mengabaikan sisi kompetensi yang seyogianya dikuasai sebagai prasyarat awalnya. Maka tak heran, dosen setingkat magister ingin segera naik level agar eksistensi atau keberadaannya di lingkungan sosial dan tambahan finansial segera diakui. Konstruksi arah pikiran seperti ini berdampak pada sikap dan tindakan pragmatis yakni mencomot persis gugus gagasan orang lain. Hal ini semakin dipermudah dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi yang melicinkan akses kerja seseorang. Ditambah lagi, kurang telitinya penguji dalam mengoreksi hasil garapan skripsi atau disertasi pendidik, tentu perkara ini membuka celah untuk memplagiat. 

Kedua, tidak tegasnya otoritas dalam menjerat kasus penjiplakan membuat plagiator beraksi leluasa tanpa efek jera. Padahal, UU No. 19/ 2002 Pasal 72 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, dan menjual kepada umum suatu ciptaaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta diancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta. Kendati kaidah hukumnya gamblang sebagaimana dipaparkan di muka, akan tetapi seakan-akan pemerintah dihadapkan pada dilema. Di satu sisi pemerintah harus bertindak tegas dengan menghentikan atau mencopot gelar yang diembannya. Di termin lain, institusi pendidikan masih membutuhkan kontribusi pendidik dan dosen bersangkutan karena minimnya tenaga pengajar yang pakar. Jika demikian, tak pantaslah sarjana, doktor, dan profesor disebut seorang intelektual. Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. 

Akhirnya patutlah kita mengejek mereka layaknya jargon iklan rokok. Pengin eksis, jangan lebay plis! Akan tetapi insiden di muka tidak dapat dijadikan premis argumen matinya intelektualitas kampus? Pasalnya, tradisi ilmiah seperti forum diskusi, seminar, maupun pengajaran masih sering dijumpai. Persoalannya adalah ketidakmauan mengabadikan kesimpulan dan mengapungnya ide di ruang ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan. Tentu beragam sebab telah jamak diketahui, mulai dari majunya teknologi yang memudahkan budaya copy-paste, jarang membaca dan menelaah literatur, hingga ada yang menyatakan menulis adalah bakat khusus yang dimiliki seseorang. Sehingga ia urung untuk menulis. Cara pandang demikian perlu dirubah. Karena menulis hanya membutuhkan kemauan dan kegigihan untuk terus mencoba. Bayangkan jika kita merekam menggunakan recorder apa yang disampaikan dalam ruang kuliah, forum curah pendapat, kemudian mendengarkan kembali dan menuliskannya bukankah sudah tiga kali belajar. Sebab dengan menulis dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang tidak didapat dari membaca dan mendengar. Bahkan Bobby de Potter menjadikan menulis sebagai salah satu indikator keberhasilah hidup. Menjadi pertanyaan bagaimana mentradisikan menulis. Pertanyaan ini akan susah dijawab jika anda tidak segera menulis. 

Budaya plagiat dapat dilawan dengan membangun kebiasaan menulis. Tentu kemampuan menulis ini harus sebanding dengan apresiasi yang diberikan pihak perguruan tinggi seperti memberikan beasiswa bagi mahasiswa dan dosen yang mengabadikan fikirannya dalam wujud tulisan dan karyanya dimuat di media massa. Atau pihak rektorat dapat memberikan honorarium tambahan. Kiat ini dapat memantik mahasiswa maupun dosen agar terus menulis. Tentu tidak selamanya seorang penulis dihargai dalam bentuk materi. Keinginan untuk menyebarkan pemikiran dan menciptakan perbaikan melalui tulisan patut ditanamkan. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"