Jumat, 05 Februari 2021

Firasat Sebelum Ibu Wafat

          

Ibu kami rindu
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Setelah Ibu wafat divonis covid 19, malam ini Selasa, 19 Januari 2021 adalah kali pertama saya dari Jogja pulang ke rumah. Sampai rumah pukul 21.40, suasana tampak sepi. Ternyata Bapak sudah tidur dan adik saya sedang ada acara di luar. Saat saya memasukinya, sontak saya merasa ini bukan rumah saya. Tidak ada sosok Ibu yang menyambut saya, mencium kedua pipi saya, menanyakan kabar, bahkan menunggu saya sampai larut jika pulang malam. Saya menapaki lorong rumah dari depan hingga belakang, rasanya begitu berbeda. Sampai saya menyimpulkan, kenyamanan rumah ada pada kehadiran Ibu. Dia seperti menteri dalam negeri yang mengurus segala urusan dapur dan kebersihan, memastikan keluarga kenyang, hingga menanyakan setiap urusan anaknya. Benar kata orang, meski kita sudah dewasa, Ibu tetap menganggap kita seperti anak kecil yang tak luput dari perhatiannya. Itulah fitrah seorang Ibu.


Kini Ibu sudah tiada, suasana menjadi hampa. Suara omelan kalau Agung bangun siang, menanyakan kapan saya menikah, membandingkan Catur dengan anak tetangga, hingga video call dengan Beta dan Naira cucunya, semuanya mendadak senyap. Sunyi dan Sepi. Seakan baru kemarin sore kami bercengkrama, saya pamit pada Ibu dan minta doa mau ke Jogja. Ternyata kami sekarang yang rutin mengirim doa. Allahumma firlaha warhamha waafihi wakfuanha.

Biasanya 1 atau 2 minggu sekali Ibu berkirim WA,

“Mas, tidak pulang?”

Selalu saya menjawab, “Insyaallah besok jika mau pulang saya kabari ya Buk.” Dan jika mau mudik saya mengirim pesan,

“Insyaallah saya sore ini pulang Buk. Mohon doanya ya. Semoga Allah berikan kemudahan dalam perjalanan dan keselamatan sampai tujuan ya.” Sejurus kemudian masuklah sebuah balasan, “Nggih Mase, hati-hati di jalan.” Adapun Bapak jika meminta saya pulang, lebih suka mengabari sesuatu yang penting seperti adanya tahlilan kakek, kematian saudara, atau nikahan kerabat. Cara mengekspresikan kasih sayang dan perhatian antara Bapak dan Ibu kepada anak sangatlah berbeda. Tentu para pembaca mengalaminya.

Makam Ibu di hari ke 41 

Dua tahun terakhir sebelum kabar duka tiba. Entah kenapa ada dorongan dalam diri saya untuk mempelajari fikih perawatan jenazah. Sebuah materi pelajaran yang kita peroleh saat SMP dan SMA dalam versi ringkas. Saya memang mengajar fikih di pesantren, tetapi sebatas fikih thaharah, ibadah, dan dakwah. Tak tahu kenapa, ada panggilan hati untuk menekuni tema pengurusan jenazah. Belum tuntas saya mengkajinya, Mbah Kakung dan Ibu meninggal dunia di bulan Desember 2020.

Firasat berikutnya, seusai merampungkan studi S2 di UGM pada Oktober 2017. Keinginan melanjutkan kuliah S3 dan cita-cita menjadi dosen di kampus luar Jogja mendadak sirna. Padahal ada beberapa lowongan dosen di Jawa Barat, Jawa Timur, dan luar Jawa. Tetapi saya hanya ingin mendaftar di perguruan tinggi Jawa Tengah dan Jogja. Karena saya tidak mau jauh-jauh dengan orang tua. Saya ingin birrul walidain, berbakti pada orang tua. Demikian isi hati saya. Sebuah perasaan yang timbul begitu kuat. Seakan-akan perasaan itu menuntun saya, bahwa umur Ibu tidak lama.

Saat saya asyik menempuh S1 dan S2, saya termasuk mahasiswa yang jarang pulang. Beberapa bulan sekali baru pulang. Bahkan pernah 8 bulan saya tidak pulang. Karena kesibukan menjadi mahasiswa, aktivis mahasiswa, dan mengurus pesantren. Tetapi setelah wisuda S2, rata-rata saya pulang ke rumah dua minggu sekali. Apalagi setelah Ibu terkena diabetes, hasrat selalu bersama orang tua begitu mengemuka. Saya tidak tahu, apakah seiring bertambahnya usia, bertambah pula keinginan dekat dengan orang tua. Mungkin pembaca pernah merasakannya. Saya jadi teringat pesan Nabi, “Takutlah pada firasat seorang mukmin. Sebab ia bisa melihat (peristiwa yang belum terjadi) dengan cahaya Allah” (H.R. Tirmidzi). Firasat itu, kita baru menyadari kebenarannya setelah peristiwa itu terjadi. Firasat adalah prolog cerita, sebelum cerita utama tiba. Semoga kita termasuk pribadi yang peka dengan firasat, sehingga mampu membaca cerita utama sebaik-baiknya.

 

Vivit Nur Arista Putra

Penulis Buku “Pecandu Buku”

 

Tidak ada komentar: