Rabu, 05 Januari 2011

Abdullah bin Uraiqith

Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"



Senarai Kilas Sejarah...


Ketika umat Islam mengurai prosesi hijrah Rasulullah saw. Kebanyakan khalayak menyebut Abu bakar, Ali, Amir bin Fuhairah, Asma dan Abdullah bin Abu bakar. Pembaca sirah tampaknya melupakan satu orang yang berjasa pada perjalanan spiritual yang menggoda marabahaya dan menentukkan tegaknya negara Islam itu. Uniknya lelaki ini musyrik. Jika diusut menurut penuturan Ibnu Ishaq sebagaimana diabadikan dalam sirah nabawiyah Ibnu Hisyam –dia berasal dari bani Ad-Dail bin Bakr dan ibunya dari bani Sahm bin Amr-. Sejarawan menyebutnya Abdullah bin Uraiqith. Tak ada riwayat yang lebih detail mengenai ciri fisik dan rekam jejak hidupnya.

Rumah Pensil Publisher

Tiga hari sebelum hijrah ke Madinah, Abdullah bin Uraiqith diupah oleh Abu bakar untuk merawat dua ekor unta yang dipersiapkannya untuk hijrah bersama Muhammad. Setelah melewati malam Jum’at, Sabtu, dan Minggu di gua Tsur, keduanya mengontak Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan untuk memulai ekspedisi ke Yastrib. Mereka berempat melewati jalur yang jarang dirambah kaki manusia yakni mengarah ke Yaman, dari Makah ke arah selatan.

Dalam catatan perjalanan seorang Nabi, menurut Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury dikatakan, setiap orang yang berinteraksi dengan Nabi ketika bertolak ke Madinah seperti Suraqah bi Malik, Abu Buraidah dan tujuh puluh orang dari kaumnya yang memburu Muhammad, setelah berdiplomasi kemudian memutuskan memeluk Islam. Begitupun dengan Abu Ma’bad suami Ummu Ma’bad yang menyuguhkan kambing kurusnya yang diperas Muhammad saw menjadi bersusu. Dalam diskusi interaktif Rasulullah dengan tokoh di muka, Abdullah bin Uraiqith menjadi audien bersama Amir bin Fuhairah dan Abu bakar. Tentu mereka merekam apa yang disabdakan Muhammad seputar keagungan keislaman yang membuat publik tertarik mengikuti ajaran Ilahi. Ibarat marketing yang menawarkan Islam pada investor agar menanamkan keyakinannya membeli rumah surga dengan memeluk Islam. Tetapi tak ada catatan berikutnya yang menerangkan Abdullah bin Uraiqith berikrar pada Allah dan Rasulnya. Jika demikian, dia tak termasuk kategori sahabat. Sebab, definisi sahabat ialah orang yang hidup di masa Nabi, bertemu dan berjuang dengan Nabi, serta berIslam hingga akhir hayatnya.

Seakan baginda Nabi memberi kaidah pada umatnya perihal kiat bermuamalah dengan kaum kafir. Usut punya usut, selidik punya selidik, ada tiga alasan kenapa seorang kafir Abdullah bin Uraiqith diajak menyertai laku hijrah. Pertama, dia adalah pemuda yang jujur. Terbukti Abu bakar menitipkan dua unta kepadanya selama tiga hari agar dipelihara untuk persiapan hijrah. Kedua, dia pria profesional dan pakar dalam merawat unta yang tetap sehat mengantar Nabi menuju Quba’. Unta Nabi inilah yang kemudian diberi nama Quswa dan berhenti di rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap. Ketiga, dia menguasai medan rute Makah-Madinah dan penunjuk jalan yang cermat.

Jujur, profesional, dan kepakaran (penunjuk jalan) menjadi pertimbangan menyertakan Abdullah bin Uraiqith dalam perjalanan melegenda itu sekaligus menjadi teladan dalam berhubungan bermasyarakat dengan orang kafir dengan syarat di atas. Tetapi untuk urusan transenden atau ibadah, kita dilarang untuk mencampuradukkan ajaran keduanya. Sebagaimana bunyi pesan langit “untukmu agamamu dan untukku agamaku” Q.S. Al Kafirun; 5.


Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Sabtu, 01 Januari 2011

Sepak Bola dan Nasionalisme

Dimuat di Harian Jogja, 4 Januari 2010 

Meratapi kekalahan timnas... 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Satu dasawarsa terakhir semangat nasionalisme atau cinta tanah air mulai luntur dari pundak lintas generasi bangsa. Kita terlalu sering menggerutu, underestimate, dan menjelek-jelekkan tanah air sendiri. Menurut penulis, faktor penyebabnya ialah maraknya centang perenang problematika yang tak kunjung tuntas dipecahkan seperti korupsi, harga pangan mahal, penegakkan hukum tebang pilih membuat kita selaku generasi muda melampiaskannya kepada pemerintah dan ibu pertiwi. Kini ketika melihat perjuangan tim nasional Indonesia di piala AFF, ekspektasi publik dan media sangat tinggi untuk menyaksikan tim Garuda menjadi terbaik di belahan Asia Tenggara.


Luapan keinginan ini wajar, sebab timnas dianggap sebagai representasi Indonesia dalam bidang olah raga yang mampu mengharumkan nama bangsa di bumi ASEAN. Kendati hanya runner up, khalayak mengapresiasi semangat tempur Firman Utina dkk. Bentangan spanduk Indonesia tetap semangat, Indonesia tanah tumpah darahku, hingga Garuda di dadaku menjadi manifestasi ungkapan semangat kebangkitan kebangsaan secara simbolik dalam benak penonton di seantero nusantara. Tentu selaku warga negara yang memiliki keterkaitan emosional dan darah menyeruaknya semangat nasionalisme adalah lumrah. Dan spirit juang putra terbaik Indonesia dalam kancah sepak bola dijadikan momentumnya. Ya, sepak bola memang dapat menyatukan batas dan ragam agama, etnis, dan budaya. Perhelatan turnamen dua tahunan ini seakan hadir untuk memberikan hiburan bagi rakyat Indonesia di tengah lilitan ekonomi dan kesulitan hidup yang mendera.

Di era rezim Soeharto loyalitas pada Pancasila dan Indonesia memang terasa. Namun jika mencermati liku sejarah, perasaan itu timbul karena paksaan penguasa melalui kebijakan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi dan kebijakan P4 (penghayatan, penerapan, dan pengamalan Pancasila). Kini rasa cinta tanah air mendadak menyeruak dengan sendirinya dengan terlibat secara emosional melihat timnas bertanding. Pelajaran moralnya, jika semangat kebangkitan kebangsaan mengemuka dengan stimulus yang disuka (baca; sepak bola). Maka menjadi pekerjaan rumah bagi kita untuk mengalihkan rasa kesuka-cintaan kepada termin hidup lainnya. Agar kita merasa memiliki, bangga, dan membela sehingga rasa nasionalism dapat berkibar tidak sekadar temporer, namun permanen dalam relung kalbu kita. 

Vivit Nur Arista Putra
Pengamat Sepak Bola

Sabtu, 30 Oktober 2010

KAMMI Reaksi Cepat Tanggap Bencana

Dimuat di Harian Jogja dan Republika, Jum'at, 29 Oktober 2010 

Pasak bumi meletus sudah. Merapi gunung teraktif di pulau Jawa memuntahkan abu vulkanik yang memberangus puluhan orang dan ratusan tempat tinggal di sekelilingnya. Badan Vulcanologi dan Mitigasi bencana sebelumnya sudah menaikkan status Merapi menjadi awas dan meminta warga untuk mengungsi. Tetapi pertimbangan mistik dan emosi tampaknya mengalahkan faktor rasional ilmiah. Puluhan warga masih saja bertahan selama belum ada perintah (dawuh) dari sang juru kunci. Imbasnya banyak penduduk tewas dilalap abu vulkanik termasuk mbah Maridjan. Konon, posisi mayatnya dalam keadaan sujud saat ditemukan di rumahnya. Pihak Keraton, Sri Sultan Hamengkubuwono X pun berucap berduka cita pada tokoh bintang iklan minuman suplemen itu. Ribuan warga dari daerah Kupuharjo, Kaliurang, Ngipiksari, Boyong, Banteng pun dievakuasi ke beberapa pos kemanusiaan seperti posko Hargobinangun di kantor kepala desanya, posko Umbulharjo, Cangkringan dsb. 

Adapun total pengungsi di dusun Hargobinangun mencapai 4538 orang. Kepala desa Hargobinangun, Beja Wiryanto menjelaskan data ini ada kemungkinan bertambah dalam beberapa hari ke depan. Mendadak korban erupsi Merapi mendapat bantuan amal pelbagai instansi. Isu kemanusian memang menjadi isu sentral bagi semua lembaga dan organisasi massa untuk berkontribusi membantu pelayanan pengungsi. “Saat ini yang mendesak dibutuhkan yaitu minyak goreng, gula, alat mandi, selimut, pakaian anak-anak, susu, roti, dan air. Selain itu menurut saya mesin diesel juga sangat penting untuk mengantisipasi jika mati lampu. Soalnya kalau gelap, ngurus 4000 orang repot mas, belum lagi jika ada tindakan pencurian memanfaatkan kondisi seperti itu” tutur Pak Beja selaku Kades saat ditanya. 


Merespon kondisi mendesak di muka, KAMMI Wilayah Yogyakarta membentuk KAMMI Children Center dengan fokus penanganan anak-anak. Menurut pusat data informasi di Pakem jumlah anak lebih kurang 450 an. Hal ini belum termasuk di tempat lain yang begitu membutuhkan asupan makanan dan manajemen psikososial untuk menghilangkan sisi trauma akibat bencana. Oleh sebab itu, KAMMI mendirikan posko di beberapa tempat. Pertama posko di belakang SD Hargobinangun yang dikomandoi KAMMI UNY melalui tim METAMA (Mendadak Tanggap Erupsi Merapi). Sedangkan posko bertempat di Umbulharjo diurus kawan KAMMI UGM, dan posko di Turi ditangani KAMMI UII. Bentuknya selain memasok makanan anak noninstan dan mengirimkan bantuan makanan anak, roti, susu, perlengkapan mandi, selimut, minyak goreng dll. KAMMI juga akan mendirikan sekolah darurat dan program trauma healing melalui out bound dan indoor untuk membantu menghilangkan penyakit trauma bencana anak. Bagi pembaca yang berkenan memberikan donasi dan bantuan produk dapat menghubungi Putra (085228302376), Waryin (085327000321), atau Iqbal (081802635614). 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI 

Kamis, 28 Oktober 2010

Jika DPR Tak Beretika

Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, 27 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Untuk kesekian kalinya anggota dewan kita membuat heboh publik. Kali ini dari anggota Badan Kehormatan DPR RI yang tetap ngeyel melakukan kunjungan kerja ke Yunani. Sebanyak 8 anggota BK sudah terbang Sabtu kemarin ke Eropa di tengah kecaman khalayak yang begitu gencar menolak agenda plesiran ke negeri para filsuf itu. Penulis memandang, ini adalah aktivitas yang tidak masuk akal bagi seorang wakil rakyat. Kendati memiliki legalitas formal yakni UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan jatah dua kali kunjungan bagi setiap anggota dewan per tahun, tetapi akan lebih baik jika lawatan ke mancanegara untuk mengetahui hal yang urgen dan berdampak pada kemaslahatan lebih bagi Indonesia. Begitupun dengan pemilihan lokali negara, harus selektif dan asal tunjuk. 

DPR RI

Ada beberapa point yang perlu dikritisi masyarakat dengan melihat aktivitas “jalan-jalan” pejabat publik Senayan. Pertama, kunjungan kerja ke benua biru dengan dalih untuk mengetahui etika politisi Yunani dalam berpakaian, perbedaan pendapat, dan memimpin sidang sangatlah menghina akal sehat. Kenapa kita selaku warga timur harus survei ke sana, bukankah banyak bule yang kagum dengan sopan santun warga Indonesia. Dan bukankah eks presiden Polandia, Lech Walesea berkata, orang Eropa harus belajar berdemokrasi di Indonesia. Ini pertanda politisi BK sedang krisis etika. Padahal BK mempunyai peranan mejalankan tata tertib atau etika anggota DPR yang UU belum setahun diratifikasi. Belum lagi pemilihan Yunani sebagai negara tujuan. Padahal, negeri Aristoteles itu marak korupsi dan baru sembuh dari krisis ekonomi. 

Kedua, selama ini kegiatan anggota parlemen ke luar negeri tidak transparan laporannya dan tidak meningkatkan produktifitas menghasilkan UU. Faktanya dalam rentang waktu sejak dilantik September 2009 hingga Oktober 2010 dari 70 RUU yang ditargetkan, baru terrealisasi 5 UU. Atau jangan-jangan anggota DPR tersendat problem bahasa yang membuatnya tak mampu menangkap apa yang dibicarakan sehingga tak berpengaruh pada proses legal drafting. Ini artinya kunjungan ini tak sebanding dengan duit yang dikeluarkan sekitar 2,2, Milyar menguras uang rakyat. Padahal pimpinan DPR dapat menganulir jadwal kunjungan sekiranya tidak terlalu penting. Jika tetap ngotot, rakyat dapat menyimpulkan bahwa anggota DPR memang berhati batu dan tak beretika di tengah kecaman publik yang menggema. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Universitas Negeri Yogyakarta 

Rabu, 20 Oktober 2010

Menyoal Sistem Kontrol Anggota DPR

Dimuat di Suara Merdeka, 16 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Banyaknya anggota DPR yang bolos kerja sudah menjadi penyakit akut dan isu lama yang mengemuka. Masyarakat, aktivis LSM, dan media massa pun telah mengkritik dan mengolok-olok budaya mubazir ini. Tak hadirnya anggota dewan saat rapat, membuat rapat ditunda karena tak memenuhi kuorum. Dampaknya rancangan undang-undang (RUU) pun tak kunjung usai disahkan dan tetap menumpuk di meja kerja. Entah sikap gerah atau tertekan opini publik, wakil ketua DPR Priyo Budi Santoso menginstruksikan pimpinan fraksi untuk memberikan sanksi tegas terhadap anggotanya yang sering alpa. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bahkan menyuguhkan usulan absensi menggunakan finger print (sidik jari) dan hukuman berupa pemotongan tunjangan. 


Ihwal ini menjadi wacana dan perbincangan publik mengenai efektivitasnya. Benarkah pengurangan tunjangan ini menjadi tindakan efektif, sebab mayoritas anggota dewan orang kaya raya. Banyak masukan agar diterapkan sistem kontrol wakil rakyat di Senayan. Menurut penulis, ide ini justru menurunkan wibawa anggota dewan. Sebab, orang yang duduk di Jakarta ialah orang pilihan hasil seleksi pemilu legislatif dari berbagai provinsi di Indonesia. Mengamini argumen Anis Matta, DPR bukan perusahaan tetapi lembaga politik sehingga tak perlu kontrol berlebihan. Jika DPR diawasi terus, anggota dewan diposisikan seperti anak TK. Ada pula yang menginginkan bagi yang sering bolos kerja dipecat, dipangkas gajinya, atau namanya dipajang di lampu merah pinggir jalan. Jika difikir, pembahasan sistem kontrol yang mengimbas efek jera membuat publik terjebak pada persoalan teknis semata. Dan ini merupakan langkah mundur, seharusnya yang digagas sekarang ialah seperti apakah output kerja dewan yang hendak diupayakan dan bagaimana indikator penegasnya. 

Sebaiknya substansi kinerja inilah yang menjadi topik perumusan, bukan perkara adminstratif saja. Sehingga jika output atau hasil kerjanya baik, maka kemajuan ini dapat sedikit banyak menutup aib aktivitas tercela bolos kerja. Setidaknya sebagai pejabat publik, setiap personal wakil rakyat haruslah mawas diri. Jika mereka terus-terusan tak hadir rapat, hal ini akan meruntuhkan citra dirinya. Imbasnya masyarakat tidak akan memilih dirinya dalam pemilihan legislatif mendatang. Kontrol dapat dilakukan perwakilan daerah pemilihannya mengenai kebermanfaatan dirinya untuk dapil, dewan pimpinan partaipun harus garang dan lantang menindak tegas anggotanya yang mbalelo (nakal dan khianat terhadap janjinya). Begitupun media massa dapat berperan sebagai wacth dog (anjing pengintai) bagi siapa saja anggota DPR yang mangkir di jam kerja. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Universitas Negeri Yogyakarta

Mengurai Loyalitas Ekstrem Kesukuan

Dimuat di Akademia KOMPAS Jogja, 8 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Beberapa pekan terakhir jalinan kehidupan berbangsa dan bernegara terecoki konflik. Kasus teranyar, konflik antaretnis di Tarakan dan kerusuhan antarkomunitas di Jakarta menuai sorotan publik sepekan terakhir. Ini adalah kres lintas entis ketiga kalinya di pulau Borneo. Sebelumnya kita masih ingat konflik “segitiga” suku antara etnik Dayak dan Melayu versus Madura di Sambas, Kalimantan Barat. Serta konflik Sampit, Kalimantan Tengah antara Madura melawan Dayak satu dekade silam.

Khalayak menyaksikan di layar kaca, tampak huru-hara antarkubu berlangsung leluasa tanpa intervensi aparat. Seakan hubungan warga negara (citizenship) dan negara ada jarak (gap) dan sama-sama “terasing” atau “mengasingkan diri”. Dan layaknya film di televisi, konflik diredakan dengan cara-cara konvensional. Seperti polisi datang hanya berperan sebagai “pemadam kebakaran” bahkan represif untuk menghentikan bentrokan, melalui jalur pengadilan untuk memecahkan masalah, bahkan perjanjian perdamaian telah dilakukan untuk mengahiri keos. 


Di permukaan, memang problem konflik tampak usai. Tetapi, kasus di muka akan meletup ulang jika rasa dendam tersisa dan asal muasal masalah tidak diurai. Oleh sebab itu, perlunya mengkaji persoalan mendasar yang menjadi pangkal gejolak pertempuran. Menurut penulis ada pelbagai problematika yang melatarinya. Pertama, fenomena kerusuhan massal yang terjadi dalam rentang waktu relatif singkat di beberapa daerah disebabkan munculnya frustasi sosial di masyarakat lantaran tak mampu memecahkan pokok persoalan. Rebutan lahan parkir di Ibukota dan perkelahian remaja di Tarakan menjadi pemicu menyulutnya api konflik dua kelompok. 

Di termin lain, pemerintah tak mampu melindungi hak-hak warganya untuk mendapatkan rasa aman dan kesejahteraan. Padahal menurut John Locke, legitimasi kekuasaan negara ditentukan seberapa besar perannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Buruknya manajemen pemerintah berdampak pada lemahnya pelayanan publik, khususnya alokasi ekonomi yang tidak merata. Imbasnya memunculkan urbanisasi di daerah Jawa dan Sulawesi yang secara demografi mengalami kepadatan penduduk dan menyebar ke wilayah pelosok negeri. Terkhusus di Tarakan, yang notabene termasuk daerah berinflasi tinggi di Indonesia dan dihuni warga beragam etnis seperti Tidung (suku asli), Bugis, Jawa, NTT, Banjar dan sebagainya. Kenyataannya, dari segi sosial warga pendatang ternyata lebih survive yang mampu menguasai sektor ekonomi setempat. Ihwal inilah yang kemudian mencuatkan penyakit iri sosial.

Ini pertanda, meleburnya sentralisasi menjadi desentralisasi dengan kewenangan lebih gagal dan tak mampu memakmurkan rakyat. Bahkan wakil ketua DPD RI, Laode Ida mengatakan, manajemen otonomi daerah sekarang lebih berbasis pada kepentingan politik yang sarat orientasi pragmatis, terutama jabatan dan materi tanpa peduli dengan masyarakat lokal. Kedua, jika dikaitkan dengan gagasan Hakimul Ikhwan (Sosiolog UGM) persoalan di atas diperparah dengan rasa solidaritas yang masih sangat partikularistik dan tradisional primordial. Gejala ini ditandai dengan melihat orang luar (di luar kelompok) sebagai ancaman. Trust atau kepercayaan hanya mungkin dalam konteks relasi yang sangat sempit dan terbatas. Kepercayaan dan sikap solidaritas sulit sekali dibangun dengan relasi lintas komunitas. Akibatnya jabatan dan fasilitas publik dikelola dengan frame kekeluargaan, partikularistik yang dapat memantik kedengkian dan keonaran sosial. Hal ini diperparah jika tidak ada figur sentral kharismatik yang memperkuat konsolidasi warga sipil.

Jika chauvinisme (fanatisme terhadap suku) dan etno-nasionalisme semakin menguat, perkara ini akan menjadi faktor disintegrasi berbahaya. Negara harus cekatan bertindak untuk memutus loyalitas ekstrem terhadap suku dengan membentuk norma bersama tanpa menghapus jati diri etnis di tengah Pancasila yang tak lagi sakti.

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta

Meminimalisir Plesiran Kerja DPR

Dimuat di Lampung Post, Kamis 7 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seorang pengamat politik mengatakan, anggota DPR RI sudah memiliki semua hal. Gaji melimpah, fasilitas, dan tunjangan tetapi satu hal yang tidak mereka miliki; rasa malu. Ya, agaknya pernyataan ini selaras dengan aktivitas komisi IV dan X yang melakukan kunjungan kerja ke Eropa, Afrika Selatan, Jepang dan Korea Selatan untuk menambah referensi dalam prosesi pembuatan RUU Holtikultura dan Kepramukaan. Malangnya aksi plesiran tersebut menghabiskan uang rakyat 3,7 Milyar rupiah. Kegiatan ini merupakan rangkaian kebijakan sedemikian rupa yang merogoh kocek saku rakyat dalam-dalam. Sebelumnya telah muncul usulan dana aspirasi 1 milyar per desa, rancangan gedung baru DPR berfasilitas wah spa, apotek, dan kolam renang yang disetting layaknya mal sebesar 1,6 Trilyun. Kini uang tiga milyar lebih terbagi rata ke 34 orang anggota parlemen yang terbang ke mancanegara di tengah kondisi ekonomi rakyat yang tidak merata. Bahkan muaranya memunculkan konflik horizontal baru-baru ini. 

DPR RI

Data yang dilansir Indonesia Budget Centre tahun 2010 ini menyatakan alokasi dana untuk studi banding anggota DPR ke luar negeri berjumlah 162,9 milyar rupiah. Adapun rincial detailnya terbagi menjadi empat tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Pertama, fungsi legislasi (legal drafting) yang membutuhkan duit 73,4 Milyar. Kedua, controlling atau fungsi pengawasan dengan alokasi 45,9 milyar. Ketiga, fungsi anggaran (budgeting) 2,026 milyar dan keempat, porsi rupiah untuk kerja sama internasional dalam forum parlemen dunia mengambil uang 41,4 milyar. Di sisi lain, jika mencermati fluktuasi anggarannya, Forum Indonesia untuk transparansi anggaran (FITRA) melaporkan, APBN perubahan 2010 kunjungan kementrian negara dan anggota parlemen mengalami lonjakan nominal 48 milyar. Sedangkan total uang yang dihabiskan untuk kunjungan ke negeri manca ialah 19,5 trilyun. Jika dirigidkan lagi, pengeluaran per tahun lembaga kepresidenan paling tinggi mencapai 179 milyar, disusul DPR 170 milyar per tahun. Sedangkan lembaga kementrian yang memperoleh jatah uang paling banyak ialah kementrian kesehatan RI dengan 145 milyar diantara kementrian lain. 

Memang secara legalitas formal undang-undang kegiatan kunjungan ke luar negeri ini mempunyai landasan kerja penggerak sebagaimana diamanatkan UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan pembagian minimal dua kali kunjungan setiap anggota dewan per tahun. Tetapi benarkah satu kegiatan ini memudahkan proses perumusan pembuatan UU? Faktanya di tahun 2010 saja dari 70 RUU yang menjadi target DPR baru terealisasi 5 UU. Ihwal ini tentu menunjukkan kontradiksi maraknya aktivitas dengan hasil kerja yang tidak produktif. Atau dalam perspektif ilmu manajemen agenda survei ke negeri orang tidak efektif (tepat guna) berkaitan dengan UU yang dihasilkan dan efisien (berdaya guna) terutama borosnya anggaran negara yang dikeluarkan. 

Oleh sebab itu, kegiatan pejabat negara ke luar negeri dituntut untuk transparan ke publik, seperti term of reference kunjungan untuk apa dan melaporkan hasil kunjungannya. Sehingga nantinya rakyat dapat menilai seberapa signifikan dengan produk UU yang dibuat pejabat Senayan. Di sudut lain, plesiran pejabat ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan beberapa hal. Pertama, mendatangkan pakar luar negeri berkaitan dengan objek yang diteliti. Kedua, penggunaan teknologi internet untuk pencarian data dan memanfaatkan jaringan parlemen dunia. Ketiga, menambah tugas dan wewenang KBRI yang berada di negara lain, untuk mencari data yang diperlukan Indonesia. Hal ini akan menghapus kesan publik bahwa pemerintah terkesan menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan ke negeri jiran, kendati kunjungan kerja juga tetap diperlukan.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute