Sabtu, 30 Juli 2011

Mukernas KAMMI

Dimuat di Citizen Jurnalis Tribun Jogja, Jum'at, 29 Juli 2011 

Menyongosong kepengurusan baru di bawah kepemimpinan Muhammad Ilyas, Lc. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melakukan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) untuk menentukan arah gerak organisasi ke depan. Bertempat di Bandung, Jawa Barat, 18-22 Juli 2011. Arahan kerja KAMMI periode 2011-2013 dibagi menjadi tiga. Pertama, secara internal akan memperkuat leadership and organizational building. Meliputi meningkatkan kapasitas kader dalam pemahaman dan amal dalam menghadapi persoalan kebangsaan serta melaksanakan peran perbaikan terhadap negara. Rasa optimisme menyeruak lantaran KAMMI memiliki 50.000 lebih kader yang siap berkontribusi demi kemaslahatan Indonesia. 


Kedua, secara eksternal yaitu membangun peran ke-Indonesiaan dengan mendorong penegakan supremasi hukum dengan upaya penyelesaian korupsi yang tanpa pandang bulu dan mendorong terciptanya kepemimpinan bangsa yang berintegritas, bersih, dan berdaulat. Sikap ini diambil karena dilatari masih menyusunya dan masih memiliki ketergantungan yang tinggi kepada bangsa asing. Ditambah maraknya kasus penilapan uang negara oleh elit negeri yang tidak memberikan contoh yang baik pada masyarakat. Krisis keteladanan inilah berdampak rasa frustasi sosial yang menggejala bahkan membuncah dengan penuh harap agar pemimpin negeri ini segera turun tahta dan menyerahkan kepada ahlinya. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berikrar dalam kampanyenya akan berapa di garda depan pemberantasan korupsi, justru kontradiktif di lapangan. Banyak kader partai penguasa yang terjerat kejahatan extra ordinary ini seperti Sarjan Taher, Agusrin Najmudin, Yusak Waluyo, Amrun Daulay hingga Nazaruddin bendahara mantan partai Demokrat yang kini menyeret nama Anas. Ibarat sapu lidi yang digunakan untuk membersihkan lingkungan tetapi ujung sapunya terkena tahi, apakah pekarangan menjadi bersih. Tidak justru tambah kotor. Begitulah perumpamaan pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Bagaimana mungkin partai penguasa dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat jika partai berjargon katakan tidak pada korupsi ini malah mengajari korupsi. Inilah negeri penuh ironi. 

Berpijak persoalan di muka, KAMMI selaku elemen pemuda Indonesia mencetusan kebijakan. (1) Mendorong pelaksanaan pemerintahan yang bersih, adil, dan mandiri. KAMMI akan terlibat aktif dalam mengawal terciptanya kepemimpinan nasional dan daerah yang progressif dan pro rakyat. (2) KAMMI akan terlibatnya dalam pembahasan APBN dan APBD. Dengan harapan adanya efektifitas dan efisiensi penggunaan dan penyusunan APBN/APBD. Sebab, sesuai laporan Kemendagri banyak sekali pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD 60 persen lebih untuk anggaran rutin atau gaji pegawai. Sehingga hal ini membutuhkan kesiapan dan kemampuan kader KAMMI dalam mengakses, membaca, dan mengritisi APBN dan APBD. Terlibat dalam program legislasi di tingkat nasional dan daerah. (3) Mengawal kasus Besar yang menjadi perhatian masyarakat, seperti BLBI, dan menolak lupa Century-Gate. 6,7 Trilyun uang negara yang dikuras dengan dalih menyelamatkan sebuah bank swasta agar tak berimbas sistemik hingga ini tak tahu menahu ujung. 

Maka KAMMI menuntut para penegak hukum maupun panitia khusus yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar segera mengusut biang keladinya. Itu semuanya karena KAMMI bukan hanya lahir dari gerakan dakwah kampus tahun 80 an melalui momentum reformasi. Tetapi KAMMI juga merupakan mata rantai gerakan pemuda Islam, gerakan pemuda Indonesia yang memiliki kepedulian yang tinggi untuk memecahkan problem negeri. Terakhir KAMMI juga menaruh perhatian kepada persoalan internal KPK dan menuntut agar KPK membentuk tim independen (bukan tim internal) untuk mengusut tudingan Nazaruddin yang mengarah pada Chandra Hamzah dan Ade Raharja. Sikap ini perlu segera dilakukan untuk menjadi integritas KPK dan kepercayaan publik Indonesia.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Meretas Anggaran untuk Rakyat

Dimuat di Suara Karya, Senin, 25 Juli 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang berlebihnya belanja pegawai pemerintah daerah (pemda) mengundang keprihatinan publik. Sebanyak 124 pemda, anggaran pegawainya di atas 60% dan belanja modalnya hanya 1-15%. Angka tertinggi dicapai Kabupaten Lumajang yang untuk mengupah para pegawai negeri sipil (PNS) harus mengeluarkan 83% dari APBD. 

Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati pernah menyampaikan bahwa dana dari APBN yang dikirim ke daerah berjumlah Rp 393 triliun. Lebih lanjut LSM Fitra menyebutkan sejak 2007, jatah uang untuk gaji pegawai daerah mencapai 44% dari APBD dan tahun 2010 meningkat menjadi 55%. Sementara belanja modal turun drastis dari 24% di tahun 2007 menjadi 15% di tahun 2010. Ini artinya porsi dana untuk program pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat minim. Tak heran jika banyak daerah berada dalam kondisi stagnan dan tidak mengalami kemajuan signifikan, seperti Pati, Ponorogo, Pacitan, Gunung Kidul dan lain-lain. Imbasnya, lapangan kerja pun tidak tercipta dan masyarakat memutuskan mencari kerja di luar tempat lahirnya dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) atau terlibat urbanisasi dengan menjadi buruh serabutan yang semakin menambah sesak kawasan Ibu kota.  

Rumah Pensil Publisher

Di termin lain, pemerintah merencanakan kenaikan gaji sebesar 10% bagi PNS, tahun depan. Rasionalisasi yang dipakai ialah untuk menyejahterakan kalangan aparatur negara. Benarkah demikian? Bukankah ini merupakan kebijakan yang kontradiktif dengan pernyataan Menteri Keuangan Agus Martodiharjo yang mengeluhkan membengkaknya beban gaji PNS yang harus ditanggung negara dan membebani APBN, sehingga mewacanakan moratorium PNS dan pensiun dini. Jika dasarnya APBN naik 10% setiap tahun maka tak menjadi soal dengan kenaikan gaji. Tetapi, bukankah APBN kita terserap 35% setiap tahunnya untuk melunasi utang Indonesia yang hingga April 2011 tercatat Rp 1.600 triliun lebih? Alhasil, reformasi birokrasi yang menjadi amanat reformasi sejak 1998 hingga kini, mencuatkan kesan publik hanya sebatas remunerasi tanpa ada optimalisasi fungsi. Tak percuma jika penambahan gaji berkorelasi dengan semakin meningkatnya kontribusi, profesionalitas, dan pelayanan. Faktanya di lapangan, masyarakat ketika mengurus surat izin atau mengadukan suatu permasalahan, masih direspon dengan cara lama dan berbelit-belit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah yang orientasinya mendekatkan penyelenggara negara dengan masyarakat agar mudah dan cepat untuk mengurusnya. 

Oleh sebab itu, penulis sepakat dengan upaya Menteri Dalam Negeri yang hendak menata ulang anggaran dalam UU No. 32/ 2004 tentang pemerintah daerah. Jika diratifikasi UU ini akan berimbas pada UU No. 33/ 2004 tentang perimbangan keuangan daerah. Dengan demikian akan tercipta pengaturan batasan belanja pegawai dan belanja modal, sehingga pemda tak dapat seenaknya menggaji pegawainya dan jatah dana untuk modal pembangunan dan kesejahteraan rakyat lebih besar. Ke depan pemerintah harus memperbaiki pola rekrutmen PNS dengan mempertimbangkan dua aspek. Pertama, mempertimbangkan faktor demografi atau jumlah penduduk yang dilayani. Sebab, penambahan pekerja pemerintahan tak bisa asal-asalan. Obesitas pegawai malah menimbulkan rendahnya kinerja lantaran terjadi overlaping (tumpang tindih) pengurus. Tahun ini saja Pemda Sleman, misalnya, menerima 1.250 CPNS. Rasional dan tidaklah khalayak dapat mengkritisi dengan mengkomparasikan berapa nominal masyarakat yang ada. Kedua, memperhatian kemampuan fiskal daerah. Jangan sampai anggaran rutin pegawai lebih besar ketimbang anggaran pembangunan. Karena, pajak dari masyarakat yang digunakan untuk gaji mereka akan terasa percuma dan pembangunan daerah pun akan tertunda. Maka menggagas politik anggaran pro kemakmuran rakyat menjadi niscaya. Untuk menanggulanginya penulis sependapat dengan gagasan pemberhentian rekrutmen PNS dan merealisasikan pensiun dini. Sisi positifnya tentu akan mengurangi beban APBN dan APBD. Anggarannya dapat dialokasikan untuk pembangunan daerah atau memperbaiki pelayanan kesehatan serta meningkatkan operasional pendidikan. Sehingga, jenjang SD dan SMP dapat terbebas dari pungutan pembayaran sebagaimana konstitusi amanatkan. Kiat ini sangat mendukung wajib belajar 9 tahun yang di-gadang-gadang pemerintah dan menyongsong wajib belajar 12 tahun. Di sisi lain, anggaran tersebut dapat digunakan pemeritah pusat untuk memperbesar anggaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa bunga bagi unit-unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). 

Selain itu, anggaran tersebut juga untuk memutar roda ekonomi masyarakat akar rumput sekaligus membuka peluang terserapnya tenaga kerja dan mengurangi pengangguran yang kini tercatat 8,39 juta. Apalagi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah juga telah menghapus Pajak Penghasilan (PPh) selama 5-8 tahun ke depan, dengan kepemilikan aset 2,5 miliar dan total omzet 8 milyar. Kebijakan ini tentunya amat mendukung UMKM bergeliat dan siap bersaing tanpa beban pajak di samping. Para mahasiswa juga dapat memanfaatkan hal ini dengan membuka usaha agar orietasi kuliah tak sekadar mencari kerja tetapi juga dapat membuka lapangan kerja. Semoga kita semua dapat mewujudkannya. Amin. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY.

Pendidikan Berkarakter Profetik

Dimuat di Gagasan, Suara Merdeka, 18 Juli 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Dewasa ini ramai diperbincangkan penerapan pendidikan karakter di satuan pendidikan. Khalayak tentu menanti janji Menteri Pendidikan Nasional untuk mulai memberlakukan mata pelajaran pendidikan karakter dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi di tahun ajaran 2011 ini. Awal mula ide pendidikan karakter ini didasari kritik sosial atas proses pendidikan nasional yang lebih dominan mengasah ranah kognitif peserta didik, sedangkan sisi afektif dan psikomotorik tidak mendapatkan jatah seimbang. Tak dapat dimungkiri sistem evaluasi Ujian Nasional (UN) memaksa anak untuk lebih banyak memberdayakan aspek nalar dalam proses belajarnya. Apalagi hanya tiga mata pelajaran inti yang berpengaruh kuat mengatrol nilai kelulusan membuat anak berfikir pragmatis. Berorientasi hasil (pokoknya lulus) tanpa menghargai proses. 

Ihwal ini akan membuat materi pelajaran lain terabaikan, termasuk segi sikap dan nilai serta keterampilan. Kongkalikong dalam UN antarguru dan murid atau sesama pelajar pun jamak ditemui demi mewujudkan satu kata, lulus. Inilah salah satu akar penyebab terjadinya demoralisasi dalam dunia edukasi. Di termin lain, Muhammad Nuh malah menyebut terjadi gap atau kesenjangan antara keilmuan yang dimiliki dengan sikap keseharian. Sebagai contoh, hakim yang seharusnya mengadili malah diadili, pendidik yang seharusnya mendidik malah dididik, pemimpin yang selayaknya melayani malah minta dilayani. Oleh sebab itu, penerapan pendidikan karakter amat mendesak untuk diberlakukan. Karakter yang dijadikan rujukan tentunya ialah karakter kenabian (prophet). Pendidikan berkarakter profetik menjadikan kesadaran berke-Tuhan-an sebagai basis dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter siswa. Hal ini dilakukan karena seluruh kendali pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang dilakukan oleh sistem keyakinan (believe system). 

Rumah Pensil Publisher

Selain itu, proses pendidikan juga berusaha untuk mengembangkan kesadaran akan adanya pengawasan-Nya dalam setiap ucapan dan perilaku. Inilah alasan pertama dari pilihan menjadikan nilai profetik sebagai arahan nilai dalam pendidikan profetik. Tetapi bukankah pendidikan profetik lebih terfokus pada aspek kognitif juga? Ya jelas, karena memang akal merupakan anugerah terbaik sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Hanya saja kultur lingkungan sekolah dan kampuslah yang nanti akan turut serta membantu keberhasilan proses pembentukan karakter. Sebab itu, partisipasi aktif seluruh insan pendidikan mulai kepala sekolah, pendidik, hingga karyawan untuk mewujudkannya, karena kesuksesan ini akan dipengaruhi faktor keteladanan orang-orang terdekat mitra didik. Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan pada proses internalisasi pendidikan karakter di kelas, yaitu memberikan metode belajar partisipasi aktif siswa untuk meningkatkan motivasi siswa, menciptakan iklim belajar kondusif agar siswa dapat belajar efektif dalam suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan. 

Metode pengajaran harus memperhatikan keunikan masing-masing siswa, guru harus mampu menjadi teladan (modelling) bagi praktik implementasi nilai-nilai profetik, membentuk kultur terbuka saling mengingatkan antara guru dan siswa dengan prinsip kesantunan (Hal 87). Tentunya seting iklim dan tempat di sekolah juga harus dilakukan para orang tua di rumah. Kiatnya pihak sekolah dapat merangkul dan melibatkan wali murid untuk bekerja sama dalam proses pendidikan anak. Komunikasi intens perlu dijalin, jangan hanya ketika pembagian rapor dan pelajar kena kasus, karena mau tidak mau lingkungan keluarga merupakan lingkaran elementer sekaligus parameter berhasil dan gagalnya pembentukan karakter. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta

Sikap KAMMI atas Kunjungan SBY ke Yogya

Dimuat di Harian Jogja, Kamis, 14 Juli 2011 

Rencananya presiden SBY pada Kamis, 14 Juli 2011 akan memberikan pembekalan capaja di Gedung Agung, Yogyakarta. Momentum kunjungan penguasa ialah saat tepat untuk mencipta ruang dialog jalanan antara rakyat dengan pemimpinnya. Adalah niscaya bagi gerakan mahasiswa untuk turut serta mengingatkan dan menyuarakan aspirasinya atas problematika yang melanda negeri ini. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) DIY sebagai salah satu elemen pemuda bertolak atas keprihatinan dan kegerahan permasalahan bangsa bermaksud mengumandangkan tuntutannya. 


Parlemen jalanan yang akan dihelat, murni merupakan pernyataan sikap tegas KAMMI atas kunjungan SBY ke Yogyakarta. Pertama, hentikan parade-parade kontradiksi dan segera perbaiki. Bulan ini telah banyak khalayak ramai disuguhi pelbagai hal yang bertolak belakang. Mulai pidato pak Beye di konferensi Buruh ke 100 di Jenewa, Swiss yang menjanjikan mekanisme proteksi buruh migran. Faktanya beberapa hari kemudian, masyarakat luas dibuat kecewa dengan dipancungnya seorang TKI, Ruyati binti Satibi oleh algojo Arab Saudi tanpa sepengetahuan KBRI. Artinya pemerintah telah gagal melindungi warga negaranya dan tidak melakukan upaya diplomasi tingkat tinggi. KAMMI menuntut agar pemerintah membuka akses tenaga kerja domestik agar tak perlu mengekspor TKI ke luar negeri. Sebab, moratorium akan menjadi bumerang jika tak disertai mapannya kesempatan kerja bagi warga. 

Kedua, KAMMI meminta agar elit negeri memberikan keteladanan dan mengemban amanah serius dalam mengurus umat serta tak disibukkan mengurus internal partai. Tuntutan ini didasari, karena melihat maraknya kader partai pemerintah yang terjerat korupsi. Janji pak Beye berapa di garda depan membertas korupsi hanya pepesan kosong karena tak bisa mengurus rumah tangga partainya sendiri. Bagaimana seorang pemimpin dapat membasmi perkara perampokan uang, jika elitenya tidak memberikan contoh terbaik menjalankannya. Sungguh negeri ini dipenuhi ironi dan anomali politik tingkat tinggi.

Ketiga, segera tetapkan status keistimewaan Yogyakarta sebagai provinsi penegak NKRI dan istiqomah dengan ijab qabul maklumat 5 September 1945. Kontradiksi juga mengemuka ketika pihak keraton menemukan rekaman SBY dalam pilpres 2009, berjanji mendukung RUUK Yogyakarta tetapi faktanya kini prosesnya tak kunjung usai. Perlu diketahui dalam traktat tersebut keraton tidak menyerahkan kekuasaannya, tetapi tetap independen berkuasa dalam format desentralisasi asimetris dan mempertanggungjawabkannya dihadapan presiden RI. Besarnya jasa Sri Sultan HB IX dalam mengasuh bayi NKRI, tak seyogyanya dibalas air tuba seperti ini. Maka KAMMI mengajak elemen gerakan lain turun ke jalan mengelorakan tuntutan ini. Salam perubahan... 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Rabu, 13 Juli 2011

Alokasikan APBD untuk Kesejahteraan

Dimuat di Suara Karya online, Senin, 11 Juli 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Sepekan terakhir moratorium dan pensiun dini bagi pegawai menjadi isu serius. Ini berkaitan dengan tidak idealnya porsi anggaran belanja pegawai yang harus ditanggung pemerintah pusat dan daerah. Anny Ratnawati (Wakil Menkeu) mengungkapkan, dana APBN yang dikirim ke daerah mencapai Rp 393 triliun. Sebagian besar dialokasikan untuk gaji pegawai. Laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memaparkan, rata-rata total kenaikan belanja pegawai Rp 15 trilun lebih setiap tahun. Terhitung sejak 2005 yang hanya Rp 54,3 triliun menjadi Rp 112,8 triliun tahun 2008 dan melonjak menjadi Rp 180,8 triliun di tahun 2011. Atau, melompat rata-rata 44% dari APBD 2007 menjadi 55% pada 2010. Jika lonjakan anggaran rutin ini terus terjadi selama 2-3 tahun ke depan, dikhawatirkan keuangan daerah akan bangkrut. Imbasnya, pembangunan dan dana operasional untuk program kesejahteraan masyarakat akan tersendat.

Padahal konsepsi desentralisasi agar pembentukan pemerintah daerah dapat mempermudah pelayanan masyarakat melalui segala kebijakan yang diambil. Secara teori, kebijakan berkorelasi positif dengan anggaran untuk melicinkan program. Jika anggaran mayoritas malah tersedot di anggaran rutin, ini menjadi masalah. Sebab, anggaran pemberdayaan kerakyatan menjadi buncit.

Rumah Pensil Publisher

Laporan Fitra mengindikasikan APBD 2011 terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60% dan belanja modalnya (1-15%). Dari 124 daerah tersebut, bahkan memiliki belanja pegawai di atas 70%. Rekor tertinggi dicatat Kabupaten Lumajang yang mencapai 83% dana APBD untuk menggaji PNS. Maka, untuk menyeimbangkan belanja pegawai dan modal untuk program. Gagasan pemberhentian rekrutmen PNS dan pensiun dini patut dikaji. Efek positifnya tentu dapat memangkas APBD anggaran rutin sehingga dapat dialokasikan ke program pemerintah lainnya. Seperti untuk memperbaiki fasilitas umum seperti rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya serta menambah pasokan dana untuk operasional pendidikan. 

Kiat terakhir penting diupayakan, pendidikan adalah jaminan ketersediaan SDM yang mumpuni ke depan. Untuk mewujudkannya pendidikan gratis jenjang SD dan SMP sedikit demi sedikit perlu diikhtiarkan demi terjalankannya wajib belajar 9 tahun sebagaimana amanat konstitusi. Pemerintah Daerah Bekasi sudah merealisasikannya mulai tahun ini. Sehingga, di masa mendatang pemerintah dapat sekaligus menyiapkan wajib belajar 12 tahun sebagaimana digadang-gadang pemerintah dewasa ini.

Kedua, memberikan permodalan bagi unit UKMM sebagai roda ekonomi masyarakat hingga dapat berjalan dan membuka lapangan kerja massal. Produk kerajinan dan ketrampilan daerah dapat dijadikan daya jual untuk dipasarkan di lokal domestik dan mancanegera. Dampaknya bagi pemerintah daerah dapat menambah penghasilan melalui retribusi dan pajak penjualan. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Jumat, 01 Juli 2011

Si Kaya Haram Beli BBM Subsidi

Termuat di Harian Jogja, Jum'at, 1 Juni 2011

Rendahnya produktivitas minyak dan tingginya permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM), membuat pemerintah berfikir radikal untuk menanggulanginya. Langkah pembatasan premium, penggunaan kartu untuk membelinya, hingga menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) menuai kontroversi. Pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Darwin Saleh dengan MUI kemarin bertujuan agar para ulama turut menyosialisasikan BBM bersudsidi hanya diperuntukkan warga miskin dan haram jika orang kaya membelinya. Sebab, subsidi ini sudah menggunakan uang negara yang sangat besar hingga 95,9 Trilyun. 

Rumah Pensil Publisher

Selain itu, jika tak mampu mensubsidi karena defisit anggaran, pemerintah akan untang ke luar negeri. Maka menjadi tidak adil jika kalangan berpunya turut menikmatinya. Kendati belum menjadi fatwa, tetapi dalam konteks teologis. Pemerintah dalam hal ini kementrian ESDM sudah menjadi muftafti atau peminta fatwa. Tidak ada yang salah memang. Tetapi jika maksud pemerintah ingin menutupi kegagalan pengelolaan hulu migas dengan memanfaatkan stempel MUI, ihwal ini patut ditentang. Sebenarnya selain rapuhnya tata kelola hulu migas, pemerintah juga bingung untuk mengklasifikasikan mana kalangan the have (kaya) dan siapa masuk kategori the poor (miskin). Problem pemilahan ini saja masih diperdebatkan. Apalagi jika nanti dibuat peraturan hitam di atas putih, berpotensi terjadi kericuhan di masyarakat akar rumput. Beberapa pengamat menyatakan, keinginan pemerintah menggandeng MUI untuk merencanakan fatwa haram bagi orang kaya beli BBM subsidi, merupakan strategi pemerintah untuk mengalihkan konsumen membeli Pertamax. Meskipun tidak mengalami kelangkaan tetapi Pertamax mengikuti harga pasaran dunia yang cenderung tak disukai. 

Menurut Kurtubi (pakar perminyakan), salah satu solusi untuk menanggulangi perkara ini ialah agar pemerintah memenuhi target produksinya. Jika masih tak mampu, maka mau tak mau kenaikkan harga BBM dapat menjadi opsi. Tetapi agaknya langkah terakhir urung untuk dilakukan. Selain dapat membuat murka khalayak, polesan citra rezim bisa luntur dan menurunkan tingkat elektabilitas di pemilihan umum mendatang. Kedua, untuk menaikkan pendapatan negara ekspor gas ke Meksiko dan Jepang dapat digalakkan dengan catatan memperhatikan kebutuhan dalam negeri. Rezim SBY-Boediono sedang diuji dengan sebuah keputusan sulit. Jika tidak masak-masak difikirkan dapat menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Sebab, isu kenaikan harga BBM selalu menjadi isu sensitif karena berkorelasi dengan harga kebutuhan pokok masyarakat luas. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Memproteksi Buruh Migran

Dimuat di Nguda Rasa, Koran Merapi, Jum'at, 1 Juli 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Kasus pemancungan Ruyati binti Satubi tanpa sepengetahuan KBRI, menjadi tamparan keras pemeritah RI. Pertama, publik menyimpulkan pemerintah telah gagal melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Kedua, perkara ini sangat kontradiktif, karena eksekusi Ruyati terjadi selang beberapa hari ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di konferensi Internasional Labour Organization (ILO) ke 100 di Jenewa, Swiss, yang menjanjikan mekanisme proteksi terhadap buruh migran. Pidato yang berjudul “Forging a New Global Employment Framework for Social Justice and Equality” dengan mengajak agar kehormatan para pekerja harus dipromosikan dan dilindungi, seakan menjadi pepesan kosong dengan hadirnya tragedi Ruyati. Akar permasalahan berlarut-larutnya kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di mancanegara dapat dipilah menjadi item. 

Pertama, faktor eksternal yaitu lobi dan diplomasi tingkat tinggi yang lemah. Padahal diplomasi merupakan wujud politik luar negeri suatu negara. Hal ini terlihat tak seriusnya pendampingan hukum terhadap Ruyati hingga KBRI mengaku tak tahu menahu prosesi pemenggalan kepala Ruyati. Seharusnya KBRI dapat memperjuangkan hak-hak hukum terdakwa yang mungkin dapat meringankan hukuman menjadi seumur hidup. Ruyati memang membunuh, tetapi harusnya kita bertanya kenapa dia membunuh? Apakah di Indonesia diajarkan membunuh. Tidak. Karena Ruyati hendak dibunuh dengan cara disiksa berulang-kali setiap hari. Alasan membela diri dalam kaidah hukum dapat meringankan tuntutan terdakwa yang selayaknya dapat diperjuangkan pemerintah. Perjuangan ini dapat dilakukan dengan berdiplomasi antarpetinggi negeri seperti yang pernah dilakukan Gus Dur di tahun 1999 ketiga berhasil melobi Raja Fahd sehingga menunda hukum pancung Siti Zaenab, seorang TKI asal Madura. Sikap seperti inilah yang terlambat diupayakan SBY, sehingga lagi-lagi pidatonya berisi prihatin dan meratapi nasib. 


Oleh sebab itu, pemerintah harus menggalakkan lobi dan diplomasi tingkat tinggi dengan memanfaatkan forum tertinggi kedua negara seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) di mana Indonesia dan Arab Saudi menjadi anggota. Sebab, salah satu produk dari OKI ialah pernah menghasilkan norma hak asasi manusia versi Islam yang seyogyanya dapat dijadikan landasan hukum bagi kemaslahatan kedua negara. Ihwal ini penting untuk disegerakan mengingat Arab Saudi termasuk negara yang rumit duduk semeja untuk membicarakan proteksi butum migran. Karena tradisi arab sebagian masih menganggap pembantu adalah seperuh budak yang dapat sewenang-wenang diperlakukan. 

Berpijak dari perkara inilah pemerintah RI dapat mengupayakan pembuatan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) untuk sebagai dasar ikrar perlindungan para pekerja informal. Kedua, akar problema di segi domestik yaitu maraknya perusahaan jasa penyalur TKI yang menggirimkan tenaga kerja tak sesuai prosedur. Pemalsuan data dan umur terjadi, penempatan kerja yang ngawur, dan tak terampilkan calon TKI dalam berbahasa di tempat kerja serta tak faham hukum setempat membuat mereka menjadi bulan-bulanan majikan Arab. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang dikepalai Jumhur Hidayat harus mengevaluasi total perusahaan tersebut untuk meminimalisasi tindakan kriminal di tempat kerja. Jika perlu warga diizinkan berkerja di negeri orang tergolong usia produktif 25-40 tahun serta terampil berbahasa dan memiliki skill yang mumpuni. 

Pascakasus Ruyati Presiden memang menginstruksikan untuk melakuan moratorium dan pemutusan berkala pengiriman TKI ke Arab Saudi yang berjumlah 250 ribu setiap tahunnya. Tetapi agar moratorium tidak menjadi bumerang, pemerintah perlu membuka lapangan kerja seluas-luasnya di wilayah domestik. Karena terjadinya pemberhentian pengiriman tenaga kerja artinya menghapus lapangan kerja di luar negeri. Bisa jadi pemerintah akan didemo oleh calon TKI di negeri sendiri jika gagal menyediakan lapangan kerja di rumah sendiri. Maklum, lihat saja data terbaru hingga Februari 2011 total pengangguran di ibu pertiwi mencapai 8,32 juta. Jika ditambah TKI yang distop berkerja bisa melampaui 10 juta. 

Selain mencari investor, pemerintah dapat memberi modal kepada pengusaha UKMK untuk menjalankan roda usahanya dengan harap dapat menyerap lapangan kerja. Selanjutnya daerah-daerah lain yang menjadi basis calon TKI seperti di Probolinggo, Pacitan, Pati, Nusa Tenggara Timur dll dapat diupayakan gerakan transmigrasi ke daerah-daerah baru yang berpotensi menyerap tenaga kerja. Seperti Kalimantan dan Sumatra dengan usaha-usaha kelapa sawitnya. Langkah ini diikhtiarkan dapat mengurangi laju pengangguran yang bertumbuh pesat. Kiat Depdiknas berkerja sama dengan HIPMI pun patut diacungi jembol dengan memberikan modal kepada para sarjana, agar orientasi mereka ketika lulus tidak sekadar mencari kerja tetapi juga membuka lapangan kerja. Sementara keberadaan Satgas pengawas TKI menunjukkan lemahnya koordinasi antara Menakertrans, Kemenlu, dan BNP2TKI. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI