Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 1 April 2012 kemungkinan besar terjadi. Pasalnya jika terlalu lama akan membebani negara dalam memberikan subsidi. Pada 2012 pemerintahan SBY-Boediono menganggarkan Rp 123,6 triliun untuk subsidi BBM atau lebih rendah ketimbang APBN 2011 yang mencapai Rp. 165,2 triliun. Hal ini mengingat kebijakan mengkonversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) yang dimulai tahun ini. Seyogianya, uang dimuka dapat digunakan untuk membuka akses jalan untuk mempermudah perputaran roda ekonomi masyarakat, memberikan bantuan kepada industri kreatif yang menyelamatkan Indonesia dari badai krisis ekonomi global, atau membangun infrastruktur untuk menyerap banyak lapangan kerja sekaligus mengurangi pengangguran sebanyak 31 juta orang. Atau membeli beberapa kereta api sebagai angkutan massal yang efektif dan efisien.
Pengalihan ini dilakukan untuk menghindari ketergantungan akut pada BBM dengan cadangan minyak negeri ini 3,7 miliar barel sebagai mana dikatakan wakil menteri ESDM Widjajono Partowidagdo. Adapun perkiraan total konsumsi 1,3 juta bph (barel per hari), sementara produksinya 0,9 juta bph. Kesenjangan inilah yang disiasati pemerintah dengan tidak melulu impor tetapi mengganti dengan gas karena Indonesia memiliki cadangan gas dan batu bara yang melimpah. Implementasinya sangatlah besar manfaatnya karena digunakan sebagian besar penduduk Indonesia yang kini berjumlah 241 juta, baik untuk kebutuhan transportasi, rumah tangga, maupun home industri sebagai penggerak sektor ekonomi riil.
Malangnya, konversi ini dimungkinkan mundur lantaran kesiapan Pertamina selaku operator lapangan untuk menyediakan perangkat keras belum lengkap sepenuhnya.
Menurut Menteri ESDM Jero Wacik ketersediaan konventer kit menjadi pertimbangan. Kebutuhannya 250.000 unit, sementara sekarang baru tersedia 300 unit. Ditundanya program konversi ini akan membuat pemerintah menanggung biaya lebih panjang untuk membantu rakyat membeli BBM ditengah kelesuan ekonomi dan utang luar negeri yang membumbung 700 triliun. Solusi jangka pendeknya ialah menaikkan BBM secara bertahap.
Jika dikalkulasi, kenaikkan BBM Rp.1000,- saja dapat menghemat 38 triliun atau lebih baik daripada pembatasan pemakaian BBM tak bersubsidi bagi mobil pribadi yang hanya 8 triliun. Konsekuensinya bisakah masyarakat menerimanya dengan catatan efek domino kebutuhan pokok dan transportasi ikut naik. Hal ini mesti difikirkan jika tak ingin terjadi kerusuhan sosial seperti di Nigeria yang memaksa pemerintahnya mencabut kembali keputusan menaikkan BBM. Belum lagi antisipasi diblokadenya selat Hormuz oleh Iran sebagai jalur sepertiga suplai minyak dunia yang berpotensi membuat fluktuasi harga minyak kapanpun, juga patut mendapat perhatian.
Berpijak dari analisa di muka, ada beberapa alternatif kebijakan yang dapat dipilih pemerintah ke depan.
Pertama, opsi mencabut subsidi BBM Rp. 500-1500,- bagi Jawa dan Bali dapat dilakukan sembari mempercepat pembenahan infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG). Sebagai kompensasinya pemerintah dapat memberlakukan pengecualian bagi angkutan umum. Sehingga jika warga hendak berhemat tak memakai kendaraan pribadi, ia dapat menggunakan kendaraan massal. Selain itu mendorong percepatan wajib belajar 12 tahun dapat dilakukan dengan mengalokasikan uang penghematan ke penambahan Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan menambah kuota beasiswa bidik misi yang kini hanya mencapai 30.000 orang per tahun agar kalangan menengah ke bawah dapat mengakses pendidikan tinggi. Hal ini perlu dilakukan untuk meredam kekecewaan masyarakat atas naiknya harga BBM sekaligus meminimalisir terjadinya gejolak sosial.
Kedua, Pertamina perlu membuka kilang minyak baru untuk menaikan tingkat produksi BBM dalam negeri demi mengejar defisit dengan angka konsumsi. Selain itu pemerintah perlu melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang konversi BBM ke BBG sesegera mungkin karena pada umum pandangan masyarakat gas yang dipakai untuk bahan bakar kendaraan sama dengan gas untuk memasak. Padahal amatlah berbeda LPG dengan Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquefied Gas for Vehicle (LGV). Standarisasi penggunaannya juga mesti dilakukan bagi 1,29 juta unit mobil pribadi se Jawa-Bali jika beraliah ke CNG atau LGV. Menurut Menteri Koordinator Perokonomian, Hatta Rajasa, pemilik tinggal memasang konventer kit yang harganya masih relatif mahal 2,5 juta per unit. Strateginya pemerintah akan mengimpor sebanyak 250.000 unit untuk selanjutnya dibagikan kepada angkutan umum secara gratis.
Ketiga, pemeritah perlu mendukung berjalannya industri kreatif dalam negeri yang proses produksinya tak banyak membutuhkan BBM melainkan tenaga listrik. Sebab, versi Badan Pusat Statistik (BPS) kontribusi ekonomi kreatif 7,6% dari PDB dan mengalami pertumbuhan 2006-2009 sebanyak 2,9% per tahun. Data 2008 menunjukkan jumlah perusahaan industri kreatif 3.001.635. Jika terus didorong akan berpeluang menahan gempuran krisis ekonomi global dan mengurangi ketergangtungan dengan negara lain, karena produk dan pangsa pasarnya spesifik. Dan jika BBM dinaikan tidak terlalu kena dampak, karena olahan produksinya banyak menggunakan BBM. Justru malah dapat menyelamatkan perekonomian negara yang ditopang sektor riil.
Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute