Selasa, 28 Februari 2012
Publikasi Karya Tulis Ilmiah
Dimuat di Suara Karya, Selasa, 21 Februari 2012
Kebijakan terbaru dari Kemendikbud tentang kewajiban publikasi karya tulis ilmiah di jurnal untuk syarat kelulusan program strata 1 (S1) menuai pendapat beragam. Kebijakan itu sendiri sudah pasti akan diberlakukan mulai Agustus 2012 karena telah tertuang dalam surat edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3. Surat tertanggal 27 Januari 2012 ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia.
Peraturan di muka mempunyai sisi maslahat, yakni menggairahkan iklim meneliti dan menulis di kalangan mahasiswa. Sebab, hasil karya tulis mahasiswa dianggap tertinggal dibanding negeri jiran Malaysia. Untuk memacunya, kata Mendikbud perlu sedikit 'pemaksaan'. Salah satunya melalui mewajibkan untuk membuat karya tulis ilmiah dan harus terbit di media jurnal.
Jika demikian, mari kita kalkulasi dengan hitungan matematis. Asumsinya, dari 3.000 PTN dan PTS di Tanah Air, ada 750.000 calon sarjana setiap tahunnya. Maka, harus ada puluhan ribu jurnal di negeri ini. Seandainya ada 2.000 jurnal dan terbit setahun dua kali dengan sekali terbit per edisi memuat 5 karya, menurut Edy Suandi Hamid (Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan calon sarjana. Untuk memecahkan problem ini, harus ada Permendiknas yang ditujukan kepada setiap jurusan di setiap perguruan tinggi untuk mengakomodasi karya tulis setiap mahasiswa.
Pertanyaannya, jika mahasiswa sudah membuat skripsi dan karya tulis tetapi tidak dimuat di jurnal, apakah kelulusannya akan tertunda? Bagaimana pula kualifikasi jurnalnya? Tentu bukan sembarang jurnal melainkan yang terakreditasi Kemendikbud. Persoalan ini perlu dijawab terlebih dahulu. Karena, kebijakan tanpa disertai daya dukung, tidak akan mulus di lapangan.
Eksesnya kelak dikhawatirkan terjadi jual beli karya tulis, bahkan sampai tahap suap-menyuap agar karya tulisnya dapat dimuat di jurnal. Jika tidak ada standarisasi jurnal dan karya tulis ilmiah, nanti akan muncul jurnal dan karya tulis ilmiah abal-abal. Inilah konsekuensi akibat dipaksakan harus dimuat lantaran untuk mengejar syarat kelulusan.
Tidakkah kebijakan ini perlu dilakukan bertahap, misalnya, bisa diterapkan di lingkungan mahasiswa S2 dan S3 terlebih dahulu. Sementara mahasiswa S1, syarat kelulusannya diturunkan dari menulis karya tulis menjadi menulis artikel di media massa dengan standar beberapa kali dimuat. Dengan demikian, dorongan kepada mahasiswa untuk mentradisikan menulis tetaplah ada.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan
Kenaikkan BBM Harus Bertahap
Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 23 Februari 2012
Pemerintah berada dalam posisi serba sulit. Berapapun besarnya subdisi BBM yang diberikan tak akan mampu melawan permintaan pasar. Seperti semakin banyaknya kendaraan bermotor dan mobil pribadi serta kemungkinan melambungnya harga minyak dunia jika Iran memblokade selar Hormuz sebagai jalur suplai sepertiga minyak dunia. Saat ini pengeluaran subdisi BBM 2012 mencapai Rp.123,6 triliun. Kalkulasinya jika produksi BBM sekitar Rp 8200,- per liter, berarti pemerintah memberikan bantuan Rp 3700,- per liter.
Uang sebesar itu, jika terus menerus digelontorkan akan membebani negara. Padahal jika difokuskan pada hal bidang lain, dapat membeli kerera api baru sebagai angkutan massal masyarakat, membangun infrastruktur, akses transportasi, dan mendukung industri kreatif sebagai penopang sektor ekonomi Indonesia.
Ditermin lain, pemerintah menghadapi dilema karena belum siapnya masyarakat menerima pencabutan subsidi atau bahasa kasarnya kenaikkan harga BBM. Kita lihat saja pengalihan pembelian dari premium ke pertamax saja banyak rakyat yang tidak mau karena harganya mahal. Sementara untuk menghindarkan ketergantungan khalayak pada BBM, rencana pemerintah untuk melaksanakan konversi BBM ke gas belum siap sepenuhnya karena perangkatnya mahal. Seperti pembelian alat konversi (konventer kit) 250.000 unit untuk Jawa-Bali dengan harga 2,5 juta per satuannya.
Jika kebijakannya ini dipaksakan akan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Tentu kita dapat belajar dari Nigeria yang memutuskan mencabut subsidi BBM seluruhnya. Sehingga harga BBM sebelumnya Rp 3600,-/liter sekarang merangkak dua kali lipat menjadi Rp 7890/liter. Massa pun merespon dengan turun ke jalan dan merusak fasilitas umum. Memang Indonesia tak bisa disamakan dengan Nigeria karena di sana produksi minyak lebih besar dan tingkat konsumsinya lebih sedikit. Tetapi efek sosialnya patut diantisipasi pemerintah jika tak ingin kerusuhan 1998 berulang dan membuat harga minyak fluktuatif.
Solusi jangka pendeknya pemerintah dapat memberlakukan kenaikkan harga BBM secara bertahap, sembari mempersiapkan secepat mungkin program konversi ke gas. Hitungannya pencabutan subsidi BBM Rp.1000,- saja dapat menghemat 38 triliun atau lebih baik daripada pembatasan pemakaian BBM tak bersubsidi bagi mobil pribadi yang hanya 8 triliun.
Langkah ini harus didukung dengan kebijakan lain untuk meredam kekecewaan masyarakat seperti ada pengecualian bagi kendaraan umum. Agar dampak terhadap naiknya biaya transportasi tak terjadi. Sehingga apabila publik merasa keberatan menggunakan kendaraan pribadi karena BBM mahal, memiliki opsi memakai kendaraan massal yang lebih murah. Oleh sebab itu, angkutan umum seperti bus way dan kereta api di kota besar pun perlu diperbanyak disertai pelayanan yang semakin baik.
Kedua, memberikan keringanan pada kebutuhan umum masyarakat seperti kebijakan wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan Kemendiknas tahun ini untuk memangkas angka putus sekolah dan kemudahan bagi masyarakat tidak mampu untuk periksa di rumah sakit dapat segera direalisasikan. Kebijakan ini dapat meminimalisir frustasi sosial yang agaknya kini menjadi budaya massa layaknya kasus Mesuji dan Bima.
Ketiga, peningkatan produksi kebutuhan pokok dalam negeri perlu digalakkan untuk mengurangi nilai impor pangan dan menghambat efek domino kenaikkan harga BBM. Dan yang tak kalah penting ialah dukungan pemerintah terhadap sektor riil dan industri kreatif dapat diwujudkan. Sebab, ranah industri inilah yang selama ini menjadi tameng dan perisai ekonomi nasional dari terjangan badai krisis ekonomi global. So, pemahaman kondisi dan alternatif solusi kawanan masyarakat amatlah dibutuhkan untuk melebur problem pelik ini.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Peneliti Transform Institute
Mengkritisi Program Publikasi Ilmiah
Dimuat di Nguda Rasa, Merapi, Selasa, 21 Februari 2012
Kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3 sebagai bagian syarat kelulusan mendapat argumen beragam . Surat tertanggal 27 Januari 2012 ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia itu terkesan emosial karena tak dikomunikasikan ke pihak pemangku kebijakan perguruan tinggi (PT) terlebih dahulu untuk menyusunnya. Karena hanya surat edaran dan belum berkuatan hukum, maka Aptisi (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) melalului ketuanya Edy Suandi Hamid menolaknya. Asosiasi yang membawahi lebih dari 3000 PTS ini karena daya dukung jurnal di tanah air belum merata.
Di sisi lain ketentuan pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan dipandang menyalahi aturan, karena yang menentukan lulus atau tidaknya mahasiswa adalah mutlak otonomi kampus. Hal ini seperti kebijakan ujian nasional sebagai syarat lulus sekolah bagi jenjang sekolah dasar dan menengah, hanya saja bagi mahasiswa berwujud artikel ilmiah. Kesan yang mencuat ialah pemerintah seakan mempersulit para mahasiswa untuk memperoleh gelar studinya. Peraturan ini menjadi diskriminatis karena kebanyakan jurnal ilmiah yang terakreditasi Dikti hanya bermukim di kampus-kampus besar seperti UGM, UI, ITB, IPB dsb. Sementara di kampus lain ketersediaan jurnal tidaklah banyak dan kualifikasinya pun mungkin di bawah grade A.
Jika mengacu delapan standar nasional pendidikan sesuai PP No.19/2005 yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Hendaknya pemerintah memikirkan terlebih dahulu fasilitas pendukung seperti ketersediaan jurnal, pengelolaan tentang standarisasi karya layak muatnya, dan pembiayaan penerbitannya. Begitupun penilaian substansi gagasan yang menjadi isi dalam jurnal. Pada titik ini, kebijakan Kemendikbud ini dapat dikata mendadak atau reaksioner atas ketertinggalan produktifitas mahasiswa membuat karya ilmiah dengan Malaysia, ketimbang memperhatikan kesiapan infrastruktur penopang.
Mengacu jurnal nature yang terbit beberapa waktu lampau melansir. Karya ilmiah saintis Indonesia dalam jurnal internasional adalah 0,88 artikel per satu juta penduduk. Sedangkan negeri jiran Malaysia sebanyak 20,78. Atau kalkulasinya dalam klasemen, Indonesia berada dalam posisi 134 dunia sedangkan Malaysia menempati posisi 67. Kebijakan kewajiban publikasi ilmiah memang bermaksud positif untuk melecut tradisi intelektual mahasiswa yakni membaca, menulis, riset, dan diskusi yang tergolong rendah. Tetapi aturan ini tak akan mulus di lapangan jika sebagian besar perguruan tinggi menolak lantaran minimnya kesiapan.
Situs kompas.com mengabarkan, sedikitnya jumlah publikasi karya ilmiah mempengaruhi minimnya intensitas penerbitan jurnal. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi. Bayangkan seandainya setiap tahun ada 750.000 caln sarjana, maka dibutuhkan ribuan jurnal untuk mengakomodasi karyanya. Lantas pertanyaannya, ke mana sisa 3000 jurnalnya. Kevakuman ini terjadi karena defisitnya tulisan mahasiswa, sehingga jurnal tersebut mati suri.
Tengok saja, menurut Edison Munaf (2011) sebagaimana dikutip Jusman Dalle di harian Jawa Pos Edisi Senin (13/2/2012) pada 2010 total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel. Terpaut jauh dibanding Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843). Data lainnya dari survei SCImago menyebutkan publikasi hasil penelitian di Indonesia selama 13 tahun (1996–2008) hanya sekitar 9.194 tulisan.
Bisa dibayangkan, mengaca angka di muka. Jika tak diantisipasi kebijakan ini akan memunculkan karya abal-abal, jurnal siluman, bahkan ghostwritter. Sebab daripada lama-lama menanggung biaya belajar di kampus, lebih baik cari jalan pintas bayar pihak ketiga agar cepat lulus kuliah. Namun bagi mahasiswa idealis, kebijakan ini justru memacu untuk semakin produktif berkarya dan membiasakan menulis jurnal. Agar kelak ketika melanjutkan studi S2 atau S3 tak menjadi beban untuk menembus jurnal internasional.
Bertolak dari premis di atas, pemerintah perlu mengakomodir semua pihak agar tercipta kemaslahatan bersama. Kebijakan ini dapat tetap dilanjutkan namun bertahap sembari menyempurnakan kesiapan. Penulis menawarkan, pertama kewajiban publikasi ilmiah ke jurnal lebih baik bagi mahasiswa S2 dan S3 saja. Sementara karena banyaknya calon sarjana S1, lebih bijak ketentuannya menerbitkan artikel di media massa. Kecuali bagi skripsi bernilai A dapat dikirimkan ke jurnal. Rasionalisasinya skripsi tersebut sudah pasti bagus karena sangat sulit mendapat nilai A untuk mempertahankan idenya di depan 3-5 dosen ahli.
Kedua, langkah efiensi dapat dilakukan dengan membuat jurnal edisi online dengan bandwitch berkapasitas besar untuk tampung ribuan karya. Opsi lainnya Mendikbud dapat perintahkan setiap jurusan atau fakultas membuat jurnal dengan mendaftar di ISSN (Internasional Standar Serial Number) agar kekurangan jurnal tertutupi. Tentunya dengan standarisasi Dikti.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan
Opsi Sulit Naikkan Harga BBM
Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, Kamis, 9 Februari 2012
Bisa dikata, posisi pemerintah kini serba sulit. Maju kena, mundur pun kena. Harga BBM harus dinaikan jika pemerintah tak mau terus menerus menanggung pengeluarkan uang subsidi yang mencapai Rp. 165,2 triliun dalam APBN 2011. Sedangkan tahun 2012 ini hanya dianggarkan Rp.123,6 triliun. Duit sebanyak ini harusnya dapat dialokasikan ke kepentingan lain seperti membangun transportasi untuk memperlancar roda ekonomi, membangun infrastruktur untuk membuka lapangan kerja, atau membeli kereta api baru sebagai angkutan massal rakyat.
Tetapi kendalanya justru tersandera di DPR. UU APBN 2012 mengatakan tidak ada opsi untuk menaikkan BBM karena akan memberatkan rakyat. Dalam perangkat peraturan tersebut hanya tertera pilihan membatasi penggunaan BBM. Diksi membatasi dan mencabut subsidi sebenarnya hanyalah bahasa halus saja untuk menaikkan sedikit demi sedikit harga BBM.
Jika BBM naik, efeknya tarif transportasi pun membumbung dan harge kebutuhan pokok pun bakal meroket. Belajar dari Nigeria, negeri yang juga kaya minyak tetapi memutuskan memangkas biaya subsidi seluruhnya. Sehingga harga BBM sebelumnya Rp 3600,-/liter sekarang merangkak dua kali lipat menjadi Rp 7890/liter. Khalayak ramai pun turun ke jalan menolak sikap rezim yang memberatkan kehidupan lantaran efek domino di harga-harga kebutuhan lainnya.
Pada konteks ini jika opsi menaikkan yang diterjadi, maka pemerintah harus piawai mengantisipasi. Memang santer terdengar kabar alternatif untuk mengonversi BBM ke BBG, tetapi sampai saat ini kesiapan perangkat kerasnya belum matang. Jika dipaksa beralih ke pertamax, produksinya setahun hanya 1 juta barel dan selebihnya impor. Imbasnya SPBU lain yang mengeruk keuntungan. Harganya pun dua kali lipat harga BBM. Sikap ini tentu merugikan negara dan pasti ditolak rakyat. Maka cukup rasional jika ada usulan untuk menunda terlebih dahulu pencabutan subsidi di Jawa-Bali ini karena belum siapnya sarana prasarana pendukung.
Jika pencabutan harus dimulai 1 April 2012, maka pemerintah harus bertindak cepat seperti masih memberlakukan harga subsidi bagi angkutan umum atau memotong 50% biaya periksa di rumah sakit dan biaya akses pendidikan. Langkah-langkah seperti ini dapat sedikit meredam kemarahan rakyat. Pilihan lainnya ialah jika tak ingin dianggap keputusannya ilegal karena dalam UU tidak ada kata menaikan pemerintah harus merevisi UU dalam APBN perubahan sehingga memiliki dasar yuridis yang jelas, sebari menyiapkan proyek konversi ke gas. Hal ini akan menghemat uang negara yang sebenarnya dapat dialihkan untuk kemaslahatan lainnya.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Rabu, 25 Januari 2012
Antisipasi Kenaikkan Harga BBM
Dimuat di Koran Merapi, Rabu, 25 Januari 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 1 April 2012 kemungkinan besar terjadi. Pasalnya jika terlalu lama akan membebani negara dalam memberikan subsidi. Pada 2012 pemerintahan SBY-Boediono menganggarkan Rp 123,6 triliun untuk subsidi BBM atau lebih rendah ketimbang APBN 2011 yang mencapai Rp. 165,2 triliun. Hal ini mengingat kebijakan mengkonversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) yang dimulai tahun ini. Seyogianya, uang dimuka dapat digunakan untuk membuka akses jalan untuk mempermudah perputaran roda ekonomi masyarakat, memberikan bantuan kepada industri kreatif yang menyelamatkan Indonesia dari badai krisis ekonomi global, atau membangun infrastruktur untuk menyerap banyak lapangan kerja sekaligus mengurangi pengangguran sebanyak 31 juta orang. Atau membeli beberapa kereta api sebagai angkutan massal yang efektif dan efisien.
Pengalihan ini dilakukan untuk menghindari ketergantungan akut pada BBM dengan cadangan minyak negeri ini 3,7 miliar barel sebagai mana dikatakan wakil menteri ESDM Widjajono Partowidagdo. Adapun perkiraan total konsumsi 1,3 juta bph (barel per hari), sementara produksinya 0,9 juta bph. Kesenjangan inilah yang disiasati pemerintah dengan tidak melulu impor tetapi mengganti dengan gas karena Indonesia memiliki cadangan gas dan batu bara yang melimpah. Implementasinya sangatlah besar manfaatnya karena digunakan sebagian besar penduduk Indonesia yang kini berjumlah 241 juta, baik untuk kebutuhan transportasi, rumah tangga, maupun home industri sebagai penggerak sektor ekonomi riil.
Malangnya, konversi ini dimungkinkan mundur lantaran kesiapan Pertamina selaku operator lapangan untuk menyediakan perangkat keras belum lengkap sepenuhnya.
Menurut Menteri ESDM Jero Wacik ketersediaan konventer kit menjadi pertimbangan. Kebutuhannya 250.000 unit, sementara sekarang baru tersedia 300 unit. Ditundanya program konversi ini akan membuat pemerintah menanggung biaya lebih panjang untuk membantu rakyat membeli BBM ditengah kelesuan ekonomi dan utang luar negeri yang membumbung 700 triliun. Solusi jangka pendeknya ialah menaikkan BBM secara bertahap.
Jika dikalkulasi, kenaikkan BBM Rp.1000,- saja dapat menghemat 38 triliun atau lebih baik daripada pembatasan pemakaian BBM tak bersubsidi bagi mobil pribadi yang hanya 8 triliun. Konsekuensinya bisakah masyarakat menerimanya dengan catatan efek domino kebutuhan pokok dan transportasi ikut naik. Hal ini mesti difikirkan jika tak ingin terjadi kerusuhan sosial seperti di Nigeria yang memaksa pemerintahnya mencabut kembali keputusan menaikkan BBM. Belum lagi antisipasi diblokadenya selat Hormuz oleh Iran sebagai jalur sepertiga suplai minyak dunia yang berpotensi membuat fluktuasi harga minyak kapanpun, juga patut mendapat perhatian.
Berpijak dari analisa di muka, ada beberapa alternatif kebijakan yang dapat dipilih pemerintah ke depan.
Pertama, opsi mencabut subsidi BBM Rp. 500-1500,- bagi Jawa dan Bali dapat dilakukan sembari mempercepat pembenahan infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG). Sebagai kompensasinya pemerintah dapat memberlakukan pengecualian bagi angkutan umum. Sehingga jika warga hendak berhemat tak memakai kendaraan pribadi, ia dapat menggunakan kendaraan massal. Selain itu mendorong percepatan wajib belajar 12 tahun dapat dilakukan dengan mengalokasikan uang penghematan ke penambahan Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan menambah kuota beasiswa bidik misi yang kini hanya mencapai 30.000 orang per tahun agar kalangan menengah ke bawah dapat mengakses pendidikan tinggi. Hal ini perlu dilakukan untuk meredam kekecewaan masyarakat atas naiknya harga BBM sekaligus meminimalisir terjadinya gejolak sosial.
Kedua, Pertamina perlu membuka kilang minyak baru untuk menaikan tingkat produksi BBM dalam negeri demi mengejar defisit dengan angka konsumsi. Selain itu pemerintah perlu melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang konversi BBM ke BBG sesegera mungkin karena pada umum pandangan masyarakat gas yang dipakai untuk bahan bakar kendaraan sama dengan gas untuk memasak. Padahal amatlah berbeda LPG dengan Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquefied Gas for Vehicle (LGV). Standarisasi penggunaannya juga mesti dilakukan bagi 1,29 juta unit mobil pribadi se Jawa-Bali jika beraliah ke CNG atau LGV. Menurut Menteri Koordinator Perokonomian, Hatta Rajasa, pemilik tinggal memasang konventer kit yang harganya masih relatif mahal 2,5 juta per unit. Strateginya pemerintah akan mengimpor sebanyak 250.000 unit untuk selanjutnya dibagikan kepada angkutan umum secara gratis.
Ketiga, pemeritah perlu mendukung berjalannya industri kreatif dalam negeri yang proses produksinya tak banyak membutuhkan BBM melainkan tenaga listrik. Sebab, versi Badan Pusat Statistik (BPS) kontribusi ekonomi kreatif 7,6% dari PDB dan mengalami pertumbuhan 2006-2009 sebanyak 2,9% per tahun. Data 2008 menunjukkan jumlah perusahaan industri kreatif 3.001.635. Jika terus didorong akan berpeluang menahan gempuran krisis ekonomi global dan mengurangi ketergangtungan dengan negara lain, karena produk dan pangsa pasarnya spesifik. Dan jika BBM dinaikan tidak terlalu kena dampak, karena olahan produksinya banyak menggunakan BBM. Justru malah dapat menyelamatkan perekonomian negara yang ditopang sektor riil.
Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute
Kamis, 19 Januari 2012
Strategi Tingkatkan Profesionalisme Guru
Dimuat di Suara Karya, Rabu, 18 Januari 2012
Perhatian pemerintah terhadap guru dengan meningkatkan kesejahteraan guru membuat khalayak ramai berlomba untuk menjadi pendidik. Dengan menjadi guru, mereka memimpikan gaji tetap per bulan dan harapan dapat tunjangan jika lulus sertifikasi nanti. Malangnya, orientasi menjadi guru kini menjadi standar ganda, antara kompetensi dan kompensasi, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Pasal 1 ayat 1).
Mendidik adalah panggilan jiwa, yang membutuhkan ketulusan nurani dan kecerdasan intelektual untuk mengkreasikan proses pewarisan ilmu ke peserta didik. Jika seseorang, tujuan awal menjadi guru berobsesi materi (meskipun tidak dipungkiri setiap orang membutuhkannya), hal ini akan memengaruhi pola fikir dan pola mengajar ke anak asuhnya.
Proses transfer ilmu dalam keseharian pun akan terasa melelahkan karena hanya menanti gaji di akhir bulan. Padahal, guru tak sekadar demikian, terlalu pragmatis jika orientasinya melulu seperti itu. Jiwa, raga, waktu, dan upaya seorang guru dibutuhkan layaknya ibu yang mendidik anak kandungnya tanpa pamrih. Tanpa menanti-nanti upah setiap bulannya.
Di satu sisi, ikhtiar pemerintah via sertifikasi guru dan uji kompetensi dengan target seluruh guru profesional pada 2015 patut diapresiasi. Tetapi, pasca proses itu, belum begitu nyata tanda profesionalisme yang digadang-gadang selama ini. Bahkan kritik menyapa dari petinggi negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluhkan besarnya gaji guru tanpa disertai profesionalisme pasti.
Berpijak pada persoalan tersebut, Pusaka Pendidikan dan KMIP UNY bermaksud mengadakan seminar regional pendidikan beryajuk "Strategi Meningkatkan Profesionalisme Guru" bersama Prof Djemari Mardapi PhD (Kepala BSNP) dan Ahmad Zaenal Fanani (Ketua PGRI DIY) pada Kamis, 19 Januari 2012 pukul 08.00-12.00 WIB di Ruang Abdullah Sigit Hall Lt 3 FIP UNY.
Bagi para peserta dikenakan kontribusi Rp 15.000 per orang. Pendaftaran dapat dilakukan ke Iqbal (081802635614) dan Zikrina (085742472246). Pastikan Anda terlibat dan ajak relasi lainnya ya.
Vivit Nur Arista Putra
Direktur Eksekutif
Pusaka Pendidikan
Jumat, 06 Januari 2012
Mahasiswa Pribadi Terpilih
Dimuat di Suara Merdeka, 5 Januari 2012
Mahasiswa membawa serentetan peran dan tuntutan sebagai konsekuensi logis status. Agen of change, iron stock, dan moral force, adalah tuntutan massa saat berbicara mahasiswa. Ihwal tersebut memang tidak muncul begitu saja, perjalanan sejarah perjuangan mahasiswa telah melahirkan konsep peran itu.
Gerakan mahasiswa masa lampau telah banyak mempengaruhi pengambil kebijakan di negeri ini, bahkan suksesi kepemimpinan 1998 tak lepas dari aksi mahasiswa. Maka tak heran jika mahasiswa di era reformasi dinisbatkan menjadi pilar kelima demokrasi.
Kini, bukanlah hal bijak mengingat masa lampau dan bersembunyi di balik kebesaran status. Sebab, bukan sandangan status yang membuat mahasiswa berarti, tetapi kesadaran terhadap tuntutan dan harapan di balik julukan tersebut yang menentukan (Sudjatmika Dwiatmaja; 2005).
Tantangannya ialah justru datang dari pihak kampus sendiri sebagai arena belajar mahasiswa.
Sekarang perguruan tinggi tak seperti dulu, di masa kini kampus justru menjauhkan mahasiswa dengan realitas. Sebagai contoh kebijakan Sistem Kredit Semester (SKS) adalah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) gaya baru.
Imbasnya mahasiswa menjadi fokus akademik dan berkutat pada teori pelajaran serta berlomba cepat lulus lantaran didera mahalnya biaya perkuliahan per semesternya. Tidak salah memang, tetapi jika sikap ini justru menimbulkan ketikpekaan terhadap kondisi sosial, mahasiswa malah menjadi kelompok rentan yang harus ditolong untuk disadarkan.
Menjadi insan pembelajar adalah keniscayaan. Sebab, mahasiswa harus mencerahkan dirinya sebelum membelajarkan lingkungan. Maka sense of crise pun menjadi karakter wajib dengan realitas sosial menjadi bacaan keseharian dan solusi sosial menjadi tuntutan pemikiran.
Mahasiswa berada pada posisi pengawal dan transformasi nilai. Berpijak dari pikiran inilah mahasiswa harus matang secara spiritualitas, intelektualitas, dan moralitas, sebagai bekal untuk-meminjam istilah Paulo Freire-memberikan kesadaran (contientizacao) yang berorientasi perbaikan umat.
Tuntutan di muka hanya akan menjadi jargon dan retorika kosong, tanpa cara pandang dan paradigma profetik di kepala. Harus dipahami analog mahasiswa faktual segaris sepemaknaan dengan nabi. Jika nabi tercerahkan oleh wahyu, maka mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Mereka adalah the choosen people (pribadi terpilih) yang menggenggam tugas sejarah untuk melakukan perbaikan kehidupan. Begitulah mahasiswa seharusnya, memberikan pencerahan ke khalayak.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Rabu, 14 Desember 2011
Demokratisasi Keempat
Dimuat di Lampung Post, 17 November 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Sebulan terakhir, Suriah menjadi pusat perhatian dunia. Uni Eropa dan PBB mengecam Presiden Abdullah Saleh karena menyerang demonstran. Hal ini terlepas aksi represif rezim yang membunuh ribuan demonstran antipemerintah. Peristiwa ini serupa dengan tragedi Tiananmen 1989 di China, di mana mahasiswa dan rakyat diberantas habis oleh negara.
Jika diusut problem krisis politik di Timur Tengah ada dua. Pertama, tidak adanya demokratisasi bagi setiap warga negara. Suara pubik disumbat sehingga tak ada kritik dan kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Imbasnya, Presiden Saleh pun merasa serbabenar terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Termasuk membungkam media dan oposisi. Jika demikian, negeri pengekspor minyak ini lebih kejam dari Pemerintahan Firaun. Dalam catatan Komisi HAM PBB lebih dari 3.000 demonstran dibunuh. Masyarakat turun ke jalan lantaran menuntut mundur penguasa zalim dan menindas rakyatnya.
Kedua, distribusi kekayaan tidak merata. Terjadi kesenjangan sosial yang sangat lebar antara elite politik dengan masyarakat akar rumput. Inilah yang membuat kalangan masyarakat menengah ke bawah menjerit karena tidak adanya keadilan. Berbeda dengan Oman yang lebih terkendali karena secara ekonomi kebutuhan masyarakat tercukupi. Bayangkan, negara di kawasan teluk ini hanya memiliki sekitar 300 ribu penduduk, tetapi residennya (warga asing yang domisili di Oman) mencapai 1,2 juta. Tentu, dari sektor inilah keuangan negara dapat tertolong sehingga dapat memakmurkan rakyatnya.
Samuel P. Huntington dalam Third Wave Democratization mengemukakan yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah saat ini adalah gelombang demokratisasi keempat dalam sejarah dunia.
Selain kedua faktor tersebut, akar masalah lainnya ialah lamanya presiden berkuasa dapat membuatnya lupa diri dan mamasung regenerasi. Sehingga krisis kepemimpinan pun muncul dan muaranya akan terjadi politik dinasti. Efek jangka panjangnya demokrasi sekadar prosedural karena pergantian puncak pemimpin hanya berputar di antara klan atau orang yang mempunyai hubungan darah dengan incumbent.
Alhasil, jika pemimpin alpa kompetensi, bagaimana dapat mencukupi kebutuhan rakyat secara merata.
Di sini kita dapat memetik pelajaran moral, yakni belum terintegrasinya demokrasi dengan kesejahteraan. Kini menjadi tantangan baru bagi negara Timur Tengah dan Afrika untuk membuka keran demokrasi. Begitu juga tokoh calon pengganti, agar jangan hanya ngotot menuntut suksesi tetapi tak memiliki kemampuan untuk mengisi. Reformasi total terhadap rezim menjadi syarat terbentuknya pemerintahan baru yang menjadi harapan baru bagi masyarakatnya.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Perdebatan RUU Pemilu
Dimuat di Lampung Post, 7 Desember 2011.
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum untuk mengatur parliementary treshold (PT) atau ambang batas partai yang lolos ke parlemen, secara tradisi pembahasannya sejak Pemilu 1999 hingga kini selalu alot dan menuai polemik.
Setidaknya sampai saat ini, publik dapat mengidentifikasi dua kepentingan di balik tawaran angka PT ke depan. Pertama, partai besar, seperti Golkar dan PDI Perjuangan ngotot menawarkan 5% sebagai limit maksimal dengan argumentasi untuk mengefektifkan pemerintahan dan memperkokoh sistem presidensial.
Rasionalisasinya di parlemen harusnya ada 3-4 partai saja, sehingga sikap politiknya jelas (tidak abu-abu) dan pemerintah tak terjebak pada persoalan urusan internal partai, seperti kontrak koalisi yang menguras waktu dan memalingkan orientasi mengurus rakyat.
Inilah yang selama ini terlihat di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Mitra koalisi sikap politiknya malah berseberangan dengan pemerintah karena masing-masing mengaku mempunyai kontrak politik yang jelas dengan presiden, bukan dengan partai demokrat. Khalayak khawatir jika ini terus terjadi maka akan merusak sistem demokrasi yang selama ini sedang bertumbuh dewasa di negeri ini.
Kedua, karena menyangkut representasi atau perwakilan masyarakat yang heterogen di Indonesia, standar PT di atas akan memangkas jutaan suara rakyat yang disalurkan kepada partai politik yang tak lolos PT. Nah, persoalannya apakah suara itu dapat dilimpahkan ke partai lain yang lolos PT dan dapat dikatakan representasi yang legal dari kalangan masyarakat terkait? Tentu masyarakat akan menolak.
Argumentasi partai menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, dan Gerindra ialah tetap bertahan pada 2,5%-3% saja agar suara rakyat yang disalurkan ke partai politik kendati tidak lolos PT, tetapi suara yang hangus tidak cukup banyak. Dengan patokan 2,5%, ada 18 juta lebih suara yang hangus, apalagi dengan passing grade baru 5%. Pasti banyak suara pemilih yang terbakar dan tak mampu menyampaikan aspirasi daerahnya kepada partai terkait karena tak lolos PT.
Tendensinya ialah partai besar dengan standar PT 5% dapat memberangus partai kecil yang suaranya tak konsisten di lingkup daerahnya.
Sebaliknya partai kecil bertahan pada kisaran 2,5%-3% agar tetap eksis dan terlibat koalisi atau mengontrol pemerintah di parlemen. Kedua nalar di muka setidaknya dapat menjadi pertimbangan bersama, termasuk partai pemerintah (Demokrat) yang menawarkan nilai tengah, yakni 4% untuk berkompromi, menganalisis sebelum berkonklusi tentang aturan PT yang jelas.
Bagaimana agar dapat merepresentasikan akar rumput sekaligus memperbaiki tatanan sistem demokrasi dan pemerintahan semakin baik. Selaku warga negara, mari kita kawal pembahasan PT ke depan untuk Indonesia lebih baik. Tabik.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Selasa, 06 Desember 2011
Menanti Kiprah Ketua KPK
Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, 5 Desember 2011
Setelah melalui masa seleksi dan fit and proper test yang panjang, akhirnya komisi III DPR RI memilih Abraham Samad sebagai ketua baru KPK. Aktivis Anti Coruption Comitte (ACC) asal Makassar ini memperoleh 43 suara dari 56 anggota dewan. Hasil ini mengejutkan mengingat pada fase pengerucutan dari delapan calon yang disaring menjadi empat, sempat bersaing ketat dengan Bambang Widjajanto yang lebih populer. Selain itu, ketua PPATK, Yunus Husain justru tidak termasuk pimpinan kolektif kolegial KPK yang baru masa karya 2011-2015. Tokoh lain yang terpilih memimpin KPK ialah Zulkarnain (latar belakang jaksa), Adnan Pandu Praja (advokat), dan Busyro Muqqodas (akademisi dan pendiri Pusham UII).
Kini publik akan menanti janji Abraham yang lantang akan mundur dengan sendirinya, jika masa satu tahun tak mampu tuntaskan kasus Century. Beberapa terobosan yang dijanjikan ialah akan merekrut penyidik independen berasal dari kampus atau kalangan profesional ketimbang dari kejaksaan atau kepolisian. Tentunya khalayak mengharapkan tanpa mengesampingkan kedua, karena sejatinya KPK ialah lembaga ad hoc yang dibuat ketika kepercayaan rakyat turun pada polisi dan jaksa khususnya dalam memberantas korupsi.
Perlu diingat lembaga ad hoc dapat dibubarkan kapan saja jika dua otoritas hukum menunjukkan kinerja baik dengan banyaknya koruptor dijerat. Maka skala prioritas yang dicanangkan ketua KPK baru semoga tak diukur dari kasus yang diekspos media massa, sehingga jika KPK menanganinya akan menaikkan citra. Tetapi parameternya ialah pada skala kerugian negara atau fokus pada pemberantasan korupsi kelas kakap. Cukuplah penjahat kelas teri ditindak kepolisian dan jaksa.
Ditermin lain yang menjadi titik perhatian ialah, KPK harus memperkuat sisi pencegahan terjadinya korupsi dengan kampanye aktif dan mengadvokasi rezim dengan menggandeng masyarakat sipil khususnya LSM yang fokus melawan kejahatan extraordinary ini.
Karena selama ini KPK lebih banyak melakukan penyidikan, artinya ketika terjadi kasus korupsi barulah lembaga superbody ini bekerja. Langkah pencegahan ini dapat konkrit dilakukan dengan menerapkan pasal 19 nya dalam UU KPK untuk membuka perwakilannya di daerah. Tidak harus ada secara fisik gedung KPK, tetapi KPK dapat mengirimkan anggotanya untuk turut serta dalam pembahasan RAPBD atau rancangan UU lain di daerah. Kiat ini akan semakin memperteguh kehadiran KPK tak hanya di pusat pemerintahan tetapi juga di level daerah yang rawan korupsi. Semoga Abraham Samad dapat melakukannya. Berantas korupsi, harga mati.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Langganan:
Postingan (Atom)