Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang berlebihnya belanja pegawai pemerintah daerah (pemda) mengundang keprihatinan publik. Sebanyak 124 pemda, anggaran pegawainya di atas 60% dan belanja modalnya hanya 1-15%. Angka tertinggi dicapai Kabupaten Lumajang yang untuk mengupah para pegawai negeri sipil (PNS) harus mengeluarkan 83% dari APBD.
Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati pernah menyampaikan bahwa dana dari APBN yang dikirim ke daerah berjumlah Rp 393 triliun. Lebih lanjut LSM Fitra menyebutkan sejak 2007, jatah uang untuk gaji pegawai daerah mencapai 44% dari APBD dan tahun 2010 meningkat menjadi 55%. Sementara belanja modal turun drastis dari 24% di tahun 2007 menjadi 15% di tahun 2010. Ini artinya porsi dana untuk program pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat minim.
Tak heran jika banyak daerah berada dalam kondisi stagnan dan tidak mengalami kemajuan signifikan, seperti Pati, Ponorogo, Pacitan, Gunung Kidul dan lain-lain. Imbasnya, lapangan kerja pun tidak tercipta dan masyarakat memutuskan mencari kerja di luar tempat lahirnya dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) atau terlibat urbanisasi dengan menjadi buruh serabutan yang semakin menambah sesak kawasan Ibu kota.
Di termin lain, pemerintah merencanakan kenaikan gaji sebesar 10% bagi PNS, tahun depan. Rasionalisasi yang dipakai ialah untuk menyejahterakan kalangan aparatur negara. Benarkah demikian? Bukankah ini merupakan kebijakan yang kontradiktif dengan pernyataan Menteri Keuangan Agus Martodiharjo yang mengeluhkan membengkaknya beban gaji PNS yang harus ditanggung negara dan membebani APBN, sehingga mewacanakan moratorium PNS dan pensiun dini. Jika dasarnya APBN naik 10% setiap tahun maka tak menjadi soal dengan kenaikan gaji. Tetapi, bukankah APBN kita terserap 35% setiap tahunnya untuk melunasi utang Indonesia yang hingga April 2011 tercatat Rp 1.600 triliun lebih?
Alhasil, reformasi birokrasi yang menjadi amanat reformasi sejak 1998 hingga kini, mencuatkan kesan publik hanya sebatas remunerasi tanpa ada optimalisasi fungsi. Tak percuma jika penambahan gaji berkorelasi dengan semakin meningkatnya kontribusi, profesionalitas, dan pelayanan. Faktanya di lapangan, masyarakat ketika mengurus surat izin atau mengadukan suatu permasalahan, masih direspon dengan cara lama dan berbelit-belit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah yang orientasinya mendekatkan penyelenggara negara dengan masyarakat agar mudah dan cepat untuk mengurusnya.
Oleh sebab itu, penulis sepakat dengan upaya Menteri Dalam Negeri yang hendak menata ulang anggaran dalam UU No. 32/ 2004 tentang pemerintah daerah. Jika diratifikasi UU ini akan berimbas pada UU No. 33/ 2004 tentang perimbangan keuangan daerah. Dengan demikian akan tercipta pengaturan batasan belanja pegawai dan belanja modal, sehingga pemda tak dapat seenaknya menggaji pegawainya dan jatah dana untuk modal pembangunan dan kesejahteraan rakyat lebih besar.
Ke depan pemerintah harus memperbaiki pola rekrutmen PNS dengan mempertimbangkan dua aspek.
Pertama, mempertimbangkan faktor demografi atau jumlah penduduk yang dilayani. Sebab, penambahan pekerja pemerintahan tak bisa asal-asalan. Obesitas pegawai malah menimbulkan rendahnya kinerja lantaran terjadi overlaping (tumpang tindih) pengurus. Tahun ini saja Pemda Sleman, misalnya, menerima 1.250 CPNS. Rasional dan tidaklah khalayak dapat mengkritisi dengan mengkomparasikan berapa nominal masyarakat yang ada.
Kedua, memperhatian kemampuan fiskal daerah. Jangan sampai anggaran rutin pegawai lebih besar ketimbang anggaran pembangunan. Karena, pajak dari masyarakat yang digunakan untuk gaji mereka akan terasa percuma dan pembangunan daerah pun akan tertunda. Maka menggagas politik anggaran pro kemakmuran rakyat menjadi niscaya. Untuk menanggulanginya penulis sependapat dengan gagasan pemberhentian rekrutmen PNS dan merealisasikan pensiun dini. Sisi positifnya tentu akan mengurangi beban APBN dan APBD. Anggarannya dapat dialokasikan untuk pembangunan daerah atau memperbaiki pelayanan kesehatan serta meningkatkan operasional pendidikan. Sehingga, jenjang SD dan SMP dapat terbebas dari pungutan pembayaran sebagaimana konstitusi amanatkan. Kiat ini sangat mendukung wajib belajar 9 tahun yang di-gadang-gadang pemerintah dan menyongsong wajib belajar 12 tahun.
Di sisi lain, anggaran tersebut dapat digunakan pemeritah pusat untuk memperbesar anggaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa bunga bagi unit-unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Selain itu, anggaran tersebut juga untuk memutar roda ekonomi masyarakat akar rumput sekaligus membuka peluang terserapnya tenaga kerja dan mengurangi pengangguran yang kini tercatat 8,39 juta.
Apalagi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah juga telah menghapus Pajak Penghasilan (PPh) selama 5-8 tahun ke depan, dengan kepemilikan aset 2,5 miliar dan total omzet 8 milyar. Kebijakan ini tentunya amat mendukung UMKM bergeliat dan siap bersaing tanpa beban pajak di samping. Para mahasiswa juga dapat memanfaatkan hal ini dengan membuka usaha agar orietasi kuliah tak sekadar mencari kerja tetapi juga dapat membuka lapangan kerja. Semoga kita semua dapat mewujudkannya. Amin.
Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY.