Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Selesainya kadar waktu program kerja seratus hari pemerintah disambut ribuan demonstran di penjuru tanah air. Massa yang terdiri dari aktivis mahasiswa, intelektual, buruh dan tani menilai rezim SBY-Boediono gagal karena tak mampu menuntaskan program yang dicanangkannya. Menjadi pertanyaan apakah para demonstran mengetahui program kerja pemerintah hingga tolok ukur keberhasilannnya? Ataukah karena ketidakfahaman itu, ribuan massa mudah diprovokasi oposisi untuk turun ke jalan.
Terlepas dari itu, kabinet Indonesia bersatu jilid II memang terlihat kurang gencar melakukan sosialisasi program kerjanya. Selain itu, program kerja pemerintah tenggelam lantaran media massa lebih banyak mengekspose kasus perseteruan KPK-Polri yang mengindikasikan adanya kriminalisasi pimpinan KPK dan mega skandal bank Century yang masih menyisakan tanda tanya.
Diakui atau tidak kedua kasus ini ditambah penandatanganan perdagangan bebas dengan China ditengah ketidaksiapan bersaing pelaku usaha kecil, memang membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap pemerintah. Imbasnya rakyat secara spontan menyimpulkan SBY-Boediono telah gagal memimpin bangsa dan menyejahterakan rakyatnya. Efek beruntun dari kekecewaan ini ialah menurunnya tingkat kepuasan terhadap pemerintah sebagaimana dilansir Indo Barometer dari 90,4 (Agustus 2009) menjadi (74,5 Januari 2010).
Akan tetapi, tuntutan masyarakat ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Bagaimanapun demonstrasi ini adalah wujud kontrol sosial terhadap penguasa atas pelbagai kebijakannya.
Justru pemerintah yang dirasa terjebak istilah yang dibuatnya sendiri dengan mengumandangkan program kerja seratus hari. Program yang terdiri dari lima belas program unggulan diantaranya (1) pemberantasan mafia hukum, (2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme, (4) ketersediaan listrik, (5) penataan tanah dan tata ruang, (6) peningkatan infrastruktur, (7) reformasi pendidikan, dan (8) koordinasi antara pusat dan daerah, tidaklah mungkin tuntas dalam seratus hari. Kendati program seratus hari sebagai fondasi, tetapi khlayak memandangnya terlalu abstrak dan tidak terukur. Sementara harapan publik terhadap program ini terlalu besar.
Sebenarnya istilah penggunaan seratus hari menurut sejarawan University Cambrige, Anthony Badger pertama kali dipakai Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika Serikat tahun 1933, ketika menargetkan bangsanya untuk lepas dari depresi ekonomi dengan mengambil kebijakan cepat dalam seratus hari pertama, kemudian besaran tempo itu diadopsi pemimpin-pemimpin besar dunia. Maka jangan salahkan rakyat jika program seratus hari tidak konkret malah menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Berpijak dari persoalan di muka, setidaknya ini menjadi pelajaran moral pemerintah agar tidak terlalu banyak menonjolkan citra, retorika, dan harapan-harapan semata melainkan kerja nyata.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa UNY