Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Sorot mata dunia internasional kini mengarah ke Mesir. Menangnya Muhammad Mursi yang diusung Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) melawan Ahmad Shafik (Calon independen) dalam pemilu presiden 16-17 Juni 2012 mengakhiri dominasi militer selama 70 tahun di negeri piramida. Mursi memperoleh suara 13,2 juta suara (51,7 persen) sedangkan Shafik (mantan komandan angkatan udara dan perdana menteri Mubarak) mendapat 12,3 juta suara (48,3 persen) dari 25,8 juta pemilih.
Catatannya ialah kendati meraup suara rakyat terbanyak, tapi presiden Mesir terpilih tak ditopang dukungan legislatif. Sebab, setelah Mahkamah Agung membubarkan parlemen yang mayoritas diisi fraksi FJP dan An Nur Party, kini untuk sementara militer memegang kendali. Berdasarkan undang-undang darurat yang dikeluarkan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF), selama belum ada tim ad hoc perumus undang-undang. Selain itu, presiden tak mempunyai otoritas penuh atas militer alias tak bisa lakukan intervensi. Aturan lain juga menyebutkan militer berhak untuk menangkap siapa saja yang membuat kerusuhan tanpa persetujuan presiden.
Ihwal ini sama saja tukar guling posisi pemerintahan. Jika sebelumnya rakyat membentuk parlemen jalanan melawan militer yang memegang eskekutif. Sekarang setelah rakyat sukses membawa Mursi sebagai presiden (eksekutif), kedudukan militer berpindah menjadi legislatif. Indonesia pernah mengalaminya ketika militer mempunyai dwifungsi yang dilegalkan orde baru. Imbasnya para tentara pun mempunyai pekerjaan ganda, menjadi tentara dan politisi. Padahal untuk negara demokrasi yang sehat, tentara harus ditempatkan secara profesional menurut tugas pokok dan fungsinya. Jika hendak menjadi politisi atau anggota eskekutif, legislatif, dan yudikatif tentara harus rela melepas karir militer agar tidak terjadi konflik kepentingan (conflict of interest). Tendensi dobel jabatan tersebut meliputi praktif bisnis dan proyek yang digarap dengan memanfaatkan uang negara.
Agenda mendesak yang sesegera mungkin dilakuan Mursi ialah menjadi presiden sipil pertama yang mengakomodir semua kalangan demi stabilitas nasional. Caranya dapat menempatkan tokoh-tokoh Mesir mapan yang sevisi untuk menduduki posisi strategis dalam kabinet. Orientasi terdekat tentu menciptakan stabilitas, keamanan, dan keadilan sosial agar kembali menarik minat investor untuk membangun usaha di negeri para Nabi itu untuk memutar roda perekonomian rakyat. Langkah lainnya ialah membangun komunikasi dengan mitra koalisi dan militer untuk menyusun undang-undang baru. Jika memungkinkan tentu undang-undang darurat perlu direvisi karena bertolak belakang dengan norma umum sistem pemerintahan demokrasi, di mana presiden berkuasa penuh atas militer sebagaimana pernah ditetapkan dalam undang-undang 1971. Urusan dalam negeri lain yang perlu diselesaikan yakni memastikan hak-hak kaum minoritas seperti kristen koptik terlindungi dengan memberikan keleluasaan beribadah dan menjalankan ritual keagamaan keseharian.
Pada bab kebijakan luar negeri banyak pengamat mengatakan akan banyak terjadi perubahan drastis, wabil khusus pada Amerika Serikat dan Israel. Jika rezim sebelumnya merupakan sekutu terdekat negeri paman Sam, kini pemerintahan Mesir tak akan mudah untuk didikte. Israel sebagai negera terdekat pun mulai cemas. Bahkan media massa setempat memuat headline “Kegelapan di Mesir” sebagai wujud rasa gentar jika “cahaya Islam” menerangi Mesir. Pintu perbatasan Raffah yang sebelumnya tertutup, mendatang akan terbuka untuk memperlancar lalu lalang pengungsi Palestina yang diserobot tanahnya oleh Israel. Posisi Mesir sangat strategis untuk mempengaruhi peta politik timur tengah. Sementara Mursi bukanlah malaikat yang dapat merubah Mesir dalam sekejap. Dibutuhkan solidaritas rakyat di segenap elemen sosial untuk berbenah bersama ke arah lebih baik. Ingat, revolusi belum berhenti jika militer masih membayangi.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman