Dimuat di Padang Ekspres, Senin, 26/03/2012 Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Ironis melihat ribuan guru honorer berdemo di ibu kota menuntut pengangkatan dan kesejahteraan. Persoalan guru di Indonesia sangat semrawut, selain tingkat pendidikan beragam, tidak meratanya distribusi guru, kesenjangan pendapatan, dan banyak institusi yang berwenang mengangkat guru (KOMPAS, 5/3/2012).
Dengan pelbagai pertimbangan, Mendikbud kemudian merespons akan mengangkat guru honorer menjadi PNS sebanyak 30 persen dari total 650.000 guru.
Kebijakan ini di satu sisi mengakomodasi tuntutan tenaga honorer, ditermin lain bertentangan dengan profesionalisme guru. Karena sekolah membutuhkan guru berkompeten dan mampu mengajar dengan baik, bukan lamanya jadi guru honorer yang dijadikan pertimbangan untuk mengangkat PNS.
Memang semenjak diberlakukan sertifikasi guru untuk meningkatkan kompetensi sekaligus kesejahteraan pendidik, animo khalayak untuk menjadi guru meningkat. Bahkan mahasiswa dari jurusan nonkependidikan pun berbalik arah hendak menjadi pendidik.
Pada umumnya dorongan untuk menjadi guru karena tergiur gaji pasti, jika diangkat menjadi PNS, plus tunjangan berlebih sesuai gaji jika lulus sertifikasi.
Di termin lain, data Bappenas (Badan Perencanaan Nasional) tahun 2009 menunjukkan jumlah angkatan kerja mencapai 21,2 juta orang. Dari angka tersebut, 22,2 persen atau 4,1 juta merupakan pengangguran yang terdiri dari masyarakat umum. Adapun pengangguran terdidik atau mahasiswa tak dapat kerja lebih dari 2 juta orang. Momentum penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil) tenaga administratif dan tenaga edukatif (guru) yang dibuka beberapa tahun terakhir, membuat mereka berbondong-bondong mendaftar demi menghindari jurang pengangguran (jobless).
Nilai positifnya ialah pemerintah memiliki banyak opsi untuk menyeleksi sesuai bakat dan kompetensi untuk ditempa di LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Nilai negatifnya ialah cara pandang orang per orang saat ini untuk menjadi guru karena materi, bukan panggilan nurani. Ihwal ini sangatlah berpengaruh pada pola fikir dan mengajarnya nanti. Padahal profesi guru ialah panggilan jiwa untuk mengabdi demi mencerdaskan tunas bangsa negeri ini. Maka pekerjaan ini menuntut kesabaran, ketelatenan, dan ketekunan dalam proses pelimpahan ilmu setiap hari. Orientasi materi akan membuat fikiran dan badan guru rentan menunggu gaji diakhir bulan dan sedikit mengabaikan perkembangan anak asuhnya.
Sebagaimana dilansir kompas.com, Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu Pendidikan Nasional, Syawal Gultom mengatakan, rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia. Rasio di Indonesia, ungkapnya, sekitar 1:18. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20). Hal ini diamini Mendikbud dengan mengungkapkan, jika diberlakukan standar Rasio Siswa Guru (RSG) internasional, Indonesia kelebihan pasokan guru 20 persen atau 500 ribu.
Lebih lanjut Muhammad Nuh menerangkan sebanyak 68% sekolah di perkotaan dan 52% sekolah perdesaan kelebihan guru. Sementara, 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Ini artinya problemnya bukan minimnya guru di daerah terpencil, tetapi manajemen distribusi guru yang perlu diperbaiki karena marak menumpuk di kota. Perkara ini menjadi penyakit akut tahunan karena belum adanya strategi yang tepat untuk penataan guru. Jika tidak disiasati secepatnya banyak guru akan terpusat di Jawa dan banyak pula guru yang akan pensiun massal 2014 nanti, sehingga perlu regenerasi.
Berpijak realitas di muka, distribusi guru ke daerah tertinggal kini merupakan momentum yang tepat untuk mengurai semrawutnya problem dunia guru. Karena maraknya minat menjadi guru, sehingga dapat disodorkan syarat mengenai siap ditempatkan di daerah manapun atau tidak diangkat menjadi guru. Selain itu, Kemendikbud baru saja menandatangani SKB (Surat Keputusan Bersama) lima menteri yang berkomitmen bersama Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan untuk memperbaiki mekanisme penataan guru.
Penulis menawarkan beberapa gagasan untuk memperlancar agenda distribusi guru dengan menjangkau daerah yang tak terjangkau. Pertama, untuk mengirim guru ke lokasi tertinggal, Kemendikbud perlu bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan daerah setempat. Karena selama ini salah satu masalah tidak meratanya guru disebabkan berbenturan dengan UU No.32/ 2004 tentang otonomi daerah, yang mana setiap kabupaten memiliki kewenangan lebih besar untuk mengatur penempatan guru.
Ke depan mungkin pengelolaannya seperti pemerintah pusat mengatur transmigran. Pemerintah pusat dapat membuka penawaran atau lowongan bagi guru atau sarjana yang siap ditempatkan ke daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar). Tentunya dengan gaji dan penginapan yang layak. Sebagaimana pemerintah menyediakan rumah dan lahan untuk dikelola transmigran.
Program ini dapat dijadikan sebagai prasyarat untuk mengikuti pendidikan profesi sekaligus mengajukan sertifikasi. Dengan demikian mau tidak mau, guru atau calon guru pasti akan mengikutinya. Teknisnya Kemendikbud dapat bekerja sama dengan setiap perguruan tinggi yang membuka jurusan keguruan.
Kedua, ditandatanganinya SKB lima menteri membuat pengaturan penempatan guru menjadi sentralistik. Sehingga Mendikbud mempunyai otoritas dapat mengeluarkan SK (Surat Keputusan) bagi setiap pendidik atau calon pendidik untuk siap ditempatkan di area tertinggal. Dampaknya guru harus mematuhi atau memilih kehilangan pekerjaan.
Bagi guru yang belum mampu memenuhi standar 24 jam mengajar setiap pekan, ketimbang ke sana kemari mengajar di sekolah lain untuk menambal kekurangan jam mengajar, dapat dilibatkan di program ini.
Keuntungannya redistribusi guru ke daerah tertinggal dapat memeratakan kualitas pendidikan plus menguji militansi guru sebelum di angkat menjadi PNS. Selain itu juga dapat membentuk kepekaan sosial, karena guru harus beradaptasi dengan kultur dan budaya setempat sehingga membentuk sikap toleransi. Dan memperkuat rasa keindonesiaan yang mulai luntur, karena guru berkarya demi bangsa di luar tempat kelahirannya.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan