Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Usia memang tidak selalu menunjukkan tingkat kedewasaan. Tetapi bertambahnya usia setidaknya memperlihatkan beragam perubahan. Apalagi bagi sebuah gerakan pemuda Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang kini menginjak usia ke 13 tahun. Angka ini bukanlah bilangan sejenak, sulit pula disebut masa tua. Namun, setiap tahun selayaknya menjadi proses pematangan bagi gerakan ini. Jika dianalogikan pada fase pertumbuhan manusia, maka KAMMI sedang menghadapi proses akil baligh dan metamorfosa gerakan. Umur reformasi itulah rentang waktu organisasi ini ada. Sebab, KAMMI merupakan salah satu elemen penggerak kran reformasi sekaligus penumbang rezim otoriter.
Sudah menjadi sunatullah semakin bertambahnya usia dan kapasitas gerakan, semakin kompleks pula medan tantangan yang dihadapinya. Oleh karenanya membutuhkan desain gerakan yang tidak sederhana.
Rijalul Umam dalam bukunya “Capita Selekta KAMMI, Membumikan Ideologi Menginspirasi Indonesia” mengatakan sebelum menetukan peran strategis KAMMI hari ini dan masa mendatang, perlu juga melakukan teoritisasi trend gerakan dari segi gerakan mahasiswa dan kebangsaan. Hal ini dilakukan untuk membaca zeitgeist (jiwa zaman), agar bila telah terbaca tingkatan zamannya KAMMI dapat menentukan peran strategis apa yang dapat dieksekusi dan pada sisi apa dapat berkontribusi demi kemajuan negeri.
Sejarah menunjukkan dinamika gerakan mahasiswa biasanya terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Catatan penting sejarah KAMMI dalam sepuluh tahun pertama adalah gerakan ini mampu leading dalam penguatan aksi politik nilai yang membuatnya mendapatkan tempat terhormat di level nasional.
Deretan isu kebangsaan mampu diusung KAMMI seperti pergantian rezim diktator, enam visi reformasi, hingga pemberantasan korupsi. Selain itu, muslim negarawan menjadi ”brand image” gerakan bagi peristilahan kepemimpinan nasional yang disuarakan hingga pemilihan presiden 2009. Prestasi ini patut dijaga dan kembangkan.
Kini KAMMI jilid 2 (2009-2019) menghadapai tantangan berbeda dibanding satu dekade awal. Pemerintahan orde baru telah berganti menjadi pemerintahan demokratis yang hierarkis, dengan pengelolaan yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah. Di sini medan tantangan KAMMI semakin kompleks, maka dibutuhkan kemasan gerak dan langkah yang variatif, sistematis, dan visioner. Jika dikaitkan dengan tren teoritisasi gerakan, kini KAMMI berada di fase rekonstruksi (2009-2014) atau aksi politik nilai. Konsekuensi logisnya ialah dibutuhkan rencana strategis yang matang dan visioner di tengah kontemplasi politik nasional dan global.
Mengaca sejarah, tren gerakan mahasiswa pascakemerdekaan ialah melawan komunisme yang diperagakan kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tahun 1950-an adalah konsolidasi ummat secara ideologis. Terlihat gerakan mahasiswa dan pemuda menyolidkan barisan ummat dalam naungan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), hingga M. Natsir terpilih menjadi perdana menteri pertama Indonesia. Maka tak heran jika kala itu HMI dianggap sebagai underbow dari Masyumi. Kesamaan ideologis dan pemikiran membuat organisasi dikait-kaitkan dengan partai politik. Amin Sudarsono, dalam bukunya Ijtihad Membangun Basis Gerakan memaparkan sejarah orde lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan menggarap mahasiswa. HMI diduga sebagai alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII nya, PNI dengan GMNI nya, PKI dengan CGMI nya.
Bagaimana dengan KAMMI, hendaknya pada masa kini citra KAMMI tidak selalu identik dengan gerakan dakwah berwujud parpol di Senayan sana.
Penulis mengangguk dua kali komentar di muka. Hanya saja bagaimana mewujudkannya?. Bukankah pandangan citra negatif harus disulap menjadi citra positif, tentunya maksud sosial independen dalam paradigma KAMMI tanpa melupakan bagian dari rekayasa dakwah Islam dengan wilayah operasional yang berbeda. Kesamaan ideologi akan tetap mengendap dalam tempurung kepala, perihal sikap inilah yang harus tegas berbeda. Persoalan independensi KAMMI, haruslah menjadi perbincangan serius di mata kader dan pengurus. Apakah ingin menjadi underbow, invisible underbow, atau independen bro...?????///>#%* Inilah yang menjadi tantangan KAMMI ke depan.
Tren berlanjut tahun 1960-an dengan membangun oposisi gerakan melawan antirezim otoriterisme. Di tahun ini kali pertama gerakan mahasiswa bekerja sama dengan militer untuk menumbangkan Soekarno yang berubah menjadi otoriter dengan demokrasi terpimpin. Tahun 1970 sampai 90-an tren isunya adalah kebangkitan pemikiran Islam hingga pelembagaan forum kajian Islam menjadi lembaga dakwah kampus yang muaranya melahirkan KAMMI.
Era 2000-an gerakan mahasiswa berganti menjadi gerakan politik dalam arti dua hal. Pertama, aksi demonstrasi mahasiswa selalu berdampak perubahan kebijakan pemerintah. Kedua, ihwal ini salah satunya dipengaruhi mobilitas vertikal alumni gerakan mahasiswa ke pusaran kekuasaan. Relasi antara alumni dengan mantan institusi menarik untuk dikaji. Bagaimanapun tokoh alumni yang menjadi aktivis parpol pastilah memiliki sisa pengaruh kuat di mata adik angkatannya. Jika demikian kesan invisible underbow akan selalu mengemuka bagi organisasi apapun itu.
Pada dimensi kebangsaan dan kenegaraan agenda yang perlu dibawa KAMMI ialah mentransformasikan demokrasi formal saat ini menuju demokrasi substansial. Intisari demokrasi tak sekadar pemilihan pemimpin secara langsung. Tetapi juga mengedepankan agenda pembangunan kesejahteraan masyarakat di kancah domestik maupun internasional.
Sebagai organisasi masyarakat oposan pemerintah, KAMMI haruslah memastikan prosesi pemilihan pemimpin pusat hingga kepala daerah berlangsung dengan jujur dan adil serta terhindar dari money politic. Selain itu, KAMMI juga perlu mengawal kerja-kerja penguasa agar on the track sesuai konstitusi dan mengemban amanat rakyat. Sebab, standar minimal hidup di alam demokrasi ialah transparansi dan akuntabilitas semua warga termasuk penguasa.
Oleh sebab itu, untuk mempermudah kerja dakwah perlu dilakukan pembagian wilayah kerja KAMMI. Konkretnya berubahnya sistem pemerintahan menjadi desentralisasi, membuat KAMMI turut melebur menyesuaikannya menjadi KAMMI komisariat di kampus dengan corak intelektual akademis, KAMMI Daerah di skup kabupaten kota dan KAMMI Wilayah provinsi dengan corak gerak taktis, praksis, dan strategis dengan fokus isu lokal kedaerahan.
Di beberapa provinsi dan kabupaten, KAMMI sudah membentuknya kendati belum seantero Indonesia.
Lantas yang langkah kedua yang wajib dipraktikkan ialah menggagas isu baru sebagai brand image atau marketisasi gerakan. Agar spirit gerak KAMMI tidak melulu reaktif atas isu atau wacana yang mengemuka tingkat nasional maupun lokal, tetapi lebih proaktif dengan mengumandangkan gugus gagasan baru yang menginspirasi sekaligus menjadi trendsetter gerakan. Semisal, corak gerak KAMMI Komisariat UNY sudah terbentuk image “pendidikan profetik” dan “syariatisasi kampus” atas jualan gerakan yang digiatkannya. Derivasi programnya dapat melalui pamfletisasi, diskusi, maupun menjadikannya grand thema Ospek atau acara kampus lainnya. Tentunya ihwal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan karakteristik kampus masing-masing. Sebagai contoh kajian pemikiran Islam dapat digarap kawan-kawan KAMMI UIN, Isu ekonomi syari’ah dapat menjadi objek kajian KAMMI Hamfara atau KAMMI UII Distrik FE. Isu pangan dan pertanian menjadi tawaran KAMMI Instiper, isu kemandirian dan alternatif energi dapat menjadi jargon gerak KAMMI UPN.
Untuk teritorial Yogyakarta, keistimewaan Yogya menjadi concern isu gerakan KAMMI Wilayah dan KAMMI Kota serta KAMMI Daerah Sleman dengan pengawal Raperda pendidikannya. Ke depan agaknya isu advokasi anggaran perlu digalakkan KAMMI. Di level nasional LSM FITRA sudah mempraktikkannya dengan mengadvokasi keluyuran bertajuk studi banding anggota DPR. Hampir semua media massa merujuk data FITRA seputar pengeluaran dana anggota legislatif yang menilap uang rakyat. Karena hanya merekalah LSM tunggal dengan fokus isu advokasi anggaran. Di kawasan daerah dan kabupaten kota agaknya KAMMI perlu membuatnya sebagai bagian dari kontrol sosial pemerintah daerah yang kini marak penyalahgunaan anggaran lantaran tidak transparan dan akuntabel segala programnya. Bukankah Peter Drucker pernah berujar “langkah terbaik memprediksi masa depan adalah dengan menciptakan masa depan”. John Naysbitt pun tak mau kalah berpetuah “keberhasilan bukan hanya didapat dari menyelesaikan masalah, melainkan juga mengeksploitasi peluang”. Mari bergerak tuntaskan perubahan.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman