Dimuat di Opini Suara Karya, Jumat, 2 Desember 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Dinamika persoalan guru, pahlawan tanpa tanda jasa selalu beragam. Sejak pemerintah berikhtiar menciptakan guru yang profesional melalui jalur sertifikasi dengan target 2015 seluruh guru di Indonesia harus sudah bersertifikat, profesi guru menjadi marak diminati khalayak ramai.
Apalagi, di tengah minimnya lapangan kerja dan rendahnya upah minimum per bulan. Sebagai contoh, para mahasiswa dari jurusan nonkependidikan setelah sarjana lebih memilih mendaftar menjadi guru dan tidak mempedulikan orientasi jurusannya karena merasa gaji setiap bulan terjamin. Apalagi, jika diangkat menjadi PNS dan lolos sertifikasi, gaji dapat membengkak dua kali lipat dibanding pegawai negeri sipil (PNS) nonpendidik.
Oleh sebab itulah, pemerintah menutup legalitas mengajar atau akta 4 dan membentuk pendidikan profesi guru selama satu atau dua tahun. Hal ini untuk menampung alumni kampus yang bukan berasal dari jurusan orientasi pendidik tetapi berkeinginan menjadi guru. Karena, mereka tak mendapat materi psikologi pendidikan, metodologi pembelajaran, dan microteaching atau latihan mengajar layaknya mahasiswa PGSD. Maka, pendidikan profesi dijadikan tempat untuk menempanya.
Tetapi, bukan di sana sebenarnya pangkal persoalannya. Melainkan, yang hendak dikritisi penulis ialah orientasi seseorang untuk menjadi pendidik. Kini, orang berkeinginan menjadi guru karena materi (gaji bulanan pasti, apalagi kalau lolos sertifikasi), bukan karena kesungguhan mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan generasi bangsa ini.
|
Rumah Pensil Publisher
|
Menurut Dwi Siswoyo dalam buku "Quo Vadis Pendidikan", ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh pendidik. Pertama, mencintai pekerjaan guru sebagai profesi, sebagai panggilan hidup, agar pada diri yang bersangkutan memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan, kerja keras, dan tanggung jawab. Kedua, menanamkan pada jiwa peserta didik tentang kecintaan untuk senantiasa berusaha hadir tepat waktu di saat jadual mengajarnya, dan menjadikannya sebagai media mencapai sukses belajar dan mengajar dalam hidupnya. Ketiga, menanamkan pada diri pendidik sendiri dan peserta didik cara berfikir positif.
Ketiga aspek di atas perlu diutamakan oleh guru, agar proses belajar-mengajar dijalankannya tanpa beban. Jika demikian, label profesional (bersertifikat) pun tak perlu dicari justru akan datang menghampiri.
Selama ini tunjangan sertifikasi yang telah dinikmati guru sejak 2005 hanya didasari penilaian portofolio atau mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Dan, belum dilaksanakan sepenuhnya penilaian kinerja terhadap guru yang sudah bersertifikasi. (Republika, 9 September 2011)
Adapun parameter yang dievaluasi meliputi kepribadian, pedagogik (pemahaman terhadap ilmu yang diajarkan), sosial, dan keprofesionalitasan guru. Pada empat aspek inilah guru dituntut untuk senantiasa menaikkan kapasitasnya agar bermetamorfosa menjadi guru profesional.
Pertama, dari segi kepribadian. Guru dituntut menjadi pribadi yang teladan, beretika, bijaksana, dan dekat dengan siswa. Suasana kedekatan ini perlu dibangun agar peserta didik tidak segan jika ada hal yang ditanyakan. Selain itu, siswa dapat pula mencurahkan persoalan pribadi yang mengganggu proses studinya kepada guru, karena guru merupakan orangtua di sekolah maka guru dituntut mampu memecahkan segala persoalan murid.
Kedua, segi pedagogik. Guru dituntut memiliki wawasan yang luas serta retorika (seni komunikasi) dan bahasa tubuh yang bijak dalam proses pelimpahan ilmu. Suasana belajar di kelas akan tampak membosankan jika guru menyampaikan materi pelajaran secara monoton. Oleh sebab itu, variasi mengajar dan kreativitas menggunakan media pembelajaran harus dikuasai pendidik. Tempat belajar pun tak melulu harus di kelas. Sesekali dapat berpindah ke perpustakaan, taman, masjid, atau melakukan study tour dan karya wisata untuk mengusir kejenuhan siswa dan mendisain forum belajar-mengajar senyaman mungkin. Karena, suasana kejiwaan siswa secara langsung memengaruhi transfer ilmu yang diberikan.
Ketiga, aspek sosial. Karena fitrah manusia ialah tak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Maka, guru tak sekedar bertugas mengajar, tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan. Wujudnya dapat aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat sekitar atau tempat tinggal. Sebab, kata Pramudya Ananta Toer, rakyat dididik dengan organisasi dan penguasa dididik dengan perlawanan.
Bagaimanapun, guru diharapkan tak sekedar memberikan pencerahan di sekolah tetapi juga dapat menularkannya di masyarakat luas. Aktif dalam berorganisasi dan terlibat dalam dunia sosial akan melatih guru peka terhadap realitas sosial, membangun relasi dengan banyak orang yang berujung pada luasnya wawasan. Orang yang rajin berlatih, tak sekadar terlatih, tetapi juga dapat menjadi pelatih.
Keempat, profesional. Bentuknya dapat berupa mengajar tepat waktu, aktif berorganisasi menghadiri rapat sekolah, menjadi teladan bagi mitra didik, berprestasi di dalam maupun di luar sekolah. Oleh sebab itu, setiap guru harus mengidentifikasi potensi diri yang dapat dikembangkan sehingga berlabel pakar, tentunya selain materi pelajaran akademik yang diajarkan. Semisal, kemampuan membangun jaringan dengan sekolah, institusi, dan tokoh pendidikan. Atau, kemampuan menulis di media massa, untuk menyebarkan ilmu ke khalayak ramai. Ihwal ini membuat guru lebih bermanfaat tak hanya untuk diri pribadi tetapi juga orang lain. Prinsip hidup manusia adalah berkontribusi bagi orang lain.
Akhirnya orientasi para pendidik perlu diluruskan. Yakni, tak perlu melulu memikirkan kompensasi tetapi harus lebih memprioritaskan peningkatan kompetensi. Sebab, padanyalah tunas bangsa negeri ini bergantung.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka (Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan)