Selasa, 06 Juli 2010

100 Hari, Terjebak Istilah Sendiri

Dimuat di Harian Jogja, Sabtu, 30 Januari 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Selesainya kadar waktu program kerja seratus hari pemerintah disambut ribuan demonstran di penjuru tanah air. Massa yang terdiri dari aktivis mahasiswa, intelektual, buruh dan tani menilai rezim SBY-Boediono gagal karena tak mampu menuntaskan program yang dicanangkannya. Menjadi pertanyaan apakah para demonstran mengetahui program kerja pemerintah hingga tolok ukur keberhasilannnya? Ataukah karena ketidakfahaman itu, ribuan massa mudah diprovokasi oposisi untuk turun ke jalan. Terlepas dari itu, kabinet Indonesia bersatu jilid II memang terlihat kurang gencar melakukan sosialisasi program kerjanya. Selain itu, program kerja pemerintah tenggelam lantaran media massa lebih banyak mengekspose kasus perseteruan KPK-Polri yang mengindikasikan adanya kriminalisasi pimpinan KPK dan mega skandal bank Century yang masih menyisakan tanda tanya. 

 Diakui atau tidak kedua kasus ini ditambah penandatanganan perdagangan bebas dengan China ditengah ketidaksiapan bersaing pelaku usaha kecil, memang membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap pemerintah. Imbasnya rakyat secara spontan menyimpulkan SBY-Boediono telah gagal memimpin bangsa dan menyejahterakan rakyatnya. Efek beruntun dari kekecewaan ini ialah menurunnya tingkat kepuasan terhadap pemerintah sebagaimana dilansir Indo Barometer dari 90,4 (Agustus 2009) menjadi (74,5 Januari 2010). 

Akan tetapi, tuntutan masyarakat ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Bagaimanapun demonstrasi ini adalah wujud kontrol sosial terhadap penguasa atas pelbagai kebijakannya. Justru pemerintah yang dirasa terjebak istilah yang dibuatnya sendiri dengan mengumandangkan program kerja seratus hari. Program yang terdiri dari lima belas program unggulan diantaranya (1) pemberantasan mafia hukum, (2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme, (4) ketersediaan listrik, (5) penataan tanah dan tata ruang, (6) peningkatan infrastruktur, (7) reformasi pendidikan, dan (8) koordinasi antara pusat dan daerah, tidaklah mungkin tuntas dalam seratus hari. Kendati program seratus hari sebagai fondasi, tetapi khlayak memandangnya terlalu abstrak dan tidak terukur. Sementara harapan publik terhadap program ini terlalu besar. 

 Sebenarnya istilah penggunaan seratus hari menurut sejarawan University Cambrige, Anthony Badger pertama kali dipakai Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika Serikat tahun 1933, ketika menargetkan bangsanya untuk lepas dari depresi ekonomi dengan mengambil kebijakan cepat dalam seratus hari pertama, kemudian besaran tempo itu diadopsi pemimpin-pemimpin besar dunia. Maka jangan salahkan rakyat jika program seratus hari tidak konkret malah menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Berpijak dari persoalan di muka, setidaknya ini menjadi pelajaran moral pemerintah agar tidak terlalu banyak menonjolkan citra, retorika, dan harapan-harapan semata melainkan kerja nyata. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa UNY

ACFTA Musibah atau Berkah?

Dimuat di Harian Jogja, 25 Januari 2010 

Maju kena mundur kena. Itulah mungkin gambaran pemerintah setelah memutuskan terlibat dalam ACFTA (Asean China Free Trade Agreement). Pasalnya kesepakatan perdagangan bebas dengan China mendapat reaksi keras dari pelaku usaha dalam negeri. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi usaha, industri, serikat kerja dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mendesak pemerintah dalam hal ini departemen perdagangan melakukan negosiasi ulang dengan China karena menganggap belum siapnya komoditas domestik untuk bersaing dengan produk negeri tirai bambu yang terkenal murah, dan kualitas pun setara dengan produk lokal. Di sisi lain jika pemerintah mengajukan renegosiasi dagang, kredibilitas di muka dunia Internasional akan dipertanyakan. Bahkan dapat mendapat sanksi, karena ACFTA masih bernaung di bawah WHO (World Trade Organization). Dampak lanjutnya akan mengikis kepercayaan negara manca terhadap Indonesia. Negosiasi ulang pun tak dapat dilakukan pada semua sektor. Maka pemerintah harus memilih sektor mana yang lemah dan dianggap kurang kompetitif di pasaran dalam negeri. 


Sebenarnya perjanjian perdagangan bebas ini sudah dirancang sejak 2002. Tetapi pemerintah kurang gencar menyosialisasikan dan merundingkannya dengan pelaku usaha. Sontak saja, mereka seperti disambar petir di siang bolong mendengar kesepakatan ini berlaku. Rasionalisasinya demikian, jika produk nasional kalah bersaing dengan produk asing, imbasnya industri dalam negeri akan bangkrut bahkan gulung tikar. Jika ini terjadi dampak sistemiknya akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besar. Tentu perkara ini akan membebani pemerintah. Berpijak dari hipotesis di atas. Proteksi atau perlindungan dan penjaminan terhadap keberlangsungan usaha lokal sangatlah diharapkan. Langkah ini dapat dilakukan dengan pemberian bantuan kridit modal kepada UMKM agar roda perputaran usaha dagang sektor riil dapat terus berjalan. 

Selain itu, perbaikan aspek infrastruktur dan peningkatan ketrampilan tenaga kerja lokal harus digalakkan. Lebih urgen lagi ialah menjamin pasokan energi listrik dan gas tak tersendat agar proses kerja dapat terus berlangsung dan tak merugikan rakyat. Adanya liberalisasi ekonomi memang menjadikan produk barang untuk kebutuhan masyarakat primer, sekunder hingga tersier penuh ragam. Akan tetapi, heterogennya ini akan menggerus kecintaan masyarakat terhadap produk pribumi. Bangsa yang mayoritas mengekspor bahan mentah ini akan disulap China menjadi barang jadi. Kemudian mengimpornya lagi ke Indonesia. Walhasil, negeri ini akan menjadi objek konsumen semata, dan menjadi produsen pun jauh dari asa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY 

Selesaikanlah Skandal Century

Dimuat di Harian Jogja, Senin 18 Januari 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Seratus hari program kerja Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menjadi pertaruhan citra bagi presiden SBY khususnya perihal pemberantasan korupsi. Janjinya sewaktu kampanye untuk turun sendiri memberangus korupsi sedang diuji dan ditagih khalayak dengan adanya mega skandal Bank Century yang dirampok pemiliknya Robert Tantular. Terlepas dari itu, perkara yang berbuntut panjang ini dapat menjadi sasaran tembak lawan politik SBY. Kasus penggelapan uang terbesar sejak era reformasi ini menjadi isu nasional untuk diusut tuntas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berperan sebagai kontrol eksekutif dengan membentuk panitia khusus (Pansus) untuk penyidikan. Malangnya, team khusus berkomposisi perwakilan partai politik ini sarat kepentingan dan saling menjatuhkan dalam forum. 

Imbasnya muncul desas-desus, akan adanya evaluasi partai koalisi pemerintah yang dianggap melemahkan anggota pansus. Conflict of interest tercermin dari proses penyidikan dalam ruang rapat pansus. Seakan anggota pansus dari partai nonpemerintah melakukan interogasi terhadap perilaku tindak kriminal. Pertanyaannya banyak yang memojokkan dan menjatuhkan, kendati yang mereka hadapi adalah wakil presiden dan salah seorang menteri. Tak hanya itu, bahkan kata-kata kotor seperti bangsat dan daeng pun terlontar dari mulut salah seorang anggota parpol pemerintah. Padahal kurang santunnya perilaku wakil rakyat tersebut disaksikan oleh masyarakat tanah air melalui layar kaca. Amat miris memang. Jika ihwal ini berlanjut, tentu akan mengikis kepercayaan masyarakat. Indonesia memang tidak rugi dua trilyun karena pemilu presiden hanya satu putaran. Tetapi kemudian, negara kita rugi 6,7 Trilyun karena perampokan Bank. Duit sebanyak itu, kata Jusuf Kalla dapat membangun tiga gedung DPR. 

Terlepas dari nilai nominal kerugian, hendaknya pansus lebih objektif dan substantif dalam menyikapi persoalan ini tanpa tendensi. Sebab, hasil akhirnya akan menjadi pertaruhan citra (image). Jika berhasil mengusut tuntas kasus Bank Century, tentu ini akan menaikkan daya tawar DPR di mata rakyat. Jika gagal, perkara ini akan menciderai rezim pemerintahan, sekaligus menambah buram catatan sejarah perbankan pascaskandal Bantuan Likuiditas Bang Indonesia (BLBI) yang masih menyisakan misteri. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa 

Gus Dur dan Perlunya Rekonstruksi Sejarah

Dimuat di Lampung Post, Selasa 12 Januari 2009 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


 MENJELANG pergantian tahun, Indonesia kehilangan putra terbaiknya. K.H. Abdurahman Wahid alias Gus Dur menghadap Rahmatullah di saat negeri ini masih membutuhkan sosok sepertinya. Negarawan yang terkenal ceplas-ceplos ini semasa hidupnya banyak mengundang polemik, seakan terus berlanjut pascakematiannya dengan banyak pihak yang mengajukan dirinya sebagai pahlawan nasional. Perdebatan seputar pemberian gelar pahlawan kepada tokoh negarawan, sebenarnya bukanlah hal baru. Kejadian serupa dialami Soeharto dan Ibu Tien selang setelah meninggalnya, digadang-gadang sebagian khalayak layak dinisbatkan sebagai pahlawan. Nyonya Tien Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat (Rakor Kesra), tentu Presiden Soeharto tak menolaknya. 

 Pemberian gelar pahlawan memang hak prerogatif presiden. Akan tetapi di era kini, menurut UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pengajuan gelar pahlawan harus melalui dewan gelar yang dibentuk presiden. Padahal, dewan gelar yang terdiri dari tujuh orang belum terbentuk sampai sekarang. Dewan inilah yang akan menerima tokoh yang diajukan dan memberikan pertimbangan kepada presiden. Oleh sebab itu, pengusulan Gus Dur sebagai pahlawan haruslah didasari alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan dilengkapi daftar riwayat hidup serta keterangan mengenai tugas negara yang dilakukan, pemikiran, dan jasa yang ditorehkan. Hal ini untuk menghindari sangkaan, bahwa rekomendasi ini sebagai bentuk reaksi spontan emosional atas kematian mendiang tanpa mendalami dan menelusuri rekam jejak si tokoh. Penggalangan dukungan melalui situs jejaring sosial facebook hanya akan menimbulkan penilaian artifisial semata karena tidak melihat kontribusi tokoh dari kacamata sejarah sebenarnya.

 Sebagaimana dilansir UU No. 20/2009, definisi pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Gus Dur memang bukan pejuang yang melawan penjajah, tetapi gagasan dan tindakannya dalam membela kaum minoritas, seperti mengubah kembali nama Irian Barat menjadi Papua dan mengizinkan menggelar Kongres Nasional Papua, kebijakan menghapus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan Tionghoa, menyelesaikan sengketa pernikahan agama Konghucu dan membuat kepercayaan ini menjadi berkembang, serta membela kelompok kecil lain yang mendapat tekanan mayoritas menunjukkan mantan ketua PBNU ini mengakomodir pluralisme, mengawal kebhinekaan, dan dianggap membangun kemajemukan bangsa.

 Jika mencermati kode etik tersebut, mengenai syarat memperoleh gelar pahlawan BAB V Pasal 24, Gus Dur memang memenuhi kriteria umum dan khusus. Akan tetapi, kini yang perlu diupayakan ialah melakukan rekonstruksi sejarah perjalanan Gus Dur untuk membersihkan namanya sebelum dinobatkan menjadi seorang pahlawan, dan agar kesimpangsiuran ketertlibatannya dalam skandal Bulog Gate dan Brunei Gate yang membayangi publik selama ini menjadi terang. Ihwal ini menjadi urgen, agar generasi bangsa mendatang dapat menilai tokoh ini secara arif dan menempatkan perjalanan hidupnya sesuai porsi sejarahnya serta agar tidak terjadi penyesalan atau pencabutan dalam penganugerahan titel pahlawan.

 Karena itu, perlu dikaji dan didiskusikan lebih detail dan mendalam mengenai profil tokoh seperti Gus Dur atau Soeharto yang masih menuai kontroversi, dan selainnya yang hendak dipromosikan memperoleh gelar pahlawan. Rekonstruksi sejarah ini agar masyarakat dapat menakar kontribusi dan jasanya bagi kebangunan negeri secara fakta bukan dipermukaan belaka. Pemberian gelar diumumkan setiap 10 November, sehingga masih memiliki banyak waktu untuk menentukkannya. Tanpa menunggu sepuluh bulan ke depan, bagi penulis gelar pahlawan untuk Gus Dur hanya formalitas saja, sebab kepahlawanan yang sebenarnya sudah dirasakan masyarakat luas yang berinteraksi dengannya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY

Pentingnya Pendidikan Karakter

Dimuat di Jagongan Harian Jogja, 5 Januari 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Meninggalnya Theofilius, siswa SMA swasta di kawasan Gondokusuman, Yogyakarta, akibat salah sasaran perkelahian pelajar SMA beberapa waktu lalu menjadi titik perhatian serius insan pendidikan belakangan ini. Pasalnya, kenakalan pelajar abu-abu tersebut dikategorikan tindakan kriminal yang dapat mencoreng citra Jogja sebagai kota pelajar. Amat miris memang, hanya karena saling ejek di situs jejaring sosial facebook berujung maut dengan merenggut nyawa. Menjadi pertanyaan, apa sebenarnya sebab musabab maraknya perkelahian antarpelajar dewasa ini. Kenakalan pelajar disebabkan ketakmampuan pelajar mengontrol diri, dan menyalahgunakan kontrol diri, menegakkan standar tingkah laku diri, disertai unsur mental dan motif subjektif, yaitu mencapai objek tertentu dengan kekerasan dan agresi. Pelajar seperti ini egois dan cenderung melebihkan dirinya ketimbang orang lain (Kartono: 2006). 

Hal ini wajar mengingat usia-usia mereka, pola interaksi dengan orang tua mulai berkurang dan lebih banyak bergaul dengan lingkungan dan teman sejawatnya. Menurut (Achmadi: 2004) kelompok teman sebaya dapat memengaruhi kenakalan pelajar, karena menyediakan lingkungan yaitu dunia sebagai tempat remaja bersosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan nilai yang ditetapkan sendiri, namun jika nilai tersebut negatif maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa. Mencermati kasus perkelahian pelajar di Jogja, bisa jadi mereka tidak memiliki kesibukan yang pasti sehingga mayoritas waktunya diisi dengan aktivitas yang tak bermanfaat. Atau tidak ada kegiatan softskill di sekolah yang membentuk karakter kepribadian. Berpijak dari problem sosial di muka menjadi tanggungjawab sekolah untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan nyaman untuk belajar serta menumbuhkembangkan karakter mitra didik. Problem perkelahian pelajar akan ada setiap setiap kurun waktu, karena di usia mereka puncak energi berlebih terkumpul disertai semangat heroisme yang berapi-api yang membuatnya tak mau kalah dengan yang lain. 


Solusi pemecahannya tak cukup sekadar memberikan nasehat dan kontrol intensif kepada mereka, mengingat ego pribadi yang besar sehingga segala petuah baik yang datang akan diacuhkan. Upaya untuk mengondisikannya ialah memberikan ruang aktivitas edukatif untuk mengisi waktu luang mereka. Kegiatan itu akan sedikit mengurangi banyaknya tuntutan hidup di pundak mereka. Satuan pendidikan ialah ruang untuk mendekatkan peserta didik dengan realita kemasyarakatan dan kenegaraan. Artinya sekolah berperan sebagai perantaraan untuk mematangkan, memahamkan, dan membentuk karakter insan didik sebelum terjun ke lingkungan lebih luas. Oleh sebab itu, menjadi tugas sekolah untuk menyediakan kegiatan yang bermaterikan softskill kepada pelajarnya. Kompetensi softskill, secara nalar ialah kemampuan lunak. Disebut demikian, sebab kompetensi tersebut tidak cukup diperoleh peserta didik di ruang kelas belaka. Karena ihwal ini berkaitan dengan leadership, komunikasi, mental, dan sikap yang hendak diproses. Di kelas, mitra belajar hanya diberikan materi teoritis. Untuk membentuk karakter diperlukan kegiatan lapangan yang merangsang pelajar untuk berfikir dan bersikap, seperti kegiatan keorganisasian OSIS, ekstrakurikuler pramuka, serta mata pelajaran tambahan lain yang mewadahi dan memoles bakat minat pelajar. Karena ekstrakurikuler adalah manifestasi pembentukan karakter peserta didik. 

Rencana diwajibkannya kegiatan pramuka melalui undang-undang menjadi kabar baik di tengah banyaknya sekolah yang belum memberikan kegiatan ekstrakurikuler bagi peserta didik. Pendidikan karakter melalui ekstrakurikuler dapat meminimalisir perkelahian dan kenakalan pelajar sekaligus mengikis budaya hedonis yang mendera pelajar-pelajar masa kini, dengan memberikan ruang aktivitas yang memantik cara berfikir konvergen dan dapat dijadikan satu instrumen untuk mendesain karakter pelajar jika dikelola profesional oleh sekolah. Selain itu, adalah konsekuensi logis bagi pendidik untuk kreatif dan inovatif dalam proses transformasi ilmu guna mencipta pelajar berkarakter profetik. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta  

Senin, 05 Juli 2010

Revisi UN, Terapkan KTSP

Dimuat di Jagongan Harian Jogja, 28 Desember 2009 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Polemik ujian nasional mencapai klimaksnya ketika Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas perkara ujian nasional. Keputusan ini didasari pertimbangan yang matang, bahwa pemerintah memang belum meningkatkan kualitas pendidik secara merata, sarana prasarana yang komplit, dan akses informasi yang menyeluruh hingga daerah pedalaman. Jika dinalar inilah problem pendidikan yang sesungguhnya, UN hanyalah persoalan yang mengapung di akhir tahun saja dalam evaluasi pendidikan. Malangnya pemerintah masih saja berkilah bahwa ketiga hal di muka dalam proses renovasi. Tapi sampai kapan? Tentu inilah pertanyaan publik yang mengemuka. Mengingat sudah 64 tahun negeri ini merdeka, tetapi layanan pendidikan masih jauh dari asa. 


Maka perhelatan UN menjadi sangat diskriminatif, karena kemampuan antardaerah sangat timpang dalam memenuhi delapan standar pendidikan yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Provinsi berkota besar umumnya sudah memenuhi prasyarat di atas. Tetapi bagi daerah pedalaman sangatlah bertolak belakang. Alur nalarnya seharusnya, pemerintah melengkapi terlebih dahulu delapan standar pendidikan sebelum mengeluarkan kebijakan UN. Selain itu, yang menjadi persoalan mendasar ialah sistem evalusi pendidikan yang lebih didominasi pemerintah dalam menilai dan menentukan lulus tidaknya segelintir mata pelajaran yang diujikan dengan patokan standar nilai (passing grade) yang telah ditentukan. Ihwal ini tentu mengabaikan pendidik yang justru lebih mengetahui kompetensi dan karakter murid keseharian. 

PP No.19/ 2005 yang menjadi dasar diselenggarakannya UN pun sangatlah rapuh, sebab menyalahi UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi pendidikan. Pada pasal 58 dikatakan “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Sedangkan pemerintah hanya sekadar mengevaluasi terhadap pengelolaan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59) saja. Jadi bukan pada evaluasi proses pendidikan. Titik inilah yang patut menjadi perhatian pemerintah agar tak melebihi kewenangannya. Belum lagi dampak dalam proses belajar mengajar yang menjadi pragmatis dan stresnya siswa karena tak lulus UN. Maka menjadi satu tuntutan sikap agar pemerintah merevisi UN dengan tidak menetapkannya sebagai penentu kelulusan semata, melainkan menjadikan UN untuk menakar mutu pendidikan sebagai komparasi hasil pendidikan lintas daerah. 

Mencermati dan menyadari beragamnya potensi satuan pendidikan, sudah sepantasnya pemerintah menyerahkan mekanisme pendidikan dan evaluasinya pada sekolah masing-masing. Apa gunanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dicetuskan sejak 2006 jika tidak dilaksanakan. KTSP memberikan kesempatan lebih kepada sekolah dan pendidik untuk mengelola pendidikan secara mandiri sebagai konsekuansi dari desentralisasi pendidikan, yang dikembangkan berdasarkan potensi, kebutuhan, kepentingan pendidik, dan lingkungan setempat. Keinginan Depdiknas untuk mengajukan judicial review atau peninjauan kembali terkait UN bukanlah agenda strategis saat ini. Prioritas pemerintah ialah bagaimana meningkatkan profesionalitas pendidik melalui sertifikasi yang ditargetkan 2,8 juta pendidik tuntas pada 2015 tak sekadar formalitas. Serta bagaimana meminimalisir gape atau kesenjangan pembangunan fasilitas sekolah antardaerah sebagai penopang inti proses pembelajaran. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka (Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan)

Tinjau Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Lampung Post, 16 Desember 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



 SEJAK dimulai tahun 2003, pelaksanaan ujian nasional (UN) menuai banyak kontroversi. Mula segala muara pro-kontra itu ialah dijadikannya standar angka yang naik setiap tahunnya sebagai penentu kelulusan. Ini artinya, mayoritas pola pembelajaran yang diasah ialah ranah kognitif belaka. Kendati ada syarat kelulusan lain, seperti mata pelajaran bersubstansi moral atau akhlak (afektif), keterampilan (psikomototik), dan harus lulus ujian sekolah. Akan tetapi, semua hasil belajar siswa selama tiga tahun hanya akan ditentukan dalam tempo tiga hari, yakni saat ujian nasional. Insiden UN ini berimbas pada psikis atau mental pendidik dan peserta didik. Cara pandang dan cara mengajar guru menjadi pragmatis. Mengukur keberhasilan dari segi hasil, bukan serangkaian proses. Sekolah pun akhirnya hanya akan memfokuskan proses belajar-mengajar pada mapel yang diujikan di UN, karena hasil UN menyangkut prestise satuan pendidikan. Peserta didik pun demikian, pola belajar mereka menjadi monoton satu arah pada mapel yang ditawarkan di UN dan kemungkinan besar mengabaikan mapel lainnya. 

Inilah yang berpotensi memunculkan kecurangan massal, antara pendidik, peserta didik, bahkan sekolah. Kesemuanya dilakukan demi satu kata pragmatis; lulus. Jika pemerintah tetap bersikukuh menghelat UN, efek mendasarnya akan merusak sistem pendidikan. Suasana kelas dan proses transfer ilmu akan seperti bimbingan belajar. Bayangkan, menjelang UN per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out) UN berulang. Hal ini tentu mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh. Peserta didik pun kesehariannya akan diajari memecahkan soal dan menghafal fakta-fakta. Seakan-akan roh keilmuan yang disalurkan tidak ada. Dampak lain juga menjalar pada lingkup sosial. Peserta didik yang tidak lulus akan dijustifikasi "bodoh", dan memutuskan tali jenjang pendidikan, karena tak bisa melanjutkan sekolah. Bak petir di siang bolong, tekanan sosial ini membuat peserta didik depresi bahkan ada yang berniat bunuh diri. Berpijak dari perkara di muka, banyak orang tua dan pendidik yang peduli akan pendidikan, mengajukan gugatan ke pengadilan terkait UN. Alhasil, pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat, pengadilan tinggi DKI Jakarta serta Mahkamah Agung (MA), mengabulkan gugatan kembali warga negara (citizen law suit) karena pemerintah dianggap tak mampu menyelenggarakan pendidikan secara merata dan layak. Sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas, Pasal 11 Ayat (1). "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi". Pemerintah seakan tergesa-gesa memutuskan kebijakan UN. Momentumnya tidak tepat. Rasionalisasinya, UN tidak mungkin dilaksanakan jika delapan lingkup standar pendidikan nasional standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik, dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian belum dipenuhi. 

Seharusnya BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) selaku badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan, menganulir kebijakan UN dari Depdiknas. Sebab, pemerintah secara luas belum menuntaskan delapan standar di atas. Selain itu, kemajemukan kemampuan satuan pendidikan amatlah kontra antara sekolah di kota besar yang serbacukup dengan sekolah di perdesaan yang masih berbenah. Sebaran pendidik pun belum merata, karena mayoritas memilih mengajar di kota dengan pertimbangan gaji dan segala kemudahannya. Belum lagi MTs, MA, dan sekolah swasta lainnya yang tak mendapatkan bantuan pemerintah. Maka menjadi diskriminatif jika UN tetap diberlakukan. 

 Jika disangkuteratkan dengan gagasan Suharsimi Arikunto dalam bukunya Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, UN bukanlah evaluasi pendidikan, melainkan hanya mengukur (measurement), yakni membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Sesuatu tersebut adalah UN dibandingkan dengan satu ukuran angka sebagai standar kelulusannya. Maka penilaiannya bersifat kuantitatif. Sedangkan evaluasi meliputi langkah mengukur dan menilai. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu (UN) dengan ukuran baik buruk (afektif dan psikomotor) kedua aspek terakhir yang lebih mengetahui adalah pendidik. Penilaian pun bersifat kualitatif. Maka, amatlah naif jika pendidik, orang yang dekat dan mengenal karakter serta kompetensi peserta didik tidak dilibatkan langsung dalam evaluasi pendidikan. 

 Oleh sebab itu, evaluasi pendidikan menurut PP No. 19/ 2005 yang bermakna "kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan", haruslah dikembalikan pada satuan pendidikan setempat sebagai konsekuensi logis penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yakni memberi otonomi pada sekolah, dan menjadi PR pemerintah untuk mengembangkan KTSP secara serentak. 

Vivit Nur Arista Putra
Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta