Rabu, 14 Desember 2011

Demokratisasi Keempat

Dimuat di Lampung Post, 17 November 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



Sebulan terakhir, Suriah menjadi pusat perhatian dunia. Uni Eropa dan PBB mengecam Presiden Abdullah Saleh karena menyerang demonstran. Hal ini terlepas aksi represif rezim yang membunuh ribuan demonstran antipemerintah. Peristiwa ini serupa dengan tragedi Tiananmen 1989 di China, di mana mahasiswa dan rakyat diberantas habis oleh negara. Jika diusut problem krisis politik di Timur Tengah ada dua. Pertama, tidak adanya demokratisasi bagi setiap warga negara. Suara pubik disumbat sehingga tak ada kritik dan kontrol sosial terhadap kekuasaan. 

Imbasnya, Presiden Saleh pun merasa serbabenar terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Termasuk membungkam media dan oposisi. Jika demikian, negeri pengekspor minyak ini lebih kejam dari Pemerintahan Firaun. Dalam catatan Komisi HAM PBB lebih dari 3.000 demonstran dibunuh. Masyarakat turun ke jalan lantaran menuntut mundur penguasa zalim dan menindas rakyatnya. Kedua, distribusi kekayaan tidak merata. Terjadi kesenjangan sosial yang sangat lebar antara elite politik dengan masyarakat akar rumput. Inilah yang membuat kalangan masyarakat menengah ke bawah menjerit karena tidak adanya keadilan. Berbeda dengan Oman yang lebih terkendali karena secara ekonomi kebutuhan masyarakat tercukupi. Bayangkan, negara di kawasan teluk ini hanya memiliki sekitar 300 ribu penduduk, tetapi residennya (warga asing yang domisili di Oman) mencapai 1,2 juta. Tentu, dari sektor inilah keuangan negara dapat tertolong sehingga dapat memakmurkan rakyatnya. 

Samuel P. Huntington dalam Third Wave Democratization mengemukakan yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah saat ini adalah gelombang demokratisasi keempat dalam sejarah dunia. Selain kedua faktor tersebut, akar masalah lainnya ialah lamanya presiden berkuasa dapat membuatnya lupa diri dan mamasung regenerasi. Sehingga krisis kepemimpinan pun muncul dan muaranya akan terjadi politik dinasti. Efek jangka panjangnya demokrasi sekadar prosedural karena pergantian puncak pemimpin hanya berputar di antara klan atau orang yang mempunyai hubungan darah dengan incumbent. 

Alhasil, jika pemimpin alpa kompetensi, bagaimana dapat mencukupi kebutuhan rakyat secara merata. Di sini kita dapat memetik pelajaran moral, yakni belum terintegrasinya demokrasi dengan kesejahteraan. Kini menjadi tantangan baru bagi negara Timur Tengah dan Afrika untuk membuka keran demokrasi. Begitu juga tokoh calon pengganti, agar jangan hanya ngotot menuntut suksesi tetapi tak memiliki kemampuan untuk mengisi. Reformasi total terhadap rezim menjadi syarat terbentuknya pemerintahan baru yang menjadi harapan baru bagi masyarakatnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Perdebatan RUU Pemilu

Dimuat di Lampung Post, 7 Desember 2011. 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum untuk mengatur parliementary treshold (PT) atau ambang batas partai yang lolos ke parlemen, secara tradisi pembahasannya sejak Pemilu 1999 hingga kini selalu alot dan menuai polemik. Setidaknya sampai saat ini, publik dapat mengidentifikasi dua kepentingan di balik tawaran angka PT ke depan. Pertama, partai besar, seperti Golkar dan PDI Perjuangan ngotot menawarkan 5% sebagai limit maksimal dengan argumentasi untuk mengefektifkan pemerintahan dan memperkokoh sistem presidensial. Rasionalisasinya di parlemen harusnya ada 3-4 partai saja, sehingga sikap politiknya jelas (tidak abu-abu) dan pemerintah tak terjebak pada persoalan urusan internal partai, seperti kontrak koalisi yang menguras waktu dan memalingkan orientasi mengurus rakyat. 


Inilah yang selama ini terlihat di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Mitra koalisi sikap politiknya malah berseberangan dengan pemerintah karena masing-masing mengaku mempunyai kontrak politik yang jelas dengan presiden, bukan dengan partai demokrat. Khalayak khawatir jika ini terus terjadi maka akan merusak sistem demokrasi yang selama ini sedang bertumbuh dewasa di negeri ini. Kedua, karena menyangkut representasi atau perwakilan masyarakat yang heterogen di Indonesia, standar PT di atas akan memangkas jutaan suara rakyat yang disalurkan kepada partai politik yang tak lolos PT. Nah, persoalannya apakah suara itu dapat dilimpahkan ke partai lain yang lolos PT dan dapat dikatakan representasi yang legal dari kalangan masyarakat terkait? Tentu masyarakat akan menolak. 

Argumentasi partai menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, dan Gerindra ialah tetap bertahan pada 2,5%-3% saja agar suara rakyat yang disalurkan ke partai politik kendati tidak lolos PT, tetapi suara yang hangus tidak cukup banyak. Dengan patokan 2,5%, ada 18 juta lebih suara yang hangus, apalagi dengan passing grade baru 5%. Pasti banyak suara pemilih yang terbakar dan tak mampu menyampaikan aspirasi daerahnya kepada partai terkait karena tak lolos PT. Tendensinya ialah partai besar dengan standar PT 5% dapat memberangus partai kecil yang suaranya tak konsisten di lingkup daerahnya. 

Sebaliknya partai kecil bertahan pada kisaran 2,5%-3% agar tetap eksis dan terlibat koalisi atau mengontrol pemerintah di parlemen. Kedua nalar di muka setidaknya dapat menjadi pertimbangan bersama, termasuk partai pemerintah (Demokrat) yang menawarkan nilai tengah, yakni 4% untuk berkompromi, menganalisis sebelum berkonklusi tentang aturan PT yang jelas. Bagaimana agar dapat merepresentasikan akar rumput sekaligus memperbaiki tatanan sistem demokrasi dan pemerintahan semakin baik. Selaku warga negara, mari kita kawal pembahasan PT ke depan untuk Indonesia lebih baik. Tabik. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Selasa, 06 Desember 2011

Menanti Kiprah Ketua KPK

Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, 5 Desember 2011 


Setelah melalui masa seleksi dan fit and proper test yang panjang, akhirnya komisi III DPR RI memilih Abraham Samad sebagai ketua baru KPK. Aktivis Anti Coruption Comitte (ACC) asal Makassar ini memperoleh 43 suara dari 56 anggota dewan. Hasil ini mengejutkan mengingat pada fase pengerucutan dari delapan calon yang disaring menjadi empat, sempat bersaing ketat dengan Bambang Widjajanto yang lebih populer. Selain itu, ketua PPATK, Yunus Husain justru tidak termasuk pimpinan kolektif kolegial KPK yang baru masa karya 2011-2015. Tokoh lain yang terpilih memimpin KPK ialah Zulkarnain (latar belakang jaksa), Adnan Pandu Praja (advokat), dan Busyro Muqqodas (akademisi dan pendiri Pusham UII). 


Kini publik akan menanti janji Abraham yang lantang akan mundur dengan sendirinya, jika masa satu tahun tak mampu tuntaskan kasus Century. Beberapa terobosan yang dijanjikan ialah akan merekrut penyidik independen berasal dari kampus atau kalangan profesional ketimbang dari kejaksaan atau kepolisian. Tentunya khalayak mengharapkan tanpa mengesampingkan kedua, karena sejatinya KPK ialah lembaga ad hoc yang dibuat ketika kepercayaan rakyat turun pada polisi dan jaksa khususnya dalam memberantas korupsi. Perlu diingat lembaga ad hoc dapat dibubarkan kapan saja jika dua otoritas hukum menunjukkan kinerja baik dengan banyaknya koruptor dijerat. Maka skala prioritas yang dicanangkan ketua KPK baru semoga tak diukur dari kasus yang diekspos media massa, sehingga jika KPK menanganinya akan menaikkan citra. Tetapi parameternya ialah pada skala kerugian negara atau fokus pada pemberantasan korupsi kelas kakap. Cukuplah penjahat kelas teri ditindak kepolisian dan jaksa. Ditermin lain yang menjadi titik perhatian ialah, KPK harus memperkuat sisi pencegahan terjadinya korupsi dengan kampanye aktif dan mengadvokasi rezim dengan menggandeng masyarakat sipil khususnya LSM yang fokus melawan kejahatan extraordinary ini. 

Karena selama ini KPK lebih banyak melakukan penyidikan, artinya ketika terjadi kasus korupsi barulah lembaga superbody ini bekerja. Langkah pencegahan ini dapat konkrit dilakukan dengan menerapkan pasal 19 nya dalam UU KPK untuk membuka perwakilannya di daerah. Tidak harus ada secara fisik gedung KPK, tetapi KPK dapat mengirimkan anggotanya untuk turut serta dalam pembahasan RAPBD atau rancangan UU lain di daerah. Kiat ini akan semakin memperteguh kehadiran KPK tak hanya di pusat pemerintahan tetapi juga di level daerah yang rawan korupsi. Semoga Abraham Samad dapat melakukannya. Berantas korupsi, harga mati. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Sabtu, 03 Desember 2011

Meningkatkan Kompetensi Guru

Dimuat di Opini Suara Karya, Jumat, 2 Desember 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Dinamika persoalan guru, pahlawan tanpa tanda jasa selalu beragam. Sejak pemerintah berikhtiar menciptakan guru yang profesional melalui jalur sertifikasi dengan target 2015 seluruh guru di Indonesia harus sudah bersertifikat, profesi guru menjadi marak diminati khalayak ramai. Apalagi, di tengah minimnya lapangan kerja dan rendahnya upah minimum per bulan. Sebagai contoh, para mahasiswa dari jurusan nonkependidikan setelah sarjana lebih memilih mendaftar menjadi guru dan tidak mempedulikan orientasi jurusannya karena merasa gaji setiap bulan terjamin. Apalagi, jika diangkat menjadi PNS dan lolos sertifikasi, gaji dapat membengkak dua kali lipat dibanding pegawai negeri sipil (PNS) nonpendidik.

Oleh sebab itulah, pemerintah menutup legalitas mengajar atau akta 4 dan membentuk pendidikan profesi guru selama satu atau dua tahun. Hal ini untuk menampung alumni kampus yang bukan berasal dari jurusan orientasi pendidik tetapi berkeinginan menjadi guru. Karena, mereka tak mendapat materi psikologi pendidikan, metodologi pembelajaran, dan microteaching atau latihan mengajar layaknya mahasiswa PGSD. Maka, pendidikan profesi dijadikan tempat untuk menempanya. Tetapi, bukan di sana sebenarnya pangkal persoalannya. Melainkan, yang hendak dikritisi penulis ialah orientasi seseorang untuk menjadi pendidik. Kini, orang berkeinginan menjadi guru karena materi (gaji bulanan pasti, apalagi kalau lolos sertifikasi), bukan karena kesungguhan mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan generasi bangsa ini. 

Rumah Pensil Publisher

Menurut Dwi Siswoyo dalam buku "Quo Vadis Pendidikan", ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh pendidik. Pertama, mencintai pekerjaan guru sebagai profesi, sebagai panggilan hidup, agar pada diri yang bersangkutan memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan, kerja keras, dan tanggung jawab. Kedua, menanamkan pada jiwa peserta didik tentang kecintaan untuk senantiasa berusaha hadir tepat waktu di saat jadual mengajarnya, dan menjadikannya sebagai media mencapai sukses belajar dan mengajar dalam hidupnya. Ketiga, menanamkan pada diri pendidik sendiri dan peserta didik cara berfikir positif. 

Ketiga aspek di atas perlu diutamakan oleh guru, agar proses belajar-mengajar dijalankannya tanpa beban. Jika demikian, label profesional (bersertifikat) pun tak perlu dicari justru akan datang menghampiri. Selama ini tunjangan sertifikasi yang telah dinikmati guru sejak 2005 hanya didasari penilaian portofolio atau mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Dan, belum dilaksanakan sepenuhnya penilaian kinerja terhadap guru yang sudah bersertifikasi. (Republika, 9 September 2011) Adapun parameter yang dievaluasi meliputi kepribadian, pedagogik (pemahaman terhadap ilmu yang diajarkan), sosial, dan keprofesionalitasan guru. Pada empat aspek inilah guru dituntut untuk senantiasa menaikkan kapasitasnya agar bermetamorfosa menjadi guru profesional. Pertama, dari segi kepribadian. Guru dituntut menjadi pribadi yang teladan, beretika, bijaksana, dan dekat dengan siswa. Suasana kedekatan ini perlu dibangun agar peserta didik tidak segan jika ada hal yang ditanyakan. Selain itu, siswa dapat pula mencurahkan persoalan pribadi yang mengganggu proses studinya kepada guru, karena guru merupakan orangtua di sekolah maka guru dituntut mampu memecahkan segala persoalan murid. 

Kedua, segi pedagogik. Guru dituntut memiliki wawasan yang luas serta retorika (seni komunikasi) dan bahasa tubuh yang bijak dalam proses pelimpahan ilmu. Suasana belajar di kelas akan tampak membosankan jika guru menyampaikan materi pelajaran secara monoton. Oleh sebab itu, variasi mengajar dan kreativitas menggunakan media pembelajaran harus dikuasai pendidik. Tempat belajar pun tak melulu harus di kelas. Sesekali dapat berpindah ke perpustakaan, taman, masjid, atau melakukan study tour dan karya wisata untuk mengusir kejenuhan siswa dan mendisain forum belajar-mengajar senyaman mungkin. Karena, suasana kejiwaan siswa secara langsung memengaruhi transfer ilmu yang diberikan. 

Ketiga, aspek sosial. Karena fitrah manusia ialah tak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Maka, guru tak sekedar bertugas mengajar, tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan. Wujudnya dapat aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat sekitar atau tempat tinggal. Sebab, kata Pramudya Ananta Toer, rakyat dididik dengan organisasi dan penguasa dididik dengan perlawanan. Bagaimanapun, guru diharapkan tak sekedar memberikan pencerahan di sekolah tetapi juga dapat menularkannya di masyarakat luas. Aktif dalam berorganisasi dan terlibat dalam dunia sosial akan melatih guru peka terhadap realitas sosial, membangun relasi dengan banyak orang yang berujung pada luasnya wawasan. Orang yang rajin berlatih, tak sekadar terlatih, tetapi juga dapat menjadi pelatih. 

Keempat, profesional. Bentuknya dapat berupa mengajar tepat waktu, aktif berorganisasi menghadiri rapat sekolah, menjadi teladan bagi mitra didik, berprestasi di dalam maupun di luar sekolah. Oleh sebab itu, setiap guru harus mengidentifikasi potensi diri yang dapat dikembangkan sehingga berlabel pakar, tentunya selain materi pelajaran akademik yang diajarkan. Semisal, kemampuan membangun jaringan dengan sekolah, institusi, dan tokoh pendidikan. Atau, kemampuan menulis di media massa, untuk menyebarkan ilmu ke khalayak ramai. Ihwal ini membuat guru lebih bermanfaat tak hanya untuk diri pribadi tetapi juga orang lain. Prinsip hidup manusia adalah berkontribusi bagi orang lain. Akhirnya orientasi para pendidik perlu diluruskan. Yakni, tak perlu melulu memikirkan kompensasi tetapi harus lebih memprioritaskan peningkatan kompetensi. Sebab, padanyalah tunas bangsa negeri ini bergantung. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka (Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan) 

Peran Strategis Indonesia di ASEAN

Dimuat di Republika Yogya, Jum'at, 2 Desember 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


ASEAN kini menjadi perhatian dunia karena dianggap organisasi yang solid dan prospektif untuk menjalin kerjasama ekonomi guna mengurai krisis yang mendera Amerika Serikat dan Uni Eropa. Selain itu, regional ini juga dijadikan ajang berebut pengaruh negara-negara mapan. Terbukti presiden AS, Barack Obama, secara khusus hadir untuk menjalin kemitraan ASEAN, dengan menawarkan agar negara Asia Tenggara bergabung dalam Trans Pacific Partnership atau Perdagangan Asia Pasifik. Alasannya ialah utang negeri paman Sam yang mencapai 15 Trilyun US Dollar (tertinggi sepanjang sejarah AS), membuatnya mencari pangsa pasar baru untuk mengekspor barangnya demi pengurangan beban utang. Tak terkecuali China dan Rusia sebagai negara yang tak terimbas krisis, juga hadir untuk turut menancapkan pengaruh ekonominya melalui CAFTA yang sudah terjalin setahun silam, dan menetralisir ASEAN dari penggunaan senjata nuklir yang menjadi isu sensitif global. 

Indonesia selaku ketua dan tuan rumah 19th ASEAN Summit 2011 memiliki peranan penting untuk mengelola dan mengatur teritorial ke depan. Khalayak menaruh asa, agar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang merumuskan Bali Concord III sebagai pilar penyatuan komunitas Asia Tenggara 2015. Melalui aspek politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang menjadi titik fokus garapan, tak hanya dinikmati kalangan elite pemimpin negara, tetapi juga terasa hingga masyarakat akar rumput sebagai objek komunitasnya. Pada titik ini, Indonesia dapat menjadi pengarah, penengah, dan parameter perkembangan ASEAN setidaknya tiga tahun ke depan sebagai transisi menuju ASEAN community in a global community of nation


Pertama, Indonesia harus memastikan stabilitas kawasan. Seperti meredam konflik perbatasan yang berujung perang antara Kamboja-Thailand, klaim sepihak pulau strategis penghasil migas di laut China selatan yang melibatkan Vietnam, Malaysia, dan China. Belum lagi perseteruan Indonesia dan Malaysia atas pulau terluar di sebelah barat Kalimantan. Riak-riak perkara di muka harus dipupus dengan jalan diplomasi arif, jika tak ingin membesar yang berefek mengganggunya hubungan kedua negara serta menghambat iklim investasi. Imbasnya, jika tak bijak ditangani dapat menunda terciptanya masyarakat ASEAN yang damai. 

Kedua, Indonesia dapat menjadi teladan pada konteks perkembangan ekonomi. Kiatnya ciptakan kesetaraan ekonomi antar negera dengan mengurangi ketergantungan ekspor barang sebagai pendapatan terbesar per kapita setiap tahunnya dengan cara mengembangkan pasar domestik. Termasuk pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah sebagai penggerak ekonomi nasional. Indonesia dapat menjadi contohnya, buktinya rentang waktu 2007-2011 pertumbuhan ekonomi selalu naik dan stabil. Negara seperti AS, Yunani, dan Italia yang didera krisis saat ini lantaran interdependensi yang tinggi terhadap ekspor produknya ke negara lain. Sehingga saat negara sasaran kolaps dan ekonominya rapuh, barang tersebut tak terdistribusikan dan akhirnya rugi. Kuncinya lainnya ialah perkuat stabilitas teritorial agar arus perdagangan dan jasa lancar serta inverstor tak ragu untuk menanamkan sahamnya. 

Ketiga, persoalan sosial budaya seperti pegakan HAM dan demokrasi, Indonesia dapat berperan besar dengan memberikan resep mengelola negara majemuk dan memberi contoh penuntasan perkara disintegrasi secara win-win solution. Di termin lain, isu proteksi buruh mingran dan penetapan hak paten hasil karya anak bangsa seperti angklung, gamelan, dan jenis sendra tari lainnya dapat digaungkan dan dikompromikan untuk meminimalisir kasus dengan negeri jiran. Terakhir, Indonesia perlu mengawal Myanmar agar prosesi transisi demokrasi di negerinya sukses dan siap memimpin ASEAN 2014 nanti. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Kamis, 01 Desember 2011

Peran Strategis Indonesia di ASEAN

Dimuat di Republika Yogya, Kamis, 1 Desember 2011 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


 ASEAN kini menjadi perhatian dunia karena dianggap organisasi yang solid dan prospektif untuk menjalin kerjasama ekonomi guna mengurai krisis yang mendera Amerika Serikat dan Uni Eropa. Selain itu, regional ini juga dijadikan ajang berebut pengaruh negara-negara mapan. Terbukti presiden AS, Barack Obama, secara khusus hadir untuk menjalin kemitraan ASEAN, dengan menawarkan agar negara Asia Tenggara bergabung dalam Trans Pacific Partnership atau Perdagangan Asia Pasifik. Alasannya ialah utang negeri paman Sam yang mencapai 15 Trilyun US Dollar (tertinggi sepanjang sejarah AS), membuatnya mencari pangsa pasar baru untuk mengekspor barangnya demi pengurangan beban utang. Tak terkecuali China dan Rusia sebagai negara yang tak terimbas krisis, juga hadir untuk turut menancapkan pengaruh ekonominya melalui CAFTA yang sudah terjalin setahun silam, dan menetralisir ASEAN dari penggunaan senjata nuklir yang menjadi isu sensitif global. Indonesia selaku ketua dan tuan rumah 19th ASEAN Summit 2011 memiliki peranan penting untuk mengelola dan mengatur teritorial ke depan. Khalayak menaruh asa, agar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang merumuskan Bali Concord III sebagai pilar penyatuan komunitas Asia Tenggara 2015. Melalui aspek politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang menjadi titik fokus garapan, tak hanya dinikmati kalangan elite pemimpin negara, tetapi juga terasa hingga masyarakat akar rumput sebagai objek komunitasnya. Pada titik ini, Indonesia dapat menjadi pengarah, penengah, dan parameter perkembangan ASEAN setidaknya tiga tahun ke depan sebagai transisi menuju ASEAN community in a global community of nation. Pertama, Indonesia harus memastikan stabilitas kawasan. Seperti meredam konflik perbatasan yang berujung perang antara Kamboja-Thailand, klaim sepihak pulau strategis penghasil migas di laut China selatan yang melibatkan Vietnam, Malaysia, dan China. Belum lagi perseteruan Indonesia dan Malaysia atas pulau terluar di sebelah barat Kalimantan. Riak-riak perkara di muka harus dipupus dengan jalan diplomasi arif, jika tak ingin membesar yang berefek mengganggunya hubungan kedua negara serta menghambat iklim investasi. Imbasnya, jika tak bijak ditangani dapat menunda terciptanya masyarakat ASEAN yang damai. Kedua, Indonesia dapat menjadi teladan pada konteks perkembangan ekonomi. Kiatnya ciptakan kesetaraan ekonomi antar negera dengan mengurangi ketergantungan ekspor barang sebagai pendapatan terbesar per kapita setiap tahunnya dengan cara mengembangkan pasar domestik. Termasuk pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah sebagai penggerak ekonomi nasional. Indonesia dapat menjadi contohnya, buktinya rentang waktu 2007-2011 pertumbuhan ekonomi selalu naik dan stabil. Negara seperti AS, Yunani, dan Italia yang didera krisis saat ini lantaran interdependensi yang tinggi terhadap ekspor produknya ke negara lain. Sehingga saat negara sasaran kolaps dan ekonominya rapuh, barang tersebut tak terdistribusikan dan akhirnya rugi. Kuncinya lainnya ialah perkuat stabilitas teritorial agar arus perdagangan dan jasa lancar serta inverstor tak ragu untuk menanamkan sahamnya. Ketiga, persoalan sosial budaya seperti pegakan HAM dan demokrasi, Indonesia dapat berperan besar dengan memberikan resep mengelola negara majemuk dan memberi contoh penuntasan perkara disintegrasi secara win-win solution. Di termin lain, isu proteksi buruh mingran dan penetapan hak paten hasil karya anak bangsa seperti angklung, gamelan, dan jenis sendra tari lainnya dapat digaungkan dan dikompromikan untuk meminimalisir kasus dengan negeri jiran. Terakhir, Indonesia perlu mengawal Myanmar agar prosesi transisi demokrasi di negerinya sukses dan siap memimpin ASEAN 2014 nanti. Vivit Nur Arista Putra Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Jumat, 18 November 2011

Membaca Misi Kedatangan Obama

Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, Jum'at, 18 November 2011 

Kedatangan presiden negara adidaya Barack Obama, secara khusus ke Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi, negara ASEAN di Nusa Dua, Bali, 17-19 November 2011 tentu memiliki sisi tendensi. Langkah ini berbeda dengan kunjungannya ke Indonesia tahun lalu yang dapat dikata hanya mampir ‘silaturahmi’ pascapertemuan bilateral dengan India. Kali ini kunjungan ke bumi pertiwi ini tampak direncanakan dan Obama memang meluangkan waktu khusus untuk bertemu menteri luar negari dan keuangan negara ASEAN. Hal ini tak lepas dari misi tawaran AS kepada negara asia tenggara khususnya indonesia untuk terlibat perdagangan bebas asia pasific (Trans Pacific Partnership). 


Beruntung negara kita menolaknya karena belum kuatnya daya saing produk dalam negeri dalam menghadapi serbuan produk impor. Penulis menganalisa, pernyataan sikap di muka sangat tepat. Perjanjian CAFTA hendaknya memberikan pelajaran moral bagi Indonesia. Bagaimana produk China mulai dari buah-buahan sampai mainan anak-anak membanjiri pasar lokal yang membuat pedagang mikro kecil dan menengah tak mendapat untung maksimal. Akarnya ialah tak kuatnya mutu dan produk pasar domestik dalam berkompetisi dengan produk luar. Dengan China saja dalam urusan dagang keteteran, bagaimana nanti dengan negara asia pasifik seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru. Produk teknologi mereka akan memenuhi pasaran dan menyisihkan software dan hardware buatan anak negeri. Jelas, AS memandang Indonesia ialah pangsa pasar yang prospektif di tengah krisis negara eropa, yang membuat permintaan menurun dan memutus ekspor barang. Maka langkah taktis dan strategis ialah AS harus mencari pangsa pasar baru agar produknya tersalurkan dan tidak rugi. Jawabannya ialah pasar asia tenggara dan asia pasifik. 

Jika Indonesia memaksakan ajakan diri untuk terlibat dalam pusaran TPP, negara dengan demografi alias konsumen terbesar ini hanya akan menjadi lumbung impor barang negara maju dan kuantitas ekspor tetap akan sedikit lantaran tak berkembangnya pasar lokal tradisional dalam memoles dan menghasilkan barang jadi. Kepentingan lain dibalik tawaran TPP ialah, AS akan berupaya untuk membendung pengaruh China yang semakin kuat di ASEAN maupun negara Pasifik melalui kesepakatan TPP. Agaknya memperkokoh pasar domestik dan mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah harus menjadi prioritas sebelum menjalin perdagangan dengan negara lain. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Membaca Tren Kepemimpinan Bangsa

Dimuat di Nguda Rasa, Koran Merapi, Rabu, 16 November 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang memprediksi calon presiden RI 2014 menarik untuk dikaji. Prabowo Subianto, mantan kepala Kopassus yang kini menjabat ketua umum Partai Gerindra menduduki posisi tertinggi. Disusul Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Ani Yudhoyono dan Sri Mulyani. Publik menyesalkan tak adanya tokoh muda yang populis dan akseptabilitasnya tinggi di mata rakyat untuk RI 1. Justru secara bersamaan LSI melansir citra tokoh muda tercoreng dan cenderung tak disuka masyarakat, lantaran terjerat kasus dugaan korupsi seperti Muhaimin Iskandar dan Anas Urbaningrum. 

Rumah Pensil Publisher

Transformasi kepemimpinan dan strategisnya posisi elit politik dalam kekuasaan di negeri ini berulang kali berganti namun belum mampu memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Apa tren utama zaman yang membuat orang menduduki posisi strategis mengendalikan negeri ini. Generasi muda kini perlu membaca mata rantai ini, sebab pemudalah pewaris sah yang akan memimpin negeri ini nanti. Anies Baswedan memperkenalkan istilah ruling elit, yaitu sekelompok elit -di antara kaum elit lain- yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara. Hal ini berkaitan dengan perekrutan dan pematangan anak muda serta tren utama bangsa yang ditentukan perubahan dan situasi atau jiwa zaman yang berbeda (zeitgeist). 

Anak-anak muda yang terlibat dalam tren utama mewarnai kehidupan bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor yang akan mengarahkan ke mana Indonesia harus berjalan. Teori ini akan memandang dari kacamata historis dan sosiologis. Tren utama zaman awal abad 19 adalah pendidikan. Karena semakin terdidik berdampak pada kenaikan status seseorang dan semakin tinggi pengaruhnya. Maka sirkulasi ruling elit di negeri ini diawali dari elit intelektual sebagai kunci sukses proses pendidikan hasil politik etis (politik balas budi) yang diterapkan Belanda. Lahirlah Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir dan tokoh lain. Proses pematangannya terjadi tahun 1900 an-1940 an. Ketika terjadi kemerdekaan Indonesia 17-8-1945 mereka menemukan momentum masa karya. Jadilah Soekarno dan Hatta ruling elit pertama yang memimpin Indonesia sebagai presiden dan wakil presiden. 

Pascakemerdekaan tren mainstrem zaman ialah mempertahankan kemerdekaan dari keinginan Belanda yang kembali menjajah Indonesia. Jakarta menjadi tidak aman karena serangan Belanda, maka Ibukota pun dipindahkan ke Yogyakarta. Anak-anak muda yang berdomisili di Yogyakarta seperti Soeharto dan generasinya memainkan peranan penting untuk menjaga kedaulatan NKRI. Terjadilah perekrutan besar-besaran pemuda-pemuda untuk berpartisipasi perang menyelematkan bangsa. Inilah proses pematangan mereka tahun 1940 an-1960 an. Muaranya ketika terjadi konflik politik tahun 1960 an dan orde lama tumbang. Soeharto dan pemuda militer lain menemukan kansnya berkarya menjadi ruling elit militer dengan menjabat presiden dan rezim orde baru yang dipenuhi keterlibatan TNI dalam politik praktis sebagai penyangga pemerintahan. 

Di dekade 1960 an terjadi lonjakan mahasiswa. Alfan Alfian dalam bukunya ”Menjadi Pemimpin Politik” mengungkapkan, untuk pertama kalinya anak muda dari lapis bangsa dapat mengenyam pendidikan tinggi. Bersamaan dengan itu, dunia gerakan mahasiswa mulai tumbuh dan menguat. Menjamurlah organisasi mahasiswa yang menjadi jalan perekrutan anak-anak muda di era itu. Kemudian marak pula lembaga kepemudaan yang menjadi saluran aktivis mahasiswa untuk meneruskan aktivismenya. Benar saja, setelah orde baru tumbang tahun 1998, keterampilan berorganisasi dan berpolitik membuat aktivis mahasiswa siap menyambut demokratisasi dan menemukan momentumnya sebagai katalisator pemercepat laju keinginan di medan karya selanjutnya, yakni parlemen. 

Bergantinya orde baru ke orde reformasi menyebabkan liberalisasi politik yang memungkinkan aktivis lintas profesi khususnya mantan aktivis mahasiswa masuk Senayan mendominasi kursi eksekutif dan legislatif di tingkat lokal sampai nasional. Kendati masih di level legislatif saja, kalangan aktivis dan organisatoris ini menjadi ruling elit menggantikan militer. Anies Baswedan memprediksikan masa karya ruling elit aktivis akan sampai tahun 2020 saja. Menjadi pertanyaan siapakah yang akan menggantikannya? Jika diperhatikan pengaruh pasar terhadap ragam aspek kehidupan sudah dirasakan. Bahkan sektor publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan pun kini dikelola ala pasar. Lebih lanjut Alfan Alfian menjelaskan tren akan berlanjut pada perekrutan generasi muda untuk menjadi pelaku pasar (dunia bisnis). Karena the young gun sedang mengalami prosesi pematangan, ke depan ruling elit Indonesia agaknya masih tetap diisi tokoh-tokoh tua. 

Mengkorelasikan teori di muka, penulis memprediksikan tokoh-tokoh berlatar belakang ekonom atau bisnisman berpotensi menjadi ruling elit Indonesia 2014 nanti. Adapun proses pematangannya di mulai sekarang. Meskipun tampak malu-malu Aburizal Bakrie dapat dipastikan diusung aklamasi tanpa konvensi untuk dicalonkan sebagai RI 1. Terlihat pengusaha dan orang terkaya se asia tenggara ini hampir tak ada rival sebanding di tubuh partai Beringin. Selain itu, Hatta Rajasa potensial diusung PAN. Selain menduduki posisi strategis di kabinet dan di partainya, Hatta tergolong populis di tengah publik. Sri Mulyani juga digadang-gadang meramaikan kompetisi, apalagi sudah ada partai SRI yang mendaftar di KPU dan siap mendukung. Mantan Menko perekonomian ini merupakan sosok ekonom yang tegas. Menjabat sebagai direktur pelaksana Bank Dunia tidak menutup kemungkinan back up finansialnya akan kuat jika maju menjadi capres. Sementara Demokrat, yang masih bergantung pada figuritas SBY. Setelah tak dapat maju lagi, tidak menutup peluang mengajukan sang istri Ibu Ani Yudhoyono. Sikap ini dapat diambil lantaran cukup berhasilnya politik dinasti di skala daerah. Selain itu, beliau juga tokoh yang populer karena selalu mendampingi suami. 

Bersamaan dengan konsolidasi demokrasi yang berbasis pasar karena mahalnya biaya politik di Indonesia, para pelaku pasar akan semakin berkepentingan dengan dunia politik dan kebijakan (policy making). Oleh sebab itu, peran generasi muda berwirausaha di era kini bisa jadi akan menjadi mobilitas vertikal mereka di masa nanti untuk menjadi ruling elit baru di negeri ini. Kanal politik memang sempit, oleh sebab itu pemuda harus menemukan medan karya baru pascakampus sesuai kompetensi yang dimiliki. Dan akan semakin matang jika diawali kemandirian finansial sebelum terjun ke dunia politik nanti. Ini penting karena kemandirian akan memengaruhi mentalitas dan orientasi pengabdiannya di masa karyanya nanti agar tidak terjebak pada sisi pragmatis korupsi yang kini sudah membudaya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Kamis, 10 November 2011

Hasil ‘Reshuffle’ Mengecewakan

Dimuat di Lampung Post, Kamis, 10 November 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Menjawab permintaan publik untuk menyusun kabinet ahli, hasil reshuffle kabinet ternyata tak membuat puas banyak pihak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan menerapkan politik akomodasi dan memasukkan kalangan profesional. Keputusan politik SBY tak tegas, lantaran tersandera kontrak politik dengan mitra koalisinya. Memang benar, SBY memiliki modal politik suara rakyat 60% lebih dari penduduk Indonesia yang mendukung dirinya. Namun, Presiden terpilih tetap membutuhkan dukungan politik di parlemen untuk melicinkan kebijakan pemerintahannya. Oleh sebab itu, berkoaliasi menjadi niscaya. Koalisi tanpa kontrak politik yang jelas inilah akhirnya mencuatkan politik saling sandera. Malangnya karena adanya jabatan ganda, seperti menjadi menteri sekaligus pimpinan partai politik. Ihwal ini membuat loyalitas ganda. Para menteri menjadi tak setia kepada Presiden, tetapi orientasi terpecah ketika juga harus menghidupi partainya dengan memanfaat posisi di kementeriannya. Buktinya, berulang kali SBY mengeluh mengenai menteri yang tak patuh pada instruksinya. 


Padahal, seharusnya ketika kader partai politik menjadi menteri, sebaiknya dia melepaskan amanah di parpolnya dan mewakafkan diri sepenuhnya untuk kemajuan bangsa dan negara. Inilah problem internal pemerintahan yang sesungguhnya. Sehingga, ketika pengumuman perombakan kabinet, sebagian khalayak merasa kecewa karena ada menteri yang berkinerja lumayan bagus diganti orang yang tidak mempunyai latar belakang relevan sesuai pos kementeriannya. Hal ini sangat kontradiktif, seperti Jero Wacik (kader Demokrat) yang tak berpengalaman mengurus bidang energi diposisikan sebagai menteri ESDM terbaru. Ada dugaan kementerian yang terkenal "basah" ini dijadikan partai penguasa lahan garapan proyek-proyek besar di dalamnya untuk supporting financial party. Sementara, dosen Universitas Cenderawasih, Balthasar Kambuaya yang seorang ekonom, malah diminta menjadi menteri Lingkungan Hidup. Terkesan SBY hanya mengakomodasi representasi geografis, setelah Freddy Numberi dipindah agar tak menimbulkan gejolak sosial mengingat Papua merupakan salah satu daerah pemantik konflik. Lebih heran lagi, Fadel Muhammad yang mendapat rapor bagus ketika menjadi gubernur Gorontalo dan tak termasuk kementerian yang nilainya jeblok versi UKP4 malah diganti pengurus Golkar lainnya Sharif Cicip Sutarjo. 

Ada kemungkinan Fadel adalah tumbal konflik internal partai beringin agar kelak popularitasnya tak naik dan menyaingi ketua umum dalam konvensi internal capres Golkar 2014. Maklum, terkenang sejarah di parpol pengusung Orba ini seorang ketua umum pernah dikalahkan Wiranto dalam konvensi internal capres 2004 kala itu. Hal inilah yang agaknya diantisipasi Aburizal Bakrie agar tak terulang. Perombakan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar ke Amir Syamsudin pun sarat tendensi. Bisa jadi rezim pemerintah ingin mengamankan kasus Century, mengingat bukti terbaru yang ditemukan BPK harus ditindaklanjuti melalui koordinasi KPK dan Kemenkumham. Yang lebih mengecewakan sosok Muhaimin Iskandar dan Andi Mallarangeng yang terseret kasus korupsi masih saja aman. 

Hal ini sangat bertolak belakang dengan keinginan publik agar mereka mundur. Kendati demikian, pemilihan tokoh profesional ke kabinet pun ada yang tepat seperti Dahlan Iskan di pos menteri BUMN atau Gita Wiryawan sebagai menteri perdagangan. Isu reshuffle ini hanya akan dipandang sebagai adegan drama agar pemerintah terkesan mengurus rakyatnya. Padahal, selama itu warga negara ditelantarkan lantaran selama dua pekan para menteri dilarang mengeluarkan kebijakan strategis karena menunggu momentum pergantian jabatan. Sementara bagi wong cilik, pergantian jajaran menteri tak ada pengaruhnya dan akan percuma jika tak memberikan dampak lebih positif ketimbang menteri sebelumnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Selasa, 08 November 2011

Kinerja Intelijen Perlu Kontrol

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu, 5 November 2011 


Gencarnya pemberitaan media massa tentang terorisme akhir-akhir ini menyulut api diskusi di kalangan akar rumput. Objek kajian berkait dengan definisi maupun akar persoalan terorisme itu sendiri. Dalam buku ‘’Membentangkan Ketakutan, Jejak Berdarah Perang Global Melawan Terorisme’’ karya Shofwan Al Banna Choiruzzad dijelaskan, seruan melawan terorisme dimulai rezim George Bushjunior. Menganalisis peristiwa bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Keputon, Solo, Jawa Tengah, Ahad (25/9) lalu yang menewaskan 1 orang dan 27 orang lain terluka, terlihat target tidak jelas. Kekuatan bom pun rendah, sementara lokasi yang dipilih ialah tempat ibadah. 


Irfan S. Awwas (Aktivis MMI) memberikan hipotesis tujuan yang hendak dicapai pelaku ialah untuk menyebarkan prasangka lintas agama maupun internal umat Islam. Rasa saling curiga inilah yang nantinya mengobrak-abrik kerukunan antarumat beragama dan berpotensi merusak sikap toleran antarkeyakinan yang menjadi kharakteristik di negeri ini. Kedua, agaknya kasus bom di Surakarta dijadikan pemantik dan alasan beberapa pihak untukmendorong pengesahan RUU Intelijen yang diajukan ke DPR. Jika menjadi UU dengan tambahan kewenangan intelijen seperti penyadapan, pemeriksa aliran dana, dan penggalian informasi terhadap setiap orang yang terkait dengan terorisme dan kegiatan lain yang mengancam ketahanan nasional (pasal 31 UU Intelijen), dikhawatirkan sebagian kalangan, aparat dapat melakukan tindakan represif dan mengklaim sepihak untuk mencekal siapa saja. 

Kendati penyadapan dilakukan kepada sasaran yang punya bukti permulaan (pasal 32) dan penggalian informasi tanpa penangkapan dan penahanan (pasal 34), namun trauma publik terhadap orde baru yang memakai pasal antisubversi untuk menghukum siapa saja yang menentang pemerintah, tak bisa dielakkan. Berpijak dari topik itu, menjadi satu keharusan bersama untuk mengontrol dan kritis terhadap kinerja intelijen agar tak semena-mena. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman