Sabtu, 30 Juli 2011

Meretas Anggaran untuk Rakyat

Dimuat di Suara Karya, Senin, 25 Juli 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang berlebihnya belanja pegawai pemerintah daerah (pemda) mengundang keprihatinan publik. Sebanyak 124 pemda, anggaran pegawainya di atas 60% dan belanja modalnya hanya 1-15%. Angka tertinggi dicapai Kabupaten Lumajang yang untuk mengupah para pegawai negeri sipil (PNS) harus mengeluarkan 83% dari APBD. 

Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati pernah menyampaikan bahwa dana dari APBN yang dikirim ke daerah berjumlah Rp 393 triliun. Lebih lanjut LSM Fitra menyebutkan sejak 2007, jatah uang untuk gaji pegawai daerah mencapai 44% dari APBD dan tahun 2010 meningkat menjadi 55%. Sementara belanja modal turun drastis dari 24% di tahun 2007 menjadi 15% di tahun 2010. Ini artinya porsi dana untuk program pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat minim. Tak heran jika banyak daerah berada dalam kondisi stagnan dan tidak mengalami kemajuan signifikan, seperti Pati, Ponorogo, Pacitan, Gunung Kidul dan lain-lain. Imbasnya, lapangan kerja pun tidak tercipta dan masyarakat memutuskan mencari kerja di luar tempat lahirnya dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) atau terlibat urbanisasi dengan menjadi buruh serabutan yang semakin menambah sesak kawasan Ibu kota.  

Rumah Pensil Publisher

Di termin lain, pemerintah merencanakan kenaikan gaji sebesar 10% bagi PNS, tahun depan. Rasionalisasi yang dipakai ialah untuk menyejahterakan kalangan aparatur negara. Benarkah demikian? Bukankah ini merupakan kebijakan yang kontradiktif dengan pernyataan Menteri Keuangan Agus Martodiharjo yang mengeluhkan membengkaknya beban gaji PNS yang harus ditanggung negara dan membebani APBN, sehingga mewacanakan moratorium PNS dan pensiun dini. Jika dasarnya APBN naik 10% setiap tahun maka tak menjadi soal dengan kenaikan gaji. Tetapi, bukankah APBN kita terserap 35% setiap tahunnya untuk melunasi utang Indonesia yang hingga April 2011 tercatat Rp 1.600 triliun lebih? Alhasil, reformasi birokrasi yang menjadi amanat reformasi sejak 1998 hingga kini, mencuatkan kesan publik hanya sebatas remunerasi tanpa ada optimalisasi fungsi. Tak percuma jika penambahan gaji berkorelasi dengan semakin meningkatnya kontribusi, profesionalitas, dan pelayanan. Faktanya di lapangan, masyarakat ketika mengurus surat izin atau mengadukan suatu permasalahan, masih direspon dengan cara lama dan berbelit-belit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah yang orientasinya mendekatkan penyelenggara negara dengan masyarakat agar mudah dan cepat untuk mengurusnya. 

Oleh sebab itu, penulis sepakat dengan upaya Menteri Dalam Negeri yang hendak menata ulang anggaran dalam UU No. 32/ 2004 tentang pemerintah daerah. Jika diratifikasi UU ini akan berimbas pada UU No. 33/ 2004 tentang perimbangan keuangan daerah. Dengan demikian akan tercipta pengaturan batasan belanja pegawai dan belanja modal, sehingga pemda tak dapat seenaknya menggaji pegawainya dan jatah dana untuk modal pembangunan dan kesejahteraan rakyat lebih besar. Ke depan pemerintah harus memperbaiki pola rekrutmen PNS dengan mempertimbangkan dua aspek. Pertama, mempertimbangkan faktor demografi atau jumlah penduduk yang dilayani. Sebab, penambahan pekerja pemerintahan tak bisa asal-asalan. Obesitas pegawai malah menimbulkan rendahnya kinerja lantaran terjadi overlaping (tumpang tindih) pengurus. Tahun ini saja Pemda Sleman, misalnya, menerima 1.250 CPNS. Rasional dan tidaklah khalayak dapat mengkritisi dengan mengkomparasikan berapa nominal masyarakat yang ada. Kedua, memperhatian kemampuan fiskal daerah. Jangan sampai anggaran rutin pegawai lebih besar ketimbang anggaran pembangunan. Karena, pajak dari masyarakat yang digunakan untuk gaji mereka akan terasa percuma dan pembangunan daerah pun akan tertunda. Maka menggagas politik anggaran pro kemakmuran rakyat menjadi niscaya. Untuk menanggulanginya penulis sependapat dengan gagasan pemberhentian rekrutmen PNS dan merealisasikan pensiun dini. Sisi positifnya tentu akan mengurangi beban APBN dan APBD. Anggarannya dapat dialokasikan untuk pembangunan daerah atau memperbaiki pelayanan kesehatan serta meningkatkan operasional pendidikan. Sehingga, jenjang SD dan SMP dapat terbebas dari pungutan pembayaran sebagaimana konstitusi amanatkan. Kiat ini sangat mendukung wajib belajar 9 tahun yang di-gadang-gadang pemerintah dan menyongsong wajib belajar 12 tahun. Di sisi lain, anggaran tersebut dapat digunakan pemeritah pusat untuk memperbesar anggaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa bunga bagi unit-unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). 

Selain itu, anggaran tersebut juga untuk memutar roda ekonomi masyarakat akar rumput sekaligus membuka peluang terserapnya tenaga kerja dan mengurangi pengangguran yang kini tercatat 8,39 juta. Apalagi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah juga telah menghapus Pajak Penghasilan (PPh) selama 5-8 tahun ke depan, dengan kepemilikan aset 2,5 miliar dan total omzet 8 milyar. Kebijakan ini tentunya amat mendukung UMKM bergeliat dan siap bersaing tanpa beban pajak di samping. Para mahasiswa juga dapat memanfaatkan hal ini dengan membuka usaha agar orietasi kuliah tak sekadar mencari kerja tetapi juga dapat membuka lapangan kerja. Semoga kita semua dapat mewujudkannya. Amin. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY.

Pendidikan Berkarakter Profetik

Dimuat di Gagasan, Suara Merdeka, 18 Juli 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Dewasa ini ramai diperbincangkan penerapan pendidikan karakter di satuan pendidikan. Khalayak tentu menanti janji Menteri Pendidikan Nasional untuk mulai memberlakukan mata pelajaran pendidikan karakter dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi di tahun ajaran 2011 ini. Awal mula ide pendidikan karakter ini didasari kritik sosial atas proses pendidikan nasional yang lebih dominan mengasah ranah kognitif peserta didik, sedangkan sisi afektif dan psikomotorik tidak mendapatkan jatah seimbang. Tak dapat dimungkiri sistem evaluasi Ujian Nasional (UN) memaksa anak untuk lebih banyak memberdayakan aspek nalar dalam proses belajarnya. Apalagi hanya tiga mata pelajaran inti yang berpengaruh kuat mengatrol nilai kelulusan membuat anak berfikir pragmatis. Berorientasi hasil (pokoknya lulus) tanpa menghargai proses. 

Ihwal ini akan membuat materi pelajaran lain terabaikan, termasuk segi sikap dan nilai serta keterampilan. Kongkalikong dalam UN antarguru dan murid atau sesama pelajar pun jamak ditemui demi mewujudkan satu kata, lulus. Inilah salah satu akar penyebab terjadinya demoralisasi dalam dunia edukasi. Di termin lain, Muhammad Nuh malah menyebut terjadi gap atau kesenjangan antara keilmuan yang dimiliki dengan sikap keseharian. Sebagai contoh, hakim yang seharusnya mengadili malah diadili, pendidik yang seharusnya mendidik malah dididik, pemimpin yang selayaknya melayani malah minta dilayani. Oleh sebab itu, penerapan pendidikan karakter amat mendesak untuk diberlakukan. Karakter yang dijadikan rujukan tentunya ialah karakter kenabian (prophet). Pendidikan berkarakter profetik menjadikan kesadaran berke-Tuhan-an sebagai basis dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter siswa. Hal ini dilakukan karena seluruh kendali pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang dilakukan oleh sistem keyakinan (believe system). 

Rumah Pensil Publisher

Selain itu, proses pendidikan juga berusaha untuk mengembangkan kesadaran akan adanya pengawasan-Nya dalam setiap ucapan dan perilaku. Inilah alasan pertama dari pilihan menjadikan nilai profetik sebagai arahan nilai dalam pendidikan profetik. Tetapi bukankah pendidikan profetik lebih terfokus pada aspek kognitif juga? Ya jelas, karena memang akal merupakan anugerah terbaik sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Hanya saja kultur lingkungan sekolah dan kampuslah yang nanti akan turut serta membantu keberhasilan proses pembentukan karakter. Sebab itu, partisipasi aktif seluruh insan pendidikan mulai kepala sekolah, pendidik, hingga karyawan untuk mewujudkannya, karena kesuksesan ini akan dipengaruhi faktor keteladanan orang-orang terdekat mitra didik. Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan pada proses internalisasi pendidikan karakter di kelas, yaitu memberikan metode belajar partisipasi aktif siswa untuk meningkatkan motivasi siswa, menciptakan iklim belajar kondusif agar siswa dapat belajar efektif dalam suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan. 

Metode pengajaran harus memperhatikan keunikan masing-masing siswa, guru harus mampu menjadi teladan (modelling) bagi praktik implementasi nilai-nilai profetik, membentuk kultur terbuka saling mengingatkan antara guru dan siswa dengan prinsip kesantunan (Hal 87). Tentunya seting iklim dan tempat di sekolah juga harus dilakukan para orang tua di rumah. Kiatnya pihak sekolah dapat merangkul dan melibatkan wali murid untuk bekerja sama dalam proses pendidikan anak. Komunikasi intens perlu dijalin, jangan hanya ketika pembagian rapor dan pelajar kena kasus, karena mau tidak mau lingkungan keluarga merupakan lingkaran elementer sekaligus parameter berhasil dan gagalnya pembentukan karakter. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta

Sikap KAMMI atas Kunjungan SBY ke Yogya

Dimuat di Harian Jogja, Kamis, 14 Juli 2011 

Rencananya presiden SBY pada Kamis, 14 Juli 2011 akan memberikan pembekalan capaja di Gedung Agung, Yogyakarta. Momentum kunjungan penguasa ialah saat tepat untuk mencipta ruang dialog jalanan antara rakyat dengan pemimpinnya. Adalah niscaya bagi gerakan mahasiswa untuk turut serta mengingatkan dan menyuarakan aspirasinya atas problematika yang melanda negeri ini. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) DIY sebagai salah satu elemen pemuda bertolak atas keprihatinan dan kegerahan permasalahan bangsa bermaksud mengumandangkan tuntutannya. 


Parlemen jalanan yang akan dihelat, murni merupakan pernyataan sikap tegas KAMMI atas kunjungan SBY ke Yogyakarta. Pertama, hentikan parade-parade kontradiksi dan segera perbaiki. Bulan ini telah banyak khalayak ramai disuguhi pelbagai hal yang bertolak belakang. Mulai pidato pak Beye di konferensi Buruh ke 100 di Jenewa, Swiss yang menjanjikan mekanisme proteksi buruh migran. Faktanya beberapa hari kemudian, masyarakat luas dibuat kecewa dengan dipancungnya seorang TKI, Ruyati binti Satibi oleh algojo Arab Saudi tanpa sepengetahuan KBRI. Artinya pemerintah telah gagal melindungi warga negaranya dan tidak melakukan upaya diplomasi tingkat tinggi. KAMMI menuntut agar pemerintah membuka akses tenaga kerja domestik agar tak perlu mengekspor TKI ke luar negeri. Sebab, moratorium akan menjadi bumerang jika tak disertai mapannya kesempatan kerja bagi warga. 

Kedua, KAMMI meminta agar elit negeri memberikan keteladanan dan mengemban amanah serius dalam mengurus umat serta tak disibukkan mengurus internal partai. Tuntutan ini didasari, karena melihat maraknya kader partai pemerintah yang terjerat korupsi. Janji pak Beye berapa di garda depan membertas korupsi hanya pepesan kosong karena tak bisa mengurus rumah tangga partainya sendiri. Bagaimana seorang pemimpin dapat membasmi perkara perampokan uang, jika elitenya tidak memberikan contoh terbaik menjalankannya. Sungguh negeri ini dipenuhi ironi dan anomali politik tingkat tinggi.

Ketiga, segera tetapkan status keistimewaan Yogyakarta sebagai provinsi penegak NKRI dan istiqomah dengan ijab qabul maklumat 5 September 1945. Kontradiksi juga mengemuka ketika pihak keraton menemukan rekaman SBY dalam pilpres 2009, berjanji mendukung RUUK Yogyakarta tetapi faktanya kini prosesnya tak kunjung usai. Perlu diketahui dalam traktat tersebut keraton tidak menyerahkan kekuasaannya, tetapi tetap independen berkuasa dalam format desentralisasi asimetris dan mempertanggungjawabkannya dihadapan presiden RI. Besarnya jasa Sri Sultan HB IX dalam mengasuh bayi NKRI, tak seyogyanya dibalas air tuba seperti ini. Maka KAMMI mengajak elemen gerakan lain turun ke jalan mengelorakan tuntutan ini. Salam perubahan... 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Rabu, 13 Juli 2011

Alokasikan APBD untuk Kesejahteraan

Dimuat di Suara Karya online, Senin, 11 Juli 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Sepekan terakhir moratorium dan pensiun dini bagi pegawai menjadi isu serius. Ini berkaitan dengan tidak idealnya porsi anggaran belanja pegawai yang harus ditanggung pemerintah pusat dan daerah. Anny Ratnawati (Wakil Menkeu) mengungkapkan, dana APBN yang dikirim ke daerah mencapai Rp 393 triliun. Sebagian besar dialokasikan untuk gaji pegawai. Laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memaparkan, rata-rata total kenaikan belanja pegawai Rp 15 trilun lebih setiap tahun. Terhitung sejak 2005 yang hanya Rp 54,3 triliun menjadi Rp 112,8 triliun tahun 2008 dan melonjak menjadi Rp 180,8 triliun di tahun 2011. Atau, melompat rata-rata 44% dari APBD 2007 menjadi 55% pada 2010. Jika lonjakan anggaran rutin ini terus terjadi selama 2-3 tahun ke depan, dikhawatirkan keuangan daerah akan bangkrut. Imbasnya, pembangunan dan dana operasional untuk program kesejahteraan masyarakat akan tersendat.

Padahal konsepsi desentralisasi agar pembentukan pemerintah daerah dapat mempermudah pelayanan masyarakat melalui segala kebijakan yang diambil. Secara teori, kebijakan berkorelasi positif dengan anggaran untuk melicinkan program. Jika anggaran mayoritas malah tersedot di anggaran rutin, ini menjadi masalah. Sebab, anggaran pemberdayaan kerakyatan menjadi buncit.

Rumah Pensil Publisher

Laporan Fitra mengindikasikan APBD 2011 terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60% dan belanja modalnya (1-15%). Dari 124 daerah tersebut, bahkan memiliki belanja pegawai di atas 70%. Rekor tertinggi dicatat Kabupaten Lumajang yang mencapai 83% dana APBD untuk menggaji PNS. Maka, untuk menyeimbangkan belanja pegawai dan modal untuk program. Gagasan pemberhentian rekrutmen PNS dan pensiun dini patut dikaji. Efek positifnya tentu dapat memangkas APBD anggaran rutin sehingga dapat dialokasikan ke program pemerintah lainnya. Seperti untuk memperbaiki fasilitas umum seperti rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya serta menambah pasokan dana untuk operasional pendidikan. 

Kiat terakhir penting diupayakan, pendidikan adalah jaminan ketersediaan SDM yang mumpuni ke depan. Untuk mewujudkannya pendidikan gratis jenjang SD dan SMP sedikit demi sedikit perlu diikhtiarkan demi terjalankannya wajib belajar 9 tahun sebagaimana amanat konstitusi. Pemerintah Daerah Bekasi sudah merealisasikannya mulai tahun ini. Sehingga, di masa mendatang pemerintah dapat sekaligus menyiapkan wajib belajar 12 tahun sebagaimana digadang-gadang pemerintah dewasa ini.

Kedua, memberikan permodalan bagi unit UKMM sebagai roda ekonomi masyarakat hingga dapat berjalan dan membuka lapangan kerja massal. Produk kerajinan dan ketrampilan daerah dapat dijadikan daya jual untuk dipasarkan di lokal domestik dan mancanegera. Dampaknya bagi pemerintah daerah dapat menambah penghasilan melalui retribusi dan pajak penjualan. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Jumat, 01 Juli 2011

Si Kaya Haram Beli BBM Subsidi

Termuat di Harian Jogja, Jum'at, 1 Juni 2011

Rendahnya produktivitas minyak dan tingginya permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM), membuat pemerintah berfikir radikal untuk menanggulanginya. Langkah pembatasan premium, penggunaan kartu untuk membelinya, hingga menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) menuai kontroversi. Pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Darwin Saleh dengan MUI kemarin bertujuan agar para ulama turut menyosialisasikan BBM bersudsidi hanya diperuntukkan warga miskin dan haram jika orang kaya membelinya. Sebab, subsidi ini sudah menggunakan uang negara yang sangat besar hingga 95,9 Trilyun. 

Rumah Pensil Publisher

Selain itu, jika tak mampu mensubsidi karena defisit anggaran, pemerintah akan untang ke luar negeri. Maka menjadi tidak adil jika kalangan berpunya turut menikmatinya. Kendati belum menjadi fatwa, tetapi dalam konteks teologis. Pemerintah dalam hal ini kementrian ESDM sudah menjadi muftafti atau peminta fatwa. Tidak ada yang salah memang. Tetapi jika maksud pemerintah ingin menutupi kegagalan pengelolaan hulu migas dengan memanfaatkan stempel MUI, ihwal ini patut ditentang. Sebenarnya selain rapuhnya tata kelola hulu migas, pemerintah juga bingung untuk mengklasifikasikan mana kalangan the have (kaya) dan siapa masuk kategori the poor (miskin). Problem pemilahan ini saja masih diperdebatkan. Apalagi jika nanti dibuat peraturan hitam di atas putih, berpotensi terjadi kericuhan di masyarakat akar rumput. Beberapa pengamat menyatakan, keinginan pemerintah menggandeng MUI untuk merencanakan fatwa haram bagi orang kaya beli BBM subsidi, merupakan strategi pemerintah untuk mengalihkan konsumen membeli Pertamax. Meskipun tidak mengalami kelangkaan tetapi Pertamax mengikuti harga pasaran dunia yang cenderung tak disukai. 

Menurut Kurtubi (pakar perminyakan), salah satu solusi untuk menanggulangi perkara ini ialah agar pemerintah memenuhi target produksinya. Jika masih tak mampu, maka mau tak mau kenaikkan harga BBM dapat menjadi opsi. Tetapi agaknya langkah terakhir urung untuk dilakukan. Selain dapat membuat murka khalayak, polesan citra rezim bisa luntur dan menurunkan tingkat elektabilitas di pemilihan umum mendatang. Kedua, untuk menaikkan pendapatan negara ekspor gas ke Meksiko dan Jepang dapat digalakkan dengan catatan memperhatikan kebutuhan dalam negeri. Rezim SBY-Boediono sedang diuji dengan sebuah keputusan sulit. Jika tidak masak-masak difikirkan dapat menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Sebab, isu kenaikan harga BBM selalu menjadi isu sensitif karena berkorelasi dengan harga kebutuhan pokok masyarakat luas. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Memproteksi Buruh Migran

Dimuat di Nguda Rasa, Koran Merapi, Jum'at, 1 Juli 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Kasus pemancungan Ruyati binti Satubi tanpa sepengetahuan KBRI, menjadi tamparan keras pemeritah RI. Pertama, publik menyimpulkan pemerintah telah gagal melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Kedua, perkara ini sangat kontradiktif, karena eksekusi Ruyati terjadi selang beberapa hari ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di konferensi Internasional Labour Organization (ILO) ke 100 di Jenewa, Swiss, yang menjanjikan mekanisme proteksi terhadap buruh migran. Pidato yang berjudul “Forging a New Global Employment Framework for Social Justice and Equality” dengan mengajak agar kehormatan para pekerja harus dipromosikan dan dilindungi, seakan menjadi pepesan kosong dengan hadirnya tragedi Ruyati. Akar permasalahan berlarut-larutnya kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di mancanegara dapat dipilah menjadi item. 

Pertama, faktor eksternal yaitu lobi dan diplomasi tingkat tinggi yang lemah. Padahal diplomasi merupakan wujud politik luar negeri suatu negara. Hal ini terlihat tak seriusnya pendampingan hukum terhadap Ruyati hingga KBRI mengaku tak tahu menahu prosesi pemenggalan kepala Ruyati. Seharusnya KBRI dapat memperjuangkan hak-hak hukum terdakwa yang mungkin dapat meringankan hukuman menjadi seumur hidup. Ruyati memang membunuh, tetapi harusnya kita bertanya kenapa dia membunuh? Apakah di Indonesia diajarkan membunuh. Tidak. Karena Ruyati hendak dibunuh dengan cara disiksa berulang-kali setiap hari. Alasan membela diri dalam kaidah hukum dapat meringankan tuntutan terdakwa yang selayaknya dapat diperjuangkan pemerintah. Perjuangan ini dapat dilakukan dengan berdiplomasi antarpetinggi negeri seperti yang pernah dilakukan Gus Dur di tahun 1999 ketiga berhasil melobi Raja Fahd sehingga menunda hukum pancung Siti Zaenab, seorang TKI asal Madura. Sikap seperti inilah yang terlambat diupayakan SBY, sehingga lagi-lagi pidatonya berisi prihatin dan meratapi nasib. 


Oleh sebab itu, pemerintah harus menggalakkan lobi dan diplomasi tingkat tinggi dengan memanfaatkan forum tertinggi kedua negara seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) di mana Indonesia dan Arab Saudi menjadi anggota. Sebab, salah satu produk dari OKI ialah pernah menghasilkan norma hak asasi manusia versi Islam yang seyogyanya dapat dijadikan landasan hukum bagi kemaslahatan kedua negara. Ihwal ini penting untuk disegerakan mengingat Arab Saudi termasuk negara yang rumit duduk semeja untuk membicarakan proteksi butum migran. Karena tradisi arab sebagian masih menganggap pembantu adalah seperuh budak yang dapat sewenang-wenang diperlakukan. 

Berpijak dari perkara inilah pemerintah RI dapat mengupayakan pembuatan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) untuk sebagai dasar ikrar perlindungan para pekerja informal. Kedua, akar problema di segi domestik yaitu maraknya perusahaan jasa penyalur TKI yang menggirimkan tenaga kerja tak sesuai prosedur. Pemalsuan data dan umur terjadi, penempatan kerja yang ngawur, dan tak terampilkan calon TKI dalam berbahasa di tempat kerja serta tak faham hukum setempat membuat mereka menjadi bulan-bulanan majikan Arab. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang dikepalai Jumhur Hidayat harus mengevaluasi total perusahaan tersebut untuk meminimalisasi tindakan kriminal di tempat kerja. Jika perlu warga diizinkan berkerja di negeri orang tergolong usia produktif 25-40 tahun serta terampil berbahasa dan memiliki skill yang mumpuni. 

Pascakasus Ruyati Presiden memang menginstruksikan untuk melakuan moratorium dan pemutusan berkala pengiriman TKI ke Arab Saudi yang berjumlah 250 ribu setiap tahunnya. Tetapi agar moratorium tidak menjadi bumerang, pemerintah perlu membuka lapangan kerja seluas-luasnya di wilayah domestik. Karena terjadinya pemberhentian pengiriman tenaga kerja artinya menghapus lapangan kerja di luar negeri. Bisa jadi pemerintah akan didemo oleh calon TKI di negeri sendiri jika gagal menyediakan lapangan kerja di rumah sendiri. Maklum, lihat saja data terbaru hingga Februari 2011 total pengangguran di ibu pertiwi mencapai 8,32 juta. Jika ditambah TKI yang distop berkerja bisa melampaui 10 juta. 

Selain mencari investor, pemerintah dapat memberi modal kepada pengusaha UKMK untuk menjalankan roda usahanya dengan harap dapat menyerap lapangan kerja. Selanjutnya daerah-daerah lain yang menjadi basis calon TKI seperti di Probolinggo, Pacitan, Pati, Nusa Tenggara Timur dll dapat diupayakan gerakan transmigrasi ke daerah-daerah baru yang berpotensi menyerap tenaga kerja. Seperti Kalimantan dan Sumatra dengan usaha-usaha kelapa sawitnya. Langkah ini diikhtiarkan dapat mengurangi laju pengangguran yang bertumbuh pesat. Kiat Depdiknas berkerja sama dengan HIPMI pun patut diacungi jembol dengan memberikan modal kepada para sarjana, agar orientasi mereka ketika lulus tidak sekadar mencari kerja tetapi juga membuka lapangan kerja. Sementara keberadaan Satgas pengawas TKI menunjukkan lemahnya koordinasi antara Menakertrans, Kemenlu, dan BNP2TKI. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI 

Lindungi TKI Secepatnya

Termuat di Harian Tribun Jogja, Jum'at, 1 Juli 2011 

Manifestasi aksi KAMMI, tak lepas dari adanya kontradiksi. Ya, bertolak belakang. Sangat njomplang. Beberapa hari pascapidato Presiden SBY dalam konferensi Internasional Labour Organization (ILO) ke 100 di Jenewa, Swiss. Publik disuguhkan realitas kontras. Pidato yang berhasil memukau elite manca tentang enam program prioritas Indonesia dalam menangani permasalahan bagi buruh. Ternyata deretan kata di muka hanya di atas angin mendengar berita TKI, Ruyati binti Satubi, ditebas lehernya oleh algojo Arab Saudi. Ini pertanda pemerintah telah gagal melindungi warga negara. Ini menunjukkan otoritas negeri ini telah lumpuh dan tak berdaya petingginya tanpa mampu membela terdakwa. Lobi dan diplomasi birokrasi mental. 


Di segi lain, terdata ada 216 TKI yang sedang antri dipancung mati jika pemerintah tak serius berbenah diri. Terdekat, adalah Darsem binti Dawud yang diberi tenggat waktu hingga 6 Juli untuk pembayaran diyat sebesar 4,7 Milyar. Jika tidak, tamatlah riwayatnya. Ruyati dan Darsem memang membunuh, tetapi harusnya kita bertanya kenapa mereka tindakan kejam. Jawabannya karena mereka hendak dibunuh. Dalam kaidah hukum, setidaknya ini dapat meringankan hukuman bagi terdakwa. Pidato bapak SBY hanyalah pepesan kosong. Dengan lips service yang tebal. Mengurai rasa keprihatinan ini, KAMMI DIY hadir membentuk parlemen jalanan dan menyerukan aspirasi ke pengambil kebijakan. Bertempat di DPRD DIY, Kamis, 24 April 2011. 

Seruan Aksi KAMMI. Pertama, “lakukan moratorium dan hentikan suplai TKI ke negeri dinasti Saud dan segera ratifikasi MoU proteksi buruh migrant oleh kedua negara” tegas Aza El Munadiyan dalam pembacaan penyataan sikapnya. Ihwal ini urgen, mengingat Saudi Arabia tergolong negera yang ribet duduk semeja. Sebab, mereka menganggap TKI adalah separuh budak yang dapat diperlakukan apa saja. Karena moratorium berpotensi pengangguran warga domestik membludak. Rezim SBY-Boediono dituntut untuk membuka akses lapangan kerja. Data hingga Februari 2011 tertera 8,32 juta pengangguran dan akan bertambah jika pasokan TKI ke Arab Saudi dengan total 250 ribu setiap tahunnya diputus.

Kedua, KAMMI menyuarakan agar pemerintah RI secara internal juga harus berbenah diri. Menakertrans melalui Cak Imin agar mengevaluasi perusahaan penyalur pahlawan devisa, lantaran banyak pemalsuan data, penempatan kerja ngawur dan prosedur tak dijalankan jujur. Begitupun dengan jajaran pengurus BNP2TKI, perlu dirombak total jika tak kerja lindungi TKI. Ketiga, KAMMI menuntut agar Presiden SBY yang dirahmati Allah dan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa agar melakukan diplomasi dan lobi tingkat tinggi. Kiat ini pernah sukses di era Gus Dur ketika berhasil menunda eksekusi Siti Zaenab tahun 1999. 

Faktor bahasa agaknya turut memengaruhi diplomasi. Gus Dur pandai bahasa Arab sehingga komunikasi positif terjalin dengan Raja Fahd. Derasnya seruan khalayak, membuat pemerintah merespon cepat dengan mengkreasi Satgas TKI terancam mati dan membentuk atase hukum dan HAM di KBRI. Jika ini juga gagal, RI hanya boros waktu dan menghambur rupiah untuk membuatnya. Moratorium untuk negara lain pun dipertimbangakan sesuai instruksi presiden. Kita simak, pantau, dan kawal kinerja pemerintah. Aksi di muka juga dibarengi solidaritas rupiah untuk TKI. Camkan, jika masih terjadi pembunuhan TKI lagi di luar negari. Bukan tidak mungkin KAMMI kembali turun dengan maraknya massa... Tabik. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Sleman 

Upaya Memproteksi Buruh Migran

Dimuat di Harian Suara Karya, Rabu, 29 Juni 2011 

Langkah pemerintah melakukan moratorium atau pemutusan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi belumlah memecahkan pokok persoalan. Kebijakan tersebut hanya sekadar wujud protes yang dapat menjadi bumerang di wilayah domestik. Dipangkasnya pengiriman TKI sama saja dengan dihapusnya lapangan kerja di luar negeri. Imbasnya para calon TKI di tanah air akan membludak dan berpotensi meledaknya jumlah pengangguran. Data menunjukkan hingga Februari 2011 ada sekitar 8,32 juta pengangguran. Moratorium jika tak dibarengi dengan dibukanya akses lapangan kerja, pemerintah dapat dicerca oleh rakyat sendiri. 


Di sisi lain, akar masalah kekerasan terhadap TKI di Arab Saudi khususnya ialah tak adanya peraturan yang tegas dalam memberikan perlindungan kepada para pahlawan devisa. Pemerintah harus mendesak dibukanya pembicaraan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) kedua negara untuk memproteksi buruh migrant. Sebab, selama ini negeri dinasti Saud tergolong negara yang ribet duduk semeja untuk memperundingkannya. Faktor lainnya mereka masih menganggap pembantu adalah setengah budak yang dapat diperlakukan seenaknya. Eksekusi terhadap Ruyati binti Satubi menunjukkan pemerintah telah gagal dalam melindungi warga negaranya. Apalagi dalih KBRI tak tahu menahu kabar pemancungan, menunjukkan pemerintah dalam hal ini kementrian luar negeri tidak melakukan loby dan diplomasi birokrasi. Padahal dahulu di era Gus Dur mencontohkan diplomasi tingkat tinggi antar kepala negara dengan Raja Fahd, berhasil menunda prosesi pemancungan terhadap Siti Zaenab, seorang TKI Madura yang dinyatakan bersalah. Akar problem yang kedua ialah maraknya peruhaan jasa di Indonesia dalam menyuplai TKI ke mancanegara tak sesuai prosedur, pemalsuan data dan umur, hingga penempatan kerja yang ngawur. 

Pemerintah melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) harus mengevaluasinya. Jika tak kunjung segera akan ada Ruyati-Ruyati berikutnya yang diperlakukan semena-mena. Ke depan jika perundingan dan lobi pemimpin tertinggi gagal dan kesepakatan MoU juga tak juga tuntas. Permasalahan TKI kedua negara, Indonesia dapat membawanya ke forum dunia yang lebih tinggi, seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) di mana Indonesia dan Arab Saudi menjadi anggotanya. Sikap ini perlu diupayakan untuk mencipta keadilan hakiki demi menjunjung hak asasi manusia.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Sleman 

Akhir Indah Musyawarah Daerah KAMMI Sleman

Demikian ketua barunya... 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Usai sudah musyawarah daerah (musyda) KAMMI Daerah (KAMDA) Sleman. Kritik, saran, dan hingga penolakan pertanggungjawaban merias hias dinamika forum tertinggi KAMMI Sembada ini. Agenda dimulai Kamis, 2 Juni di ponpes UII sidang I pembahasan tata tertib musyda yang dipimpin oleh Badan Pekerja KAMDA yakni Adhe Nuansa Wibisono, Indriyani Agustina, dan Pramitha Sari. Hasilnya tata tertib diratifikasi dan dengan salah satu jabaran pasal 4 tugas/wewenang musyda: 1. Meminta dan menilai laporan pertanggungjawaban pengurus daerah KAMMI. 2. Memilih pengurus daerah dengan jalan memilih ketua umum yang sekaligus merangkap sebagai formatur dan empat mide formatur. 3. Menetapkan anggota MPD KAMMI Sleman. 4. Menetapkan panduan kerja daerah. 5. Menetapkan dan mengesahkan pembentukan pengurus komisariat KAMMI. Beralih ke sidang dua untuk melaporkan LPJ, presidium sidang diisi oleh M. Asnan F.M., Agus Manto, dan Ahada Ramadhana. 

LPJ disampaikan Kartika Nur Rakhman selaku ketua dengan berkisah prosesi terbentuknya KAMDA. “Pada awalnya terbentuknya KAMDA ini merupakan rekomendasi dari Muktamar Makassar, di mana Yogya yang sebelumnya berbentuk KAMDA Teritorial Yogya kemudian melebur menjadi tiga KAMDA dan di atasnya ada KAMWIL” cetusnya. Selanjutnya dituturkan berbagai liku perjalanan hingga reshufle pengurus khususnya Humas KAMDA yang sempat diloper di tiga person. Umam (UII’05), Arif Susanto (UGM’04) hingga dipegang Reza Azhari alias Echa (UGM’05). Kaderisasi pun sempat ditinggal kepala bidangnya beberapa bulan lantaran ada pekerjaan lain yang dituntaskan. Laporan tertulis Nur Rakhman mengatakan “Lamanya jenjang kepengurusan KAMMI dari tingkat komisariat hingga pusat jika tak diperhatikan dapat membawa masalah pelik. Hal ini terbukti membawa masalah di hampir semua kepengurusan KAMMI di Indonesia. Tidak terkecuali KAMDA. 


Jajaran kepengurusan yang masih bertahan dari awal hingga akhir hanya tersisa 4 orang di kalangan BPH. Yang mana diantaranya sempat mengajukan cuti karena hal berbeda” tulisnya. Gugatan sempat mengudara menyoal kerja kaderisasi. “Harusnya KAMDA Sleman dengan dilengkapi kampus sebesar UNY, UGM, UII, UPN, dan Amikom dapat menghelat DM II lebih dari satu kali” tukas Wibisono. “Kami sadar akan itu, tetapi dengan mempertimbangkan adanya KAMDA lainnya. Kita memberikan kesempatan KAMDA kota dan Bantul untuk menggelar DM II. Agar KAMMI Daerah tumbuh dan besar bersama-sama” jawab Pramitha Sari. Eks ketua KAMMI UGM, Bara Brelian pun sempat menanyakan transparansi dan akuntabilitas keuangan mengingat dana hilir mudik saat mendirikan KAMMI Reaksi Cepat untuk mengurus korban bencana erupsi Merapi. “Kalau dana itu dipegang oleh bendahara Mbak Meichy akh. Karena dalam Muswil dua tahun lalu kita telah sepakat BUMK hanya dimiliki KAMWIL yang nantinya uangnya akan dibagi ke KAMDA setempat. Mungkin bisa ditanyakan ke Mbak Meichy saat Musyawarah wilayah nanti “ respon Nur Rakhman. 

Akhirnya dengan kelebihan dan kekurangan maka presidium sidang beserta audiens memutuskan LPJ ditolak karena beberapa indikator keberhasilan yang disematkan dalam PKD tidak tercapai. Acara sidang ketiga ialah pembahasan PKD. Bersinggah di gedung Synergi diawali Jum’at 3-4 Juni. Beragam usulan dari kawan-kawan komisariat meramaikan forum. Akhirnya disepakatilah tujuan organisasi (tercantum pada Bab III pasal 3) yang hendak dicapai “Menjadi Garda depan Gerakan Mahasiswa di Kabupaten Sleman dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat” dengan penjabaran: 1. Pengokohan Kaderisasi. 2. Tata kelola organisasi yang solid dan profesional. 3. Melakukan rekayasa politik di kampus dan daerah. 4. Melakukan upaya pembangunan sektor ketiga (sosial kemasyarakatan) dengan menekankan pada langkah kontributif dan berkelanjutan. 5. Menjadi pelaku ishlahul ummah. Para pembaca dan segenap kader KAMMI dapat menuntut tujuan di muka jika tak memenuhi standar keberhasilan KAMMI Daerah Sleman 2011-2013. Ada beragam tantangan yang harus dipenuhi seperti pembentukan satu komisariat baru, tuntutan penambahan 200 kader AB I bagi komisariat grade A (UGM dan UNY). 

Rasionalisasinya sudah adanya kader di beberapa kampus seperti UTY dan Sanata Dharma tetapi belum memiliki komisariat tetap. Asa melambung dua tahun ke depan bagi KAMDA ini untuk merealisasikannya. Selain itu, ialah adanya praksis advokasi anggaran dan korupsi daerah serta adanya minimal 3 desa mitra dan pemberdayaan kader melalui jam sosial. Setelah Panduan Kerja Daerah (PKD) diketok palu. Giliran mekanisme pemilihan ketua dengan mempertimbangkan suara komisariat dan ketua KAMDA sebelumnya atau ahlul ahli wal aqdi. Akhirnya ada 3 calon yang disyurakan dari 7 calon yang ada. Sedangkan AB III yang lain mengundurkan diri. Wibisono (Fisipol UGM’06/ Eks ketua KAMMI komisariat UGM), Dedy Yanwar El Fani (Fisipol’06/ Eks KP komisariat UGM dan eks staf KP KAMDA) dan Isnendi Muhammad Fatwa (Pertanian’05/ Eks Kadept KP KAMDA). Akhirnya konklusi syura dihaturkan Nur Rakhman “dengan mempertimbangkan track record dan man power planning untuk mengisi dakwah KAMMI mendatang, maka saya minta siapa saja ketuanya kita tetap usung bersama dan membantu kepengurusannya di KAMDA Sleman. 

Dengan mengucap bismillahirahmannir rahiim syura menetapkan akhina Dedy Yanwar El Fani kita tetapkan menjadi mas’ul KAMDA Sleman 2011-2013” ujarnya. Kumandang takbir bersahut dari peserta dan suasana haru beriring kalimat selamat dan peluk penguat amanat berbondong menjejali ruang sidang. Ucapan selamat dari rekan-rekan KAMDA luar Jogja bertutur dalam kekata SMS. “Allahu akbar” pesan langit keluar dari Andi (Eks ketua komisariat UMY). Galih, ketua KAMDA Semarang pun tak kalah komentar. “Selamat. Semoga saudara-saudaraku di KAMDA Sleman diberikan rasa istiqomah mengusung dakwah KAMMI ke depan” petuahnya. Jusman Dalle (Humas KAMDA Makassar bertaujih “semoga ikhwah KAMMI Sleman senantiasa terlimpah curahan petunjuk darinya”. Amin... Semoga Allah memudahkan Layak Ia melancarkan urusan Nabinya... Semoga Allah mengabulkan kalimat doa Sepertinya Ia memustajabahi lantunan doa ulama... Semoga Allah melapangkan dada Sebagaimana Ia meneguhkan perjuangan para sahabat... Untuk Allah, KAMMI kumandangkan seruan langit.. Allahu akbar.... 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Sleman

Sosialisasi Balon, Menjelang Pemira KAMMI Sleman

Demikian calon-calon ketuanya... 

Menjelang musyawarah daerah (musyda) KAMMI Daerah Sleman agenda sosialisasi bakal calon (balon) ketua dilakukan untuk membuka kran interaksi dengan para pemilih dari komisariat. Mekanisme kampanye memang mengharuskan hajatan demikian dihelat, sebagai rekomendasi bottom up untuk menyaring menjadi empat calon yang akan dipilih oleh ahlu ahli wal aqdi (lingkaran orang strategis) menjadi KAMDA Sleman-1. Acara yang berlangsung di UPPL P3AI UNY, Sabtu, 28 Mei 2011 dibuka ketua KAMDA, Nurohman dengan pesan agar para kader mengambil ibrah transisi kepemimpinan para Nabi. “Ketika hendak melawan Jalut, melewati sungai ksatria Thalut menginstruksi agar bala tentaranya tidak mencicipi air. Tetapi karena jauhnya perjalanan berakibat dahaga, sebagian pasukan pun merasainya. Sedangkan artileri lain termasuk Daud begitu taat dan terseleksi dari godaan yang nantinya sukses membunuh Jalut. Setelah bertahta dengan harta dan luas kuasa kemudian Daud mewariskan kepemimpinan kepada Sulaiman” ujarnya memulai. “Begitupun dengan teman-teman yang terseleksi mengikuti DM III kemarin”. Serunya melanjutkan. “Kini memiliki peluang untuk berkarya dan menjadi pengurus inti KAMDA. Semoga dapat berkompetisi sehat untuk dakwah KAMMI ke depan”. 


Selanjutnya berganti Dedy Yanwar El Fani memberikan laporan kerja KPR, pasca itu ialah acara esensi sosialisasi balon. Bertindak sebagai moderator Vivit Nur Arista Putra dan panelis Sri Widya Supeno (eks ketua KAMDA Yogya 06-08) untuk share pengalaman mengelola KAMDA di era desentralisasi sekaligus mengkritisi visi, misi, dan gagasan para balon untuk organisasinya diperiode mendatang. Kendati hanya dihadiri separuh dari 21 bakal calon tetapi tidak menutup riuh rendahnya forum untuk menjadi saksi keseriusan kawan-kawan mau di bawa ke mana arah KAMDA Sleman. “Saya fikir visi misi KAMMI sudah jelas dalam AD/ART ormas ini. Sekarang tinggal bagaimana kita menderivasikan dalam program riil kontribusi. Ke depan tawaran saya KP dan humas secara eksternal harus piawai membagun relasi dengan LSM dan media untuk memudahkan kerja-kerja KAMMI.

Sementara internal fokus kerja kaderisasi ialah mengader untuk menambah pendukung kerja KAMMI. Mengenai fokus isu, saya fikir tak terlalu banyak tapi konkret di masyarakat. Sementara aksi dapat digaungkan ketika deadlock dan pembacaan peta politik Sleman yang stagnan dan membangun kedekatan dengan birokrasi urgen diupayakan guna memudahkan kerja-kerja KAMDA” cetus Isnendi Muhammad Fatwa sebagai balon yang mendapat jatah bersuara pertama. Giliran Indriyani Agustina tak jauh beda hanya lebih menguatkan kaderisasi internal untuk pematangan organisasi mengingat KAMDA masih berusia balita. Tri Yanto ‘Mekel’ Puspito No. Urut 3 mengumandangkan paradigma KAMMI sebagai acuan gerak. “Kita ketahui Sleman ini kan pusat kampus besar seperti UGM dan UNY sebagai ladang intelektual. Mulai dari petani hingga profesor ada. KAMDA dapat memberdayakan sumber daya ini untuk digarap teman-teman Sosmas seperti recovery erupsi Merapi. Karena selama ini banyak potensi yang belum berhasil dijalankan” ungkap mantan Menteri eksternal BEM Rema UNY ini. “Kalau saya memandang KAMDA dari dua hal, aspek gerakan dan organisasi. 

Penjabaran gerakan pada aksi di jalanan dan organisasi pada penguatan kaderisasi. Saya targetkan 100 AB selama dua tahun kepengurusan dan mengoptimalkan MK khos, karena kekuatan KAMMI ada pada sistem sel ini” gelegar Wibisono menghentak forum. “Selain itu pendekatan ke elit daerah juga penting” tegasnya berirama. “Untuk menjalankan kegiatan sosial dan merumuskan jam sosial kader seperti TPA, ceramah, dan lainnya. Meskipun sederhana tetapi kita dapat mengemas dengan desain gerakan yang masif. Karena setiap agenda dapat kita jadikan wahana kaderisasi. Pola fikir kita perlu dibalik. Tidak melulu melalui daurah marhalah”. Yollanda Vusvita Sari yang memutuskan akan mudik ke peraduan meminta agar audiens memilih bakal calon di depan selainnya. 

Di termin lain, Dedy Yanwar El Fani lebih mengarahkan KAMDA untuk berkontribusi sosial dan membangun relasi dengan bupati. Dengan marketisasi gerakan dengan catatan tidak menjual idealisme. Bara Berlian menawarkan ada tiga ihwal yang perlu dilakukan KAMDA ke depan yakni, melaksanakan program kaderisasi semaksimal mungkin, pematangan dan perapian organ internal KAMDA serta pengawalan isu dana pendidikan seperti BOS di Sleman. Terakhir Yusuf tak banyak bersuara dan menyerahkan kembali ke majelis. Merespon pemaparan balon di muka, Mas Peno mengatakan “nothing new, nyuwun sewu ya semuanya standar. Tidak ada yang baru”. Lelaki berkaca mata ini menceritakan bagaimana KAMDA di eranya dikelola. “Diperiode saya, banyak orang mengatakan sangat kontroversial. Karena kita serba melakukan eksperimentasi termasuk manhaj. Untuk sisi eksternalisasi KAMDA berkontribusi dengan dijiwai pesan Nabi. “Khairun naas an fauhum lin naas”. Sebaik-baik insan ialah yang berkontribusi untuk orang lain. Saat itu kita hanya fokus pada dua hal saja. Tetapi saya yakin orang akan mengenang hingga kini. Pertama, melakukan objektivikasi, pengopinian, dan membentuk organ kemasyarakatan dengan turun ke jalan berdemonstrasi menuntut pro pemilihan di Jogja” ucapnya mengingat masa lalu. “Kedua, fokus advokasi kebijakan dan anggaran yakni adanya kasus korupsi bupati Sleman, Ibnu Subiyanto. Dan itu terus dilakukan sampai publik pun dapat mengenang melalui media yang mengabadikannya” ujarnya menggelora. Pesannya KAMDA harus mendefinikan gerakannya. 

Di era mas Rijalul Umam dihiasi warna intelektual, mas Peno lebih bercorak aksi gerakan dengan dua fokus isu. Sebab, positioning gerakan tidak bisa instan tetapi harus mempunyai bargaining kuat ke khalayak ramai untuk meraihnya. Semoga dengan sosialisasi ini menjadi pertimbangan bagi kawan-kawan AB I – AB III untuk menentukan suaranya di TPS yang dibuka di komisariat masing-masing mulai 30-31 Mei. Aktivasi kader KAMMI Sleman lainnya. Ikhtiar ini hanyalah demi prosesi kebaikan KAMMI Daerah Sleman ke depan. Sebagai medium dakwah di bumi Yogyakarta. Bismillah. Allahu akbar... 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Sleman

Musyda KAMMI Daerah Sleman

Mari mencontreng... 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Likulli marhalatin rijaaluhaa” tiap fase (dakwah) memiliki tokohnya. Agaknya kata di muka mendekat erat menjelang dihelatnya Musyawarah daerah (Musyda) KAMMI Daerah Sleman. Teringat tabiat dakwah ialah istimror atau berkesinambungan, kerja-kerja warisan Nabi ini menghajatkan pergantian pergurus di setiap periodenya. “Insyaallah musyda akan diselenggarakan 2-5 Juni 2011. Sebelumnya itu, akan ada temu kader dan debat calon ketua KAMDA Sleman, Sabtu, 28 Mei 2011 di UPPL sebelah utara Masjid Mujahiddin Lt. 2” ujar Nurrohman selaku ketua KAMDA Sleman dalam rapat sosialisasi Musyda Selasa, 24 Mei di ruang selatan Maskam UGM. Agenda yang dihadiri perwakilan KAMMI komisariat tersebut juga menjelaskan mengenai petunjuk teknis dan mekanisme pemungutan suara, verifikasi, serta syura pemilu raya KAMDA Sleman. 


Ketua Komite Pemilihan Raya (KPR), Dedy Yanwar El Fani memaparkan “Mulai hari ini (24-27 Mei) akan dilakukan sosialisasi dan pemutakhiran data pemilih serta penyusunan daftar pemilih AB I. Selain itu, dalam waktu tiga hari ke depan juga akan ditetapkan penanggung jawab komisariat masing-masing. Kemudian pemungutan suara dilakukan 30-31 Mei dan diakhiri perhitungan, verifikasi, dan penetapan empat bakal calon 31 Mei-1 Juni. Ketua baru KAMDA Sleman akan diumumkan tanggal 3 Juni 2011 insyaallah, semoga Allah memudahkan” tegasnya mengakhiri penjelasan. Melalui medan kampanye ini diharapkan akan ruang keterlibatan kader KAMMI se Sleman untuk mengenal dekat calon ketua KAMDA Sleman ke depan dan menentukan sikapnya di bilik suara. Sebab, Musyda beracara laporan pertanggung jawaban pengurus lama dan pemilihan skuad baru bukanlah agenda KAMDA Sleman semata namun agenda kader KAMMI semua. Kalian yang akan menentukan sukses tidaknya rezim Nurrohman cs, dan memilih pula siapa orang yang layak menjadi ketua kalian ke depannya. “Sampai saat ini ada 15 kader AB III yang terlist dan ada kemungkinan yang maju menjadi ketua 5-7 orang sebelum dikerucutkan menjadi empat calon ketua yang akan menyuarakan visi misi dan debat calon nanti. 

Mohon teman-teman untuk mengaktivasi kader AB 1 untuk terlibat agenda temu kader dan debat calon, Sabtu, 28 Mei di UPPL sebelah utara Mujahidin UNY Lt. II karena merekalah yang memiliki hak memilih dan menginvestasikan suaranya untuk KAMDA Sleman mendatang” seru Wibisono, ketua OC Musyda. Koordinator Acara, Dodi menjelas acara besok Sabtu akan menghadirkan Sri Widya Supeno (eks ketua KAMDA Jogja) sebagai panelis sekaligus share pengelolaan KAMMI Daerah di era desentralisasi. Beragam isu-isu aktual dan relevan disodorkan sebagai tawaran debat dan diskusi seperti isu advokasi anggaran, raperda pendidikan Sleman, recovery pascaerupsi merapi, dan mendesain kampus gerakan di komisariat anyar seperti Amikom termasuk UPN dan KAMMI Instiper yang move nya fluktuatif. 

Adapun hak dipilih ialah kader AB III KAMMI Sleman dan menjadi bakal calon ketua KAMDA Sleman ialah;Bakal calon di atas kemudian akan diverifikasi oleh KPR, PJ Komisariat, dan pimpinan komisariat sesuai ART Pasal 19 ayat 5 point (i). Sebagaimana selebaran yang dibagikan ketua KPR teknis gerak pemungutan suara yakni; Mari ramaikan musyda KAMMI Daerah Sleman sebagai ajang konsolidasi kader dan marketisasi gerakan. Salam... 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Sleman

Pentingnya Pendidikan Karakter

Dimuat di Harian Suara Karya, Mei 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Setahun silam dalam hajatan hari pendidikan nasional, Menteri pendidikan nasional berpidato yang menyayangkan out put pendidikan selama ini jauh dari harapan. Muhammad Nuh mencontohkan penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum dengan adil ternyata harus dihukum. Para pendidikan yang seharusnya mendidik dengan apik malah dididik. Para pejabat yang selayaknya melayani masyarakat malah minta dilayani. Keresahan di muka adalah sebagian fenomena yang bersumber pada karakter. Selang beberapa hari kemudian, Pak Nuh (demikian beliau akrab disapa) berjanji akan diberlakukannya pendidikan karakter mulai tahun ajaran 2011 dari jenjang dasar hingga menengah atas. 

Hari ini Selasa 3 Mei 2011 bertepatan dengan Hardiknas, kita ingatkan janji bapak menteri yang mengurus hajat hidup manusia ini untuk segera memberlakukan konsep dan aplikasi pendidikan karakter di satuan pendidikan. Untuk membentuk karakter tentu harus membutuhkan rujukan atau keteladanan manusia lain yang layak ditiru untuk diadopsi. Dan manusia itu adalah Nabi. Maka pendidikan karakter haruslah berbasis teosentris (berkeTuhanan) bukan antroposentris. Kesadaran berkeTuhanan ini dilakukan dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter siswa. Agar seluruh kendali fikiran, perasaan, dan perilaku seseorang dikontrol oleh sistem keyakinan (believe system). Sehingga ucapan dan perbuatan dapat terjaga. 

Rumah Pensil Publisher

Bukankah pendidikan karakter juga terfokus pada sisi kognitif juga?. Ya, jelas karena memang akal merupakan anugrah terbaik dari Allah sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Hanya saja kultur lingkungan sekolah dan kampuslah yang nantinya akan turut serta membantu keberhasilan proses pembentukan karakter. Sebab itu, partisipasi aktif seluruh insan pendidikan mulai kepala sekolah, pendidik, hingga karyawan untuk mewujudkannya dengan memberikan teladan terbaik dalam ucapan dan perilaku keseharian. Karena kesuksesan pembelajaran ini akan dipengaruhi faktor keteladanan orang-orang terdekat mitra didik. 

Dalam buku “Pendidikan Profetik, Revolusi Manusia Abad 21” karya Syarifuddin Jurdi dkk disebutkan ada beberapa hal yang perlu dikembangkan pada proses internalisasi pendidikan karakter di kelas, yaitu; (1) memberikan metode belajar partisipasi aktif siswa untuk meningkatkan motivasi siswa, (2) menciptakan iklim belajar kondusif agar siswa dapat belajar efektif dalam suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan, (3) metode pengajaran harus memperhatikan keunikan masing-masing siswa, (4) guru harus mampu menjadi teladan (modelling) bagi praktik implementasi nilai-nilai profetik, (5) membentuk kultur terbuka saling mengingatkan antara guru dan siswa dengan prinsip kesantunan (Hal 87). Tentunya sebelum interaksi guru dan murid di kelas, orang tua memberikan peranan penting untuk membentuk karakter anak dalam komunitas terkecil keluarga. Sebab, merekalah yang kali pertama bersentuhan dengan sang anak serta mengetahui kekurangan dan potensi besar buah hati.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Selasa, 26 April 2011

Discuss “Menggugat Eksistensi Ahmadiyah”

Masjid Gandok Mulia, PPTM, 24 April 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Masih menggantungnya persoalan Ahmadiyah dan maraknya teror bom yang mendera, membuat Pondok Pesantren Takwinul Muballighin Yogyakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Mengungkap Propaganda Ahmadiyah dan Teror Bom di Indonesia”. Bertempat di Masjid Gandok Mulia PPTM, 24 April 2011, acara yang dimulai jam 9-12 WIB mengundang Ustad Fathurahman Kamal, Lc. M. Si (Direktur Institute Pemikiran Islam) dan Ustad Tindyo Prasetyo (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai pemateri. “Kita semua yang di sini haruslah berdoa agar presiden SBY diberanikan diri untuk berkata ‘Ya’ (bubarkan Ahmadiyah). Sebab, semuanya sudah jelas. Karena info yang saya peroleh dari beberapa sumber di pemerintahan, mereka sudah clear terkait kasus Ahmadiyah” ujar Ust. Fathur memulai materi. 

Diskusi publik rutin bulanan yang dihadiri tiga puluhan santri, masyarakat, dan aktivis mahasiswa ini bertujuan sebagai medium pencerahan ummat terhadap problematika keIslaman dan kebangsaan. Adapun kasus Ahmadiyah ini bukanlah menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan tetapi termasuk penistaan terhadap agama Islam. “Sebernarnya Mirza Ghulam Ahmad tidak layak menyebut dirinya Ahmadiyah, tetapi lebih tepat dipanggil Kadzabiyah. Berasal dari kata Kadzab=pendusta. Sebab, setelah Rasulullah meninggal banyak sekali muncul Nabi palsu termasuk diantaranya ialah Musailamah Al Kadzab. Dan hanya Indonesialah, negeri dengan produsen nabi palsu terbesar di dunia” tegas Ustad yang juga menjadi Direktur Ma’had Ali ini. Bahkan Soekarno yang tidak pernah menjadi santri di pondok pesantren pun memberikan pernyataan jelas ‘Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu]’ terangnya dalam “Di Bawah Bendera Revolusi”, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. 

Begitupun dengan filsuf dan pujangga terkenal Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India kala itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: “No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam” (Islam and Ahmadism, cetakan Da‘wah Academy Islamabad, 1990 hlm. 8). Penganut Qadiyaniyah (demikian Muhammad Iqbal) menyebutnya menafkan sabda Nabi Muhammad ‘khatamun nabiyin’ bukan sebagai penutup para Nabi. Tetapi makna khatam hanyalah sebuah cincin (ring). Mirza Ghulam Ahmad (MGA) mengklaim penunjukkan Allah terhadap dirinya menurutnya adalah ‘wahyu’ sebagaimana termuat dalam Kitab Tadzkirah yang berbunyi “Al-Masih anak Maryam, Rasulullah, telah wafat. Sesuai dengan janji, engkau datang menyandang warna sifatnya. Janji Allah pasti akan genap” (Tadzkirah, hal. 190. Terjemah dinukil dari kitab Da’watul Amir). Dengan pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah, dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi, yaitu al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang dinantikan (Da’watul Amir, hal. 190-1910). 

Padahal baginda Nabi Muhammad telah berkata “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Pengakuan juru bicara Ahmadiyah yang sering terdengar di televisi bahwa Ahmadiyah tetap bersyahadat sebagaimana mestinya umat Islam dan tidak mengakui MGA sebagai nabi hanyalah omong kosong belaka. Buktinya dapat dilihat pada pernyataan Ir. Syarif Ahmad Lubis, M.Sc., Ketua PB JAI “Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi dan Rasul adalah berdasar pengakuan bahwa beliau mendapat wahyu dan diangkat Tuhan. Jadi, bukan atas kemauan beliau sendiri. Tuhan mempunyai kekuasaan dan wewenang mengangkat siapa saja diantara hamba-hamba yang dipilih-Nya”. (Sumber : Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 1.). Jadi telah jelas kebusukan Ahmadiyah sesuai fakta dan data di lapangan. Pun, mengenai otentisitas wahyu. Jika benar MGA adalah utusan Allah harusnya kitab Tazkirah buatannya menggunakan bahasa Urdu karena dia lahir dan hidup di India. 

Dalam slide materi Ust. Fathur menulis “Allah tidak menurunkan wahyu kepada seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (Q.S. Ibrahim: 4) Karena itulah Al-Qurân diturunkan dalam bahasa Arab, Injil dalam bahasa Suryani, dan Taurat dalam bahasa Ibrani. Kalaulah wahyu turun kepada Mirza yang orang Pakistan-India dan berbahasa Urdu, maka kenapa wahyunya berbahasa Arab? Bagi mereka wajar kalau di Tazkirah pun terdapat kosakata Arab, sebab di dalam Al-Qurân juga terdapat beberapa kata non-Arab. Faktanya bahwa Al-Qur’an juga mengandung kosakata non-Arab, meski itu ditentang oleh banyak ulama, akan tetapi itu hanya kata, bukan dalam bentuk kalimat. Sedangkan yang terjadi di dalam Tazkirah adalah bentuk kalimat Arab yang sama persis dengan Al-Qurân, hanya dipotong dan disambung dengan ayat lain sesuai dengan kebutuhan”. Maka terbukalah segala aib Ahmadiyah. Dan adalah keharusan bagi umat Islam menuntut pembubaran atau memilih membentuk agama baru.

 Sementara di termin lain, Ust. Tindyo Prasetyo fokus pada analisa teror bom di Indonesia. Ust. Yoyok, demikian beliau akrab disapa mengatakan ada banyak aktor yang bermain dalam kasus ini termasuk jaringan media massa dan tokoh intelektual yang memberikan komentar miring dan menyudutkan umat Islam. “Teror bom yang marak ini hanyalah skenario untuk mengkambinghitamkan umat Islam. 

Oleh sebab itu, umat Islam harus membuat skenario di atas skenario untuk menangkis serangan isu tersebut”. Anggun, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menanyakan “kenapa kasus Ahmadiyah hanya marak terjadi di rezim SBY. Kenapa di era Soekarno dan Soeharto tidak demikian?”. Merespon lontaran tanya tersebut Ust. Yoyok berkomentar “Karena kalau di era Soeharto umat Islam ditindas dengan pemaksaan asas tunggal pancasila. Sementara di kini kita hidup di era reformasi, masing-masing agama maupun ormas diberikan kebebasan untuk melaksanakan aktivitasnya sepanjang tidak melanggar norma-norma negara” tanggapnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Takwinul Muballighin

Dalam Dekapan Ukhuwah Kita Berdakwah

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Kubaca Firman Persaudaaraan... 

Ketika kubaca firmanNya, “Sungguh setiap mukmin bersaudara” aku merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan tak perlu, karena ia hanyalah akibat dari iman Ya, kubaca lagi firmanNya, “sungguh tiap mukmin bersaudara” Aku makin tahu, persaudaraan tak perlu dirisaukan karena saat ikatan melemah, saat keakraban kita merapuh saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengerdil mungkin dua-duanya, mungkin kau saja tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping (Kubaca Firman Persaudaraan, Salim A. Fillah)

Puisi di muka, mengajarkan pada kita bahwa brotherhood atau persaudaraan (al ukhuwah) adalah dampak dari iman. Oleh sebab itulah, tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini dengan beragam suku dan bangsa agar mereka saling mengenal. Tetapi dengan catatan diakhir firmannya Q.S. Al Hujurat: 13 ditutup dengan perintah takwa. Artinya jalinan kekerabatan haruslah dibingkai dalam ikatan ketaatan pada perintah Allah dan Rasulnya. Aspek aqidah lebih mengikat ketimbang pertalian darah. Karena itulah setiap muslim mendapatkan garansi aman untuk nyawanya, hartanya, dan kehormatannya. Di termin lain, karena persamaan darah tetapi beda aqidah, baginda Nabi dilarang memohon ampunan untuk sang paman Abu Thalib, kendati telah melindungi aktivitas dakwahnya.

Secara fitrah seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan muslim. Sebagaimana traktat yang kita kumandangkan dalam sesi dialog dengan Tuhan. “Bukankah aku ini Tuhanmu” kata Allah di Al a’raf: 172. “Ya, kami bersaksi akan itu.” Ujar umat manusia memegang janji. Maka tergantung takdir sosialnya ia dilahirkan dari rahim seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Menjadi kalimat tanya, kenapa pesan Nabi yang diriwayatkan Bukhari Muslim di muka tidak menyebut kata Islam. Sebab, pada dasarnya setiap insan telah memeluk Islam dan tergantung orang tuanya akan menjadikan anaknya untuk memilih memeluk trio agama di atas, atau Islam sebagai penyempurna ketiganya. 


Ihwal ini yang menjadi premis nalar, hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Dengan ilmulah seseorang dapat menentukan keyakinan yang ahsan (Islam), beramal dengan panduan sunnah, berjama’ah agar menggapai berkah, berikhtiar agar tetap istiqamah, dan dalam dekapan ukhuwah kita berdakwah. Perspektif ilmu sosiologi menyebutkan, manusia adalah makhluk zoon polition yakni tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Mungkin karena alasan inilah Hawa diciptakan dari tulang sulbi untuk menemani Adam. Dan Allah mengarahkan agar mereka senantiasa menjadi abdullah dan khalifatullah di sepanjang tanah bumi membentang. Menjadi hamba Allah bertugas untuk beribadah sebagai konsekuensi logis atas wujud ketundukan kepada sang khalik yang Maha Tinggi. Manifestasinya melalui ritual shalat. Kaidahnya sholat berjama’ah lebih banyak pahalanya 27 kali lipat dibanding sendirian. Inilah indahnya persaudaraan, dengan kebersamaan kita menuai berkah langit bertubi-tubi. 

Hikmahnya kesalehan pribadi haruslah menular ke kesalehan sosial. Inilah orientasi wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ardhi). Sebagai pemimpin bermisi memakmurkan bumi, ia tak bisa hidup sendiri, elitis, dan tak mau bersosialisasi. Berinteraksi, tegur sapa antarpribadi menjadi kemestian hakiki untuk merangkum tali silaturahmi. Kenikmatan ukhuwah, inilah mengapa Muhammad, si manusia suci berpesan rajutan benang silaturahmi berfaedah lewati zaman lintasi generasi. Memang manusia tak dilahirkan sendiri. Berjama’ah adalah anugrah untuk mempermudah kerja-kerja dakwah. Keunikan al akh berperan untuk tukar fikiran, menanggung kala bersimbah beban, dan bergiliran lantaran tabiat dakwah ialah istimror atau berkesinambungan. 

Dalam seruannya Allah menegaskan “Kalian adalah umat terbaik, yang dilahirkan kepada manusia. Mengajak pada yang ma’ruf mencegah pada yang mungkar serta beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imran: 110). Budayawan sekaligus kyai Kuntowijoyo menafsirkan. Sebutan umat terbaik bukanlah ujug-ujug disematkan kepada pengikut Muhammad. Melainkan penuh dengan prasyarat. Ketentuan barisan umat terbaik menjadi berlaku manakala meyuruh kepada kebajikan, menafikan dan menyisihkan budaya kejahiliahan, dan beriman kepada Allah sebagai landasan. Ayat ini menjadi dasar bagi umat Islam untuk berdakwah. Karena julukan umat terbaik tidak pernah menempel kepada kaum sebelum Muhammad. Dan karena dakwah adalah salah satu alasan kenapa kita hidup. Jika tiada dakwah, apalah arti menghela udara. Kemerosotan akhlak akan kentara dan kebodohan umat akan tiada tara. Sebab, jatuh bangunnya pribadi, etnis, bangsa, dan negara ialah karena akhlaknya. Karena perkara inilah kita dapat memahami, tujuan lelaki penutup Nabi diutus hanyalah untuk mereparasi akhlak. 

Adapun tafsir para ulama Imam An Nasa’i dalam kitab Sunan dan Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak meriwayatkan dari hadits Samak, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai penisbatan “kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. Ia berkata: “mereka itu adalah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah dari Makkah menuju Madinah.” Rasionalisasinya latar diturunkannya surat ini di Madinah pascahijrah, sebagai pembeda antara kalangan mukminin dan kafirin. Pilihan kata “kalian” lantaran berbondong-bondong umat Islam menjadi peserta transmigran sebagai pertanda dimulainya cara dakwah baru di kota baru. Dari sirri (tertutup) berganti jahri (terang), dari serampangan (irtijal) menuju tersistematis (nizham), dari tauhid dan ibadah menjadi kompleks seputar syari’ah dan jihad membentuk negara. 

Isyarat Allah di At Taubah: 20 menunjukkan Iman, hijrah, dan jihad berkolaborasi guna meraih peruntungan mukmin sejati dan umat terbaik. Namun, semuanya akan terasa mudah jika dilakukan gerakkan massa persaudaraan (ukhuwah). Dengan kekompakan Rasulullah memenangi setiap perang, dengan persatuan Islam tegak menjulang, dan dengan persaudaraan adalah keindahan untuk beramal sholeh keseharian. Amin. Semoga Allah memudahkan. 

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Selasa, 19 April 2011

Menakar Peluang Capres Independen

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Wacana calon presiden (capres) perseorangan digaungkan kembali Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menghadapi pemilu 2014 nanti. Penulis menganalisa, dengan membawa isu capres independen seakan DPD ingin meneguhkan posisinya dalam trias politika kekuasaan dengan cara mengajukan amandemen UUD 1945. Sebab, selama ini posisi DPD antara ada dan tiada atau abu-abu. Dengan sistem bikameral (dua pintu) peran DPD hanya sebatas pengawal dan penyuara daerah tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang otonomi daerah dan melakukan fungsi controling secara mutlak karena harus menyampaikan hasil pengawasannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti melalui hak-hak anggotanya seperti hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. 

Inilah yang dikritisi La Ode Ida (Wakil DPD RI) dkk untuk direvisi pada Pasal 6A UUD 1945 yang mengatur syarat pengajuan presiden oleh parpol ditambah oleh calon perseorangan. Rumusan nalarnya orang-orang DPD merujuk Amerika Serikat, negara yang dianggap modern sistem pemerintahannya. Peran Senat (DPD) dapat menveto kebijakan atau Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan House of Representative (DPR AS). Artinya RUU dapat menjadi UU untuk dijalankan manakala mendapat restu Senat (DPD). Itulah sebabnya DPD di sana disebut strong bicameralism atau memiliki peranan kuat dibanding eksekutifnya. Sedangkan DPD di Indonesia dikatakan soft bicameralism karena berbanding terbalik, yakni DPR RI lah yang dapat menveto kebijakan maupun usulan eksekutif. Ihwal ini amat merendahkan DPD, mengingat DPD merupakan corong aspirasi daerah dari 33 provinsi. Contoh, kasus Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta kini tak kunjung tuntas karena mandek di DPR. Padahal DPD sepenuhnya telah mendukung penetapan provinsi DIY. Jika menerapkan teori Strong Bicameralism ala C.V. Strong (Pakar politik AS) tentu polemik RUUK sudah rampung sebelum masa jabatan Sultan HB IX berakhir. 

Peluang dan Faktor Pendukung 

Di termin lain, cerita DPD tentang kesuksesan calon independen kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 20 persen, seperti di Sumenep, Madura dan Papua Barat ingin dibawa ke tingkat nasional melalui jalur capres independen. Kendati tidak memenangi pilkada tetapi setidaknya mendapatkan dukungan cukup kuat di tengah masyarakat. Pengalaman empiris inilah yang menjadi premis gagasan capres independen diprediksi akan mendapatkan dukungan khalayak. Jika dianalisa gagasan ini dilatari beberapa hal. Pertama, tren kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung menurun karena tak kunjung mereformasi diri dan mengalami degradasi integritas khususnya dalam proses rekrutmen kader. Selama ini parpol hanya dijadikan alat administrasi politik untuk meloloskan calon kepala daerah atau legislatif yang tebal kantongnya tanpa menyeleksi secara ketat, apakah orang tersebut kredibel dan memiliki kapasitas untuk memimpin. Walhasil marak sekali terjadi money politic dan memunculkan demokrasi transaksional dalam kancah demokrasi nasional hingga lokal kadaerahan. Kedua, egoisnya parpol besar yang mengusulkan 3-5 persen sebagai ambang batas dalam parliamentary treshold dan 20 persen suara pemilu nasional bagi parpol sebagai syarat mengajukan tokohnya menjadi presiden, membuat partai kecil berkonspirasi dan bersatu padu mendukung adanya capres independen. Sebab, konsep ini lebih terbuka bagi tokoh partai kecil seperti Yusril Izha Mahendra, tokoh kapable namun tak didukung parpol seperti Sri Mulyani, atau tokoh parpol yang tersisih dari partainya yaitu Surya Paloh. Ketiga, memberikan rasa keadilan bagi seluruh warga untuk berpartisipasi politik sebagaimana diamanatkan konstitusi UUD 1945 BAB XA tentang hak asasi manusia Pasal 28D ayat 3 “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” 

Lantas bagaimana syarat dan proses kontrolnya nanti? Inilah yang akan menuai perdebatan pelik nantinya. Selain itu, jika ada seseorang yang menjadi presiden melalui jalur independen dapat dipastikan akan terseok-seok langkahnya karena tidak memiliki dukungan kuat di parlemen. Acuan Dmitry Metvedev (presiden Rusia) yang menjadi satu-satunya capres independen di dunia saat ini tidaklah tepat lantaran Rusia menganut partai tunggal berideologi komunis yang begitu mengakar di negeri Eropa timur itu. Keempat, untuk membuka kran demokrasi di internal parpol. Sebab, jika ada tokoh berkapasitas, namun takluk di internal parpol. Dia dapat menggunakan sarana capres independen untuk maju dalam bursa pencalonan presiden. Ihwal ini akan membuat iklim demokratisasi berpolitik di internal (kader parpol) maupun eksternal (masyarakat umum) menjadi dinamis. Seperti Yudi Chrisnandi (eks politisi Golkar, kini masuk Hanura) dan Priyo Budi Santoso (wakil DPR RI) mereka berkompeten, namun tersisih oleh kekuataan uang Ical. Untuk maju dalam bursa calon presiden mendatang mereka dapat menggunakan jalur capres independen. Sebab, partai akan tetap mengusung orang berduit karena mahalnya ongkos demokrasi di negeri ini. 

Tantangan ke depan 

 Hingga kini ide capres independen masih debatable dan mendapat tentangan keras dari sejumlah partai politik. Penulis mencermati penolakan ini dilandasi dua aspek. Pertama, kalangan tokoh parpol menganggap ada upaya deparpolisasi. Sebagai kendaraan politik parpol mulai tidak laku ditumpangi karena pelayanannya yang tidak memuaskan. Orientasi parpol terlihat pragmatis untuk menduduki kekuasaan tanpa ada program jangka panjang dan konkret demi kemakmuran rakyat. Ditambah lagi proses rekrutmen yang tidak selektif dan hanya menerima tokoh berkantong tebal yang diusung maju menjadi bupati maupun gubernur. Imbasnya regenerasi politik tidak sehat. Kedua, adanya capres independen akan memunculkan saingan baru bagi partai politik. Dapat dipastikan respon parpol yang duduk di parlemen adalah menolak. Dengan berdalih untuk saat Indonesia belum siap untuk mengadopsi konsep ini. 

Jika nanti ada sekitar 1000 tokoh yang mengajukan diri menjadi capres independen, rakyat akan menjadi bingung dan suara politiknya akan banyak terpecah. Akhirnya diperlukan beberapa kali putaran pemilu yang menyerap banyak uang untuk menentukan presiden. Tak berhenti di sini. Untuk mewujudkan capres independen, DPD dan Gerakan Pendukung Capres Independen Seluruh Indonesia yang dikomandoi Fajroel Rahman dkk harus menghadapi tiga aral rintang. Pertama, pengajuan revisi UU Pemilihan Presiden, dengan menambahkan presiden dapat didukung oleh partai politik, gabungan partai politik dan calon perseorangan. Kedua, bersamaan dengan itu DPD mengusulkan amandemen konstitusi. Diperlukan persetujuan dua pertiga anggota MPR untuk meloloskannya. 

Kedua langkah ini akan berat karena akan mendapat tekanan parpol dengan rasionalisasi sebagaimana disebutkan di atas. Jika gagal, langkah ketiga adalah mengajukan judicial review (uji materi) seperti yang dilakuan Fajroel Rahman 2009 silam. Agaknya ikhtiar ini juga akan mendapat penolakan karena harus mendapat restu lima dari sembilan hakim konstitusi. Sebab, amandemen UUD 1945 terlalu riskan dan sensitif. Namun, masih ada waktu membentang 2,5 tahun ke depan untuk memperjuangkannya. Jika diratifikasi akan menjadi inovasi baru dalam iklim demokratisasi di bumi ibu pertiwi. Jika kandas, biarlah sejarah mencacat proses pendewasaan dan ikhtiar perbaikan demokratisasi yang mungkin akan dilanjutkan anak cucu nanti. Wallahu’alam. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Rabu, 13 April 2011

Batalkan Pembangunan Gedung DPR

Diterbitkan pada April 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Wakil rakyat seakan mengidap penyakit tuna rungu. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap saja mengesahkan rencana pembangunan gedung baru dengan mengabaikan nasihat presiden agar seluruh pejabat negara melakukan efisiensi pembangunan gedung dan bangunan. Marzuki Alie juga mengabaikan suara penolakan rakyat lantaran menyedot anggaran 0,1 persen dari APBN dan tak akan menjamin produktifitas kerja parlemen. Sebagai catatan, 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam program legislasi nasional yang disusun tahun 2010, hanya 8 UU yang sudah diratifikasi. Rasionalisasi konstruksi gedung baru untuk meningkatkan kinerja check and balances agaknya hanya pepesan kosong dan penuh kebohongan. Sebab sedari awal prosesi pendirian gedung penuh cacat seperti tanpa di sayembarakan kepada kontraktor luar, selain itu masyarakat tak mendapat sosialisasi terlebih dahulu untuk memberi masukan. 

Berbagai dalih pimpinan DPR seperti proyek warisan, peningkatan kinerja, dan disetujui semua fraksi, berulang kali disuarakan untuk memuluskan pembangunan. Kendati anggaran sudah dipangkas dari rencana sebelumnya 1,6 T menjadi 1,136 T, tetapi untuk ukuran negara berkembang dengan pendapatan per kapita 3000 dolas AS per tahun, duit sebanyak itu akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pembangunan sosial. Jika dikaitkan dengan teori kebijakan publik, keinginan wakil rakyat di muka menyalahi beberapa asas. Pertama, desain gedung huruf N dengan 36 lantai ternyata tak sepenuhnya karya anak negeri. Maket gedung dengan kelengkapan kolang renang dan spa tersebut ternyata menjiplak gedung parlemen Chile. Dengan rancangan menjulang tinggi, terkesan menakut-nakuti rakyat dan membatasi akses wong cilik untuk menyampaikan aspirasi. 

Rumah Pensil Publisher

Seharusnya anggota legislatif membuka ruang lebar-lebar dengan gedung lebih sederhana, agar telinga mereka dapat mudah mendengar masukan masyarakat akar rumput. Kedua, jika terealisasi kebijakan pembangunan gedung tidak berpihak pada suara rakyat (not pro poor) yang secara akal sehat tentu mayoritas menolak ditengah belum terentaskannya 30 juta lebih warga miskin dan semakin maraknya pengangguran karena minimnya lapangan kerja yang berujung kriminalitas. Realitas ini hendaknya menjadi prioritas ketimbang mengurus fisik gedung yang tidak ada dampak secara langsung bagi penduduk menengah ke bawah. Aparat negera terlihat angkuh. Di tengah polemik kasus, ketua DPR malah berkomentar masyarakat jangan diajak ngobrol perkara ini. Ihwal ini menunjukkan tertutupnya mata dan hati nurani petinggi DPR. Efeknya seiring kebijakan dan sikap anggota dewan yang mementingkan dirinya sendiri, ekses negatifnya adalah akan terjadi krisis kepercayaan atau legitimasi dari khalayak ramai. Maka tak heran jika pemilihan umum mendatang terjadi kemerosotan suara rakyat atau menjamur gerakan golput, karena akar masalahnya terjadi pada anggota parlemen yang mengecewakan konstituennya. 

Beberapa LSM dan organisasi masyarakat pun beramai-ramai mengajukan somasi ke Badan Kehormatan atas sikap pimpinan DPR. Jika pemerintah eksekutif dan legislatif tak dapat dipercaya karena kebohongannya, masyarakat intelektual harus bersatu padu membentuk opini publik dengan gerakan massa untuk menuntut pembatalan pembangunan gedung keangkuhan. Slogan vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan yang mengemuka pada abad ke 18 melawan kezaliman Raja Louis XIV (1643-1715) karena mendeklarasikan “L’etat c’est moi” (negara adalah saya) agaknya patut kembali dikumandangkan. Sebab, jika ditarik dengan kaidah hidup di alam demokrasi, penguasa tidaklah mutlak. Yang absolut adalah suara rakyat. Daulat rakyat mengungguli daulat penguasa. Demikian pesan gerakan massa di timur tengah dewasa ini. Tidakkah para legislator belajar darinya? Semoga seruan ini menyadarkannya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 
Universitas Negeri Yogyakarta

Senin, 11 April 2011

Menyoal Kasus PKS

Pascagonjang-ganjing koalisi dan isu reshuffle yang akrab ditelinga khalayak memang jauh panggang dari api. Tetapi diluar pemerintahan, dua partai politik yang disangka pemberontak mendapat serangan bertubi-tubi atas tak sefahamnya dengan pimpinan koalisi. Seorang politisi Golkar dilaporkan terlibat penilapan Blackberry. Di termin lain dua petinggi PKS juga diserbu isi negatif yang menyibukkan partai berjargon bersih, peduli, dan profesional ini. Selain, Anis Matta (wakil DPR RI) dan Luthfi Hasan Ishaq (Presiden PKS) juga dilaporkan Yusuf Supendi (mantan pendiri PK) ke KPK dengan tuduhan penggelapan uang 10 Milyar saat pilkada Jakarta dengan mencalonkan Adang Darodjatun. Menyeruak kasus Arifinto (anggota DPR Fraksi PKS) yang tertangkap kamera membuka situs porno. Kendati belum terbukti kebenarannya tetapi perkara di muka sangatlah menggangu kinerja mereka di legislatif dan menuai tanda tanya kader dan simpatisan tentang fakta duduk persoalannya. 


Memang hampir semua partai mengalami faksi dan problem internal, tetapi khusus PKS hal ini menjadi perhatian khusus dilihat dari momentum terjadinya gejolak internal ini yang diduga sebagai serangan balik atas kekritisan PKS menggunakan hak angket pajak di parlemen. Meskipun kecurigaan ini hanya spekulatif kendati dan belum empiris, tetapi bau operandi politiknya sangat kuat jika mencermati momentum terjadinya perkara. Ada kemungkinan ihwal ini merupakan respon oknum luar kepada partai berlambang padi dan bulan sabit atas manuvernya di DPR. 

Mengkaji kasus PKS, Burhanudin Muhtadi (pengamat politik LSI) mengemukakan dua alasan. Pertama, ada kemungkinan Yusuf Supendi dijadikan kuda troya atau person operasional untuk mengacaukan kesolidan partai yang lahir dari gerakan dakwah. Kedua, secara internal terjadi tarik menarik antara kubu harokah pendiri partai dengan kubu hizby selaku organ partai yang dapat melakukan negosiasi dan bermanuver di pemerintahan yang dianggap bertentangan dengan khitoh partai. Tetapi ulah mantan pendiri partai yang melaporkan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq ke Bareskim Polri atas kiriman pesan singkat bermuatan tuduhan Yusuf bekerja sama dengan BIN untuk mengjungkalkan partainya. Tindakan Yusuf selama ini hanya dipandang mendramatisasi keadaan untuk menuai simpati kader lain agar turut serta mendukung dirinya. Jika tak ingin memperoleh citra negatif, sebaiknya problem internal hendaknya dituntaskan segera. Ibarat baju keluarga kotor masak mau dicuci di rumah tetangga, kan tidak etis. Berbarengan dengan itu, sebagai partai Islam penjelasan ke kader tentang fakta empirisnya juga mutlak terus dilakukan jika tak ingin kehilangan suara konstituen yang selama ini berasal dari kalangan cerdik pandai di perkotaan dan desa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute