Senin, 21 Desember 2020

Cara Beragama dan Sikap Kita

 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Dimuat di tegas.id pada 26 Agustus 2020

Judul             : Pembebas dari Kesesatan (Al Munqit minad Dhalal)

Penulis          : Imam Al Ghazali

Penerjemah  : Bahrudin Achmad

Penerbit        : Al Muqsith Pustaka, Kota Bekasi

Terbit             : Mei, 2020

Tebal             : 161 halaman

 

            Buku ini mengulas pengembaraan intelektual Imam Al Ghazali, sekaligus perjalanan hidupnya menghadapi orang-orang yang berlebihan (ghuluw) dalam beragama. Fenomena ini menyeruak pada masyarakat di zamannya yang banyak menganut berbagai aliran filsafat, ilmu kalam, tasawuf, hingga ajaran kebatinan yang memengaruhi kultur mereka beragama. Cara terpuji dipraktikan Al Ghazali yang bukan langsung menghakimi, tetapi mengkaji kitab-kitab rujukan mereka awal mula, memverifikasinya dengan mengajak dialog, lalu menyampaikan argumen dari dirinya. Inilah sikap yang bisa kita contoh di era kini ketika menjumpai kalangan yang begitu ekstrem beragama. Sebab, inilah pemandangan yang agaknya menjamur saat ini.


            Pada pembukaan buku ini Al Ghazali menguraikan, “perbedaan manusia dalam beragama, kemudian perbedaan bangsa dalam segi alirannya disebabkan karena banyak firqah (golongan) serta kontradiksi metodenya, hal ini menjadi lautan dalam yang menenggelamkan banyak manusia dan tak ada yang berhasil selamat kecuali segelintir saja. Bisa dipastikan tiap-tiap golongan punya dugaan kuat hanya kelompoknyalah yang selamat (hal 3). Menghadapi problem seperti ini membutuhkan niat kuat, bekal intelektual, tebal mental, dan hamparan kesabaran, karena para pemeluk aliran tersebut juga mempunyai argumentasi mempertahankan ajarannya selama ini. Jika tidak, alih-alih berniat menasihati justru kita bisa terjebak ujub atau bangga diri dan merendahkan kelompok lain. Padahal Rasulullah mengingatkan, “sesiapa menuntut ilmu demi berbangga-bangga dengan cerdik pandai atau memamerkan pada orang bodoh, atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka ia akan dikirim ke neraka” (H.R. Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah).

            Mungkin itulah bedanya kita dengan Al Ghazali. Si alim kelahiran Thus, Khurosan, Iran (1058 M) ini meyakini, “menghadapi masalah seperti itu sudah menjadi kegemaranku sejak kecil. Menyelidiki dan membuat komparasi guna menemukan berbagai hakikat. Sekaligus bakat pembawaanku sebagai fitrah yang dianugrahkan oleh Allah” (hal 6). Kapasitas keilmuannya terdengar ribuan telinga setelah ia mengajar di madrasah Nidzamiyah di Baghdad, Irak. Sembari menulis buku menyuapi umat yang lapar ilmu. Di ibukota dinasti Abbasiyah tersebut ia berinteraksi dengan aneka sarjana seperti golongan pecinta filsafat, fanatis mahzab, pemuja imam ma’shum, pengikut tasawuf dan sufi. Al Ghazali menyelami pemikirannya dan memberikan analisa. Pengarang 80 kitab ini mengomentari, “seseorang yang tak tahu menahu porosnya ilmu, tidak akan berani mengatakan rusaknya ilmu itu. Kecuali dia telah memahami sempurna ilmu tersebut, atau paling tidak mensejajarkan diri dengan ahlinya, baru dia akan mudah menelaah (hal 32).

        Al Ghazali mengaku membutuhkan waktu dua tahun berkutat dengan filsafat. Ia memberi konklusi aliran filsafat ini terbagi tiga yaitu aliran Dahriyyun (skeptik), Thabi’iyyun (kealaman), dan Ilahiyyun (ketuhanan). Penjabarannya aliran skeptik tidak percaya sang pencipta dan dunia berjalan apa adanya. Sebagaimana hewan tercipta dari air sperma, sedangkan sperma itu berasal dari hewan. Begitulah seterusnya proses terciptanya hewan selama-lamanya. Aliran kealaman berkesimpulan tidak mungkin mengembalikan sesuatu yang telah musnah. Termasuk bila manusia mati tak mungkin dihidupkan kembali karena itu tidak masuk akal. Dampak turunannya mereka mengingkari surga, neraka, kiamat, dan hisab. Bahkan mereka berpendapat orang berkelakuan baik tidak akan dapat ganjaran, begitupun berkelakuan buruk tidak akan dapat siksaan. Kedua aliran dimuka jelas tidak memperkuat kita dalam beragama. Sedangkan aliran ketuhanan membantah dua aliran di depan, lalu berikan sanggahan dengan ilmu mantiq (logika) bahwa Tuhan masih berperan dalam kehidupan. Socrates, Plato, Aristoteles yang kemudian diikuti Al Farabi dan Ibnu Sina berada pada pihak ini. Mungkin pengalaman bergaul dengan nyeleneh-nya penganut filsafat tersebut, mendorong Al Ghazali menulis buku Tahafut al Falasifah (kesesatan filsasat) yang masyhur itu.

            Pada kesempatan lainnya, setelah Al Ghazali menelaah khazanah pustaka. Ia menemui suatu kaum yang mengaku berguru dengan imam yang ma’shum (tidak punya dosa) lantas menyodorkan pertanyaan sulit. Ternyata mereka berkelit, tak kuasa menjawabnya. Lalu pergi mencari imam yang telah pergi (ghaib) untuk mengadu soal ini. Peristiwa ini tentu menggelikan, sebab yang menyandang gelar ma’shum hanya Rasulullah semata. Al Ghazali pun merasa heran, “kenapa mereka menyia-nyiakan umur hanya sekadar mencari guru (yang menyebut dirinya ma’shum) dan mereka sama sekali tidak belajar ilmu darinya” (hal 86). Ajaran ini berpotensi menjerumuskan orang-orang awam dan lemah akal sehingga tidak mengalami kemajuan dalam beragama, karena mereka menyandarkan kepada guru yang menyangka dirinya tanpa cela. Sebaliknya sangat riskan dimanfaatkan gurunya demi prestise dan meraup keuntungan dari pengikutnya. Pada taraf tertentu, pengagungan yang “terlalu” kepada guru bisa melahirkan fanatisme mazhab tertentu. Sebuah gejala yang bisa meretakan persatuan kaum muslimin. Dalam pandangannya “fanatisme ini membuat setiap argumentasi melenceng dari kebenaran dan akan memperpanjang perselisihan di antara mereka” (hal 71).

            Tidak semua aliran mendapat kritikan dari Al Ghazali. Setelah mengamati dan ikut menjalani, ia memuji eksistensi kaum sufi dan tasawuf. “Keberhasilan mereka” kata Al Ghazali, “ialah menghilangkan rintangan jiwa dari sifat tercela. Sehingga jiwa ini akan sampai pada pengosongan hati selain Allah ta’ala dan menghiasinya dengan dzikir kepadanya” (hal 89). Metode beragama sufi dan tasawuf ini yang kelak akan ditempuh hujjatul Islam ini dengan beruzlah ke Suriah ketika zaman mulai kacau, penuh rasuah, lumrah fitnah, dan orang-orang tidak amanah. Al Ghazali menerka inilah masa yang dimaksud Rasulullah kala bersabda “apabila kalian melihat manusia telah merusak janjinya, meremehkan amanah, saling bertikai satu sama lain menjadi seperti ini (sambil beliau merangkai jemarinya). Lantas periwayat hadis ini Abdullah bin Amr bin Ash bertanya, “apa yang harus kita perbuat?” Rasulullah menjawab “tetaplah tinggal di rumahmu dan kendalikan lidahmu. Ambilah apa yang engkau tahu dan tinggalkan apa yang hatimu menolaknya. Hendaknya engkau memerhatikan urusan pribadimu dan tinggalkan urusan masyarakat umum darimu.” Mungkin kerusakan zaman kini lebih parah ketimbang apa yang dialami Al Ghazali. Haruskah kita mengikuti sikap Al Ghazali? Agar pembaca tidak salah langkah dan arah, saya merekomendasikan membaca kitab beliau yang lain Minhajul Abidin (Jalan Para Ahli Ibadah) agar tahu kaidah uzlah (mengasingkan diri) dan berbagai hikmah. Inilah kitab yang dikarang saat uzlah selama 10 tahun selain Ihya’ Ulumudin yang legendaris itu. Sebab beruzlah bukanlah acuh atas persoalan masyarakat yang kian keruh. Tetapi ikut memecahkan lewat tulisan dan pengajaran. Agar warga kembali bertakwa dalam beragama.

            Sekawanan aliran keagamaan mungkin lebih komplek mengemuka di abad ini. Sikap kita bisa meniru Al Ghazali, mula-mula menyelidiki, menyelami, mengilmui lalu beri argumentasi dengan anggun budi pekerti. Agar tak mudah lidah menyerapah kalimat bid’ah, agar tak longgar terlontar mengkafir-kafirkan. Adab dan ilmu pada titik ini memegang peranan kunci. Ia laksana cahaya yang menuntun manusia dari kegelapan dan kesesatan memahami agama, dan mengarungi buku ini adalah pembuka. Saya duga inilah alasan buku ini diberi nama Al Munqit minad Dhalal (Pembebas dari Kesesatan).

 

Vivit Nur Arista Putra

Penulis Buku “Pecandu Buku”

Tidak ada komentar: