Pada dasarnya kepemimpinan (imamah) telah diketahui sebagai hal yang wajib menurut syari’at maka status hukum memilih pemimpin dalam Islam adalah fardhu kifayah, artinya jikalau sudah ada orang yang melakukannya (memilih), maka orang lain tidak menanggung dosa karena tidak melakukannya. Ini terlihat dari sabda Nabi “Jikalau kamu tiga orang, hendaklah salah seorang menjadi pemimpinnya” (HR. Thabrani). Dari hadist tersebut Rasulullah menganjurkan kita untuk memilih pemimpin agar segala urusan dapat berjalan tertib, teratur, dan terarah kendati hanya tiga orang saja.
Bagaimana jika memilih pemimpin dalam lingkup lebih besar yang kebijakan yang diambilnya berdampak pada khalayak ramai, seperti memilih presiden dalam suatu negara. Tetap fardhu kifayah.
Hanya saja Rasulullah tidak memberikan standar baku untuk memilih pemimpin dengan sistem apa, yang jelas ada mekanisme syura’ di dalamnya. Ihwal ini dapat kita cermati dari apa yang dilakukan para sahabat. Jamak diketahui, transisi kepemimpinan pascaRasulullah wafat adalah terpilihnya Abu Bakar as Sidiq sebagai khalifah. Untuk mendaulat dan membaiat menjadi imam, hanya dilakukan syura oleh lima sahabat yaitu Umar bin Khatab, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Usaid bin Hudhair, Bisyr bin Sa’ad, dan Salim mantan budak Abu Hudzaifah, dan disepakati oleh sahabat yang lainnya. Kemudian, pergantian khalifah selanjutnya, dilakukan dengan ijtihad Abu Bakar membaiat Umar bin Khatab sebagai khalifah dan keputusan ini disepakati oleh sahabat lain. Kemudian Umar membentuk semacam dewan formatur yang mengantarkan Utsman bin Affan menjabat khalifah.
|
Rumah Pensil Publisher
|
Begitupun peralihan kekhalifahan dari Utsman ke Ali bin Abi Thalib.
Sejarah di atas mengajarkan pada kita, bahwa keabsahan imam dapat ditempuh dengan dua cara pertama, pemilihan oleh ahlu al aqdi wa al hal semacam parlemen di era kini dan penunjukan oleh imam sebelumnya. Namun jika tidak ada orang yang menjalankan tugas imamah (kepemimpinan) maka harus ada dua pihak untuk memilih pemimpin; dewan pemilih yang bertugas memilih imamah (khalifah) bagi ummat dan dewan imam (khalifah) yang bertugas mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai imam. Imam al Mawardi dalam bukunya Al Ahkam al Sulthaniyah menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi dewan pemilih ada tiga;
1. Adil dengan segala syarat-syaratnya.
2. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam (khalilfah) sesuai kriteria-kriteria legal.
3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang tepat menjadi imam, paling efektif, dan paling ahli dalam mengelola kepentingan.
Al Mawardi juga menambahkan orang yang berada di daerah calon imam bertugas mengangkat imam, sebab mereka terlebih dahulu mengetahui kemampuan calon imam. Sedangkan syarat atau kriteria-kriteria dewan Imam (khalifah) yang legal dan harus mereka miliki ada tujuh macam yaitu adil dengan syarat yang universal, ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus atau hukum, sehat inderawi yang dengannya mampu menangani langsung permasalahan yang diketahuinya, sehat tubuh dari cacat yang menghalanginya bertindak, wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat, berani dan ksatria yang membuatnya mampu melindungi wilayah negara dan melawan musuh, nasab yaitu berasal dari Quraisy berdasarkan nash dan ijma’ ulama.
Akan tetapi pendapat dari Imam Al Mawardi di muka adalah pendapat yang tidak kesemuanya dapat ditetapkan dan diberlakukan pada tempat dan era kini. Meskipun ada beberapa syarat yang dapat diadopsi. Seperti halnya mengkaji fatwa, kita harus memandang pada tiga aspek; tempat, masa, dan ulama yang mencetuskan fatwa.
Sistem Politik Demokrasi
Kaidah memilih pemimpin di era kekhalifahan, kini terpendam bahkan terancam tidak dijalankan karena sistem yang dianut masa lampau dan masa kini berbeda.
Pada abad ini negara-negara dunia (termasuk negara dominan muslim) telah menerapkan sistem politik karya manusia; demokrasi. Pada mulanya demokrasi muncul untuk menentang sistem otoriter. Pasca tumbangnya sistem otoriter, semua orang yang hidup dinegara demokrasi berhak melakukan apapun selagi tidak bertentangan dengan hukum positif (undang-undang) yang disepakati mayoritas orang (wakil rakyat) di parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Setelah lahirnya sistem politik demokrasi, masyarakat yang hidup di dalamnya menikmati kebebasan untuk hidup dari kesewenang-wenangan rezim. Para pekerja mendapat perlindungan hukum, sektor industri juga memperoleh batasan dalam penarikan pajak karena diatur undang-undang. Begitupun aktivis dakwah dapat melakukan syi’ar Islam dengan aman tanpa ancaman. Namun, atas nama demokrasi pula orang dapat melakukan kemaksiatan.
Islam memang lebih mengenal sistem syura (musyawarah) untuk menyuarakan yang haq. Meskipun sistem ini bertentangan dengan Islam dalam banyak hal, termasuk dalam pengambilan keputusan yakni lebih mengedepankan keputusan suara terbanyak, dan masih banyak lagi penyimpangan dan kemaksiatan sebagai dampak dari keputusan, namun dakwah parlemen tetap diperlukan untuk meminimalisir kemudharatan yang terjadi. Semakin banyak aktivis dakwah memasuki parlemen, semakin banyak pula penganjur kebajikan yang akan mengurangi bercokolnya kemaksiatan di tatanan rezim sembari memperbaikinya dengan sistem Islam.
Di dalam buku fiqih prioritas, Yusuf Al Qardawi lebih memilih tetap bergaul atau berada dalam sistem masyarakat ketika terjadi kerusakan moral daripada mengucilkan diri dan menjauhi mereka. Hal sesuai dengan sabda Rasul diriwayatkan Ibnu Umar “Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Hadist di atas juga dapat kita qiyaskan, segala keburukan dan kekotoran dalam sistem pemerintahan, janganlah membuat umat Islam lepas tangan dan tidak peduli apa yang terjadi di sana, apalagi jika sistem itu dikuasai oleh orang kafir. Tetapi umat Islam harus turut memperbaiki dengan ikut terlibat dalam sistem itu untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar lagi.
Kriteria dewan pemilih di atas, sulit kita jumpai di era kini. Terbukti dengan banyaknya golput yang terjadi saat pilkada. Sejumlah data menyebutkan di pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi 10.744.844 atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih yang terdata dalam daftar pemilih tetap. Pilkada Jawa Barat, angka golput 9.130.604 suara. Sementara Ahmad Heriawan-Dede Yusuf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat hanya memperoleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen. Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari 5.719.285 pemilih. Pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 persen, Bali, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. (www.suarapembaruan.com).
Data di atas mengisyaratkan tidak tahunya pemilih dengan visi misi dan kemampuan calon pemimpin di daerahnya. Namun, kebanyakan golput dalam pemilihan legislatif dan presiden mendatang kebanyakan adalah pemilih cerdas, yang tahu betul apa yang dilakukan wakil rakyat di Senayan. Inilah mengapa Hidayat Nur Wahid “memesan” fatwa haram golput dari MUI untuk menyeret pemilih cerdas itu agar tetap berpartisipasi. Jika kita mengambil sikap golput hal yang perlu kita kaji adalah efek dari sikap itu? Apakah akan membawa maslahat? Tidak sama sekali. Berbeda dengan golput di tahun 90’. Golput pada waktu itu adalah sikap yang taktis dan strategis, sebagai bentuk protes atas manipulasi suara rezim orde baru. Memilih atau tidak dalam pemilu saat itu yang menang tetap partai “itu”.
Untuk itu, dalam pemilu nanti umat Islam tetap harus berpartisipasi sebagai konsep dasar demokrasi. Pilihlah calon pemimpin yang beriman dan bertakwa sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (dapat menyampaikan kebenaran) dan fathonah (cerdas), memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imarah dan imamah dalan kehidupan, dan pemilu adalah upaya untuk memilih pemimpin yang ideal memperjuang aspirasi umat, serta imarah dan imamah menghajatkan syarat-syarat sesuai Islam agar terwujud kemaslahat masyarakat. Pemilih yang tidak memilih wakil rakyat yang memenuhi syarat di atas atau tidak Memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat adalah haram. Demikian penjelasan putusan MUI Pusat.
Caranya ialah dengan membaca track record (rekam jejak) calon wakil rakyat dan partainya yang jelas-jelas tidak korupsi, tidak terlihat berbagai skandal di DPR, dan benar-benar bekerja dan memperjuangkan aspirasi rakyat serta yang terpenting ialah berasakan Islam dan memperjuangkan syari’at Islam tegak di bumi Indonesia. Acara di TV seperti debat, uji kandidat, panggung demokrasi, dsb memberikan ruang pendidikan politik yang besar daripada ikut-ikutan kampanye hanya untuk menikmati hiburannya.
Dakwah parlemen tetap dibutuhkan, jika umat Islam ingin menegakan syari’at Islam. Fungsi parlemen di sini ialah untuk membuat regulasi atau undang-undang sesuai Al Qur’an dan Sunah lebih rinci lagi dengan membahasakannya secara umum agar dapat diterima publik.
Semoga perjuangan kita menegakkan Syari’at Islam di muka bumi di lapangkan dan dimudahkan oleh Allah swt. Percayalah harapan itu masih ada.
Vivit Nur Arista Putra
Pemimpin Redaksi PROGRESS UKKI UNY