Aksi massa meruntuhkan otoriterianisme rezim agaknya telah menjadi tren di daratan Afrika. Keberhasilan rakyat Tunisia melengserkan presiden Ben Ali yang diktaktor menginspirasi negara lain seperti Mesir, Yaman, hingga Suriah. Jika dikaitkan dengan teori Third Wave Democratization ala Samuel P. Huntington, maka tuntutan mundur terhadap Mubarak di negeri Piramid dan Abdullah Saleh di Yaman agar segera diganti pemerintahan baru, adalah arus gelombang demokratisasi ke empat sepanjang sejarah dunia.
Negara-negara di jazirah Arab berada pada kepercayaan diri tinggi, jika mencermati geopolitik internasional di Mesir dan Tunisia.
Rakyat di suatu negara yang dipimpin penguasa dalam waktu lama namun tak ada reformasi total kini mulai berfikir, perubahan rezim tidak harus dilakukan melalui pemilu tetapi dapat dilakukan dengan aksi massa. Sebab, rakyatlah yang memberikan mandat kuasa. Dan kini Ben Ali dan Mubarak telah kehilangan legitimasinya. Maka mundur adalah jawabannya.
Amerika Serikat yang menganut dan menggaungkan demokrasi sedang diuji. Apakah mendukung reformasi Mesir ataukah tetap merestui pemerintahan Mubarak. Sementara Israel menyatakan lebih baik rezim Tirani berkuasa daripada organisasi religius yang hendak berkuasa seperti Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai oposisi terbesar. Sebab, jika IM memimpin maka akan membuat peta politik timur tengah berubah.
Namun, yang patut menjadi titik perhatian ialah desakan suksesi harus disertai dengan kemampuan untuk mengisi kosongnya pemerintahan. Demo hanya fokus pada penurunan Mubarak, di sisi lain oposisi tampak belum kompak siapa yang akan diusung untuk mengisi masa transisi. Rakyat Mesir tidak tampak memiliki tokoh pemersatu seperti Amien Rais sebagai tokoh reformasi 1998. Sebab, Mesir kini sedang mengalami masa 98nya Indonesia. Titik persamaannya adalah. Pertama, penguasa diisi oleh kalangan Militer yang otoriter dan koruptor. Jika Fir’aun bersyahadat bernama Husni Mubarak ditopang militer maka Soehartopun demikian dengan dwifungsi ABRI nya yang membuat tentara dapat duduk di parlemen. Kedua, demokrasi mati. Tidak ada check and balances terhadap pemerintahan karena eksekutif dan legislatif keduanya dipegang oleh partai yang sama.
Imbasnya DPR sebagai lembaga pengontrol jalannya pemerintahan menjadi terkooptasi. Presiden Mubarak dan Soeharto dapat terpilih berulang kali karena DPRnya adalah anak buahnya. Ketiga, media massa dibungkam dan dimonopoli, suara publik disumpal. Di Indonesia kala itu, jika ada koran yang mengulas kebobrokan penguasa akan dianggap melecehkan simbol negara. Pemerintah Mesir pun memblokir jaringan interner dan situs jejaring sosial yang selama ini berperan sebagai medium menggalang demonstrasi.
Tiada kritik dan masukan dari luar inilah yang membuat pemerintahan menjadi serba benar. Inilah yang memunculkan otoriterianisme rezim dan korupsi, kolusi, nepotisme merebak di Istana negara. Ajang memperkaya diripun menjadi budaya bagi kerabat penguasa. Ketiga perkara di mukalah yang membuat publik muak dan merasa dibohongi, maka tak heran jika masyarakat lintas profesi berpadu turun ke jalan membentuk barisan people power.
Tetapi ingat, menurut pengamatan penulis sejauh ini arus ‘people power’ yang sukses mengganyang rezim korup hanyalah Indonesia. Kendati kehilangan arah reformasi, tetapi Indonesia tergolong negara yang transisi kepemimpinannya sukses dengan kemajuan sejengkal demi sejengkal. Filipina yang berulang kali ‘people powernya’ menjatuhkan pemimpin puncak karena tak mampu membawa perubahan berarti ternyata tidak mengalami reformasi total ketika berganti pemerintah.
Maka pelajaran moralnya ialah dorongan pergantian rezim harus disertai dengan ide pembaharuan segala bidang. Jika tidak rakyat akan menuntut pemilihan ulang.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI UNY