Senin, 05 Juli 2010

Menerka Alasan Golkar Berkoalisi

Dimuat di Rubrik Jagongan Harian Jogja, 23 Oktober 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Kemenangan Aburizal Bakrie (Ical) di Munas Pekan baru, Riau berdampak pada sikap politik Golkar lima tahun ke depan. Dapat diterka kendaraan politik orde baru ini merapat ke pemerintah. Kendati bargaining power atau daya tawarnya lemah, namun kedekatan personal Ical dengan SBY menjadikan peta koalisi bertambah dan dapat dipastikan pembagian jatah kabinet kian ramai. Hal ini diperkuat pernyataan Akbar Tanjung (dewan pertimbangan Golkar) yang siap mengajukan kader terbaiknya mengisi kabinet Indonesia bersatu jilid II.

 Pernyataan politik partai Beringin ini semakin mempertegas tabiat partai ini tak dapat jauh dari kekuasaan. Tampaknya partai yang mulai ikut pemilu sejak 1972 ini mengidap penyakit amnesia sejarah. Bagaimana tidak? Apakah koalisi dengan Demokrat di pemerintahan 2004-2009 tidak memberikan pelajaran! Saat itu terjadi tarik ulur kepentingan antara Golkar dan Demokrat, belum lagi klaim keberhasilan antara SBY dan JK menjelang pemilu 2009. “Peristiwa” tersebut mengindikasikan Golkar tak mau kalah untuk urusan kekuasaan. Golkar di bawah nahkoda baru tak jauh berbeda dengan periode lalu. Ical seperti JK. Bedanya, bergabungnya Golkar ke pemerintah akan menjadikan Ical berada dalam bayang-bayang SBY. Penuturan Ical bahwa mengawasi kinerja pemerintah tak harus menjadi oposisi dan dapat dilakukan dalam pemerintahan dengan mengritisi dan menolak kebijakan yang tak populis atau pro rakyat, justru sangat kontradiktif. Jika kader partainya yang mengisi kabinet terlibat pembuatan policy atau kebijakan serta kader Golkar lain mengritiknya, bukankah sama dengan menjilat ludah sendiri! Apalagi suara legislatif dimiliki Demokrat. 

Tentu proses kontrol lebih efektif dilakukan di luar lingkaran kekuasaan dengan mengagitasi masyarakat dan memanfaatkan media massa sebagai watch dog atau pilar demokrasi keempat, agar terjadi balance antara eksekutif dan legislatif. Semoga pilihan Golkar koalisi bukanlah pragmatis. Akan tetapi, mari kita lihat sisi lain keputusan Golkar untuk terlibat dalam pemerintahan. Penulis memprediksi ada tindak lanjut koalisi ini untuk memenangkan pemilihan daerah (pilkada) 2010. Golkar sadar suara konstituennya di”curi” Demokrat dalam pemilu parlemen April silam. Oleh sebab itulah, partai tertua ini ingin mengambil kembali suara rakyat dengan membonceng rivalnya yang kini tengah naik daun. Akankah ini berhasil? Bisa jadi. Jika melihat tipikal masyarakat umum, pilihan mereka selalu berubah dalam setiap perhelatan pemilu. Melorotnya suara Golkar dan menanjaknya suara Demokrat hampir 300 persen ketimbang pemilu 2004 adalah contohnya. Artinya proses demokrasi kita masih terpukau oleh bentuk dan khalayak ramai belumlah dikatakan pemilih rasional. Berkoalisi artinya ikut berkontribusi di pemerintahan dan mengurusi rakyat. Dengan demikian kader Golkar akan banyak show up ke publik untuk menarik perhatian konstituen serta memperbaiki citra partai. Maka implikasinya koalisi Golkar adalah pertaruhan eksistensi partai ke depan, sekaligus tantangan bagi Ical. 

Koalisi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk memperkuat pemerintahan yang muaranya ialah efektifitas kebijakan yang berpihak pada rakyat. Golkar tidak akan besar, manakala berpandangan satu, dua, atau lima tahun. Golkar harus bervisi ke depan dengan perencanaan strategis yang matang. Partai didirikan untuk menampung aspirasi dan idealisme setiap warga negara, bukan gerbong semu sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa

Syifaul Qulub (Obat Hati)

Ramadhan tahun ini saya mengikuti kajian seputar syifaul qulub atau obat hati. Saat itu Ustad Sholihun bertindak sebagai pemateri. Sebagai tanggung jawab dakwah, akan saya bagikan sejuput wawasan yang penulis peroleh. Berkisar tentang hati sebagai salah satu istrumen penting manusia yang menjadikan mula segala asal muara tindakan manusia, selain akal. Ajaran Rasulllah pun ketika pertama kali mensyiarkan dakwah Islam adalah menyentuh hati dengan tauhid. Tempat bersemayam keyakinan. Hal itu dilakukan selama 13 tahun dakwah Islam di Makkah.

Sepanjang waktu itu, hanya mengomentari hal fundamen atau mendasar seperti aqidah, syari’at, dan akhlak. Pembersihan hati dengan tauhid (manunggaling kawula gusti) inilah yang menjadikan seruan Islam yang diusung Nabi Muhammad sukses. Muhammad sebagai the chosen people, berhasil menyatukan ragam kabilah penduduk Makkah. Tauhid ini pula yang meleburkan segala kejahiliahan dan merubah sikap seseorang sebagai manifestasi keberimanan. Jika kita renungi sebab musabab tersumbatnya hati ialah; pertama, pengagungan pada aku dan makhluk. Jika ini terjadi, akan berimbas pada prioritas insan pada duniawi dan mengabaikan akhirat. Sebagai contoh, kesombongan Abu Jahal dan Abu Lahab yang tak mengakui ajaran Muhammad saw. Perkara lain yang patut direnungi ialah panggilan adzan subuh. Ajakan sholat lebih baik daripada tidur (pilihan akhirat) masih kita abaikan dengan memilih tidur (pilihan dunia). Contoh lain ialah kita dapat meneladani sikap Abu Bakar. Mertua Rasulullah tersebut, terlepas semua penghalang hatinya. 

Rumah Pensil Publisher

Ketika Rasulullah wafat, kita dapat membandingkan sikap Umar bin Khatab dan Abu Bakar. Saat Muhammad saw meninggalkan sahabat. Umar mengacungkan pedang seraya berkata “siapa yang mengatakan Muhammad mati, ia akan berhadapan denganku”. Abu Bakar tampil dan berbicara “barangsiapa menyembah Muhammad ia telah mati. Akan tetapi siapa saja yang menyembah Allah, sungguh ia Maha hidup”. Kemudian Umar pun tersadar akan itu. Peristiwa di muka mencerminkan segala tambatan hati Abu Bakar pada aku dan makhluk telah tuntas. 

Kedua, yaitu hubus syahwat (cinta keinginan). Jika kita tak pandai mengelola keinginan, syahwat itu akan menjerumuskan kita. Maka keinginan kita haruslah didasari kefahaman (al ilmu qabla amal). Jika orang takut kepada Allah, siapapun akan takut kepadanya. Namun, jika seseorang takut pada makhluk, ia akan dipermainkan. Nafsu tersebut harus kita atur. Kita bisa belajar pada Abdullah bin Umar. Ia ridho hidupnya diatur oleh Islam. Dalam dirinya terdapat nafsu mutma’inah. Saking cintanya dalam berbicara dan duduk pun ia meniru gaya Rasulullah. 

Oleh sebab itu, ibadah hati adalah obat mujarat untuk membunuh kotoran dalam rongga dada kita. Karena penyakit fisik itu disebabkan oleh penyakit hati. Maka, ibadah hati jauh lebih berat dari ibadah fisik, ibadah hati jauh lebih indah dari amalan fisik, ibadah hati jauh lebih besar pahalanya ketimbang amalan fisik. Sebagai contoh, orang merenungi ciptaan Allah dan menimbulkan tauhid, jauh lebih besar pahalanya daripada sholat semalam. Ibadah hatilah yang menggerakkan amalan fisik. Syekh Akhmad Yasin, sosok yang kuat hatinya. Meskipun buta ia mampu bergerak mengajar ilmu dan berjuang bersama rakyat Palestina. Kita refleksi bersama. Bagaimanakah ibadah hati kita? 

Vivit Nur Arista Putra
Pemimpin Redaksi Buletin PROGRESS

Kenapa Harus Pendidikan Profetik

Dimuat di Buletin PROGRESS UKKI/ Edisi Special Ospek/Agustus 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



Pendidikan profetik adalah pendidikan yang merepresentasikan nilai-nilai kenabian. Nabi adalah wakil Allah dan manifestasi Al qur’an. Oleh sebab itu, rujukan kita adalah firman Allah yang diabadikan dalam Al qur’an dan sunah nabi. Profetik etimologinya dari bahasa Inggris, yakni prophet berarti nabi. Wacana profetik diutarakan oleh Kuntowijoyo, seorang sejarawan, yang membahasakan teks-teks langit menjadi diksi (pilihan kata) yang mudah difahami manusia. Kuntowijoyo menyuguhkan tiga terminologi dalam profetik, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ia terinspirasi kalam Illahi, Q.S. Ali Imran: 110. “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mengajak pada yang ma’ruf, mencegah kemungkaran, dan beriman pada Allah.” 

Budayawan tersebut menyimpulkan tiga hal, setelah manusia terlibat pada realitas masyarakat, pertama manusia haruslah menyuruh kebajikan pada sesama, humanisasi. Kedua, membebaskan (liberasi) atau menolak kemungkaran dan bentuk kejahiliahan. Ketiga, tu’minunabillah, beriman pada Allah (transendensi). Lantas siapa manusia yang dimaksud memiliki kans besar untuk melakukannya? Para mahasiswa. Apa alasannya? Dasarnya jelas. Mahasiswa ditempatkan segaris sepemaknaan dengan Nabi. Mahasiswa mendapatkan ruang pencerahan. 

Jika Nabi tercerahkan oleh wahyu, mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Karena tidak semua orang dapat mengaksesnya. Keterlibatan awal ini harus diikuti dengan humanisasi -memanusiakan manusia- tak sekadar rekan kampus semata, namun juga melakukan rekonstruksi sosial kemasyarakatan. Liberasi atau pembebasan dari isme atau ajaran yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Keduanya harus dibingkai dengan nilai transendensi yang kuat. Nilai itu adalah iman. Maka, jika kalian para mahasiswa baru hanya fokus studi, dolan sana, dolan sini tanpa peduli dengan realitas sosial, kalian menyalahi fitrah (ketentuan) kalian sebagai mahasiswa profetik.

 Di era kini kita dapat memilah tipe-tipe mahasiswa. Tipe pertama, aktivis organisatoris. Model ini peka terhadap isu sosial dan berikhtiar merubah sesuai tuntunan ideologinya. Kedua, mahasiswa study oriented kuliah, sikapnya cuek dan tidak terlibat dengan realitas, karena lebih memilih sibuk mengurus dirinya (egois). Ketiga, mahasiswa tanpa arah (disorientasi). Tidak memiliki pilihan jelas di kampus (oportunis). Krisis identitas, karena terhambatnya proses pencarian jati diri. Dan bisa dibilang potensial untuk direkrut sebagai “calon pengantin” oleh Noordin paling top. Pendidikan profetik adalah metode paling pas untuk memoles mahasiswa baru dengan segala aktivitasnya. Sebab, sandaran ideologi yang kuat, akan menjadi kompas penentu arah apa yang harus difikir dan apa yang harus ditindak olehnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY

Memaknai Hijrah

Dimuat di Buletin INTRO KAMMI UNY, Agustus, 2009 

Hijrah bermakna berpindah tempat. Lebih tepatnya berpindah dari segala keburukan menuju kebajikan. Adapun rukun hijrah yaitu ada tempat yang ditinggalkan dan ada muara yang dituju. Inilah yang dilakukan Muhammad saw cs, ketika tak tahan ditindas kafir Quraish. Hijrah saat itu dari Makkah beranjak ke Madinah. 

Jika ditelisik langkah ini dilakukan untuk meracik strategi dengan membangun kekuatan psikologis dan basis massa kemudian melakukan metamorfosa sosial. Sebab, pascahijrah terjadi penaklukan Makkah “Fathul Makkah.” Nabi pun berkuasa di sana dan melapangkan dirinya menyebarkan dakwah Islam. Selain berpindah tempat, secara sifat hijrah berarti merubah. Gelap menjadi terang. Begitupun yang dialami mahasiswa baru saat ini. Memutuskan hijrah kuliah, dari nun jauh perantauan untuk merumput ilmu di kota pendidikan. Hilir hijrah mahasiswa itu bernama kampus. Tempat peraduan dan ruang pencerahan. Asa menggumpal untuk merubah diri dengan cita membahagiakan orang tua, wali, dan mengabdi pada ibu pertiwi.

Rumah Pensil Publisher

Spirit hijrah itu, hendaknya dapat menjiwai proses pematangan di kampus. Karena bagaimanapun mahasiswa adalah avant garde (garda depan) transformasi sosial. Jikalau ditinjau lebih rijit lagi, hijrah atau berpindah, tak hanya bergeraknya fisik ke tempat lain. Namun, juga bergantinya fikiran, hati, dan kelakuan yang menggariskan perbedaan. Sebagaimana kata Umar bin Khatab “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan” (H.R. Ibn Hajar). Begitu pun pesan dari langit yang menegaskan “Dan perbuatan dosa, maka jauhilah” (Muddatsir: 5) ialah esensi hijrahnya. 

Ibrah atau pelajaran lain yang dapat disadap dari peristiwa hijrah ialah perubahan cara pandang atau world view kematangan berfikir yang mengimbas pada sikap kedewasaan adalah yang paling diharapkan. Sebab, setelah itu mahasiswa akan mentas di kampus untuk melakukan rekonsiliasi sosial. Ikhtiarkan dan panjatkan do’a demikian, karena Allah tak akan merubah kondisi suatu kaum sebelum mereka berikhtiar merubahnya sendiri (Q.S. Ar Rad’u: 13). Hidup mahasiswa.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa

Membangun Kesadaran Mahasiswa

Dimuat di Buletin PROGRESS UKKI UNY, Agustus, 2009 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Orientasi Studi Pengenalan Kampus dua pekan lagi. Fase yang harus dilalui mahasiswa sebagai medium tegur sapa dengan kampus sebelum berinteraksi dengannya. Dan genap empat tahun sudah, Ospek UNY mengambil tema pendidikan profetik. Tema besar yang mulai dilaunching di era Sujatmiko Dwi Atmaja, Presiden BEM Rema UNY 2006. Apa latar dibalik bertahannya tema tersebut. Seberapa pentingkah bagi mahasiswa baru untuk menerapkannya, sebagai konsekuensi logis dari makhluk kelas menengah di masyarakat yang diberikan kesempatan Allah, memperoleh pencerahan di kampus. Berikut tulisan yang kami sarikan dari hasil diskusi dengan beberapa tokoh mahasiswa UNY. 


Pada dasarnya tema ini diambil untuk memberikan proses penyadaran pada mahasiswa baru akan perannya di kampus, yang dituntut tidak hanya belajar namun juga harus melakukan perubahan sosial. Ihwal ini dapat kita qiyaskan –samakan- saat baginda Rasul Muhammad bertemu dengan Allah di sidratul muntaha (menara langit ke tujuh). Dan puncak keinginan seorang hamba ialah bertemu dengan sang penciptanya. Akan tetapi, Muhammad memutuskan untuk kembali ke bumi, atas dasar kesadaran terhadap realitas primitif yang amoral (tidak bermoral). Manusia di bumi hidup tanpa aturan dan keadilan. Pijakan fikiran itulah yang membuat Nabi melakukan transformasi sosial. Ingin merubah, merubah, dan merubah. Sebab dosa besar para Nabi adalah meninggal umatnya. Karena inilah tanggungjawab moral keberimanan Nabi (makhluk) pada sang Khaliq. Nabi sadar, bahwa di alam semesta ini ada yang menciptakan. Subjek pencipta itulah yang patut disembah. Maka jika ada yang disembah, pasti ada yang menyembah. Subjek penyembah itulah manusia (selaku barang ciptaanNya). 

Oleh karena itu, adalah konsekuensi bagi makhluk untuk patuh dan taat kepadaNya, samiqna wa ataqna (kami dengar dan kami taat). Ketaatan itu adalah manifestasi (perwujudan) dari iman. Maka, mahasiswa hendaklah menempatkan dan memosisikan dirinya layaknya Nabi. The choicen people, manusia pilihan yang beruntung mendapatkan pencerahan di alam kampus. Maka secara nalar, sikap yang harus dilakukan mahasiswa ialah terlibat dengan masyarakat kampus dan khalayak di luarnya. Gelisah akan ketimpangan dan berikhtiar untuk merubahnya. Hal inilah yang juga dirasakan Nabi mencermati situasi dan kondisi di tempatnya. Untuk itulah sebelum merubah kondisi secara kompleks, diperlukan -apa yang disebut Kuntowijoyo- humanisasi. Memanusiakan manusia, menyadarkan akan fitrah (ketentuan) awalnya. Kalianlah mahasiswa selaku manusia-manusia pilihan itu, middle class. Semakin banyak mahasiswa sadar akan hal ini, semakin mudah bagi kita untuk merubah kondisi masyarakat yang diinginkan. 

Kesadaran awal di muka akan diinternalisasikan dalam muatan acara Ospek 18-23 Agustus yang rencananya akan menghadirkan Ari Ginanjar Agustian, Adyaksa Dault (Mentri Negara pemuda dan olahraga), dan Taufiq Ismail. Kesadaran harus dimuarakan pada action. Tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan mengejawantah menjadi karakter. Karakter ini fondasi dasarnya ialah jalan keNabian. Karekter inilah yang diinginkan dan mencoba dibentuk di UNY. “Jadi bukan hanya jargon tapi tindakan” tandas Pidi Winata, Presiden BEM Rema UNY 2009. 

Langkah selanjutnya ialah liberasi (langkah pembebasan) atas segala thaghut (sembahan sesat) yang masih dianut, egoisme kesenangan pribadi, study oriented, dan cuek bebek terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya, acuh tak acuh terhadap kondisi bangsa dan zaman serta hanya foya-foya dengan fasilitas di Jogja. Buang semua itu sobat, itu karakter mahasiswa yang bopeng sebelah. Bukan karakter mahasiswa UNY. Jadilah mahasiswa yang berkarakter profetik. Humanisasi, liberasi ialah tahap kedua dan ketiga yang dibangun atas dasar kerangka transendensi dalam konsep profetik. Transenden bermakna melampaui, beyond. Melampaui segala kebenaran yang disadap indera dan akal fikiran manusia. Segala asal muara tutur kata dan sikap manusia. 

Karena pada ruang pelampauan itu, ada kebenaran hakiki yang manifest (mewujud) dalam Al qur’an dan As sunnah, shuhuf-shuhuf (lembara-lembaran) yang dititahkan Allah ta’ala. Yang harus kta patuhi sebagai bentuk keberimanan kita. Dan sekali lagi menjadi konsekuensi logis (tanggungjawab yang dapat dicerna) bagi mahasiswa untuk terlibat dan merubah ketimpangan kondisi yang ada. Selamat datang di kampus Inspiratif, selamat berjuang untuk merubah, dan selamat menjadi mahasiswa yang berkakter. I love you full

Vivit Nur Arista Putra 
Pemimpin Redaksi PROGRESS UKKI UNY

Transisi KAMMI DIY


Desentralisasi merupakan salah satu kiat menjadikan pemerintahan berjalan efektif. Sebab, skup kerja lebih merucut dengan otonomi yang lebih. Dari pemerintahan daerah (provinsi) sampai tingkat kabupaten. Sehingga kepekaan sosial dan kerja pemerintah lebih fokus. Atas dasar arus perubahan itulah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) DIY melebur dengan dibentuknya KAMMI Daerah Sleman, Bantul, Kota Jogja, serta mendeklarasikan berdirinya KAMMI Wilayah DIY. Langkah ini dilakukan agar proses pengawalan kebijakan pemerintahan, pemberdayaan, dan kontribusi sosial lebih concern. Imperatif muktamar VI KAMMI di Makassar memberikan KAMMI DIY tenggat waktu enam bulan pascamuktamar untuk transisi. Maka dihelatlah lokakarya bulan Mei 2009 untuk menyiapkan panduan dan rencana aksi transisi. 

Hasil forum itulah yang menggiring ke musyawarah daerah (Juni 2009) yang memutuskan untuk memberikan amanah kepada Nurrahman (UGM) menjadi ketua KAMMI Daerah Sleman, Bahtera (UIN) mengemban ketua KAMMI Kota, dan Sigit Nursyam (UNY) bertindak sebagai ketua KAMMI Bantul serta Khalif (UMM) didaulat menjadi ketua KAMMI Daerah Magelang. Sebelum itu diselenggarakan training kade lanjut atau daurah marhalah III di Jogja yang diikuti sembilan kader KAMMI DIY. Desentralisasi menjanjikan mekanisme perizinan lebih mudah atau satu pintu dan hubungan negara dengan warna negara menjadi kontrak sosial bukan transaksional. Selain itu, poin penting yang dapat diunduh dari desentralisasi ialah menjadikan transisi kepemimpinan dari akar rumput merampah ke tingkat nasional lebih efektif, peka, dan mafhum problematika yang terjadi ditempatnya. Tak terkecuali regenerasi kepemimpinan di KAMMI. Dari komisariat, KAMMI daerah, wilayah, sampai level nasional. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI 

Mengelola Perpustakaan Ideal

Dimuat di Website dinas pendidikan Sleman, 29-7-2009 

Tri dharma perguruan tinggi terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Menjadi konsekuensi logis bagi segenap civitas akademika kampus untuk mengamalkannya. Bagi mahasiswa, peluang menunaikan amanat di muka terbuka lebar dalam moment KKN/PPL selama dua setengah bulan. Atas dasar pijakan inilah tim KKN/PPL Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, menggelar workshop pengelolaan perpustakaan, Selasa, 28 Juli 2009. Bertempat di Aula dinas pendidikan Sleman Lt. III peserta terlihat begitu antusias. Terbukti tak kurang delapan puluh pustakawan dan perwakilan SMA/SMK dari satuan pendidikan Sleman memadati ruangan. Pelatihan ini menghadirkan trio pustakawan FIP yakni Anwar, Triyanto, dan Ardana. 


Pada kesempatan tersebut Anwar mengutarakan pentingnya pengelolaan perpustakaan. "Tidak harus perpustakaan ideal, karena idealnya perpustakaan setiap sekolah atau pustakawan pasti berbeda. Tetapi cukup ada petugas, pelayanan, dan buku yang ditawarkan." Terangnya. Komentar lain disampaikan Ardana. Menurutnya pengelolaan perpustakaan haruslah dilengkapi tiga orang, yang terdiri dari satu tenaga adminstrasi dan dua pustakawan. Hal ini penting diterapkan sekaligus berbagi peran, administrasi mengurusi segala kelengkapan buku, pendaftaran anggota, dan inventaris. Sedangkan pustakawan lebih fokus melayani pengunjung. 

Triyanto pada sesi terakhir menambahkan, untuk menarik dan menambah kerasan pengunjung, pelayanan haruslah memuaskan, dengan dukungan multimedia dan ruang yang kondusif untuk membaca. Setelah mendapatkan materi yang bersifat teoritis, acara yang dimoderatori Sidiq Suripto (Administasi Pendidikan’ 05) dilanjutkan dengan praktik langsung pengelolaan perpustakaan, seperti menginventarisir, melengkapi daftar inventaris berkala, penulisan kartu perpustakaan, kantong buku dsb. Keterlibatan dalam simulasi pemberdayaan ruangan berbuku ini, akan membuat daya ingat peserta lebih lama dan dapat diwariskan serta dipraktikkan di sekolah masing-masing nantinya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peserta KKN/PPL UNY 2009 di Dinas Pendidikan dan SD Jetis Jogopaten

Memilih Pemimpin dalam Islam

Pada dasarnya kepemimpinan (imamah) telah diketahui sebagai hal yang wajib menurut syari’at maka status hukum memilih pemimpin dalam Islam adalah fardhu kifayah, artinya jikalau sudah ada orang yang melakukannya (memilih), maka orang lain tidak menanggung dosa karena tidak melakukannya. Ini terlihat dari sabda Nabi “Jikalau kamu tiga orang, hendaklah salah seorang menjadi pemimpinnya” (HR. Thabrani). Dari hadist tersebut Rasulullah menganjurkan kita untuk memilih pemimpin agar segala urusan dapat berjalan tertib, teratur, dan terarah kendati hanya tiga orang saja. 

Bagaimana jika memilih pemimpin dalam lingkup lebih besar yang kebijakan yang diambilnya berdampak pada khalayak ramai, seperti memilih presiden dalam suatu negara. Tetap fardhu kifayah. Hanya saja Rasulullah tidak memberikan standar baku untuk memilih pemimpin dengan sistem apa, yang jelas ada mekanisme syura’ di dalamnya. Ihwal ini dapat kita cermati dari apa yang dilakukan para sahabat. Jamak diketahui, transisi kepemimpinan pascaRasulullah wafat adalah terpilihnya Abu Bakar as Sidiq sebagai khalifah. Untuk mendaulat dan membaiat menjadi imam, hanya dilakukan syura oleh lima sahabat yaitu Umar bin Khatab, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Usaid bin Hudhair, Bisyr bin Sa’ad, dan Salim mantan budak Abu Hudzaifah, dan disepakati oleh sahabat yang lainnya. Kemudian, pergantian khalifah selanjutnya, dilakukan dengan ijtihad Abu Bakar membaiat Umar bin Khatab sebagai khalifah dan keputusan ini disepakati oleh sahabat lain. Kemudian Umar membentuk semacam dewan formatur yang mengantarkan Utsman bin Affan menjabat khalifah. 

Rumah Pensil Publisher

Begitupun peralihan kekhalifahan dari Utsman ke Ali bin Abi Thalib. Sejarah di atas mengajarkan pada kita, bahwa keabsahan imam dapat ditempuh dengan dua cara pertama, pemilihan oleh ahlu al aqdi wa al hal semacam parlemen di era kini dan penunjukan oleh imam sebelumnya. Namun jika tidak ada orang yang menjalankan tugas imamah (kepemimpinan) maka harus ada dua pihak untuk memilih pemimpin; dewan pemilih yang bertugas memilih imamah (khalifah) bagi ummat dan dewan imam (khalifah) yang bertugas mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai imam. Imam al Mawardi dalam bukunya Al Ahkam al Sulthaniyah menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi dewan pemilih ada tiga; 1. Adil dengan segala syarat-syaratnya. 2. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam (khalilfah) sesuai kriteria-kriteria legal. 3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang tepat menjadi imam, paling efektif, dan paling ahli dalam mengelola kepentingan. 

Al Mawardi juga menambahkan orang yang berada di daerah calon imam bertugas mengangkat imam, sebab mereka terlebih dahulu mengetahui kemampuan calon imam. Sedangkan syarat atau kriteria-kriteria dewan Imam (khalifah) yang legal dan harus mereka miliki ada tujuh macam yaitu adil dengan syarat yang universal, ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus atau hukum, sehat inderawi yang dengannya mampu menangani langsung permasalahan yang diketahuinya, sehat tubuh dari cacat yang menghalanginya bertindak, wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat, berani dan ksatria yang membuatnya mampu melindungi wilayah negara dan melawan musuh, nasab yaitu berasal dari Quraisy berdasarkan nash dan ijma’ ulama. Akan tetapi pendapat dari Imam Al Mawardi di muka adalah pendapat yang tidak kesemuanya dapat ditetapkan dan diberlakukan pada tempat dan era kini. Meskipun ada beberapa syarat yang dapat diadopsi. Seperti halnya mengkaji fatwa, kita harus memandang pada tiga aspek; tempat, masa, dan ulama yang mencetuskan fatwa. Sistem Politik Demokrasi Kaidah memilih pemimpin di era kekhalifahan, kini terpendam bahkan terancam tidak dijalankan karena sistem yang dianut masa lampau dan masa kini berbeda. 

Pada abad ini negara-negara dunia (termasuk negara dominan muslim) telah menerapkan sistem politik karya manusia; demokrasi. Pada mulanya demokrasi muncul untuk menentang sistem otoriter. Pasca tumbangnya sistem otoriter, semua orang yang hidup dinegara demokrasi berhak melakukan apapun selagi tidak bertentangan dengan hukum positif (undang-undang) yang disepakati mayoritas orang (wakil rakyat) di parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah lahirnya sistem politik demokrasi, masyarakat yang hidup di dalamnya menikmati kebebasan untuk hidup dari kesewenang-wenangan rezim. Para pekerja mendapat perlindungan hukum, sektor industri juga memperoleh batasan dalam penarikan pajak karena diatur undang-undang. Begitupun aktivis dakwah dapat melakukan syi’ar Islam dengan aman tanpa ancaman. Namun, atas nama demokrasi pula orang dapat melakukan kemaksiatan. Islam memang lebih mengenal sistem syura (musyawarah) untuk menyuarakan yang haq. Meskipun sistem ini bertentangan dengan Islam dalam banyak hal, termasuk dalam pengambilan keputusan yakni lebih mengedepankan keputusan suara terbanyak, dan masih banyak lagi penyimpangan dan kemaksiatan sebagai dampak dari keputusan, namun dakwah parlemen tetap diperlukan untuk meminimalisir kemudharatan yang terjadi. Semakin banyak aktivis dakwah memasuki parlemen, semakin banyak pula penganjur kebajikan yang akan mengurangi bercokolnya kemaksiatan di tatanan rezim sembari memperbaikinya dengan sistem Islam. 

Di dalam buku fiqih prioritas, Yusuf Al Qardawi lebih memilih tetap bergaul atau berada dalam sistem masyarakat ketika terjadi kerusakan moral daripada mengucilkan diri dan menjauhi mereka. Hal sesuai dengan sabda Rasul diriwayatkan Ibnu Umar “Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka” (HR. Ahmad dan Bukhari). Hadist di atas juga dapat kita qiyaskan, segala keburukan dan kekotoran dalam sistem pemerintahan, janganlah membuat umat Islam lepas tangan dan tidak peduli apa yang terjadi di sana, apalagi jika sistem itu dikuasai oleh orang kafir. Tetapi umat Islam harus turut memperbaiki dengan ikut terlibat dalam sistem itu untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar lagi. Kriteria dewan pemilih di atas, sulit kita jumpai di era kini. Terbukti dengan banyaknya golput yang terjadi saat pilkada. Sejumlah data menyebutkan di pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi 10.744.844 atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih yang terdata dalam daftar pemilih tetap. Pilkada Jawa Barat, angka golput 9.130.604 suara. Sementara Ahmad Heriawan-Dede Yusuf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat hanya memperoleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen. Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari 5.719.285 pemilih. Pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 persen, Bali, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. (www.suarapembaruan.com). 

Data di atas mengisyaratkan tidak tahunya pemilih dengan visi misi dan kemampuan calon pemimpin di daerahnya. Namun, kebanyakan golput dalam pemilihan legislatif dan presiden mendatang kebanyakan adalah pemilih cerdas, yang tahu betul apa yang dilakukan wakil rakyat di Senayan. Inilah mengapa Hidayat Nur Wahid “memesan” fatwa haram golput dari MUI untuk menyeret pemilih cerdas itu agar tetap berpartisipasi. Jika kita mengambil sikap golput hal yang perlu kita kaji adalah efek dari sikap itu? Apakah akan membawa maslahat? Tidak sama sekali. Berbeda dengan golput di tahun 90’. Golput pada waktu itu adalah sikap yang taktis dan strategis, sebagai bentuk protes atas manipulasi suara rezim orde baru. Memilih atau tidak dalam pemilu saat itu yang menang tetap partai “itu”.

Untuk itu, dalam pemilu nanti umat Islam tetap harus berpartisipasi sebagai konsep dasar demokrasi. Pilihlah calon pemimpin yang beriman dan bertakwa sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (dapat menyampaikan kebenaran) dan fathonah (cerdas), memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imarah dan imamah dalan kehidupan, dan pemilu adalah upaya untuk memilih pemimpin yang ideal memperjuang aspirasi umat, serta imarah dan imamah menghajatkan syarat-syarat sesuai Islam agar terwujud kemaslahat masyarakat. Pemilih yang tidak memilih wakil rakyat yang memenuhi syarat di atas atau tidak Memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat adalah haram. Demikian penjelasan putusan MUI Pusat. Caranya ialah dengan membaca track record (rekam jejak) calon wakil rakyat dan partainya yang jelas-jelas tidak korupsi, tidak terlihat berbagai skandal di DPR, dan benar-benar bekerja dan memperjuangkan aspirasi rakyat serta yang terpenting ialah berasakan Islam dan memperjuangkan syari’at Islam tegak di bumi Indonesia. Acara di TV seperti debat, uji kandidat, panggung demokrasi, dsb memberikan ruang pendidikan politik yang besar daripada ikut-ikutan kampanye hanya untuk menikmati hiburannya. 

Dakwah parlemen tetap dibutuhkan, jika umat Islam ingin menegakan syari’at Islam. Fungsi parlemen di sini ialah untuk membuat regulasi atau undang-undang sesuai Al Qur’an dan Sunah lebih rinci lagi dengan membahasakannya secara umum agar dapat diterima publik. Semoga perjuangan kita menegakkan Syari’at Islam di muka bumi di lapangkan dan dimudahkan oleh Allah swt. Percayalah harapan itu masih ada. 

Vivit Nur Arista Putra 
Pemimpin Redaksi PROGRESS UKKI UNY

Seharian... Sendirian...

Waktu menunjuk 22.30 malam 
 Aku terbaring seorang diri Kesepian Merenungi Merefleksi sebuah perjalanan
 Melintasi waktu 
Merubah laku Bertempat sang pengatur kehidupan 
 Aku menghibur diri membaca Qur’an Hingga beranjak juz delapan
 Aku terlelap saat anganku terbang Terjaga sebelum adzan berkumandang
 Dan kembali menikmati pagi Sendirian… Kesepian… 

 Vivit Nur Arista Putra 
Rumah Allah, Yogyakarta 6 Desember 2007 07.00

Legalisasi Ganja

Dimuat di Suara Mahasiswa, Kamis, 05/07/2007 Harian SEPUTAR INDONESIA

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Akhir-akhir ini kita sering mendengar dan melihat di berbagai media massa yang menyuguhkan berita seputar legalisasi ganja. Warta ini menyisakan polemik yang menuai komentar dari berbagai kalangan. Di satu sisi, mereka mendukung pemerintah melegalkan tanaman ini untuk dikonsumsi, tentunya dengan batasan-batasan tertentu. Sebab, ada manfaat dan kegunaan lain dari pohon ganja. Di Aceh, misalnya, merupakan pusat ladang dan penyuplai ganja terbesar ke pelosok Indonesia. Masyarakat di sana banyak menggunakannya sebagai bumbu masak, dodol, dan kopi ganja, bahkan batang ganja dapat dibuat menjadi tas dan kerajinan lainnya. 


Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Indonesian National Institute on Drugs Abuse (INIDA) pun kini sedang melakukan riset guna mengetahui manfaat lain dari daun ganja. Meski demikian, ganja tetaplah ganja. Barang itu terlarang di Indonesia sebagaimana tertera dalam UU No 5/1997 yang memasukkan ganja (Canabis sativa) dalam golongan narkotik. Sebab, ganja mengandung zat adiktif (Tetrahydrocannabinol) THC yang dapat memabukkan bagi siapa yang salah dalam menggunakannya. Polisi pun akan menangkap siapa saja yang ketahuan membawa, mengonsumsi, dan mengedarkan barang haram itu. Alasan mendasar sebagian orang mendukung terealisasinya legalisasi ganja karena menurut mereka banyak manfaat atau kegunaan lain yang bisa didapat. Alasan lainnya,ganja tidak memberikan efek yang sedemikian parah bagi tubuh kita dibandingkan rokok, narkoba, morfin, pil koplo,dan minuman keras yang dapat merusak paru-paru, otak, dan syaraf serta mengakibatkan serangan jantung, impotensi dan lainnya.

Adapun di luar negeri, ganja dimanfaatkan dan diolah oleh dunia industri dan kedokteran menjadi obat bius yang dapat menenangkan seseorang yang membutuhkan pertolongan. Ditinjau lebih jauh, pengguna ganja biasanya malas-malasan, sakau, depresi, ketakutan, koordinasi tubuh tidak normal,dan mengalami gangguan emosional karena syaraf otaknya terganggu. Selain itu, kita juga jarang mendengar pemakainya meninggal dunia. Coba tengok korban akibat berlebihan mengonsumsi narkoba, narkotik, sabu-sabu, morfin, pil koplo, rokok, dan miras yang selalu bertambah setiap tahunnya. Moral dan etika generasi muda pun menjadi rusak karenanya. Untuk menanggulanginya, pemerintah akan mencanangkan hukuman mati bagi siapa saja yang bergaul dengan narkoba. Jadi, kalau barang semacam itu dinyatakan dilarang, mengapa tidak disegel dan ditutup saja pabriknya.

Jikalau legalisasi ganja menjadi diratifikasi, pemerintah harus berani menanggung konsekuensinya. Mau jadi apa bangsa ini jika sabu-sabu, narkoba, morfin dibiarkan beredar di mana-mana,pemabuk bebas minum miras di mana saja, belum lagi masyarakat leluasa menikmati ganja. Di jalan, terminal, sekolah, kampus, dan tempat-tempat umum lainnya tanpa memedulikan tempat yang tepat untuk mengonsumsinya. Pemerintah perlu berpikir sepuluh kali bahkan lebih untuk melegalkan ganja karena ini menyangkut masa depan bangsa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta