Senin, 05 Juli 2010

ISL Perlu dipromosikan

Dimuat di Harian Jogja, 17 Desember 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


 Dua tahun sudah Indonesian Super League (ISL) hajatan akbar sepak bola Indonesia digelar. Berbagai perbaikan dilakukan PSSI untuk membangun kemandirian dan profosionalitas klub sepak bola tanah air. Mulai dari pembentukan badan hukum yang membuat klub harus mandiri secara financial dan melepas ketergantungan APBD, Infrastruktur sesuai standar internasional, sertifikasi pelatih berlisensi A, dan pembinaan tunas muda setiap klub untuk menyiapkan selapis generasi ke depan. 

Akan tetapi, ada yang menarik dari aturan baru PSSI hasil adopsi kode etik AFC, mengenai transfer atau kepemilikan pemain asia setara dengan pemain domestik ditambah satu pemain dapat dimainkan di Liga Champions Asia (LCA). Regulasi baru ini membuat kebijakan masing-masing klub gencar memburu pemain benua asia. Tak heran negeri yang dianggap sepak bolanya lebih maju ketimbang kita seperti Iran, Jepang, dan negari jiran ASEAN menjadi targetan. Walhasil kuartet Singapura seperti Nor Syah Alam, Riduan (Arema), Mustafic Fachrudin, Bhaihaki Khaizan (Persija), Amir Syah Reza (Persiba) kini merumput di Indonesia. Sebelumnya sudah ada Phaitoon Thiabna (Persijap) dan Roby Gaspar (Persema) yang berlaga di ISL. Tentu, datangnya mereka kita harapkan mengangkat kualitas sepak bola nasional. Serta menarik perhatian kuli berita Internasional. Macthday pembuka Arema kontra Persija kabarnya diliput empat wartawan negeri Singa. Secara tidak langsung sorotan wartawan ini dapat mengenalkan dan mempromosikan ISL pada khalayak manca. 

 Jika penulis cermati, sebenarnya daya tarik ISL bukan terletak pada regulasi baru PSSI yang berdampak maraknya pemain Asia eksodus ke nusantara. Akan tetapi, antusiasme dan fanatisme penonton yang memadati stadion setiap pertandingan membuat pemain asing tertantang dan merasa “dihargai” berlaga di ISL. Hal ini tak banyak ditemui di kompetisi sepak bola Asia lainnya. Nilai plus lainnya ialah hampir meratanya kualitas pemain membuat sulitnya memprediksi kampium liga super, hal ini memberikan peluang klub tetap sama besar mencapai tangga juara. Secara psikologis perihal ini akan berpengaruh bagi pemain yang merumput di ISL. Kendati secara nonteknis aturan PSSI, seperti transfer pemain dan ketegasan pemberian sanksi oleh PSSI masih perlu dibenahi. Berpijak dari pemikiran di muka, agar pemain bintang Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika latin tertarik menjajal kompetisi kita, ISL perlu dipromosikan. Kiatnya, PSSI dapat menghelat turnamen pramusim dengan mengundang klub asing. Selain menambah pengalaman bertanding, turnamen tersebut dapat mengangkat daya tawar klub ISL pada kontestan lain. Thailand dan negeri Asia timur lainnya sudah mempraktikkannya dengan mengundang klub Inggis. 

Kedua, perekrutan pelatih ternama akan mempermudah transfer pemain bintang untuk masuk. Kesemuanya dapat mudah dilakukan jika PSSI serius mengelola kompetisi secara profesional, dengan mereformasi regulasi dan aspek teknis lainnya yang masih berlubang. Penulis hanya bisa berharap, hendaknya setiap perhelatan ISL menjadi pelajaran perbaikan demi kemajuan sepak bola kita. Bravo sepak Indonesia. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa UNY

Menerka Alasan Golkar Berkoalisi

Dimuat di Rubrik Jagongan Harian Jogja, 23 Oktober 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Kemenangan Aburizal Bakrie (Ical) di Munas Pekan baru, Riau berdampak pada sikap politik Golkar lima tahun ke depan. Dapat diterka kendaraan politik orde baru ini merapat ke pemerintah. Kendati bargaining power atau daya tawarnya lemah, namun kedekatan personal Ical dengan SBY menjadikan peta koalisi bertambah dan dapat dipastikan pembagian jatah kabinet kian ramai. Hal ini diperkuat pernyataan Akbar Tanjung (dewan pertimbangan Golkar) yang siap mengajukan kader terbaiknya mengisi kabinet Indonesia bersatu jilid II.

 Pernyataan politik partai Beringin ini semakin mempertegas tabiat partai ini tak dapat jauh dari kekuasaan. Tampaknya partai yang mulai ikut pemilu sejak 1972 ini mengidap penyakit amnesia sejarah. Bagaimana tidak? Apakah koalisi dengan Demokrat di pemerintahan 2004-2009 tidak memberikan pelajaran! Saat itu terjadi tarik ulur kepentingan antara Golkar dan Demokrat, belum lagi klaim keberhasilan antara SBY dan JK menjelang pemilu 2009. “Peristiwa” tersebut mengindikasikan Golkar tak mau kalah untuk urusan kekuasaan. Golkar di bawah nahkoda baru tak jauh berbeda dengan periode lalu. Ical seperti JK. Bedanya, bergabungnya Golkar ke pemerintah akan menjadikan Ical berada dalam bayang-bayang SBY. Penuturan Ical bahwa mengawasi kinerja pemerintah tak harus menjadi oposisi dan dapat dilakukan dalam pemerintahan dengan mengritisi dan menolak kebijakan yang tak populis atau pro rakyat, justru sangat kontradiktif. Jika kader partainya yang mengisi kabinet terlibat pembuatan policy atau kebijakan serta kader Golkar lain mengritiknya, bukankah sama dengan menjilat ludah sendiri! Apalagi suara legislatif dimiliki Demokrat. 

Tentu proses kontrol lebih efektif dilakukan di luar lingkaran kekuasaan dengan mengagitasi masyarakat dan memanfaatkan media massa sebagai watch dog atau pilar demokrasi keempat, agar terjadi balance antara eksekutif dan legislatif. Semoga pilihan Golkar koalisi bukanlah pragmatis. Akan tetapi, mari kita lihat sisi lain keputusan Golkar untuk terlibat dalam pemerintahan. Penulis memprediksi ada tindak lanjut koalisi ini untuk memenangkan pemilihan daerah (pilkada) 2010. Golkar sadar suara konstituennya di”curi” Demokrat dalam pemilu parlemen April silam. Oleh sebab itulah, partai tertua ini ingin mengambil kembali suara rakyat dengan membonceng rivalnya yang kini tengah naik daun. Akankah ini berhasil? Bisa jadi. Jika melihat tipikal masyarakat umum, pilihan mereka selalu berubah dalam setiap perhelatan pemilu. Melorotnya suara Golkar dan menanjaknya suara Demokrat hampir 300 persen ketimbang pemilu 2004 adalah contohnya. Artinya proses demokrasi kita masih terpukau oleh bentuk dan khalayak ramai belumlah dikatakan pemilih rasional. Berkoalisi artinya ikut berkontribusi di pemerintahan dan mengurusi rakyat. Dengan demikian kader Golkar akan banyak show up ke publik untuk menarik perhatian konstituen serta memperbaiki citra partai. Maka implikasinya koalisi Golkar adalah pertaruhan eksistensi partai ke depan, sekaligus tantangan bagi Ical. 

Koalisi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk memperkuat pemerintahan yang muaranya ialah efektifitas kebijakan yang berpihak pada rakyat. Golkar tidak akan besar, manakala berpandangan satu, dua, atau lima tahun. Golkar harus bervisi ke depan dengan perencanaan strategis yang matang. Partai didirikan untuk menampung aspirasi dan idealisme setiap warga negara, bukan gerbong semu sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa

Syifaul Qulub (Obat Hati)

Ramadhan tahun ini saya mengikuti kajian seputar syifaul qulub atau obat hati. Saat itu Ustad Sholihun bertindak sebagai pemateri. Sebagai tanggung jawab dakwah, akan saya bagikan sejuput wawasan yang penulis peroleh. Berkisar tentang hati sebagai salah satu istrumen penting manusia yang menjadikan mula segala asal muara tindakan manusia, selain akal. Ajaran Rasulllah pun ketika pertama kali mensyiarkan dakwah Islam adalah menyentuh hati dengan tauhid. Tempat bersemayam keyakinan. Hal itu dilakukan selama 13 tahun dakwah Islam di Makkah.

Sepanjang waktu itu, hanya mengomentari hal fundamen atau mendasar seperti aqidah, syari’at, dan akhlak. Pembersihan hati dengan tauhid (manunggaling kawula gusti) inilah yang menjadikan seruan Islam yang diusung Nabi Muhammad sukses. Muhammad sebagai the chosen people, berhasil menyatukan ragam kabilah penduduk Makkah. Tauhid ini pula yang meleburkan segala kejahiliahan dan merubah sikap seseorang sebagai manifestasi keberimanan. Jika kita renungi sebab musabab tersumbatnya hati ialah; pertama, pengagungan pada aku dan makhluk. Jika ini terjadi, akan berimbas pada prioritas insan pada duniawi dan mengabaikan akhirat. Sebagai contoh, kesombongan Abu Jahal dan Abu Lahab yang tak mengakui ajaran Muhammad saw. Perkara lain yang patut direnungi ialah panggilan adzan subuh. Ajakan sholat lebih baik daripada tidur (pilihan akhirat) masih kita abaikan dengan memilih tidur (pilihan dunia). Contoh lain ialah kita dapat meneladani sikap Abu Bakar. Mertua Rasulullah tersebut, terlepas semua penghalang hatinya. 

Rumah Pensil Publisher

Ketika Rasulullah wafat, kita dapat membandingkan sikap Umar bin Khatab dan Abu Bakar. Saat Muhammad saw meninggalkan sahabat. Umar mengacungkan pedang seraya berkata “siapa yang mengatakan Muhammad mati, ia akan berhadapan denganku”. Abu Bakar tampil dan berbicara “barangsiapa menyembah Muhammad ia telah mati. Akan tetapi siapa saja yang menyembah Allah, sungguh ia Maha hidup”. Kemudian Umar pun tersadar akan itu. Peristiwa di muka mencerminkan segala tambatan hati Abu Bakar pada aku dan makhluk telah tuntas. 

Kedua, yaitu hubus syahwat (cinta keinginan). Jika kita tak pandai mengelola keinginan, syahwat itu akan menjerumuskan kita. Maka keinginan kita haruslah didasari kefahaman (al ilmu qabla amal). Jika orang takut kepada Allah, siapapun akan takut kepadanya. Namun, jika seseorang takut pada makhluk, ia akan dipermainkan. Nafsu tersebut harus kita atur. Kita bisa belajar pada Abdullah bin Umar. Ia ridho hidupnya diatur oleh Islam. Dalam dirinya terdapat nafsu mutma’inah. Saking cintanya dalam berbicara dan duduk pun ia meniru gaya Rasulullah. 

Oleh sebab itu, ibadah hati adalah obat mujarat untuk membunuh kotoran dalam rongga dada kita. Karena penyakit fisik itu disebabkan oleh penyakit hati. Maka, ibadah hati jauh lebih berat dari ibadah fisik, ibadah hati jauh lebih indah dari amalan fisik, ibadah hati jauh lebih besar pahalanya ketimbang amalan fisik. Sebagai contoh, orang merenungi ciptaan Allah dan menimbulkan tauhid, jauh lebih besar pahalanya daripada sholat semalam. Ibadah hatilah yang menggerakkan amalan fisik. Syekh Akhmad Yasin, sosok yang kuat hatinya. Meskipun buta ia mampu bergerak mengajar ilmu dan berjuang bersama rakyat Palestina. Kita refleksi bersama. Bagaimanakah ibadah hati kita? 

Vivit Nur Arista Putra
Pemimpin Redaksi Buletin PROGRESS

Kenapa Harus Pendidikan Profetik

Dimuat di Buletin PROGRESS UKKI/ Edisi Special Ospek/Agustus 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



Pendidikan profetik adalah pendidikan yang merepresentasikan nilai-nilai kenabian. Nabi adalah wakil Allah dan manifestasi Al qur’an. Oleh sebab itu, rujukan kita adalah firman Allah yang diabadikan dalam Al qur’an dan sunah nabi. Profetik etimologinya dari bahasa Inggris, yakni prophet berarti nabi. Wacana profetik diutarakan oleh Kuntowijoyo, seorang sejarawan, yang membahasakan teks-teks langit menjadi diksi (pilihan kata) yang mudah difahami manusia. Kuntowijoyo menyuguhkan tiga terminologi dalam profetik, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ia terinspirasi kalam Illahi, Q.S. Ali Imran: 110. “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mengajak pada yang ma’ruf, mencegah kemungkaran, dan beriman pada Allah.” 

Budayawan tersebut menyimpulkan tiga hal, setelah manusia terlibat pada realitas masyarakat, pertama manusia haruslah menyuruh kebajikan pada sesama, humanisasi. Kedua, membebaskan (liberasi) atau menolak kemungkaran dan bentuk kejahiliahan. Ketiga, tu’minunabillah, beriman pada Allah (transendensi). Lantas siapa manusia yang dimaksud memiliki kans besar untuk melakukannya? Para mahasiswa. Apa alasannya? Dasarnya jelas. Mahasiswa ditempatkan segaris sepemaknaan dengan Nabi. Mahasiswa mendapatkan ruang pencerahan. 

Jika Nabi tercerahkan oleh wahyu, mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Karena tidak semua orang dapat mengaksesnya. Keterlibatan awal ini harus diikuti dengan humanisasi -memanusiakan manusia- tak sekadar rekan kampus semata, namun juga melakukan rekonstruksi sosial kemasyarakatan. Liberasi atau pembebasan dari isme atau ajaran yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Keduanya harus dibingkai dengan nilai transendensi yang kuat. Nilai itu adalah iman. Maka, jika kalian para mahasiswa baru hanya fokus studi, dolan sana, dolan sini tanpa peduli dengan realitas sosial, kalian menyalahi fitrah (ketentuan) kalian sebagai mahasiswa profetik.

 Di era kini kita dapat memilah tipe-tipe mahasiswa. Tipe pertama, aktivis organisatoris. Model ini peka terhadap isu sosial dan berikhtiar merubah sesuai tuntunan ideologinya. Kedua, mahasiswa study oriented kuliah, sikapnya cuek dan tidak terlibat dengan realitas, karena lebih memilih sibuk mengurus dirinya (egois). Ketiga, mahasiswa tanpa arah (disorientasi). Tidak memiliki pilihan jelas di kampus (oportunis). Krisis identitas, karena terhambatnya proses pencarian jati diri. Dan bisa dibilang potensial untuk direkrut sebagai “calon pengantin” oleh Noordin paling top. Pendidikan profetik adalah metode paling pas untuk memoles mahasiswa baru dengan segala aktivitasnya. Sebab, sandaran ideologi yang kuat, akan menjadi kompas penentu arah apa yang harus difikir dan apa yang harus ditindak olehnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY

Memaknai Hijrah

Dimuat di Buletin INTRO KAMMI UNY, Agustus, 2009 

Hijrah bermakna berpindah tempat. Lebih tepatnya berpindah dari segala keburukan menuju kebajikan. Adapun rukun hijrah yaitu ada tempat yang ditinggalkan dan ada muara yang dituju. Inilah yang dilakukan Muhammad saw cs, ketika tak tahan ditindas kafir Quraish. Hijrah saat itu dari Makkah beranjak ke Madinah. 

Jika ditelisik langkah ini dilakukan untuk meracik strategi dengan membangun kekuatan psikologis dan basis massa kemudian melakukan metamorfosa sosial. Sebab, pascahijrah terjadi penaklukan Makkah “Fathul Makkah.” Nabi pun berkuasa di sana dan melapangkan dirinya menyebarkan dakwah Islam. Selain berpindah tempat, secara sifat hijrah berarti merubah. Gelap menjadi terang. Begitupun yang dialami mahasiswa baru saat ini. Memutuskan hijrah kuliah, dari nun jauh perantauan untuk merumput ilmu di kota pendidikan. Hilir hijrah mahasiswa itu bernama kampus. Tempat peraduan dan ruang pencerahan. Asa menggumpal untuk merubah diri dengan cita membahagiakan orang tua, wali, dan mengabdi pada ibu pertiwi.

Rumah Pensil Publisher

Spirit hijrah itu, hendaknya dapat menjiwai proses pematangan di kampus. Karena bagaimanapun mahasiswa adalah avant garde (garda depan) transformasi sosial. Jikalau ditinjau lebih rijit lagi, hijrah atau berpindah, tak hanya bergeraknya fisik ke tempat lain. Namun, juga bergantinya fikiran, hati, dan kelakuan yang menggariskan perbedaan. Sebagaimana kata Umar bin Khatab “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan” (H.R. Ibn Hajar). Begitu pun pesan dari langit yang menegaskan “Dan perbuatan dosa, maka jauhilah” (Muddatsir: 5) ialah esensi hijrahnya. 

Ibrah atau pelajaran lain yang dapat disadap dari peristiwa hijrah ialah perubahan cara pandang atau world view kematangan berfikir yang mengimbas pada sikap kedewasaan adalah yang paling diharapkan. Sebab, setelah itu mahasiswa akan mentas di kampus untuk melakukan rekonsiliasi sosial. Ikhtiarkan dan panjatkan do’a demikian, karena Allah tak akan merubah kondisi suatu kaum sebelum mereka berikhtiar merubahnya sendiri (Q.S. Ar Rad’u: 13). Hidup mahasiswa.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa

Membangun Kesadaran Mahasiswa

Dimuat di Buletin PROGRESS UKKI UNY, Agustus, 2009 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Orientasi Studi Pengenalan Kampus dua pekan lagi. Fase yang harus dilalui mahasiswa sebagai medium tegur sapa dengan kampus sebelum berinteraksi dengannya. Dan genap empat tahun sudah, Ospek UNY mengambil tema pendidikan profetik. Tema besar yang mulai dilaunching di era Sujatmiko Dwi Atmaja, Presiden BEM Rema UNY 2006. Apa latar dibalik bertahannya tema tersebut. Seberapa pentingkah bagi mahasiswa baru untuk menerapkannya, sebagai konsekuensi logis dari makhluk kelas menengah di masyarakat yang diberikan kesempatan Allah, memperoleh pencerahan di kampus. Berikut tulisan yang kami sarikan dari hasil diskusi dengan beberapa tokoh mahasiswa UNY. 


Pada dasarnya tema ini diambil untuk memberikan proses penyadaran pada mahasiswa baru akan perannya di kampus, yang dituntut tidak hanya belajar namun juga harus melakukan perubahan sosial. Ihwal ini dapat kita qiyaskan –samakan- saat baginda Rasul Muhammad bertemu dengan Allah di sidratul muntaha (menara langit ke tujuh). Dan puncak keinginan seorang hamba ialah bertemu dengan sang penciptanya. Akan tetapi, Muhammad memutuskan untuk kembali ke bumi, atas dasar kesadaran terhadap realitas primitif yang amoral (tidak bermoral). Manusia di bumi hidup tanpa aturan dan keadilan. Pijakan fikiran itulah yang membuat Nabi melakukan transformasi sosial. Ingin merubah, merubah, dan merubah. Sebab dosa besar para Nabi adalah meninggal umatnya. Karena inilah tanggungjawab moral keberimanan Nabi (makhluk) pada sang Khaliq. Nabi sadar, bahwa di alam semesta ini ada yang menciptakan. Subjek pencipta itulah yang patut disembah. Maka jika ada yang disembah, pasti ada yang menyembah. Subjek penyembah itulah manusia (selaku barang ciptaanNya). 

Oleh karena itu, adalah konsekuensi bagi makhluk untuk patuh dan taat kepadaNya, samiqna wa ataqna (kami dengar dan kami taat). Ketaatan itu adalah manifestasi (perwujudan) dari iman. Maka, mahasiswa hendaklah menempatkan dan memosisikan dirinya layaknya Nabi. The choicen people, manusia pilihan yang beruntung mendapatkan pencerahan di alam kampus. Maka secara nalar, sikap yang harus dilakukan mahasiswa ialah terlibat dengan masyarakat kampus dan khalayak di luarnya. Gelisah akan ketimpangan dan berikhtiar untuk merubahnya. Hal inilah yang juga dirasakan Nabi mencermati situasi dan kondisi di tempatnya. Untuk itulah sebelum merubah kondisi secara kompleks, diperlukan -apa yang disebut Kuntowijoyo- humanisasi. Memanusiakan manusia, menyadarkan akan fitrah (ketentuan) awalnya. Kalianlah mahasiswa selaku manusia-manusia pilihan itu, middle class. Semakin banyak mahasiswa sadar akan hal ini, semakin mudah bagi kita untuk merubah kondisi masyarakat yang diinginkan. 

Kesadaran awal di muka akan diinternalisasikan dalam muatan acara Ospek 18-23 Agustus yang rencananya akan menghadirkan Ari Ginanjar Agustian, Adyaksa Dault (Mentri Negara pemuda dan olahraga), dan Taufiq Ismail. Kesadaran harus dimuarakan pada action. Tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan mengejawantah menjadi karakter. Karakter ini fondasi dasarnya ialah jalan keNabian. Karekter inilah yang diinginkan dan mencoba dibentuk di UNY. “Jadi bukan hanya jargon tapi tindakan” tandas Pidi Winata, Presiden BEM Rema UNY 2009. 

Langkah selanjutnya ialah liberasi (langkah pembebasan) atas segala thaghut (sembahan sesat) yang masih dianut, egoisme kesenangan pribadi, study oriented, dan cuek bebek terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya, acuh tak acuh terhadap kondisi bangsa dan zaman serta hanya foya-foya dengan fasilitas di Jogja. Buang semua itu sobat, itu karakter mahasiswa yang bopeng sebelah. Bukan karakter mahasiswa UNY. Jadilah mahasiswa yang berkarakter profetik. Humanisasi, liberasi ialah tahap kedua dan ketiga yang dibangun atas dasar kerangka transendensi dalam konsep profetik. Transenden bermakna melampaui, beyond. Melampaui segala kebenaran yang disadap indera dan akal fikiran manusia. Segala asal muara tutur kata dan sikap manusia. 

Karena pada ruang pelampauan itu, ada kebenaran hakiki yang manifest (mewujud) dalam Al qur’an dan As sunnah, shuhuf-shuhuf (lembara-lembaran) yang dititahkan Allah ta’ala. Yang harus kta patuhi sebagai bentuk keberimanan kita. Dan sekali lagi menjadi konsekuensi logis (tanggungjawab yang dapat dicerna) bagi mahasiswa untuk terlibat dan merubah ketimpangan kondisi yang ada. Selamat datang di kampus Inspiratif, selamat berjuang untuk merubah, dan selamat menjadi mahasiswa yang berkakter. I love you full

Vivit Nur Arista Putra 
Pemimpin Redaksi PROGRESS UKKI UNY

Transisi KAMMI DIY


Desentralisasi merupakan salah satu kiat menjadikan pemerintahan berjalan efektif. Sebab, skup kerja lebih merucut dengan otonomi yang lebih. Dari pemerintahan daerah (provinsi) sampai tingkat kabupaten. Sehingga kepekaan sosial dan kerja pemerintah lebih fokus. Atas dasar arus perubahan itulah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) DIY melebur dengan dibentuknya KAMMI Daerah Sleman, Bantul, Kota Jogja, serta mendeklarasikan berdirinya KAMMI Wilayah DIY. Langkah ini dilakukan agar proses pengawalan kebijakan pemerintahan, pemberdayaan, dan kontribusi sosial lebih concern. Imperatif muktamar VI KAMMI di Makassar memberikan KAMMI DIY tenggat waktu enam bulan pascamuktamar untuk transisi. Maka dihelatlah lokakarya bulan Mei 2009 untuk menyiapkan panduan dan rencana aksi transisi. 

Hasil forum itulah yang menggiring ke musyawarah daerah (Juni 2009) yang memutuskan untuk memberikan amanah kepada Nurrahman (UGM) menjadi ketua KAMMI Daerah Sleman, Bahtera (UIN) mengemban ketua KAMMI Kota, dan Sigit Nursyam (UNY) bertindak sebagai ketua KAMMI Bantul serta Khalif (UMM) didaulat menjadi ketua KAMMI Daerah Magelang. Sebelum itu diselenggarakan training kade lanjut atau daurah marhalah III di Jogja yang diikuti sembilan kader KAMMI DIY. Desentralisasi menjanjikan mekanisme perizinan lebih mudah atau satu pintu dan hubungan negara dengan warna negara menjadi kontrak sosial bukan transaksional. Selain itu, poin penting yang dapat diunduh dari desentralisasi ialah menjadikan transisi kepemimpinan dari akar rumput merampah ke tingkat nasional lebih efektif, peka, dan mafhum problematika yang terjadi ditempatnya. Tak terkecuali regenerasi kepemimpinan di KAMMI. Dari komisariat, KAMMI daerah, wilayah, sampai level nasional. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI