Selasa, 06 Juli 2010

Menyoal Para Plagiator

Dimuat di Lampung Post, Senin, 1 Maret 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



 SEBULAN terakhir aksi plagiat kembali mengemuka. Tak tanggung-tanggung, copy-paste ide tertulis tersebut dilakukan kalangan akademisi yang ingin mencapai derajat profesor. Peter F. Drucker dalam bukunya Masyarakat Pascakapitalis mengatakan pengetahuan menjadi faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru (baca komunitas kampus), di mana sumber ekonomi dasar bukan lagi modal (kapital), sumber daya alam bukan pula tenaga kerja, melainkan pengetahuan. Malangnya, insan akademik yang hendak memperoleh julukan guru besar justru bertindak lebay atau melampaui batas dalam meraih titelnya tanpa melalui prosedur ilmiah. Kondisi ini membuat sebagian khalayak meragukan kapasitas seorang profesor di dunia kampus. Bahkan ihwal ini sempat dilontarkan menteri pendidikan Muhammad Nuh yang sedikit sanksi akan kualitas penyandang gelar doktor di Indonesia. Dugaan Mendiknas ini bukan tak berdasar. Minimnya penelitian dan karya berwujud buku atau karya tulis yang dihasilkan sekaliber guru besar, merupakan salah satu bukti pudarnya tradisi ilmiah intelektual kampus. 

 Jika diusut, ada beragam sebab yang membuat civitas academica berpikir pragmatis dan mengharapkan hasil karya serbainstan atau siap saji. Pertama, Undang-undang Guru dan Dosen No.14/ 2005 menawarkan iming-iming berupa tunjangan struktural dan fungsional bagi seorang guru besar menjadikan setiap dosen ngebet meraihnya. Orientasi kompensasi berlebih ini kadang kala mengabaikan sisi kompetensi yang seyogianya dikuasai sebagai prasyarat awalnya. Maka tak heran, dosen setingkat magister ingin segera naik level agar eksistensi atau keberadaannya di lingkungan sosial dan tambahan finansial segera diakui. Konstruksi arah pikiran seperti ini berdampak pada sikap dan tindakan pragmatis yakni mencomot persis gugus gagasan orang lain. Hal ini semakin dipermudah dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi yang melicinkan akses kerja seseorang. Ditambah lagi, kurang telitinya penguji dalam mengoreksi hasil garapan skripsi atau disertasi pendidik, tentu perkara ini membuka celah untuk memplagiat. Kedua, tidak tegasnya otoritas dalam menjerat kasus penjiplakan membuat plagiator beraksi leluasa tanpa efek jera. 

Padahal, UU No. 19/ 2002 Pasal 72 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, dan menjual kepada umum suatu ciptaaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta diancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta. Seakan-akan pemerintah dihadapkan pada dilema. Data yang dilansir sejumlah media massa memberi warta sebanyak 1082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan "guru profesional", seorang calon guru besar di Parahyangan, Bandung, dan dua dosen universitas swasta di Jogja yang memalsu tesisnya dengan mengkloning pokok pikiran mahasiswa S-1. Di satu sisi pemerintah harus bertindak tegas dengan menghentikan atau mencopot gelar yang diembannya. Di termin lain, institusi pendidikan masih membutuhkan kontribusi pendidik dan dosen bersangkutan karena minimnya tenaga pengajar. Mau tidak mau harus dimafhumi rentetan insiden pendidikan di muka memberikan hipotesis bagi publik akan matinya intelektualitas kampus. 

 Perguruan tinggi yang sejatinya diamanahi untuk mengemban tridharma yakni dharma pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat belumlah melaksanakan sepenuhnya. Dua aktivitas terakhir amatlah jarang dilakukan pemangku kepentingannya. Jika meneliti dan mencerahkan masyarakat saja alpa diupayakan, ini mengindikasikan minimnya kepekaan sosial serta kurangnya kepedulian terhadap nasib dan permasalahan khalayak ramai. Jika demikian, tak pantaslah sarjana, doktor, dan profesor disebut seorang intelektual. Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. Akhirnya patutlah kita mengejek mereka layaknya jargon iklan rokok. Pengin eksis, jangan lebay plis!. 

 Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY 

SBY dan Unjuk Rasa

Dimuat di Suara Merdeka, Selasa, 23 Februari 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Salah satu manifestasi reformasi ialah adanya kebebasan publik menyampaikan aspirasi, kritik, dan masukan pada penguasa tanpa tekanan balik rezim yang represif dan dilindungi undang-undang. Hal ihwal ini mengindikasikan demokrasi Indonesia semakin dewasa. Akan tetapi, atas nama demokrasi pula seseorang dapat menyampaikan pernyataan sikap seenaknya tanpa mempertimbangkan etika dan kepatutan norma. Penggalan kalimat di muka, agaknya cukup mewakili perasaan SBY ketika mengomentari aksi unjuk rasa mahasiswa bertepatan seratus hari pemerintahan kabinet Indonesia bersatu jilid II 28 Januari 2010 silam. Respon ini cukup wajar mengigat tindakan pendemo dianggap melecehkan dengan membawa kerbau bertuliskan SiBuYa dan bergambar SBY “turun” di bagian ekornya. Selain itu, massa juga meneriaki Yudhoyono dan Budiono maling serta membakar foto keduanya.


Di satu sisi, pernyataan sang jendral juga merupakan kebebasan menyampaikan opini pula, tetapi beda posisinya. Bagi massa, demonstrasi ialah wujud advokasi untuk mengawal demokrasi formal dan kebijakan pemerintah. Tetapi bagi presiden sikap mengeluh ini sudah kesekian kalinya dalam merespon tuntutan massa. Tak heran jika perilaku tokoh incumbent tersebut mendapat masukan banyak kalangan agar presiden jangan terlalu banyak merasa terdzolimi dan meminta iba pada khalayak ramai. Sebab, sikap itu terlalu naïf dilontarkan seorang RI 1 dan dapat menurunkan kewibawaan. Sebenarnya jika presiden tak berlebihan mereaksi, tanggapan publik terhadap tingkah polahnya tak sebesar ini. Justru ungkapan presiden tidak pada tempatnya itu, malah menjadi konsumsi media massa yang hilirnya menjadi bahan perbincangan berbagai lapisan masyarakat. Mencermati fragmen di muka, hendaknya presiden tak terlalu over dalam memberikan feed back terhadap aksi-aksi massa. Karena hanya menghamburkan energi dan mengurangi konsentrasi kerja. Biarlah publik yang menilai dengan akal sehat dan hati nuraninya. 

Di segi lain, masyarakat hendaknya juga dapat melestarikan demokrasi dengan beradab menyalurkan aspirasi. Sebab inilah tantangan bersama hidup di era keterbukaan dan demokrasi. Akhirnya ada baiknya merenungi ungkapan bijak dari salah seorang wakil DPR RI, Anis Matta. Bekerja di alam demokrasi ibarat tidur di samping rel kereta. Mau menunggu suasana tenang untuk tidur tidak akan bisa, karena kereta selalu lalu lalang setiap saatnya. Oleh sebab itu, kita perlu membiasakan berada dalam lingkungan gaduh agar dapat terlelap dan terus beraktivitas di hari berikutnya. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa

Pelantikan Pengurus BEM FIP UNY

Dimuat di Harian Jogja, 16 Februari 2010
dan Media Indonesia online Suara Anda Minggu, 14 Februari 2010



Pertengahan Febuari ini, akan menjadi hari bersejarah bagi pengurus baru Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (BEM FIP UNY). Sebab, Senin 15 Febuari 2010 bertempat di Gedung Abdullah Sigit Hall Lt.III FIP mereka secara resmi akan dilantik dan diambil sumpah jabatan untuk mengemban amanah baru. BEM sebagai wadah pengembangan softskill dan kompetensi mahasiswa diharapkan menjadi ruang metamorfosa dengan output insan pendidikan yang memberikan tawaran ide sekaligus arah yang kritis dan solutif atas problem pendidikan nasional kekinian.

Ketua BEM FIP terpilih, Hasbi Ashidiqie menjelaskan tahun ini lembaga yang diampunya akan fokus mengkaji isu ujian nasional (UN) yang sampai saat ini masih menyisakan polemik sebagai wujud evaluasi pendidikan. Selain itu, program advokasi dan pengawalan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional akan digalakkan serius tahun ini. Muaranya ialah menghasilkan tawaran ide konkret untuk merevisi UN yang dianggap mengeleminasi peran pendidik dalam mengevaluasi proses belajar mengajar. Upaya ini dilakukan sebagai manifestasi kepedulian mahasiswa FIP demi perbaikan sistem pendidikan Indonesia.

Adapun susunan acaranya ialah akan dimulai sambutan Dekan FIP Prof. Dr. Ahmad Dardiri dan Pembantu dekan III bidang kemahasiswaan Dr. Bambang Susatyo dilanjutkan sumpah jabatan yang akan dipimpin Amirudin Shafa (Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UNY) dan diakhiri doa penutup oleh Anggit Cahya Kurniawan selaku ketua Keluarga Muslim Ilmu Pendidikan (KMIP) FIP UNY.
Daftar pengurus organisasi mahasiswa FIP lebih lengkapnya ialah Hasbi Ashidiqie (Ketua BEM), Imam Purnomo (Ketua DPM), Anggit C.K. (Ketua KMIP), Endah Sri Rahayu (Ketua UKMF penelitian; Reality), Sigit (Ketua UKMF Musik Camp), Budi (Ketua Himpunan Mahasiswa atau Hima AP), Pati (Ketua Hima TP), Siti Nofitaningrum (Ketua Hima PLB), Sigit (Ketua Hima PLS), Jaka (Ketua Hima AKP), Galang (Ketua Hima BK).

Rencananya pascapelantikan ini panitia akan menghelat diskusi pendidikan bertema “Dari FIP untuk Inspirasi Pendidikan Indonesia”. Menghadirkan pembicara Prof. Dr. Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan DIY), Prof. Dr. Anik Ghufron (PD I Bidang Akademik FIP) dan Deni Hardiyanto (Pengamat Pendidikan dan dosen TP FIP).

Vivit Nur Arista Putra
Mahasiswa FIP UNY



Menyoal STTB (Bukan PSBB)

Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 8 Febuari 2010

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Belum selesai polemik ujian nasional. Insan pendidikan Yogyakarta dihadapkan pada persoalan baru yang mengundang pro kontra yakni pemberian Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) bagi peserta didik yang tidak lulus ujian. Gagasan yang dilontarkan Dewan Pendidikan DIY ini bertujuan sebagai pelengkap hasil UN, penyeimbang kompetensi serta wujud penghargaan bagi peserta didik yang tidak lulus ujian.

Selain itu, adanya STTB dapat meminimalisir terjadinya stres dan depresi bagi peserta didik yang tidak lulus ujian, karena dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta mengurangi angka putus sekolah. Menjadi pertanyaan bernarkah demikian? Ujian nasional (UN) memang memberikan tekanan psikologis peserta didik. Tetapi di aspek lain, dapat memantik untuk giat belajar.

Rumah Pensil Publisher

Jika tinjau dengan teori behavioristik dari Edward Thorndike, belajar merupakan proses terbentuknya asosiasi antarperistiwa yang disebut stimulus dengan respon. Stimulus ialah perubahan eksternal sabagai tanda untuk mengaktifkan individu. Begitupun UN dengan patokan angka kelulusan yang naik setiap tahunnya, akan menggerakkan peserta didik untuk bersungguh-sungguh belajar. Buktinya indeks kelulusan siswa dibeberapa kota naik setiap tahunnya.

Adanya STTB dikhawatirkan meruntuhkan tren positif ini. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sehubungan wacana penerapan STTB di satuan pendidikan. Pertama, jika ide ini jadi diimplementasikan justru akan menunjukkan tidak konsistennya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Standar kelulusan (passing grade) ujian nasional yang naik setiap tahunnya untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional akan menjadi percuma, karena tidak lulus ujian pun dapat melanjutkan jenjang lebih tinggi. Dampaknya mind set atau pola pikir anak didik pun akan ikut terpengaruh, adanya STTB malah membuat pelajar berleha-leha. Kenapa mesti belajar sungguh-sungguh jika gagal ujian dapat tetap meneruskan pendidikan. Selain itu, jika ujian nasional dikatakan sebagai evaluasi pendidikan kebijakan ini melangkahi amanat UU sistem pendidikan nasional (sisdiknas) BAB XVI Pasal 57 yang mengatakan evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Kedua, kendati disambut baik dinas pendidikan dan keolahragaan (Disdikpora) DIY, tetapi jika tidak mendapat dukungan maupun pengakuan dari sekolah dan perguruan tinggi di kota pendidikan ini, adanya STTB akan terasa percuma. Pasalnya standar hukum berupa surat keputusan (SK) atau peraturan daerah (Perda) yang menjadi dasarnya tidak kuat dan bertentangan dengan UU Sisdiknas Pasal 61 “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.” 

Di satu sisi dengan waktu yang minim kebijakan lokal yang rencananya diaplikasikan sebelum ujian nasional 22 Maret 2010 amatlah menguras waktu dan energi pengambil kebijakan di DIY. Bagi penulis, lebih baik pemerintah memfokuskan penyelenggaraan ujian nasional secara arif dan menyelesaikan berbagai permasalahan seperti pendistribusian soal, kongkalikong guru-murid, dan problem lainnya yang masih berlubang. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Impeachment? Tidaklah!

Dimuat di Bernas Jogja, Senin 1 Febuari 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


 Jauh-jauh hari setelah Demokrat memenangkan pemilu legislatif disusul kembali berkuasanya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di level eksekutif, banyak pengamat politik mengatakan stabilitas pemerintahan akan terjamin. Hal ini memungkinkan program pembangunan lima tahun pertama dapat dilanjutkan secara fokus tanpa gangguan dari oposisi. Kenyataannya kini justru berbalik dari perkiraan semula. Adanya skandal Bank Century yang melibatkan Menteri keuangan dan Wakil presiden, menjadi celah yang dimanfaatkan oposisi untuk mengritik kabinet Indonesia bersatu jilid II. Bahkan jika pansus menemukan bukti indikasi korupsi dari kesalahan kebijakan yang diambil dan melibatkan pucuk tertinggi pemimpin negara, presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan (impeachment).

 Maka tak heran presiden pun merasa terusik dengan munculnya isu impeachment dalam tiga pekan terakhir. Pertemuan di Bogor yang dihadiri pimpinan pejabat tinggi lembaga negara pun mencuatkan spekulasi banyak pihak karena silaturahmi itu dilakukan ditengah pembahasan kasus Century yang belum tuntas. Akan tetapi, keputusan impeachment yang digadang-gadang sebagian kalangan memiliki ruang kemungkinan yang sangat kecil jika ditinjau dari syarat dan prosesnya. Menurut pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 Presiden dapat dilengserkan jika terbukti melanggar hukum yaitu melakukan korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, penghianatan negara dan tindak pidana lainnya. Perbuatan korupsi uang negara sangatlah tidak mungkin dilakukan Presiden mengingat telah terjadi pelimpahan kebijakan kepada Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan yang membail out (memberikan dana talangan) ke Bank Century senilai 6,7 Trilyun yang berasal dari uang negara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kebijakan berdalih penyelamatan Bank kecil ini sah secara hukum karena Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No.4/2008 tidak diterima atau ditolak oleh ketua DPR pada saat itu. Tetapi barulah pasca 18 Desember 2008 Perpu ini tidak berdasar hukum karena DPR sudah bersikap dengan meminta mengganti dan membuat rancangan undang-undang ulang kepada pemerintah. 

Sedangkan untuk Boediono bisakah pemakzulan dilakukan mengingat ketika dana talangan dikucurkan ia berperan sebagai Gubernur BI, bukan wapres. Sedangkan dilihat dari prosesnya, impeachment sangat imposible untuk dieksekusi. Kenapa? karena kuatnya partai pemerintah (Demokrat) di tingkat legislatif ditambah dukungan mitra koalisi yang mencapai 70 persen lebih. 

Padahal untuk mengajukan pemakzulan harus disetujui dua per tiga anggota DPR sebelum diserahkan dan diproses hukum oleh Mahkamah Konstitusi dan diberikan ke MPR (Pasal B UUD 1945). Sejarah mencatat di negeri ini tidak ada impeachment. Indonesia lebih mengenal mosi tidak percaya. Tata cara impeachment baru dibahas MK satu bulan terakhir. Harmoko ketua MPR 1998 mengeluarkan mosi tidak percaya kepada Soeharto tetapi itu secara pribadi, akhirnya pemimpin orde baru itu lengser ing keprabon. Begitupun tahun 2001, dialami Gus Dur ketika diminta mundur oleh MPR. Tetapi bagi Yudhoyono maupun Boediono, ruang kemungkinannya sangat kecil untuk dimakzulkan. 

 Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

100 Hari, Terjebak Istilah Sendiri

Dimuat di Harian Jogja, Sabtu, 30 Januari 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Selesainya kadar waktu program kerja seratus hari pemerintah disambut ribuan demonstran di penjuru tanah air. Massa yang terdiri dari aktivis mahasiswa, intelektual, buruh dan tani menilai rezim SBY-Boediono gagal karena tak mampu menuntaskan program yang dicanangkannya. Menjadi pertanyaan apakah para demonstran mengetahui program kerja pemerintah hingga tolok ukur keberhasilannnya? Ataukah karena ketidakfahaman itu, ribuan massa mudah diprovokasi oposisi untuk turun ke jalan. Terlepas dari itu, kabinet Indonesia bersatu jilid II memang terlihat kurang gencar melakukan sosialisasi program kerjanya. Selain itu, program kerja pemerintah tenggelam lantaran media massa lebih banyak mengekspose kasus perseteruan KPK-Polri yang mengindikasikan adanya kriminalisasi pimpinan KPK dan mega skandal bank Century yang masih menyisakan tanda tanya. 

 Diakui atau tidak kedua kasus ini ditambah penandatanganan perdagangan bebas dengan China ditengah ketidaksiapan bersaing pelaku usaha kecil, memang membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap pemerintah. Imbasnya rakyat secara spontan menyimpulkan SBY-Boediono telah gagal memimpin bangsa dan menyejahterakan rakyatnya. Efek beruntun dari kekecewaan ini ialah menurunnya tingkat kepuasan terhadap pemerintah sebagaimana dilansir Indo Barometer dari 90,4 (Agustus 2009) menjadi (74,5 Januari 2010). 

Akan tetapi, tuntutan masyarakat ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Bagaimanapun demonstrasi ini adalah wujud kontrol sosial terhadap penguasa atas pelbagai kebijakannya. Justru pemerintah yang dirasa terjebak istilah yang dibuatnya sendiri dengan mengumandangkan program kerja seratus hari. Program yang terdiri dari lima belas program unggulan diantaranya (1) pemberantasan mafia hukum, (2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme, (4) ketersediaan listrik, (5) penataan tanah dan tata ruang, (6) peningkatan infrastruktur, (7) reformasi pendidikan, dan (8) koordinasi antara pusat dan daerah, tidaklah mungkin tuntas dalam seratus hari. Kendati program seratus hari sebagai fondasi, tetapi khlayak memandangnya terlalu abstrak dan tidak terukur. Sementara harapan publik terhadap program ini terlalu besar. 

 Sebenarnya istilah penggunaan seratus hari menurut sejarawan University Cambrige, Anthony Badger pertama kali dipakai Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika Serikat tahun 1933, ketika menargetkan bangsanya untuk lepas dari depresi ekonomi dengan mengambil kebijakan cepat dalam seratus hari pertama, kemudian besaran tempo itu diadopsi pemimpin-pemimpin besar dunia. Maka jangan salahkan rakyat jika program seratus hari tidak konkret malah menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Berpijak dari persoalan di muka, setidaknya ini menjadi pelajaran moral pemerintah agar tidak terlalu banyak menonjolkan citra, retorika, dan harapan-harapan semata melainkan kerja nyata. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa UNY

ACFTA Musibah atau Berkah?

Dimuat di Harian Jogja, 25 Januari 2010 

Maju kena mundur kena. Itulah mungkin gambaran pemerintah setelah memutuskan terlibat dalam ACFTA (Asean China Free Trade Agreement). Pasalnya kesepakatan perdagangan bebas dengan China mendapat reaksi keras dari pelaku usaha dalam negeri. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi usaha, industri, serikat kerja dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mendesak pemerintah dalam hal ini departemen perdagangan melakukan negosiasi ulang dengan China karena menganggap belum siapnya komoditas domestik untuk bersaing dengan produk negeri tirai bambu yang terkenal murah, dan kualitas pun setara dengan produk lokal. Di sisi lain jika pemerintah mengajukan renegosiasi dagang, kredibilitas di muka dunia Internasional akan dipertanyakan. Bahkan dapat mendapat sanksi, karena ACFTA masih bernaung di bawah WHO (World Trade Organization). Dampak lanjutnya akan mengikis kepercayaan negara manca terhadap Indonesia. Negosiasi ulang pun tak dapat dilakukan pada semua sektor. Maka pemerintah harus memilih sektor mana yang lemah dan dianggap kurang kompetitif di pasaran dalam negeri. 


Sebenarnya perjanjian perdagangan bebas ini sudah dirancang sejak 2002. Tetapi pemerintah kurang gencar menyosialisasikan dan merundingkannya dengan pelaku usaha. Sontak saja, mereka seperti disambar petir di siang bolong mendengar kesepakatan ini berlaku. Rasionalisasinya demikian, jika produk nasional kalah bersaing dengan produk asing, imbasnya industri dalam negeri akan bangkrut bahkan gulung tikar. Jika ini terjadi dampak sistemiknya akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besar. Tentu perkara ini akan membebani pemerintah. Berpijak dari hipotesis di atas. Proteksi atau perlindungan dan penjaminan terhadap keberlangsungan usaha lokal sangatlah diharapkan. Langkah ini dapat dilakukan dengan pemberian bantuan kridit modal kepada UMKM agar roda perputaran usaha dagang sektor riil dapat terus berjalan. 

Selain itu, perbaikan aspek infrastruktur dan peningkatan ketrampilan tenaga kerja lokal harus digalakkan. Lebih urgen lagi ialah menjamin pasokan energi listrik dan gas tak tersendat agar proses kerja dapat terus berlangsung dan tak merugikan rakyat. Adanya liberalisasi ekonomi memang menjadikan produk barang untuk kebutuhan masyarakat primer, sekunder hingga tersier penuh ragam. Akan tetapi, heterogennya ini akan menggerus kecintaan masyarakat terhadap produk pribumi. Bangsa yang mayoritas mengekspor bahan mentah ini akan disulap China menjadi barang jadi. Kemudian mengimpornya lagi ke Indonesia. Walhasil, negeri ini akan menjadi objek konsumen semata, dan menjadi produsen pun jauh dari asa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY