Selasa, 06 Juli 2010

Menyoal Para Plagiator

Dimuat di Lampung Post, Senin, 1 Maret 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



 SEBULAN terakhir aksi plagiat kembali mengemuka. Tak tanggung-tanggung, copy-paste ide tertulis tersebut dilakukan kalangan akademisi yang ingin mencapai derajat profesor. Peter F. Drucker dalam bukunya Masyarakat Pascakapitalis mengatakan pengetahuan menjadi faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru (baca komunitas kampus), di mana sumber ekonomi dasar bukan lagi modal (kapital), sumber daya alam bukan pula tenaga kerja, melainkan pengetahuan. Malangnya, insan akademik yang hendak memperoleh julukan guru besar justru bertindak lebay atau melampaui batas dalam meraih titelnya tanpa melalui prosedur ilmiah. Kondisi ini membuat sebagian khalayak meragukan kapasitas seorang profesor di dunia kampus. Bahkan ihwal ini sempat dilontarkan menteri pendidikan Muhammad Nuh yang sedikit sanksi akan kualitas penyandang gelar doktor di Indonesia. Dugaan Mendiknas ini bukan tak berdasar. Minimnya penelitian dan karya berwujud buku atau karya tulis yang dihasilkan sekaliber guru besar, merupakan salah satu bukti pudarnya tradisi ilmiah intelektual kampus. 

 Jika diusut, ada beragam sebab yang membuat civitas academica berpikir pragmatis dan mengharapkan hasil karya serbainstan atau siap saji. Pertama, Undang-undang Guru dan Dosen No.14/ 2005 menawarkan iming-iming berupa tunjangan struktural dan fungsional bagi seorang guru besar menjadikan setiap dosen ngebet meraihnya. Orientasi kompensasi berlebih ini kadang kala mengabaikan sisi kompetensi yang seyogianya dikuasai sebagai prasyarat awalnya. Maka tak heran, dosen setingkat magister ingin segera naik level agar eksistensi atau keberadaannya di lingkungan sosial dan tambahan finansial segera diakui. Konstruksi arah pikiran seperti ini berdampak pada sikap dan tindakan pragmatis yakni mencomot persis gugus gagasan orang lain. Hal ini semakin dipermudah dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi yang melicinkan akses kerja seseorang. Ditambah lagi, kurang telitinya penguji dalam mengoreksi hasil garapan skripsi atau disertasi pendidik, tentu perkara ini membuka celah untuk memplagiat. Kedua, tidak tegasnya otoritas dalam menjerat kasus penjiplakan membuat plagiator beraksi leluasa tanpa efek jera. 

Padahal, UU No. 19/ 2002 Pasal 72 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, dan menjual kepada umum suatu ciptaaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta diancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta. Seakan-akan pemerintah dihadapkan pada dilema. Data yang dilansir sejumlah media massa memberi warta sebanyak 1082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan "guru profesional", seorang calon guru besar di Parahyangan, Bandung, dan dua dosen universitas swasta di Jogja yang memalsu tesisnya dengan mengkloning pokok pikiran mahasiswa S-1. Di satu sisi pemerintah harus bertindak tegas dengan menghentikan atau mencopot gelar yang diembannya. Di termin lain, institusi pendidikan masih membutuhkan kontribusi pendidik dan dosen bersangkutan karena minimnya tenaga pengajar. Mau tidak mau harus dimafhumi rentetan insiden pendidikan di muka memberikan hipotesis bagi publik akan matinya intelektualitas kampus. 

 Perguruan tinggi yang sejatinya diamanahi untuk mengemban tridharma yakni dharma pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat belumlah melaksanakan sepenuhnya. Dua aktivitas terakhir amatlah jarang dilakukan pemangku kepentingannya. Jika meneliti dan mencerahkan masyarakat saja alpa diupayakan, ini mengindikasikan minimnya kepekaan sosial serta kurangnya kepedulian terhadap nasib dan permasalahan khalayak ramai. Jika demikian, tak pantaslah sarjana, doktor, dan profesor disebut seorang intelektual. Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. Akhirnya patutlah kita mengejek mereka layaknya jargon iklan rokok. Pengin eksis, jangan lebay plis!. 

 Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY 

Tidak ada komentar: