Selasa, 06 Juli 2010

Facebook dan Kebebasan Media

Dimuat di Harian Jogja, Jum'at, 5 Maret 2010 

Dua bulan terakhir ada beberapa anak sekolah dan seorang mahasiswi hilang yang merupakan korban situs jejaring sosial facebook. Demikian headline media massa melansir wartanya. Bagi penulis diksi atau pilihan kata tersebut tidaklah pas. Pasalnya, facebook ialah alat atau benda mati dan netral sebagai medium perantaraan komunikasi di dunia maya. Jika ada orang hilang kemudian menyangka insiden ini disebabkan oleh situs facebook tentulah ini tidak tepat. Kabar ini terus disiarkan di media cetak dan elektronik yang muaranya akan membentuk opini publik. Jika tak dikoreksi sangkaan ini akan mengendap menjadi nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan menyimpulkan stigma negatif atau cap buruk bagi pengguna facebook. Bahkan menurut komisi nasional perlidungan anak pada kisaran waktu Januari hingga Febuari kantornya menerima 100 aduan dari remaja terkait orang tua dan facebook (FB). Mayoritas dari wilayah ibu kota 40 orang diikuti Surabaya, Bandung, dan Solo. Orang tua menjadi begitu khawatir jika anaknya menggunakan facebook. Padahal problem utamanya bukanlah itu. Bisa saja anak menjadikan FB sebagai medan curhat karena minimnya ruang komunikasi di keluarga dan lingkungan sekitar atau ingin membangun jaring pertemanan untuk berbagi pengalaman dan share proses belajar, peluang kerja, maupun menawarkan barang. 


Jelasnya FB tidak bisa dijadikan kambing hitam atas pelbagai kasus kriminal. Facebook tidaklah selalu kotor. Maraknya gerakan sosial di ruang cyber dengan mendukung pembebasan pimpinan KPK Bibit-Chandra merupakan salah satu efek positifnya. Indonesia semakin demokratis sebagai pengaruh jangka panjang sejak jatuhnya rezim orde baru. Ada dua dampak reformasi yang terasa hingga kini, yaitu liberalisasi politik dan kebebasan media. Aspek pertama mewujud pada sistem multipartai. Bahkan partai yang tidak mendapat sambutan publik dapat berubah menjadi partai politik baru dengan masih diisi tokoh-tokoh lama. 

Kebebasan media dapat terlihat menjamurnya lembaga survei yang secara langsung dapat membentuk opini publik dan leluasanya kuli berita menayangkan langsung seperti laporan kasus Bank Century, persidangan Antasari, sampai aktivitas Istana dan wakil rakyat di Senayan. Bebasnya kerja-kerja media untuk menyampaikan liputan terbaik ini patut disyukuri sebab semakin meneguhkan media masa sebagai pilar keempat demokrasi yang mengawasi dan memosisikan dirinya sebagai watch dog (anjing pengintai) atau kontrol sosial terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Melalui facebook adalah salah satunya. Penulis menolak anggapan sebagian khalayak yang mendiskreditkan facebook. Mengenai seseorang yang hilang gara-gara komunikasi via facebook, ini adalah dampak penyalahgunaan subjek pemakai. Oleh sebab itu, edukasi pemanfaatan teknologi informasi bagi anak perlu dilakukan sembari membiasakan komunikasi intensif dalam keseharian agar si anak tidak merasa sendiri dalam keluarga dan lingkungan sosialnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Menanti Kebenaran Sidang Paripurna

Dimuat di Harian Jogja, Kamis, 4 Maret 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Rakyat Indonesia amatlah kecewa melihat ricuhnya wakil rakyat dalam sidang paripurna untuk mengambil keputusan hasil kerja panitia khusus (Pansus) terkait penyelidikan bank Century. Pemicunya ialah diambilnya keputusan sepihak ketua DPR Marzuki Ali yang mengetok palu untuk menghentikan sidang. Sikap itu dilakukan tanpa mendengarkan suara wakil rakyat lainnya dan mengingkari prinsip kepemimpinan DPR yang bersifat kolektif kolegial. Politisi partai Demokrat tersebut berdalih bahwa hal itu sesuai kesepakatan setiap fraksi dalam badan musyawarah (Bamus) DPR yang menyatakan agenda hari pertama hanya mendengarkan hasil kerja pansus tanpa dilanjutkan voting terbuka untuk menuntaskan skandal Century. 

DPR RI

Sebenarnnya titik vital ada pada Marzuki Ali yang memiliki beban mental kepemimpinan. Sebab, selaku kader partai pemerintah ia harus memutuskan kasus yang menjerat Boediono dan Sri Mulyani yang masuk kabinet pemerintahan. Selain itu, ia juga pertama kali terpilih menjadi anggota dewan dan langsung menjabat ketua DPR. Tidak adanya pengalaman memimpin bisa jadi membuatnya sedikit nervous dan penuh bimbang. Jika melihat tata tertib sidang paripurna Pasal 221 berbunyi rapat paripurna lebih tinggi dari rapat badan musyawarah DPR. Begitupun Pasal 255 ayat 1 menyatakan dalam keadaan genting anggota dewan dapat mengeluarkan interupsi. Mengacu kode etik dimuka, Marzuki Ali terkesan tidak demokratis dan terlalu individualis. Apalagi sikap ini juga diamini ketiga wakil ketua DPR. Di sisi lain, tanggapan dari anggota dewan lainnya justru reaktif dan tidak menyikapinya secara dewasa. Bukankah ini hanya persoalan waktu saja dan tidak ada ihwal substantif yang layak diperdebatkan. 

Publik sudah jenuh disuguhi sandiwara dan lobi politik semu yang menghiasi televisi. Kericuhan sidang yang disaksikan jutaan pasang mata di tanah air semakin memperburuk citra dan ketakpercayaan rakyat kepada anggota DPR. Masing-masing politisi lintas fraksi saling menjatuhkan membuka aib untuk menekan agar mengubah sikap dalam kesimpulan akhir mengenai megaskandal Century yang menelan uang rakyat 6,7 Trilyun. Pastinya jika dilakukan voting di rapat paripurna hari kedua bakal seru. Sebab, dalam penentuan suara berlaku kaidah one man, one vote, one value. Sehingga kader partai yang berbeda sikap dengan fraksinya dalam bermanuver di sana. Khalayak ramai tentu mengharapkan voting terbuka agar masyarakat luas dapat menilai partai mana yang konsisten membela kebenaran dan kepentingan rakyat serta partai mana yang menutupi episentrum persoalan dan melindungi orang terdekatnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Menyoal Para Plagiator

Dimuat di Lampung Post, Senin, 1 Maret 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



 SEBULAN terakhir aksi plagiat kembali mengemuka. Tak tanggung-tanggung, copy-paste ide tertulis tersebut dilakukan kalangan akademisi yang ingin mencapai derajat profesor. Peter F. Drucker dalam bukunya Masyarakat Pascakapitalis mengatakan pengetahuan menjadi faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru (baca komunitas kampus), di mana sumber ekonomi dasar bukan lagi modal (kapital), sumber daya alam bukan pula tenaga kerja, melainkan pengetahuan. Malangnya, insan akademik yang hendak memperoleh julukan guru besar justru bertindak lebay atau melampaui batas dalam meraih titelnya tanpa melalui prosedur ilmiah. Kondisi ini membuat sebagian khalayak meragukan kapasitas seorang profesor di dunia kampus. Bahkan ihwal ini sempat dilontarkan menteri pendidikan Muhammad Nuh yang sedikit sanksi akan kualitas penyandang gelar doktor di Indonesia. Dugaan Mendiknas ini bukan tak berdasar. Minimnya penelitian dan karya berwujud buku atau karya tulis yang dihasilkan sekaliber guru besar, merupakan salah satu bukti pudarnya tradisi ilmiah intelektual kampus. 

 Jika diusut, ada beragam sebab yang membuat civitas academica berpikir pragmatis dan mengharapkan hasil karya serbainstan atau siap saji. Pertama, Undang-undang Guru dan Dosen No.14/ 2005 menawarkan iming-iming berupa tunjangan struktural dan fungsional bagi seorang guru besar menjadikan setiap dosen ngebet meraihnya. Orientasi kompensasi berlebih ini kadang kala mengabaikan sisi kompetensi yang seyogianya dikuasai sebagai prasyarat awalnya. Maka tak heran, dosen setingkat magister ingin segera naik level agar eksistensi atau keberadaannya di lingkungan sosial dan tambahan finansial segera diakui. Konstruksi arah pikiran seperti ini berdampak pada sikap dan tindakan pragmatis yakni mencomot persis gugus gagasan orang lain. Hal ini semakin dipermudah dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi yang melicinkan akses kerja seseorang. Ditambah lagi, kurang telitinya penguji dalam mengoreksi hasil garapan skripsi atau disertasi pendidik, tentu perkara ini membuka celah untuk memplagiat. Kedua, tidak tegasnya otoritas dalam menjerat kasus penjiplakan membuat plagiator beraksi leluasa tanpa efek jera. 

Padahal, UU No. 19/ 2002 Pasal 72 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, dan menjual kepada umum suatu ciptaaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta diancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta. Seakan-akan pemerintah dihadapkan pada dilema. Data yang dilansir sejumlah media massa memberi warta sebanyak 1082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan "guru profesional", seorang calon guru besar di Parahyangan, Bandung, dan dua dosen universitas swasta di Jogja yang memalsu tesisnya dengan mengkloning pokok pikiran mahasiswa S-1. Di satu sisi pemerintah harus bertindak tegas dengan menghentikan atau mencopot gelar yang diembannya. Di termin lain, institusi pendidikan masih membutuhkan kontribusi pendidik dan dosen bersangkutan karena minimnya tenaga pengajar. Mau tidak mau harus dimafhumi rentetan insiden pendidikan di muka memberikan hipotesis bagi publik akan matinya intelektualitas kampus. 

 Perguruan tinggi yang sejatinya diamanahi untuk mengemban tridharma yakni dharma pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat belumlah melaksanakan sepenuhnya. Dua aktivitas terakhir amatlah jarang dilakukan pemangku kepentingannya. Jika meneliti dan mencerahkan masyarakat saja alpa diupayakan, ini mengindikasikan minimnya kepekaan sosial serta kurangnya kepedulian terhadap nasib dan permasalahan khalayak ramai. Jika demikian, tak pantaslah sarjana, doktor, dan profesor disebut seorang intelektual. Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. Akhirnya patutlah kita mengejek mereka layaknya jargon iklan rokok. Pengin eksis, jangan lebay plis!. 

 Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY 

SBY dan Unjuk Rasa

Dimuat di Suara Merdeka, Selasa, 23 Februari 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Salah satu manifestasi reformasi ialah adanya kebebasan publik menyampaikan aspirasi, kritik, dan masukan pada penguasa tanpa tekanan balik rezim yang represif dan dilindungi undang-undang. Hal ihwal ini mengindikasikan demokrasi Indonesia semakin dewasa. Akan tetapi, atas nama demokrasi pula seseorang dapat menyampaikan pernyataan sikap seenaknya tanpa mempertimbangkan etika dan kepatutan norma. Penggalan kalimat di muka, agaknya cukup mewakili perasaan SBY ketika mengomentari aksi unjuk rasa mahasiswa bertepatan seratus hari pemerintahan kabinet Indonesia bersatu jilid II 28 Januari 2010 silam. Respon ini cukup wajar mengigat tindakan pendemo dianggap melecehkan dengan membawa kerbau bertuliskan SiBuYa dan bergambar SBY “turun” di bagian ekornya. Selain itu, massa juga meneriaki Yudhoyono dan Budiono maling serta membakar foto keduanya.


Di satu sisi, pernyataan sang jendral juga merupakan kebebasan menyampaikan opini pula, tetapi beda posisinya. Bagi massa, demonstrasi ialah wujud advokasi untuk mengawal demokrasi formal dan kebijakan pemerintah. Tetapi bagi presiden sikap mengeluh ini sudah kesekian kalinya dalam merespon tuntutan massa. Tak heran jika perilaku tokoh incumbent tersebut mendapat masukan banyak kalangan agar presiden jangan terlalu banyak merasa terdzolimi dan meminta iba pada khalayak ramai. Sebab, sikap itu terlalu naïf dilontarkan seorang RI 1 dan dapat menurunkan kewibawaan. Sebenarnya jika presiden tak berlebihan mereaksi, tanggapan publik terhadap tingkah polahnya tak sebesar ini. Justru ungkapan presiden tidak pada tempatnya itu, malah menjadi konsumsi media massa yang hilirnya menjadi bahan perbincangan berbagai lapisan masyarakat. Mencermati fragmen di muka, hendaknya presiden tak terlalu over dalam memberikan feed back terhadap aksi-aksi massa. Karena hanya menghamburkan energi dan mengurangi konsentrasi kerja. Biarlah publik yang menilai dengan akal sehat dan hati nuraninya. 

Di segi lain, masyarakat hendaknya juga dapat melestarikan demokrasi dengan beradab menyalurkan aspirasi. Sebab inilah tantangan bersama hidup di era keterbukaan dan demokrasi. Akhirnya ada baiknya merenungi ungkapan bijak dari salah seorang wakil DPR RI, Anis Matta. Bekerja di alam demokrasi ibarat tidur di samping rel kereta. Mau menunggu suasana tenang untuk tidur tidak akan bisa, karena kereta selalu lalu lalang setiap saatnya. Oleh sebab itu, kita perlu membiasakan berada dalam lingkungan gaduh agar dapat terlelap dan terus beraktivitas di hari berikutnya. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa

Pelantikan Pengurus BEM FIP UNY

Dimuat di Harian Jogja, 16 Februari 2010
dan Media Indonesia online Suara Anda Minggu, 14 Februari 2010



Pertengahan Febuari ini, akan menjadi hari bersejarah bagi pengurus baru Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (BEM FIP UNY). Sebab, Senin 15 Febuari 2010 bertempat di Gedung Abdullah Sigit Hall Lt.III FIP mereka secara resmi akan dilantik dan diambil sumpah jabatan untuk mengemban amanah baru. BEM sebagai wadah pengembangan softskill dan kompetensi mahasiswa diharapkan menjadi ruang metamorfosa dengan output insan pendidikan yang memberikan tawaran ide sekaligus arah yang kritis dan solutif atas problem pendidikan nasional kekinian.

Ketua BEM FIP terpilih, Hasbi Ashidiqie menjelaskan tahun ini lembaga yang diampunya akan fokus mengkaji isu ujian nasional (UN) yang sampai saat ini masih menyisakan polemik sebagai wujud evaluasi pendidikan. Selain itu, program advokasi dan pengawalan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional akan digalakkan serius tahun ini. Muaranya ialah menghasilkan tawaran ide konkret untuk merevisi UN yang dianggap mengeleminasi peran pendidik dalam mengevaluasi proses belajar mengajar. Upaya ini dilakukan sebagai manifestasi kepedulian mahasiswa FIP demi perbaikan sistem pendidikan Indonesia.

Adapun susunan acaranya ialah akan dimulai sambutan Dekan FIP Prof. Dr. Ahmad Dardiri dan Pembantu dekan III bidang kemahasiswaan Dr. Bambang Susatyo dilanjutkan sumpah jabatan yang akan dipimpin Amirudin Shafa (Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UNY) dan diakhiri doa penutup oleh Anggit Cahya Kurniawan selaku ketua Keluarga Muslim Ilmu Pendidikan (KMIP) FIP UNY.
Daftar pengurus organisasi mahasiswa FIP lebih lengkapnya ialah Hasbi Ashidiqie (Ketua BEM), Imam Purnomo (Ketua DPM), Anggit C.K. (Ketua KMIP), Endah Sri Rahayu (Ketua UKMF penelitian; Reality), Sigit (Ketua UKMF Musik Camp), Budi (Ketua Himpunan Mahasiswa atau Hima AP), Pati (Ketua Hima TP), Siti Nofitaningrum (Ketua Hima PLB), Sigit (Ketua Hima PLS), Jaka (Ketua Hima AKP), Galang (Ketua Hima BK).

Rencananya pascapelantikan ini panitia akan menghelat diskusi pendidikan bertema “Dari FIP untuk Inspirasi Pendidikan Indonesia”. Menghadirkan pembicara Prof. Dr. Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan DIY), Prof. Dr. Anik Ghufron (PD I Bidang Akademik FIP) dan Deni Hardiyanto (Pengamat Pendidikan dan dosen TP FIP).

Vivit Nur Arista Putra
Mahasiswa FIP UNY



Menyoal STTB (Bukan PSBB)

Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 8 Febuari 2010

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Belum selesai polemik ujian nasional. Insan pendidikan Yogyakarta dihadapkan pada persoalan baru yang mengundang pro kontra yakni pemberian Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) bagi peserta didik yang tidak lulus ujian. Gagasan yang dilontarkan Dewan Pendidikan DIY ini bertujuan sebagai pelengkap hasil UN, penyeimbang kompetensi serta wujud penghargaan bagi peserta didik yang tidak lulus ujian.

Selain itu, adanya STTB dapat meminimalisir terjadinya stres dan depresi bagi peserta didik yang tidak lulus ujian, karena dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta mengurangi angka putus sekolah. Menjadi pertanyaan bernarkah demikian? Ujian nasional (UN) memang memberikan tekanan psikologis peserta didik. Tetapi di aspek lain, dapat memantik untuk giat belajar.

Rumah Pensil Publisher

Jika tinjau dengan teori behavioristik dari Edward Thorndike, belajar merupakan proses terbentuknya asosiasi antarperistiwa yang disebut stimulus dengan respon. Stimulus ialah perubahan eksternal sabagai tanda untuk mengaktifkan individu. Begitupun UN dengan patokan angka kelulusan yang naik setiap tahunnya, akan menggerakkan peserta didik untuk bersungguh-sungguh belajar. Buktinya indeks kelulusan siswa dibeberapa kota naik setiap tahunnya.

Adanya STTB dikhawatirkan meruntuhkan tren positif ini. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sehubungan wacana penerapan STTB di satuan pendidikan. Pertama, jika ide ini jadi diimplementasikan justru akan menunjukkan tidak konsistennya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Standar kelulusan (passing grade) ujian nasional yang naik setiap tahunnya untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional akan menjadi percuma, karena tidak lulus ujian pun dapat melanjutkan jenjang lebih tinggi. Dampaknya mind set atau pola pikir anak didik pun akan ikut terpengaruh, adanya STTB malah membuat pelajar berleha-leha. Kenapa mesti belajar sungguh-sungguh jika gagal ujian dapat tetap meneruskan pendidikan. Selain itu, jika ujian nasional dikatakan sebagai evaluasi pendidikan kebijakan ini melangkahi amanat UU sistem pendidikan nasional (sisdiknas) BAB XVI Pasal 57 yang mengatakan evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Kedua, kendati disambut baik dinas pendidikan dan keolahragaan (Disdikpora) DIY, tetapi jika tidak mendapat dukungan maupun pengakuan dari sekolah dan perguruan tinggi di kota pendidikan ini, adanya STTB akan terasa percuma. Pasalnya standar hukum berupa surat keputusan (SK) atau peraturan daerah (Perda) yang menjadi dasarnya tidak kuat dan bertentangan dengan UU Sisdiknas Pasal 61 “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.” 

Di satu sisi dengan waktu yang minim kebijakan lokal yang rencananya diaplikasikan sebelum ujian nasional 22 Maret 2010 amatlah menguras waktu dan energi pengambil kebijakan di DIY. Bagi penulis, lebih baik pemerintah memfokuskan penyelenggaraan ujian nasional secara arif dan menyelesaikan berbagai permasalahan seperti pendistribusian soal, kongkalikong guru-murid, dan problem lainnya yang masih berlubang. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Impeachment? Tidaklah!

Dimuat di Bernas Jogja, Senin 1 Febuari 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


 Jauh-jauh hari setelah Demokrat memenangkan pemilu legislatif disusul kembali berkuasanya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di level eksekutif, banyak pengamat politik mengatakan stabilitas pemerintahan akan terjamin. Hal ini memungkinkan program pembangunan lima tahun pertama dapat dilanjutkan secara fokus tanpa gangguan dari oposisi. Kenyataannya kini justru berbalik dari perkiraan semula. Adanya skandal Bank Century yang melibatkan Menteri keuangan dan Wakil presiden, menjadi celah yang dimanfaatkan oposisi untuk mengritik kabinet Indonesia bersatu jilid II. Bahkan jika pansus menemukan bukti indikasi korupsi dari kesalahan kebijakan yang diambil dan melibatkan pucuk tertinggi pemimpin negara, presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan (impeachment).

 Maka tak heran presiden pun merasa terusik dengan munculnya isu impeachment dalam tiga pekan terakhir. Pertemuan di Bogor yang dihadiri pimpinan pejabat tinggi lembaga negara pun mencuatkan spekulasi banyak pihak karena silaturahmi itu dilakukan ditengah pembahasan kasus Century yang belum tuntas. Akan tetapi, keputusan impeachment yang digadang-gadang sebagian kalangan memiliki ruang kemungkinan yang sangat kecil jika ditinjau dari syarat dan prosesnya. Menurut pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 Presiden dapat dilengserkan jika terbukti melanggar hukum yaitu melakukan korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, penghianatan negara dan tindak pidana lainnya. Perbuatan korupsi uang negara sangatlah tidak mungkin dilakukan Presiden mengingat telah terjadi pelimpahan kebijakan kepada Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan yang membail out (memberikan dana talangan) ke Bank Century senilai 6,7 Trilyun yang berasal dari uang negara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kebijakan berdalih penyelamatan Bank kecil ini sah secara hukum karena Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No.4/2008 tidak diterima atau ditolak oleh ketua DPR pada saat itu. Tetapi barulah pasca 18 Desember 2008 Perpu ini tidak berdasar hukum karena DPR sudah bersikap dengan meminta mengganti dan membuat rancangan undang-undang ulang kepada pemerintah. 

Sedangkan untuk Boediono bisakah pemakzulan dilakukan mengingat ketika dana talangan dikucurkan ia berperan sebagai Gubernur BI, bukan wapres. Sedangkan dilihat dari prosesnya, impeachment sangat imposible untuk dieksekusi. Kenapa? karena kuatnya partai pemerintah (Demokrat) di tingkat legislatif ditambah dukungan mitra koalisi yang mencapai 70 persen lebih. 

Padahal untuk mengajukan pemakzulan harus disetujui dua per tiga anggota DPR sebelum diserahkan dan diproses hukum oleh Mahkamah Konstitusi dan diberikan ke MPR (Pasal B UUD 1945). Sejarah mencatat di negeri ini tidak ada impeachment. Indonesia lebih mengenal mosi tidak percaya. Tata cara impeachment baru dibahas MK satu bulan terakhir. Harmoko ketua MPR 1998 mengeluarkan mosi tidak percaya kepada Soeharto tetapi itu secara pribadi, akhirnya pemimpin orde baru itu lengser ing keprabon. Begitupun tahun 2001, dialami Gus Dur ketika diminta mundur oleh MPR. Tetapi bagi Yudhoyono maupun Boediono, ruang kemungkinannya sangat kecil untuk dimakzulkan. 

 Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY