Selasa, 06 Juli 2010

Temu IMAKIPSI di FIP UNY

Dimuat di Harian Jogja, 30 April 2010 


Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan seIndonesia (IMAKIPSI) akan mengadakan musyawarah regional, 30-2 Mei 2010 yang diikuti pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se Jawa-Bali di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Yogyakarta. Acara tersebut akan dibuka dengan seminar nasional IMAKIPSI bertema “Telaah Kritis Kinerja Mendiknas dalam Upaya Pencerdasan dan Membangun Karakter Bangsa di Era Globalisasi” Jum’at, 30 Mei 2010, jam 13.00-16.00 WIB di Gedung Abdullah Sigit Lt. III FIP UNY dengan menghadirkan pembicara Dr. Fasli Jalal, P. hd. (wakil mendiknas), Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. Ed (Guru besar UNY dan praktisi pendidikan), Drs. Sukro Muhab (Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu). Bagi yang ingin mendaftar dapat menghubungi Iqbal (081802635614) dan Gesang (085642366017). Biaya pendaftaran mahasiswa Rp.35.000 dan umum Rp.50.000. 


Sebagaimana dituturkan Hasbi Ashidiqie selaku ketua BEM FIP tahun ini lembaganya fokus mengkaji dan mengkritisi ujian nasional (UN) yang sedari awal menuai pro dan kontra sejak dihelat pertama kali 2003. Pertemuan ini selain mengkritisi UN juga akan membahas agenda strategis IMAKIPSI ke depan. Adapun acara diadakan dengan mengambil momentum di tengah euforia pengumuman hasil UN dengan segala dampak yang mengiringinya. UN tidak seharusnya dijadikan standar kelulusan dengan mengabaikan peran pendidik sebagai evaluator pendidikan. UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi pendidikan pasal 58 menyatakan “Evaluasi hasil belajar mengajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara kesinambungan”. 

Selain itu UN kontradiktif dengan pembentukan karakter anak. Sebab, karakter adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang (rehersial). yang didasarkan atas kematangan fikiran dan motivasi yang kuat untuk melakukannya. Jika setiap tahun proses belajar mengajarnya seperti bimbingan belajar satuan pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan instan, yang hanya memecahkan simbol soal-soal. Anak terbiasa didikte dan diberikan rumus jitu untuk memecahkan soal. UN tetap saja dapat dilaksanakan jika penilaian kelulusan disesuaikan dengan daerah masing-masing sebagai konsekuensi desentralisasi pendidikan. Jika tidak pemerintah harus memenuhi terlebih dahulu delapan lingkup standar pendidikan nasional standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian terlebih dahulu sebelum menyelenggarakan UN. Agar pelaksanaan UN dapat adil dan tidak diskriminatif. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Menggaungkan Kembali Kasus Century

Dimuat di Harian Jogja, 13 April 2010 

Pasca berakhirnya masa tugas panitia khusus hak angket Maret silam, mega skandal Bank Century tak lagi terdengar di muka publik. Penulis mencermati dikumandangkannya gugus gagasan Bambang Soesatyo dalam buku “Skandal Gila Bank Century” di Jakarta kemarin tak lain untuk menjaga ritme isu Century agar tetap hangat sekaligus mendesak otoritas hukum agar segera menuntaskannya. Vokalis hak angket tersebut mengungkapkan korupsi perbankkan ini cepat atau lambat akan terbongkar, jika tak direzim sekarang mungkin di pemerintahan baru nanti. Benarkah demikian? memang bangkai yang disimpan akan tercium jua. Akan tetapi, bangkai itu kini diawetkan dan disembunyikan dalam kulkas tebal. Tentu tak seorang pun memperoleh aroma busuknya. 


Tanda tanya besar melintas, bisa jadi ini merupakan siasat untuk menahan sementara kasus ini kemudian melemparkan bola panas ke pihak lain saat khalayak kembali mempersoalkannya. Sebab, ada yang beranggapan serangan balik pemerintah melalui Andi Arif (staf presiden SBY) yang menggugat letter of credit (LC) fiktif dengan mengalirnya rupiah dari Bank Century ke pelbagai perusahaan, salah satunya menyeret Misbakhun (politisi PKS) sekaligus inisiator hak angket Century adalah manajemen konflik dari pemerintahan SBY melalui ranah hukum. Jika terus menerus dibiarkan kasus Century akan menjadi ATM kedua setelah insiden Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Isu nasional ini akan menjadi komoditas politik pada pemilihan presiden 2014 mendatang.

Imbasnya, energi bangsa pun terkuras merampungkan persoalan yang diputar-putarkan. Tidakkah kasus kriminalisasi Bibit-Chandra, Bank Century, dan sekarang mafia pajak memberikan pelajaran. Selain menyita waktu, fikiran, dan uang negara dampak lainnya membuat fokus pemerintah untuk menyejahterakan rakyat tidak menjadi prioritas dan tertunda. Bayangkan jika tim pansus Century gagal, negara akan rugi 5 milyar. Uang rakyat terus ditilap berkedok pajak 28 milyar lebih. Wah, bisa koleps negeri ini. Ingat kawan, utang Indonesia 1670 Trilyun jatuh tempo April 2010. Untuk melunasinya mungkin akan dibarter dengan kekayaan alam kita. Lantas anak cucu kita mau makan apa. Inilah negeri nestapa, semoga Allah SWT memberikan jalan keluarnya. Amin. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Konsekuensi Pascakeputusan MK

Dimuat di Harian Jogja, 8 April 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Amar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak sebagian UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) berdampak sistemik terhadap tata kelola penyelenggaraan pendidikan tinggi selanjutnya. Konsekuensi logis keputusan MK tersebut bersifat final dan mengikat seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Mau tidak mau tujuh PTN yang telah berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yakni UI, UGM, ITB, IPB, UPI Bandung, Universitas Sumatra Utara, dan Universitas Airlangga Surabaya harus mengupdate atau merevisi statusnya. Mula segala asal muara permasalahan ini terletak di pasal 53 UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Terjadi salah tafsir dalam memaknai frasa “badan hokum pendidilkan” yang dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggaran pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu sebagaimana seharusnya.

 Pasal inilah yang melatari PTN berbondong-bondong merubah kampusnya menjadi BHP. Jika terjadi demikkian maka kewenangan kampus akan semakin kuat. Inilah mengapa banyak yayasan dan asosiasi yang mengajukan gugatan judicial review perihal UU pasal 9/2009 tentang Badan Hukum Penddikan ke MK. Karena ditakutkan pasca PTN menjadi BHMN kewenangan mereka menjadi berkurang. Selain itu, banyak kalangan pendidikan yang menyuarakan menolak BHP karena akan terjadi komersialisasi pendidikan. Sebab, bantuan dana dari pemerintah ke PTN menjadi berkurang dan dampaknya kampus harus mencukupi kebutuhan untuk melaksanakan proses belajar mengajar secara mandiri. Menjadi pertanyaan dari mana PTN mendapatkan uang yang ditaksir berjumlah milyaran agar PTN tetap eksis? Jawabannya ialah diperoleh dari mahasiswa. 

Oleh sebab itu biaya pendidikan di di PTN akan menjadi mahal. Adanya penyeragaman kampus melalui BHP jika dicermati merupakan salah satu ciri kapitalisme dan liberalisme yakni dengan standarisasi pembiayaan. Bayangkan, jika masuk PTN saja harus merogoh kocek selangit maka cluster masyarakat menengah ke bawah tidak dapat mengakses pendidikan tinggi. Artinya terjadi diskriminasi pendidikan dalan dunia pendidikan kita. 

Berpijak dari hal di muka, keputusan MK yang menyatakan BHP inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945 melegakan semua masyarakat. Dengan demikian tanggungjawab moralnya ialah pemerintah harus menghapus permendiknas, peraturan pemerintah, maupun peratuan turunan lainnya yang berkaitan dengan BHP seperti PP No. 66 dan 67/1999 yang menjadi landasan legalitas keberadaan BHMN. Pemerintah juga harus turut serta terlibat penuh dan bertanggungjawab dalan pembiayaan pendidikan sebagai satu keharuskan sebagaimana amanat UUD 1945. 

Vivit Nur Arista Putra
Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta

Agenda Milad 12 KAMMI

Di muat di Harian Jogja, 29 Maret 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Terhitung hari ini, Senin, 29 Maret 2010, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) telah eksis 12 tahun lamanya. Rentang waktu itu banyak merubah wujud struktur dan corak gerak gerakan mahasiswa yang lahir dari rahim Forum Silaturahmi Lembaga Dakwa Kampus (FSLDK) ini. Agenda milad ini akan diisi dengan syukuran dan diskusi bertajuk angkringan demokrasi 28 Maret 2010 di KAMMI Land Jln. Affandi, Selatan Bank Panin bertema “Penguatan Demokrasi Pilkada di DIY” menghadirkan Kusno (wartawan Radar Jogja), calon bupati Bantul dan Sleman, Sigit Pamungkas (dosen IPUGM), dan Kartika Nurakhman (Koordinator Gardu Demokrasi) di sore harinya dan dilanjutkan diskusi kedua “KAMMI dan Indonesia” yang dibersamai Eko Prasetyo (Pusham UII), Purwosantoso (Akademisi UGM) dan Sujatmiko Dwiatmaja (Ketua KAMMI DIY). 

 Sejauh ini di Indonesia KAMMI Wiyalah Yogyakarta yang paling siap mengawal otonomi daerah agar tidak menyimpang dari orientasinya. Dampaknya kiprah lokal KAMMI menjadi kemestian untuk melakukan empowering atau pemberdayaan masyarakat.ini dengan membentuk KAMMI Daerah Bantul, Sleman, dan Kota yang akan berupaya mengawal dan mengontrol pelbagai kebijakan di daerahnya. Adapun pembagian lingkup isunya ialah KAMMI Komisariat meliputi isu kekampusan, regional, nasional, dan internasional dengan corak gerak akademis dan intelektual. KAMMI Daerah mengkaji isu lokal seperti anggaran dan peraturan daerah diiringi corak geraknya praksis, taktis, dan strategis. Begitupun dengan KAMMI wilayah sebagai perpanjangan dari KAMMI pusat. 

Adapun bukti konkret kiprah sosial kemasyarakatan KAMMI di momentum pemilihan kepala daerah, KAMMI Bantul dan Sleman melakukan advokasi dan pencerdasan pemilih melalui kerja sama dengan KPU serta mendirikan pos advokasi pemilih untuk membantu warga pendatang guna mendapatkan lisensi menjadi daftar pemilih tetap sesuai PP No. 6/2005 dan KPU tentang pilkada. KAMMI beserta elemen gerakan lainnya tergabung dalam forum Gardu Demokrasi menggagas isu penggunaan fasilitas dan anggaran negara untuk kampanye yang rawan dilakukan incumbent dan advokasi pemilih pemula sebagai investasi jangka panjang demokratisasi. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI UNY

Jangan Alihkan Isu

Dimuat di Harian Jogja, 12 Maret 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Penggerebekan terhadap seseorang yang diduga teroris di kawasan Pamulang, Banten mencerminkan sikap tidak manusiawi detasemen khusus (Densus) 88. Selain itu, otoritas kepolisian yang didirikan tahun 2001 ini juga melanggar asas praduga tak bersalah dengan langsung menembak mati terhadap satu dan dua orang yang baru diduga bagian dari kelompok terorisme. Insiden ini sangatlah disayangkan banyak pihak. Pasalnya, jika polisi berhasil menangkap hidup-hidup justru akan menambah informasi baru mengenai peta jaringan teroris di Indonesia. Salah satu tokoh yang tewas ditempat diumumkan Kapolri rabu sore ialah Dulmatin alias Yahya Ibrahim. 

Benarkah demikian, padahal sudah tiga kali sejak 2003 perakit bom ini diumumkan mati oleh pemerintah Filipina dan Indonesia, tetapi kenyataannya buruan kelas wahid ini menjawabnya dengan serangkaian terror. Atau ihwal ini berkaitan dengan hadiah dari Amerika Serikat, yang menjanjikan 10 juta US Dolar atau sekitar 93 Milyar bagi siapa saja yang menangkap Dulmatin hidup atau mati. Kejadian ini bertepatan dua pekan menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama, 20-22 Maret 2010 ke Indonesia. Seakan-akan mereka ingin menyerang balik isu pemberantasan terorisme di Asia Pasifik yang digadang-gadang negeri paman Sam dengan mencuatkan aksi untuk mencari perhatian publik.

 Menjadi pertanyaan, kenapa teroris menjadikan Indonesia sebagai poros gerak, bahkan Irwandi Yusuf (Gubernur NAD) menyatakan Aceh ingin dijadikan basis teroris di Asia Tenggara. Ada beberapa hipotesis untuk memperkuat pendapat tersebut. Pertama, kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang pas-pasan, sikap ramah warganya kepada pendatang serta kesamaan keyakinan spiritual menjadikan teroris memperoleh tempat persembunyian yang nyaman. Kedua, adanya gencatan senjata di Mindanau, Filipina membuat segerombolan yang disinyalir teroris mengalihkan pusat gerakannya ke daerah strategis seperti Aceh di Indonesia yang dekat dengan selat Malaka dan mayoritas penduduknya muslim. Serambi Mekah tersebut dijadikan latihan kesinambungan untuk menjaga fisik, mental, dan soliditas gerakan. 

 Akan tetapi menurut Suripto selaku pengamat intelijen, jaringan terorisme bersifat asimetris (terpisah) dan tidak memiliki keterkaitan antara Aceh, Pamulang, dan Mindanau. Tetapi, mereka tetap pada tujuan yang sama. Hal ini memungkinkan disusupi kepentingan agenda intelijen asing untuk membentuk opini publik bahkan pengalihan isu. Kita berharap adanya penangkapan terkait dugaan terorisme, tidak membuat otoritas hukum negeri ini keblinger dan teralihkan perhatiannya dari penuntasan skandal Bank Century yang merugikan uang rakyat 6,7 Trilyun dan menyeret pejabat penting negara. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Tranform Institute

Pertaruhan Citra SBY

Dimuat di Bali Post, Selasa, 26 Januari 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Melodrama kasus Bank Century masih saja berseri. Selain mengganggu fokus program kerja pemerintah seratus hari, indikasi korupsi perbankan ini dapat menjadi sasaran tembak lawan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat. Kendati belum ada pejabat berstatus tersangka, tetapi banyaknya sorotan dan tekanan publik menjadikan pola kerja pemerintah tidak fokus dan konsentrasi terpecah merespons perkara ini. Efek domino pun muncul dengan berembusnya isu pencopotan Menteri Keuangan hasil kesepakatan dengan salah satu ketua umum parpol dan evaluasi dengan mitra koalisi untuk me-reshuffle kabinet dengan mengganti beberapa menteri. 

Imbasnya, secara psikis energi pengampu kebijakan akan terkuras menanggapi efek beruntun persoalan Century. Jika ini tak dicari jalan tengah, ditakutkan akan semakin memperenggang hubungan dengan partai koalisi yang akhirnya dapat mengacaukan stabilitas pemerintahan. Secara nasional, berlarutnya kasus Century bagi iklim perekonomian pasar domestik dampaknya mulai terasa. Masih samarnya penuntasan skandal ini menjadikan para investor canggung dan menunda menanamkan sahamnya karena menunggu membaiknya situasi perbankan dalam negeri. Selain itu, mereka juga ragu akan keamanan dan buruknya pola pengelolaan bank di Indonesia yang rentan diselewengkan.

Jika ini terjadi, tentu akan merugikan Indonesia yang sudah terikat perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (FTA). Padahal prediksi para ekonom, kondisi ekonomi Indonesia 2010 akan stabil manakala didorong oleh pertumbuhan investasi dan perdagangan. 

Vivit Nur Arista Putra Aktivis KAMMI Universitas Negeri Yogyakarta

Facebook dan Kebebasan Media

Dimuat di Harian Jogja, Jum'at, 5 Maret 2010 

Dua bulan terakhir ada beberapa anak sekolah dan seorang mahasiswi hilang yang merupakan korban situs jejaring sosial facebook. Demikian headline media massa melansir wartanya. Bagi penulis diksi atau pilihan kata tersebut tidaklah pas. Pasalnya, facebook ialah alat atau benda mati dan netral sebagai medium perantaraan komunikasi di dunia maya. Jika ada orang hilang kemudian menyangka insiden ini disebabkan oleh situs facebook tentulah ini tidak tepat. Kabar ini terus disiarkan di media cetak dan elektronik yang muaranya akan membentuk opini publik. Jika tak dikoreksi sangkaan ini akan mengendap menjadi nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan menyimpulkan stigma negatif atau cap buruk bagi pengguna facebook. Bahkan menurut komisi nasional perlidungan anak pada kisaran waktu Januari hingga Febuari kantornya menerima 100 aduan dari remaja terkait orang tua dan facebook (FB). Mayoritas dari wilayah ibu kota 40 orang diikuti Surabaya, Bandung, dan Solo. Orang tua menjadi begitu khawatir jika anaknya menggunakan facebook. Padahal problem utamanya bukanlah itu. Bisa saja anak menjadikan FB sebagai medan curhat karena minimnya ruang komunikasi di keluarga dan lingkungan sekitar atau ingin membangun jaring pertemanan untuk berbagi pengalaman dan share proses belajar, peluang kerja, maupun menawarkan barang. 


Jelasnya FB tidak bisa dijadikan kambing hitam atas pelbagai kasus kriminal. Facebook tidaklah selalu kotor. Maraknya gerakan sosial di ruang cyber dengan mendukung pembebasan pimpinan KPK Bibit-Chandra merupakan salah satu efek positifnya. Indonesia semakin demokratis sebagai pengaruh jangka panjang sejak jatuhnya rezim orde baru. Ada dua dampak reformasi yang terasa hingga kini, yaitu liberalisasi politik dan kebebasan media. Aspek pertama mewujud pada sistem multipartai. Bahkan partai yang tidak mendapat sambutan publik dapat berubah menjadi partai politik baru dengan masih diisi tokoh-tokoh lama. 

Kebebasan media dapat terlihat menjamurnya lembaga survei yang secara langsung dapat membentuk opini publik dan leluasanya kuli berita menayangkan langsung seperti laporan kasus Bank Century, persidangan Antasari, sampai aktivitas Istana dan wakil rakyat di Senayan. Bebasnya kerja-kerja media untuk menyampaikan liputan terbaik ini patut disyukuri sebab semakin meneguhkan media masa sebagai pilar keempat demokrasi yang mengawasi dan memosisikan dirinya sebagai watch dog (anjing pengintai) atau kontrol sosial terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Melalui facebook adalah salah satunya. Penulis menolak anggapan sebagian khalayak yang mendiskreditkan facebook. Mengenai seseorang yang hilang gara-gara komunikasi via facebook, ini adalah dampak penyalahgunaan subjek pemakai. Oleh sebab itu, edukasi pemanfaatan teknologi informasi bagi anak perlu dilakukan sembari membiasakan komunikasi intensif dalam keseharian agar si anak tidak merasa sendiri dalam keluarga dan lingkungan sosialnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Menanti Kebenaran Sidang Paripurna

Dimuat di Harian Jogja, Kamis, 4 Maret 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Rakyat Indonesia amatlah kecewa melihat ricuhnya wakil rakyat dalam sidang paripurna untuk mengambil keputusan hasil kerja panitia khusus (Pansus) terkait penyelidikan bank Century. Pemicunya ialah diambilnya keputusan sepihak ketua DPR Marzuki Ali yang mengetok palu untuk menghentikan sidang. Sikap itu dilakukan tanpa mendengarkan suara wakil rakyat lainnya dan mengingkari prinsip kepemimpinan DPR yang bersifat kolektif kolegial. Politisi partai Demokrat tersebut berdalih bahwa hal itu sesuai kesepakatan setiap fraksi dalam badan musyawarah (Bamus) DPR yang menyatakan agenda hari pertama hanya mendengarkan hasil kerja pansus tanpa dilanjutkan voting terbuka untuk menuntaskan skandal Century. 

DPR RI

Sebenarnnya titik vital ada pada Marzuki Ali yang memiliki beban mental kepemimpinan. Sebab, selaku kader partai pemerintah ia harus memutuskan kasus yang menjerat Boediono dan Sri Mulyani yang masuk kabinet pemerintahan. Selain itu, ia juga pertama kali terpilih menjadi anggota dewan dan langsung menjabat ketua DPR. Tidak adanya pengalaman memimpin bisa jadi membuatnya sedikit nervous dan penuh bimbang. Jika melihat tata tertib sidang paripurna Pasal 221 berbunyi rapat paripurna lebih tinggi dari rapat badan musyawarah DPR. Begitupun Pasal 255 ayat 1 menyatakan dalam keadaan genting anggota dewan dapat mengeluarkan interupsi. Mengacu kode etik dimuka, Marzuki Ali terkesan tidak demokratis dan terlalu individualis. Apalagi sikap ini juga diamini ketiga wakil ketua DPR. Di sisi lain, tanggapan dari anggota dewan lainnya justru reaktif dan tidak menyikapinya secara dewasa. Bukankah ini hanya persoalan waktu saja dan tidak ada ihwal substantif yang layak diperdebatkan. 

Publik sudah jenuh disuguhi sandiwara dan lobi politik semu yang menghiasi televisi. Kericuhan sidang yang disaksikan jutaan pasang mata di tanah air semakin memperburuk citra dan ketakpercayaan rakyat kepada anggota DPR. Masing-masing politisi lintas fraksi saling menjatuhkan membuka aib untuk menekan agar mengubah sikap dalam kesimpulan akhir mengenai megaskandal Century yang menelan uang rakyat 6,7 Trilyun. Pastinya jika dilakukan voting di rapat paripurna hari kedua bakal seru. Sebab, dalam penentuan suara berlaku kaidah one man, one vote, one value. Sehingga kader partai yang berbeda sikap dengan fraksinya dalam bermanuver di sana. Khalayak ramai tentu mengharapkan voting terbuka agar masyarakat luas dapat menilai partai mana yang konsisten membela kebenaran dan kepentingan rakyat serta partai mana yang menutupi episentrum persoalan dan melindungi orang terdekatnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Menyoal Para Plagiator

Dimuat di Lampung Post, Senin, 1 Maret 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



 SEBULAN terakhir aksi plagiat kembali mengemuka. Tak tanggung-tanggung, copy-paste ide tertulis tersebut dilakukan kalangan akademisi yang ingin mencapai derajat profesor. Peter F. Drucker dalam bukunya Masyarakat Pascakapitalis mengatakan pengetahuan menjadi faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru (baca komunitas kampus), di mana sumber ekonomi dasar bukan lagi modal (kapital), sumber daya alam bukan pula tenaga kerja, melainkan pengetahuan. Malangnya, insan akademik yang hendak memperoleh julukan guru besar justru bertindak lebay atau melampaui batas dalam meraih titelnya tanpa melalui prosedur ilmiah. Kondisi ini membuat sebagian khalayak meragukan kapasitas seorang profesor di dunia kampus. Bahkan ihwal ini sempat dilontarkan menteri pendidikan Muhammad Nuh yang sedikit sanksi akan kualitas penyandang gelar doktor di Indonesia. Dugaan Mendiknas ini bukan tak berdasar. Minimnya penelitian dan karya berwujud buku atau karya tulis yang dihasilkan sekaliber guru besar, merupakan salah satu bukti pudarnya tradisi ilmiah intelektual kampus. 

 Jika diusut, ada beragam sebab yang membuat civitas academica berpikir pragmatis dan mengharapkan hasil karya serbainstan atau siap saji. Pertama, Undang-undang Guru dan Dosen No.14/ 2005 menawarkan iming-iming berupa tunjangan struktural dan fungsional bagi seorang guru besar menjadikan setiap dosen ngebet meraihnya. Orientasi kompensasi berlebih ini kadang kala mengabaikan sisi kompetensi yang seyogianya dikuasai sebagai prasyarat awalnya. Maka tak heran, dosen setingkat magister ingin segera naik level agar eksistensi atau keberadaannya di lingkungan sosial dan tambahan finansial segera diakui. Konstruksi arah pikiran seperti ini berdampak pada sikap dan tindakan pragmatis yakni mencomot persis gugus gagasan orang lain. Hal ini semakin dipermudah dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi yang melicinkan akses kerja seseorang. Ditambah lagi, kurang telitinya penguji dalam mengoreksi hasil garapan skripsi atau disertasi pendidik, tentu perkara ini membuka celah untuk memplagiat. Kedua, tidak tegasnya otoritas dalam menjerat kasus penjiplakan membuat plagiator beraksi leluasa tanpa efek jera. 

Padahal, UU No. 19/ 2002 Pasal 72 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, dan menjual kepada umum suatu ciptaaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta diancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta. Seakan-akan pemerintah dihadapkan pada dilema. Data yang dilansir sejumlah media massa memberi warta sebanyak 1082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan "guru profesional", seorang calon guru besar di Parahyangan, Bandung, dan dua dosen universitas swasta di Jogja yang memalsu tesisnya dengan mengkloning pokok pikiran mahasiswa S-1. Di satu sisi pemerintah harus bertindak tegas dengan menghentikan atau mencopot gelar yang diembannya. Di termin lain, institusi pendidikan masih membutuhkan kontribusi pendidik dan dosen bersangkutan karena minimnya tenaga pengajar. Mau tidak mau harus dimafhumi rentetan insiden pendidikan di muka memberikan hipotesis bagi publik akan matinya intelektualitas kampus. 

 Perguruan tinggi yang sejatinya diamanahi untuk mengemban tridharma yakni dharma pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat belumlah melaksanakan sepenuhnya. Dua aktivitas terakhir amatlah jarang dilakukan pemangku kepentingannya. Jika meneliti dan mencerahkan masyarakat saja alpa diupayakan, ini mengindikasikan minimnya kepekaan sosial serta kurangnya kepedulian terhadap nasib dan permasalahan khalayak ramai. Jika demikian, tak pantaslah sarjana, doktor, dan profesor disebut seorang intelektual. Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. Akhirnya patutlah kita mengejek mereka layaknya jargon iklan rokok. Pengin eksis, jangan lebay plis!. 

 Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY 

SBY dan Unjuk Rasa

Dimuat di Suara Merdeka, Selasa, 23 Februari 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Salah satu manifestasi reformasi ialah adanya kebebasan publik menyampaikan aspirasi, kritik, dan masukan pada penguasa tanpa tekanan balik rezim yang represif dan dilindungi undang-undang. Hal ihwal ini mengindikasikan demokrasi Indonesia semakin dewasa. Akan tetapi, atas nama demokrasi pula seseorang dapat menyampaikan pernyataan sikap seenaknya tanpa mempertimbangkan etika dan kepatutan norma. Penggalan kalimat di muka, agaknya cukup mewakili perasaan SBY ketika mengomentari aksi unjuk rasa mahasiswa bertepatan seratus hari pemerintahan kabinet Indonesia bersatu jilid II 28 Januari 2010 silam. Respon ini cukup wajar mengigat tindakan pendemo dianggap melecehkan dengan membawa kerbau bertuliskan SiBuYa dan bergambar SBY “turun” di bagian ekornya. Selain itu, massa juga meneriaki Yudhoyono dan Budiono maling serta membakar foto keduanya.


Di satu sisi, pernyataan sang jendral juga merupakan kebebasan menyampaikan opini pula, tetapi beda posisinya. Bagi massa, demonstrasi ialah wujud advokasi untuk mengawal demokrasi formal dan kebijakan pemerintah. Tetapi bagi presiden sikap mengeluh ini sudah kesekian kalinya dalam merespon tuntutan massa. Tak heran jika perilaku tokoh incumbent tersebut mendapat masukan banyak kalangan agar presiden jangan terlalu banyak merasa terdzolimi dan meminta iba pada khalayak ramai. Sebab, sikap itu terlalu naïf dilontarkan seorang RI 1 dan dapat menurunkan kewibawaan. Sebenarnya jika presiden tak berlebihan mereaksi, tanggapan publik terhadap tingkah polahnya tak sebesar ini. Justru ungkapan presiden tidak pada tempatnya itu, malah menjadi konsumsi media massa yang hilirnya menjadi bahan perbincangan berbagai lapisan masyarakat. Mencermati fragmen di muka, hendaknya presiden tak terlalu over dalam memberikan feed back terhadap aksi-aksi massa. Karena hanya menghamburkan energi dan mengurangi konsentrasi kerja. Biarlah publik yang menilai dengan akal sehat dan hati nuraninya. 

Di segi lain, masyarakat hendaknya juga dapat melestarikan demokrasi dengan beradab menyalurkan aspirasi. Sebab inilah tantangan bersama hidup di era keterbukaan dan demokrasi. Akhirnya ada baiknya merenungi ungkapan bijak dari salah seorang wakil DPR RI, Anis Matta. Bekerja di alam demokrasi ibarat tidur di samping rel kereta. Mau menunggu suasana tenang untuk tidur tidak akan bisa, karena kereta selalu lalu lalang setiap saatnya. Oleh sebab itu, kita perlu membiasakan berada dalam lingkungan gaduh agar dapat terlelap dan terus beraktivitas di hari berikutnya. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa