Minggu, 25 Juli 2010

Momentum Sosialisasi UU Pornografi

Dimuat di Harian Jogja, 24 Juni 2010 


Selama hampir sebulan video porno yang diperankan artis mirip Ariel dan Luna Maya meresahkan masyarakat, akhirnya vokalis Peterpan itu menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pukul 03.00 dini hari. Kabareskrim Ito Sumardi pun memvonis Ariel sebagai tersangka. Bisa jadi kasus seronok ini hanyalah setitik dari maraknya sikap amoral yang mendera negeri ini. Kasus aksi mesum Ariel menjadi konsumsi media lantaran dilakukan oleh tokoh publik yang selama ini dikenal sebagai penyanyi. Bahkan kasus ini mendapat liputan dari media internasional dan diketahui publik mancanegara. Apa mau dikata, hancurlah citra negeri ini. Akan tetapi adanya peran pemerintah untuk secepat mungkin menyelesaikan insiden ini, membuktikan masih adanya perhatian dan upaya perbaikan moral di ibu pertiwi.

Kini yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah ialah segera menangkap oknum penyebar video tersebut, jika masyarakat tak ingin memperoleh dampak buruknya. Hadi Supeno dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan 80 person anak-anak Indonesia sudah menonton adegan tercela tersebut. Jika memang demikian, orang tua dan pendidik terlihat kecolongan karena membiarkan anak asuhnya menyaksikan tayangan yang tak seharusnya. Dampak buruknya dapat dicermati di Sumedang, Jawa Barat tiga pemuda memperkosa anak kelas 6 SD setelah menonton gambar bergerak Ariel dan Luna. Ariel pun dijerat dengan pasal berlapis. Artis ternama ini melanggar UU Pornografi No. 44/ 2008 pasal 29 yang berbunyi “setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, mengekspor, mengimpor, menawarkan, menjualbelikan, menyewa, atau menyediakan pornografi akan dipidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun serta didenda paling sedikit 250 juta dan paling banyak 6 milyar. 

Jika dikaitkan dengan UU di muka, Ariel termasuk orang yang bertindak atau berbuat pornografi dan pornoaksi. Kasus ini dapat dijadikan momentum penting pemerintah untuk menyadarkan sebagian kelompok yang kontra terhadap UU Pornografi yang menimbulkan polemik tahun 2008 sekaligus melakukan sosialisasi kepada khalayak ramai akan pentingnya memantau buah hati dan agar memahami UU Pornografi. Pemerintah melalui Depkominfo dapat membuat program internet sehat maupun memberikan pencerahan kepada masyarakat luas demi perbaikan moral bangsa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Membumikan Pendidikan Karakter

Dimuat di Harian Jogja, 17 Mei 2010

Hari pendidikan nasional 2 Mei silam diperingati Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dengan tema pendidikan karakter sebagai pembangunan keberadaban bangsa. Bahkan, pekan ini Mendiknas menyatakan pemberian pendidikan karakter akan dimulai dari jenjang sekolah dasar. Penulis, berpedapat munculnya tren pendidikan karakter adalah akumulasi klimaks dari demoralisasi yang tampak dalam fenomena sosial kehidupan bernegara. Muhammad Nuh mengistilahkan dengan fenomena sirkus, lantaran seakan ada gape (kesenjangan antara ilmu dengan sikap seseorang). Sebagai contoh, polisi yang harusnya menyeret koruptor malah ditangkap, hakim yang selayaknya berbuat adil malah dihakimi, begitupun guru yang harus mendidik malah dididik. Tentu ihwal ini menjadi absurd di mata publik. 

Rumah Pensil Publisher

Lantas pendidikan karakter seperti apa yang hendak dibentuk. Khoiron Rosyadi dalam bukunya pendidikan profetik mengungkapkan pendidikan yang bermakna memanusiakan manusia lebih bermakna antroposentris (berpusat pada manusia). Untuk membentuk karakter, maka pendidikan harus berangkat dari theosentris (berpusat pada keTuhanan) agar pendidikan tidak kehilangan unsur pokok dalam individu yaitu dimensi kerohanian dan spiritual. Maksudnya ialah, jika berbicara pendidikan sama saja dengan memperbincangkan manusianya. Oleh sebab itu, pengampu kebijakan hendaknya mengetahui dan faham hakikat manusia serta orientasi dilahirkannya untuk apa. Maka, jika pertanyaan fundamen ini belum tuntas dijawab, semodern apapun sistem pendidikan tidak akan mampu membentuk manusia yang seutuhnya. Karena sistem pendidikan kita memisahkan agama dengan kehidupan. Sehingga berdampak pada bingungnya mitra didik dalam mengorientasikan hidupnya. Berpijak dari argumen di muka, pendidikan karakter haruslah berorientasi profetik atau berbasis kenabian. Sebab, jika dikaitkan dengan klasifikasi sosial, siapa manusia yang dimaksud memiliki kans besar untuk membumikannya? Para mahasiswa. Apa alasannya? Dasarnya jelas. Mahasiswa ditempatkan segaris sepemaknaan dengan Nabi. Mahasiswa mendapatkan ruang pencerahan. Jika Nabi tercerahkan oleh wahyu, mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Karena tidak semua orang dapat mengaksesnya. 

Keterlibatan awal ini harus diikuti dengan humanisasi -memanusiakan manusia- tak sekadar rekan kampus semata, namun juga melakukan rekonstruksi sosial kemasyarakatan. Liberasi atau pembebasan dari isme atau ajaran yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Keduanya harus dibingkai dengan nilai transendensi yang kuat. Nilai itu adalah iman. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Prihatin Demokratisasi Lokal

Dimuat di Lampung Post, 1 Mei 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Melihat pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, selain banyaknya artis yang diusung partai politik untuk maju menjadi bupati kentalnya politik dinasti dapat mengancam demokratisasi lokal dan berjalannya otonomi daerah. Tercatat ada lebih dari sepuluh keluarga petahana (incumbent) yang mendeklarasikan dirinya menjadi calon pemimpin daerah.

Menariknya, dalam pilkada Bone Bolange, Gorontalo ada seorang istri Ruwaida Mile maju menantang suaminya Ismail Mile. Bahkan di tempat yang sama Kris Wartabone melawan kakaknya sendiri Kilat Wartabone. Adapun di Jogja, ada Sri Surya Widati (istri Idham Samawi) yang dijagokan partai berlambang Banteng dalam pilkada Bantul. Di tempat lain, munculnya artis yang digadang-gadang partai politik tertentu mencerminkan minimnya stok kader yang berkualitas. Apalagi artis yang diusung cacat moral seperti Julia Perez dan Maria Eva yang sudah terkenal dengan foto dan video seronoknya beredar di dunia maya. Bayangkan jika mereka menjadi bupati, rakyatnya pun bisa ikut tak bermoral. Tak heran jika Gamawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri) mengingatkan publik dengan UU No 32/ 2004 tentang pemerintah daerah khususnya pasal 58 yang secara eksplisit menyatakan adanya syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela bagi calon pemimpin daerah dari enam belas syarat lain. 

Penulis merasa miris dan mengutuk parpol yang mendukung artis tak bermoral maju ke pentas pilkada. Jika dianalisa ada beberapa sebab mengapa terjadi demikian. Pertama, sistem demokrasi di era kini masih terjebak pada demokrasi virtual bukan demokrasi substansional. Sehingga banyak parpol mengajukan calon yang sekadar popular tanpa menguji kompetensinya. 

Kedua, ihwal ini mencerminkan parpol tidak melakukan kaderisasi jangka panjang dan pembinaan untuk penyiapan kader. Tetapi malah terjebak pada kepentingan pragmatis dengan mengumandangkan politik citra semata menjelang pilkada. Setelah itu tidak ada agenda rutin parpol untuk turut serta menyejahterakan rakyat. Padahal uang pembinaan yang dikucurkan pada parpol yang lolos electoral threshold cukup besar. Jika dimanfaatkan dana tersebut dapat digunakan untuk pencerdasan pemilih (education voters) dan memberikan garansi ke depan demokratisasi lokal semakin dewasa.

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Selasa, 06 Juli 2010

Temu IMAKIPSI di FIP UNY

Dimuat di Harian Jogja, 30 April 2010 


Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan seIndonesia (IMAKIPSI) akan mengadakan musyawarah regional, 30-2 Mei 2010 yang diikuti pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se Jawa-Bali di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Yogyakarta. Acara tersebut akan dibuka dengan seminar nasional IMAKIPSI bertema “Telaah Kritis Kinerja Mendiknas dalam Upaya Pencerdasan dan Membangun Karakter Bangsa di Era Globalisasi” Jum’at, 30 Mei 2010, jam 13.00-16.00 WIB di Gedung Abdullah Sigit Lt. III FIP UNY dengan menghadirkan pembicara Dr. Fasli Jalal, P. hd. (wakil mendiknas), Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. Ed (Guru besar UNY dan praktisi pendidikan), Drs. Sukro Muhab (Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu). Bagi yang ingin mendaftar dapat menghubungi Iqbal (081802635614) dan Gesang (085642366017). Biaya pendaftaran mahasiswa Rp.35.000 dan umum Rp.50.000. 


Sebagaimana dituturkan Hasbi Ashidiqie selaku ketua BEM FIP tahun ini lembaganya fokus mengkaji dan mengkritisi ujian nasional (UN) yang sedari awal menuai pro dan kontra sejak dihelat pertama kali 2003. Pertemuan ini selain mengkritisi UN juga akan membahas agenda strategis IMAKIPSI ke depan. Adapun acara diadakan dengan mengambil momentum di tengah euforia pengumuman hasil UN dengan segala dampak yang mengiringinya. UN tidak seharusnya dijadikan standar kelulusan dengan mengabaikan peran pendidik sebagai evaluator pendidikan. UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi pendidikan pasal 58 menyatakan “Evaluasi hasil belajar mengajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara kesinambungan”. 

Selain itu UN kontradiktif dengan pembentukan karakter anak. Sebab, karakter adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang (rehersial). yang didasarkan atas kematangan fikiran dan motivasi yang kuat untuk melakukannya. Jika setiap tahun proses belajar mengajarnya seperti bimbingan belajar satuan pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan instan, yang hanya memecahkan simbol soal-soal. Anak terbiasa didikte dan diberikan rumus jitu untuk memecahkan soal. UN tetap saja dapat dilaksanakan jika penilaian kelulusan disesuaikan dengan daerah masing-masing sebagai konsekuensi desentralisasi pendidikan. Jika tidak pemerintah harus memenuhi terlebih dahulu delapan lingkup standar pendidikan nasional standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian terlebih dahulu sebelum menyelenggarakan UN. Agar pelaksanaan UN dapat adil dan tidak diskriminatif. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Menggaungkan Kembali Kasus Century

Dimuat di Harian Jogja, 13 April 2010 

Pasca berakhirnya masa tugas panitia khusus hak angket Maret silam, mega skandal Bank Century tak lagi terdengar di muka publik. Penulis mencermati dikumandangkannya gugus gagasan Bambang Soesatyo dalam buku “Skandal Gila Bank Century” di Jakarta kemarin tak lain untuk menjaga ritme isu Century agar tetap hangat sekaligus mendesak otoritas hukum agar segera menuntaskannya. Vokalis hak angket tersebut mengungkapkan korupsi perbankkan ini cepat atau lambat akan terbongkar, jika tak direzim sekarang mungkin di pemerintahan baru nanti. Benarkah demikian? memang bangkai yang disimpan akan tercium jua. Akan tetapi, bangkai itu kini diawetkan dan disembunyikan dalam kulkas tebal. Tentu tak seorang pun memperoleh aroma busuknya. 


Tanda tanya besar melintas, bisa jadi ini merupakan siasat untuk menahan sementara kasus ini kemudian melemparkan bola panas ke pihak lain saat khalayak kembali mempersoalkannya. Sebab, ada yang beranggapan serangan balik pemerintah melalui Andi Arif (staf presiden SBY) yang menggugat letter of credit (LC) fiktif dengan mengalirnya rupiah dari Bank Century ke pelbagai perusahaan, salah satunya menyeret Misbakhun (politisi PKS) sekaligus inisiator hak angket Century adalah manajemen konflik dari pemerintahan SBY melalui ranah hukum. Jika terus menerus dibiarkan kasus Century akan menjadi ATM kedua setelah insiden Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Isu nasional ini akan menjadi komoditas politik pada pemilihan presiden 2014 mendatang.

Imbasnya, energi bangsa pun terkuras merampungkan persoalan yang diputar-putarkan. Tidakkah kasus kriminalisasi Bibit-Chandra, Bank Century, dan sekarang mafia pajak memberikan pelajaran. Selain menyita waktu, fikiran, dan uang negara dampak lainnya membuat fokus pemerintah untuk menyejahterakan rakyat tidak menjadi prioritas dan tertunda. Bayangkan jika tim pansus Century gagal, negara akan rugi 5 milyar. Uang rakyat terus ditilap berkedok pajak 28 milyar lebih. Wah, bisa koleps negeri ini. Ingat kawan, utang Indonesia 1670 Trilyun jatuh tempo April 2010. Untuk melunasinya mungkin akan dibarter dengan kekayaan alam kita. Lantas anak cucu kita mau makan apa. Inilah negeri nestapa, semoga Allah SWT memberikan jalan keluarnya. Amin. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Konsekuensi Pascakeputusan MK

Dimuat di Harian Jogja, 8 April 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Amar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak sebagian UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) berdampak sistemik terhadap tata kelola penyelenggaraan pendidikan tinggi selanjutnya. Konsekuensi logis keputusan MK tersebut bersifat final dan mengikat seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Mau tidak mau tujuh PTN yang telah berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yakni UI, UGM, ITB, IPB, UPI Bandung, Universitas Sumatra Utara, dan Universitas Airlangga Surabaya harus mengupdate atau merevisi statusnya. Mula segala asal muara permasalahan ini terletak di pasal 53 UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Terjadi salah tafsir dalam memaknai frasa “badan hokum pendidilkan” yang dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggaran pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu sebagaimana seharusnya.

 Pasal inilah yang melatari PTN berbondong-bondong merubah kampusnya menjadi BHP. Jika terjadi demikkian maka kewenangan kampus akan semakin kuat. Inilah mengapa banyak yayasan dan asosiasi yang mengajukan gugatan judicial review perihal UU pasal 9/2009 tentang Badan Hukum Penddikan ke MK. Karena ditakutkan pasca PTN menjadi BHMN kewenangan mereka menjadi berkurang. Selain itu, banyak kalangan pendidikan yang menyuarakan menolak BHP karena akan terjadi komersialisasi pendidikan. Sebab, bantuan dana dari pemerintah ke PTN menjadi berkurang dan dampaknya kampus harus mencukupi kebutuhan untuk melaksanakan proses belajar mengajar secara mandiri. Menjadi pertanyaan dari mana PTN mendapatkan uang yang ditaksir berjumlah milyaran agar PTN tetap eksis? Jawabannya ialah diperoleh dari mahasiswa. 

Oleh sebab itu biaya pendidikan di di PTN akan menjadi mahal. Adanya penyeragaman kampus melalui BHP jika dicermati merupakan salah satu ciri kapitalisme dan liberalisme yakni dengan standarisasi pembiayaan. Bayangkan, jika masuk PTN saja harus merogoh kocek selangit maka cluster masyarakat menengah ke bawah tidak dapat mengakses pendidikan tinggi. Artinya terjadi diskriminasi pendidikan dalan dunia pendidikan kita. 

Berpijak dari hal di muka, keputusan MK yang menyatakan BHP inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945 melegakan semua masyarakat. Dengan demikian tanggungjawab moralnya ialah pemerintah harus menghapus permendiknas, peraturan pemerintah, maupun peratuan turunan lainnya yang berkaitan dengan BHP seperti PP No. 66 dan 67/1999 yang menjadi landasan legalitas keberadaan BHMN. Pemerintah juga harus turut serta terlibat penuh dan bertanggungjawab dalan pembiayaan pendidikan sebagai satu keharuskan sebagaimana amanat UUD 1945. 

Vivit Nur Arista Putra
Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta

Agenda Milad 12 KAMMI

Di muat di Harian Jogja, 29 Maret 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Terhitung hari ini, Senin, 29 Maret 2010, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) telah eksis 12 tahun lamanya. Rentang waktu itu banyak merubah wujud struktur dan corak gerak gerakan mahasiswa yang lahir dari rahim Forum Silaturahmi Lembaga Dakwa Kampus (FSLDK) ini. Agenda milad ini akan diisi dengan syukuran dan diskusi bertajuk angkringan demokrasi 28 Maret 2010 di KAMMI Land Jln. Affandi, Selatan Bank Panin bertema “Penguatan Demokrasi Pilkada di DIY” menghadirkan Kusno (wartawan Radar Jogja), calon bupati Bantul dan Sleman, Sigit Pamungkas (dosen IPUGM), dan Kartika Nurakhman (Koordinator Gardu Demokrasi) di sore harinya dan dilanjutkan diskusi kedua “KAMMI dan Indonesia” yang dibersamai Eko Prasetyo (Pusham UII), Purwosantoso (Akademisi UGM) dan Sujatmiko Dwiatmaja (Ketua KAMMI DIY). 

 Sejauh ini di Indonesia KAMMI Wiyalah Yogyakarta yang paling siap mengawal otonomi daerah agar tidak menyimpang dari orientasinya. Dampaknya kiprah lokal KAMMI menjadi kemestian untuk melakukan empowering atau pemberdayaan masyarakat.ini dengan membentuk KAMMI Daerah Bantul, Sleman, dan Kota yang akan berupaya mengawal dan mengontrol pelbagai kebijakan di daerahnya. Adapun pembagian lingkup isunya ialah KAMMI Komisariat meliputi isu kekampusan, regional, nasional, dan internasional dengan corak gerak akademis dan intelektual. KAMMI Daerah mengkaji isu lokal seperti anggaran dan peraturan daerah diiringi corak geraknya praksis, taktis, dan strategis. Begitupun dengan KAMMI wilayah sebagai perpanjangan dari KAMMI pusat. 

Adapun bukti konkret kiprah sosial kemasyarakatan KAMMI di momentum pemilihan kepala daerah, KAMMI Bantul dan Sleman melakukan advokasi dan pencerdasan pemilih melalui kerja sama dengan KPU serta mendirikan pos advokasi pemilih untuk membantu warga pendatang guna mendapatkan lisensi menjadi daftar pemilih tetap sesuai PP No. 6/2005 dan KPU tentang pilkada. KAMMI beserta elemen gerakan lainnya tergabung dalam forum Gardu Demokrasi menggagas isu penggunaan fasilitas dan anggaran negara untuk kampanye yang rawan dilakukan incumbent dan advokasi pemilih pemula sebagai investasi jangka panjang demokratisasi. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI UNY