Minggu, 25 Juli 2010

Membumikan Pendidikan Karakter

Dimuat di Harian Jogja, 17 Mei 2010

Hari pendidikan nasional 2 Mei silam diperingati Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dengan tema pendidikan karakter sebagai pembangunan keberadaban bangsa. Bahkan, pekan ini Mendiknas menyatakan pemberian pendidikan karakter akan dimulai dari jenjang sekolah dasar. Penulis, berpedapat munculnya tren pendidikan karakter adalah akumulasi klimaks dari demoralisasi yang tampak dalam fenomena sosial kehidupan bernegara. Muhammad Nuh mengistilahkan dengan fenomena sirkus, lantaran seakan ada gape (kesenjangan antara ilmu dengan sikap seseorang). Sebagai contoh, polisi yang harusnya menyeret koruptor malah ditangkap, hakim yang selayaknya berbuat adil malah dihakimi, begitupun guru yang harus mendidik malah dididik. Tentu ihwal ini menjadi absurd di mata publik. 

Rumah Pensil Publisher

Lantas pendidikan karakter seperti apa yang hendak dibentuk. Khoiron Rosyadi dalam bukunya pendidikan profetik mengungkapkan pendidikan yang bermakna memanusiakan manusia lebih bermakna antroposentris (berpusat pada manusia). Untuk membentuk karakter, maka pendidikan harus berangkat dari theosentris (berpusat pada keTuhanan) agar pendidikan tidak kehilangan unsur pokok dalam individu yaitu dimensi kerohanian dan spiritual. Maksudnya ialah, jika berbicara pendidikan sama saja dengan memperbincangkan manusianya. Oleh sebab itu, pengampu kebijakan hendaknya mengetahui dan faham hakikat manusia serta orientasi dilahirkannya untuk apa. Maka, jika pertanyaan fundamen ini belum tuntas dijawab, semodern apapun sistem pendidikan tidak akan mampu membentuk manusia yang seutuhnya. Karena sistem pendidikan kita memisahkan agama dengan kehidupan. Sehingga berdampak pada bingungnya mitra didik dalam mengorientasikan hidupnya. Berpijak dari argumen di muka, pendidikan karakter haruslah berorientasi profetik atau berbasis kenabian. Sebab, jika dikaitkan dengan klasifikasi sosial, siapa manusia yang dimaksud memiliki kans besar untuk membumikannya? Para mahasiswa. Apa alasannya? Dasarnya jelas. Mahasiswa ditempatkan segaris sepemaknaan dengan Nabi. Mahasiswa mendapatkan ruang pencerahan. Jika Nabi tercerahkan oleh wahyu, mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Karena tidak semua orang dapat mengaksesnya. 

Keterlibatan awal ini harus diikuti dengan humanisasi -memanusiakan manusia- tak sekadar rekan kampus semata, namun juga melakukan rekonstruksi sosial kemasyarakatan. Liberasi atau pembebasan dari isme atau ajaran yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Keduanya harus dibingkai dengan nilai transendensi yang kuat. Nilai itu adalah iman. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Tidak ada komentar: