Minggu, 25 Juli 2010

Segera Laksanakan KTSP

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 20 April 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pijakan dasar pelaksanaan ujian nasional (UN) tertera jelas dalam PP 19/2005 Standar Nasional Pendidikan BAB X tentang Standar Penilaian Pendidikan pasal 68. Pada pasal tersebut diputuskan hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peraturan Pemerintah yang baru PP No. 10/ 2010 isinya menyatakan peserta didik yang tak lulus ujian nasional dapat melakukan ujian ulangan malah menunjukkan mulai melunaknya sikap pemerintah karena mendapat tekanan dari banyak pihak yang menolak penerapan UN sebagai wujud evaluasi. 

Alasan penolakannya ialah, pertama mengabaikan pendidik sebagai evaluator pendidikan. UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi pendidikan pasal 58 mengungkapkan “Evaluasi hasil belajar mengajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara kesinambungan”. Kedua, pemerintah berperan mutlak dalam penentuan kelulusan dan mengabaikan pendidik yang mengetahui persis perkembangan anak. Ketiga, UN menilai secara kognitif. Sedangkan afektif dan psikomotorik terabaikan. Padahal keduanya yang lebih faham adalah pendidik. Ihwal ini menjadikan anak berfikir konvergen (satu arah). Keempat, penyelenggaraan UN selama 3 hari atau 2 jam per hari tidaklah menghargai proses belajar mengajar peserta didik selama 3 tahun. Kelima, UN kontradiktif dengan pembentukan karakter anak. Efek mendasarnya akan merusak sistem pendidikan. Bayangkan, menjelang UN per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out). Hal ini tentu mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh siswa. Insiden UN ini juga berimbas pada psikis atau mental pendidik dan peserta didik. Cara pandang dan cara mengajar guru menjadi pragmatis. Mengukur keberhasilan dari segi hasil, bukan serangkaian proses. Sekolah pun akhirnya hanya akan memfokuskan proses belajar-mengajar pada mapel yang diujikan di UN, karena hasil UN menyangkut prestise satuan pendidikan. Peserta didik pun demikian, pola belajar mereka menjadi monoton satu arah pada mapel yang ditawarkan di UN dan kemungkinan besar mengabaikan mapel lainnya. Inilah yang berpotensi memunculkan kecurangan massal, antara pendidik, peserta didik, bahkan sekolah. Kesemuanya dilakukan demi satu kata pragmatis; lulus. 


Revisi UN, Terapkan KTSP 

Polemik ujian nasional mencapai klimaksnya ketika Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas perkara ujian nasional. Keputusan ini didasari pertimbangan yang matang, bahwa pemerintah memang belum meningkatkan kualitas pendidik secara merata, sarana prasarana yang komplit, dan akses informasi yang menyeluruh hingga daerah pedalaman. Jika dinalar inilah problem pendidikan yang sesungguhnya, UN hanyalah persoalan yang mengapung di akhir tahun saja dalam evaluasi pendidikan. Malangnya pemerintah masih saja berkilah bahwa ketiga hal di muka dalam proses renovasi. Tapi sampai kapan? Tentu inilah pertanyaan publik yang mengemuka. Mengingat sudah 64 tahun negeri ini merdeka, tetapi layanan pendidikan masih jauh dari asa. 

Maka perhelatan UN menjadi sangat diskriminatif, karena kemampuan antardaerah sangat timpang dalam memenuhi delapan standar pendidikan yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Provinsi berkota besar umumnya sudah memenuhi prasyarat di atas. Tetapi bagi daerah pedalaman sangatlah bertolak belakang. Alur nalarnya seharusnya, pemerintah melengkapi terlebih dahulu delapan standar pendidikan sebelum mengeluarkan kebijakan UN. Mencermati dan menyadari beragamnya potensi satuan pendidikan, sudah sepantasnya pemerintah menyerahkan mekanisme pendidikan dan evaluasinya pada sekolah masing-masing. Apa gunanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dicetuskan sejak 2006 jika tidak dilaksanakan. KTSP memberikan kesempatan lebih kepada sekolah dan pendidik untuk mengelola pendidikan secara mandiri sebagai konsekuansi dari desentralisasi pendidikan, yang dikembangkan berdasarkan potensi, kebutuhan, kepentingan pendidik, dan lingkungan setempat.

Oleh sebab itu, evaluasi pendidikan menurut PP No. 19/ 2005 yang bermakna "kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan", haruslah dikembalikan pada satuan pendidikan setempat sebagai konsekuensi logis penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yakni memberi otonomi pada sekolah, dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mengembangkan KTSP secara serentak. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan

Membumikan Pendidikan Berkarakter Profetik

Dimuat di Lampung Post, 1 Juni 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Akhir-akhir ini banyak dihelat seminar, workshop, maupun diskusi mengenai pendidikan karakter. Bahkan pendidikan karakter ini dijadikan grand tema hari pendidikan nasional kemarin. Ihwal ini dapat dimaklumi mengingat karakter sebagai pribadi dan bangsa mulai kabur di negeri ini. 

Menurut penulis, munculnya wacana pendidikan karakter yang dijanjikan Mendiknas akan diterapkan di jenjang sekolah dasar merupakan akumulasi dari dehumanisasi dan demoralisasi yang menjadi fenomena sosial di lingkungan kita. Dapat dikata seakan terjadi gap atau kesenjangan antara keilmuan yang dimiliki dengan sikap keseharian seseorang. Muhammad Nuh mengistilahkan sebagai fenomena sirkus. Sebagai contoh, polisi yang harusnya menangkap koruptor malah ditangkap, hakim yang selayaknya berbuat adil malah dihakimi, begitupun guru yang seharusnya mendidik malah dididik.

Rumah Pensil Publisher

Lantas apa yang dimaksud karakter? Simon Philip dalam buku Refleksi Karakter Bangsa (2008; 235) mendefinisakan karakter sebagai kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Akhirnya, pendidikanlah yang menjadi sorotan karena menjadi ruang pembentukan manusia. Khoiron Rosyadi dalam bukunya pendidikan profetik mengungkapkan pendidikan yang bermakna memanusiakan manusia lebih bermakna antroposentris (berpusat pada manusia). Untuk membentuk karakter, maka pendidikan harus berangkat dari theosentris (berpusat pada keTuhanan) agar pendidikan tidak kehilangan unsur pokok dalam individu yaitu dimensi kerohanian dan spiritual. Sebab, manusia saat lahir di dunia telah dibekali fitrah. 

Menurut Imam Al Ghazali fitrah adalah sifat mendasar yang melekat dalam diri manusia. Seperti naluri berketuhanan (tauhid), dapat membedakan antara yang baik dan buruk, memiliki nafsu, dan tidak dapat hidup sendiri. Argumen ini dapat dijadikan bantahan teori psikologi beheviorisme dan teori tabularasa yang menyimpulkan pada dasarnya setiap bayi yang lahir ibarat kertas putih, terserah orang tuanya hendak ditulis dengan tinta warna apa. Hal ini tidak benar, karena manusia ketika muncul di dunia sudah memiliki fondasi fitrah yang ada pada setiap insan. Penulis mencontohkan, orang barat yang sering berbusana terbuka, dalam fikiran dan hati nuraninya pasti mengetahui jika berbaju tertutup lebih sopan dan rapi, orang yang merokok sebenarnya ia tahu dapat merusak kesehatan tubuhnya. Tetapi kenapa mereka masih rutin melakukannya, itu semua karena sudah membiasa dan mendarah daging dalam perilakunya. Itulah karakter, dan yang dapat mengalahkan dan merubah kebiasaan buruk itu ialah kehendaknya. 

Oleh sebab itu, berbincang masalah pendidikan tak akan terpisah dari sosok manusia sebagai bahan mentahnya. Hendak dicipta seperti apa makhluk bernama manusia tersebut, tergantung lingkungan pendidikan yang akan mengolahnya. Lantas karakter seperti apa yang hendak dibentuk? Teori Ibnu Qayyim dalam pembentukan karakter bermula dari mind-idea-memory-believe-motivation-action-habit-character. Semua berawal dari fikiran sebagai sumber ide karena manusia adalah makhluk mulia yang memiliki akal, kemudian jika insan tersebut memanfaatkannya untuk menemukan ide maka gagasan itu akan disimpan dalam memory tempurung kepala sehingga berdampak pada rasa percaya diri. Rasa confident memunculkan motivasi untuk beraksi atau berkehendak. Perbuatan yang berulang-ulang dilakukan akan menjadi habit dan kebiasaan yang rutin dilakukan itulah disebut dengan karakter. Jadi, dapat dikata karakter itu adalah akhlak. Sebab, menurut imam Al Ghazali, akhlak bersifat konstan, tidak temporer, tak ada pertimbangan, dan tekanan dari luar. Oleh sebab itu, dalam Islam akhlak bersifat pokok setelah aqidah dan ibadah. Sebab, jatuh bangunnya pribadi, kelompok, etnis, dan negara bergantung pada akhlak warga negaranya. Karena itulah kita dapat memahami alasan Nabi diutus ialah untuk menyempurnakan akhlak. 

Berpijak dari argumen di muka, pendidikan karakter haruslah berorientasi profetik atau berbasis kenabian. Karena Nabilah representasi manusia yang memiliki katakter sempurna. Jika dikaitkan dengan klasifikasi sosial, siapa manusia yang dimaksud memiliki kans besar untuk membumikannya? Para mahasiswa. Apa alasannya? Dasarnya jelas. Mahasiswa ditempatkan segaris sepemaknaan dengan Nabi. Mahasiswa mendapatkan ruang pencerahan. Jika Nabi tercerahkan oleh wahyu, mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Karena tidak semua orang dapat mengaksesnya. Keterlibatan awal ini harus diikuti dengan humanisasi -memanusiakan manusia- tak sekadar rekan kampus semata, namun juga melakukan rekonstruksi sosial kemasyarakatan. Liberasi atau pembebasan dari isme atau ajaran yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Keduanya harus dibingkai dengan nilai transendensi yang kuat. Nilai itu adalah iman. Itulah intisari teori ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo, agar manusia menyadari konsep dirinya, bahwa orientasi manusia dilahirkan ialah menjadi Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (wakil Allah untuk memakmurkan bumi). 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

TKIT Tahfidzul Qur’an Taman Cendekia Diresmikan

Dimuat di Harian Jogja dan Republika, 5 Juli 2010 

Setelah April kemarin melaunching program celengan raksasa untuk anak yatim. Kini lembaga amil zakat Rumah Peduli akan meresmikan program ajar peduli yakni TKIT Tahfizul Qur’an Taman Cendekia yang akan dilakukan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Jum’at, 2 Juli 2010 bertempat di Jalan Gambiran No. 19. Taman Cendekia ini merupakan TKIT pertama dengan kurikulum anak cinta pajak yang sudah mulai berjalan dengan beberapa siswa baru. Latar didirikannya TKIT ini, karena Rumah Peduli memahami bahwa keberhasilan pendidikan Indonesia harus diawali di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD). 


Pemerintah pun belum begitu serius mengadakan PAUD yang berkualitas. Anak-anak dibiarkan berkembang ala kadarnya. Cukup berpuas diri melihat anak asuhnya bertepuk tangan dan bernyanyi. Padahal, perkembangan otak yang paling pesat terjadi dalam rentang usia 0-8 tahun, baik secara fisik maupun intelektual. Selama rentang waktu tersebut, IQ dapat melonjak secara drastis jika memperoleh rangsangan yang tepat dari orang tua maupun pengasuhnya. Inilah saat paling penting untuk membangun budaya belajar. Jika anak sudah mempunyai budaya belajar yang tinggi, anak akan mudah mempelajari kecakapan belajar (learning skill) pada periode berikutnya yakni orientation stage, termasuk membangun orientasi hidup dan orientasi berikutnya. Di usia 0-8 tahun jugalah, kadar usia yang paling pas untuk menghafal Al qur’an dan terbukti ulama-ulama dahulu berhasil menguasainya sejak kecil. 

Oleh sebab itulah, Rumah Peduli membangun Taman Kanak-kanak Islam Terpadu ini. Adapun rangkaian acara lainnya ialah penandatanganan prasasti Rumah Sehat Yogyakarta (Health and Medical Centre), penyantunan anak yatim yang mendapat beasiswa pendidikan gratis oleh H. Djangkung Sudjarwadi selaku ketua kanwil dirjen pajak DIY. Kemudian pemberian beasiswa mahasiswa berbakat rumah peduli oleh Heri Zudianto (walikota Yogyakarta), penyerahan kunci mobil ambulance dari para sponsor ambulance yang diwakili PT Sido Muncul kepada Rumah Peduli, dan diakhiri dengan pengobatan gratis oleh Dr. Farhan Ali Rahman dan tim rumah sehat Yogyakarta. 

Vivit Nur Arista Putra 
Panitia Peresmian TKIT Tahfidzul Qur’an Taman Cendekia, Dirjen Pajak DIY
CP: 085228302376

Turki Kekuatan Baru Timur Tengah

Dimuat di Lampung Post, 25 Juni 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pembunuhan massal tentara Israel terhadap sembilan awak kapal Turki dalam armada kemanusiaan rombongan Freedom Flotilla adalah tindakan biadab untuk kesekian kali. Menurut pakar hubungan internasional Sugiarto Pramono, arogansi negara Yahudi itu disebabkan empat hal. Pertama, kuatnya pengaruh lobi Yahudi di Amerika Serikat (AS) yang menduduki pos strategis dari eksekutif, senat, dan pemain kunci ekonomi membuat negeri paman Sam mutlak dikendalikan komunitas Yahudi. Kedua, superpower selalu membela Yahudi karena memiliki tendensi menguasai minyak di timur tengah sebagai ambisinya menguasai dunia (Pax Americana) dan Israel dijadikan jangkar di kawasan gurun pasir itu. Ketiga, PBB tidak akan bisa menghukum dan mengadili Israel karena segala kebijakannya dan resolusinya akan di veto AS. Keempat, tersekat-sekatnya dunia Arab membuat perjuangan membela Palestina menjadi tereduksi. 

Di tengah konflik Israel-Palestina, Turki mengemuka sebagai kekuatan baru yang mendukung kemerdekaan Palestina. Langkah ini dimulai dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan sekutunya Israel pascatewasnya sembilan warga negaranya. Penulis menganalisis, sejak 2002 didominasi partai keadilan mengakibatkan kebijakan luar negeri negara sekuler ini berubah. Semenjak itu, Turki memang merencanakan memutuskan hubungan dengan Israel, hanya saja belum menemukan momentum pembenaran. 


Kasus pembantaian warganya di atas kapal Mavi Marmara yang difasilitasi Turki dijadikan argumensi kebenaran untuk melawan Israel. Ihwal ini membuat negeri pimpinan Recep Tayyib Erdogan memiliki daya tawar di mata dunia internasional. Kini sulit bagi dunia berharap pada PBB maupun negara internasional. Dunia hanya diam dengan aksi dzalim Israel. Kalaupun protes, mungkin hanya sekadar mengutuk dan mengecam. Penulis mengapresiasi, atas ikhtiar usulan Indonesia dalam forum OKI (Organisasi Konferensi Islam) dan koordinasi antarparlemen negara untuk mendesak Israel membuka blokade Gaza dan keluar dari tanah Palestina. Tetapi, jika seluruh dunia tidak berpadu dan internal fraksi Hamas dan Fatah tidak segera islah, itu semua tidak akan berhasil menghakimi negara dengan imunitas hukum seperti Israel. Imbasnya, LSM dan aktivis kemanusiaanlah yang bertindak konkret menyalurkan bantuan dengan gagah berani menerobos lautan ke Gaza. Satu pelajaran moral bagi kita, jika Turki dapat mengoordinasi 8 kapal yang terdiri dari 700 aktivis dari 35 negara, hendaknya Indonesia dapat mengirimkan kapal kemanusiaan sendiri ke sana. Allahualam. 

Vivit Nur Arista Putra 
Pegiat media Transform Institute

Momentum Sosialisasi UU Pornografi

Dimuat di Harian Jogja, 24 Juni 2010 


Selama hampir sebulan video porno yang diperankan artis mirip Ariel dan Luna Maya meresahkan masyarakat, akhirnya vokalis Peterpan itu menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pukul 03.00 dini hari. Kabareskrim Ito Sumardi pun memvonis Ariel sebagai tersangka. Bisa jadi kasus seronok ini hanyalah setitik dari maraknya sikap amoral yang mendera negeri ini. Kasus aksi mesum Ariel menjadi konsumsi media lantaran dilakukan oleh tokoh publik yang selama ini dikenal sebagai penyanyi. Bahkan kasus ini mendapat liputan dari media internasional dan diketahui publik mancanegara. Apa mau dikata, hancurlah citra negeri ini. Akan tetapi adanya peran pemerintah untuk secepat mungkin menyelesaikan insiden ini, membuktikan masih adanya perhatian dan upaya perbaikan moral di ibu pertiwi.

Kini yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah ialah segera menangkap oknum penyebar video tersebut, jika masyarakat tak ingin memperoleh dampak buruknya. Hadi Supeno dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan 80 person anak-anak Indonesia sudah menonton adegan tercela tersebut. Jika memang demikian, orang tua dan pendidik terlihat kecolongan karena membiarkan anak asuhnya menyaksikan tayangan yang tak seharusnya. Dampak buruknya dapat dicermati di Sumedang, Jawa Barat tiga pemuda memperkosa anak kelas 6 SD setelah menonton gambar bergerak Ariel dan Luna. Ariel pun dijerat dengan pasal berlapis. Artis ternama ini melanggar UU Pornografi No. 44/ 2008 pasal 29 yang berbunyi “setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, mengekspor, mengimpor, menawarkan, menjualbelikan, menyewa, atau menyediakan pornografi akan dipidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun serta didenda paling sedikit 250 juta dan paling banyak 6 milyar. 

Jika dikaitkan dengan UU di muka, Ariel termasuk orang yang bertindak atau berbuat pornografi dan pornoaksi. Kasus ini dapat dijadikan momentum penting pemerintah untuk menyadarkan sebagian kelompok yang kontra terhadap UU Pornografi yang menimbulkan polemik tahun 2008 sekaligus melakukan sosialisasi kepada khalayak ramai akan pentingnya memantau buah hati dan agar memahami UU Pornografi. Pemerintah melalui Depkominfo dapat membuat program internet sehat maupun memberikan pencerahan kepada masyarakat luas demi perbaikan moral bangsa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Membumikan Pendidikan Karakter

Dimuat di Harian Jogja, 17 Mei 2010

Hari pendidikan nasional 2 Mei silam diperingati Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dengan tema pendidikan karakter sebagai pembangunan keberadaban bangsa. Bahkan, pekan ini Mendiknas menyatakan pemberian pendidikan karakter akan dimulai dari jenjang sekolah dasar. Penulis, berpedapat munculnya tren pendidikan karakter adalah akumulasi klimaks dari demoralisasi yang tampak dalam fenomena sosial kehidupan bernegara. Muhammad Nuh mengistilahkan dengan fenomena sirkus, lantaran seakan ada gape (kesenjangan antara ilmu dengan sikap seseorang). Sebagai contoh, polisi yang harusnya menyeret koruptor malah ditangkap, hakim yang selayaknya berbuat adil malah dihakimi, begitupun guru yang harus mendidik malah dididik. Tentu ihwal ini menjadi absurd di mata publik. 

Rumah Pensil Publisher

Lantas pendidikan karakter seperti apa yang hendak dibentuk. Khoiron Rosyadi dalam bukunya pendidikan profetik mengungkapkan pendidikan yang bermakna memanusiakan manusia lebih bermakna antroposentris (berpusat pada manusia). Untuk membentuk karakter, maka pendidikan harus berangkat dari theosentris (berpusat pada keTuhanan) agar pendidikan tidak kehilangan unsur pokok dalam individu yaitu dimensi kerohanian dan spiritual. Maksudnya ialah, jika berbicara pendidikan sama saja dengan memperbincangkan manusianya. Oleh sebab itu, pengampu kebijakan hendaknya mengetahui dan faham hakikat manusia serta orientasi dilahirkannya untuk apa. Maka, jika pertanyaan fundamen ini belum tuntas dijawab, semodern apapun sistem pendidikan tidak akan mampu membentuk manusia yang seutuhnya. Karena sistem pendidikan kita memisahkan agama dengan kehidupan. Sehingga berdampak pada bingungnya mitra didik dalam mengorientasikan hidupnya. Berpijak dari argumen di muka, pendidikan karakter haruslah berorientasi profetik atau berbasis kenabian. Sebab, jika dikaitkan dengan klasifikasi sosial, siapa manusia yang dimaksud memiliki kans besar untuk membumikannya? Para mahasiswa. Apa alasannya? Dasarnya jelas. Mahasiswa ditempatkan segaris sepemaknaan dengan Nabi. Mahasiswa mendapatkan ruang pencerahan. Jika Nabi tercerahkan oleh wahyu, mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Karena tidak semua orang dapat mengaksesnya. 

Keterlibatan awal ini harus diikuti dengan humanisasi -memanusiakan manusia- tak sekadar rekan kampus semata, namun juga melakukan rekonstruksi sosial kemasyarakatan. Liberasi atau pembebasan dari isme atau ajaran yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Keduanya harus dibingkai dengan nilai transendensi yang kuat. Nilai itu adalah iman. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Prihatin Demokratisasi Lokal

Dimuat di Lampung Post, 1 Mei 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Melihat pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, selain banyaknya artis yang diusung partai politik untuk maju menjadi bupati kentalnya politik dinasti dapat mengancam demokratisasi lokal dan berjalannya otonomi daerah. Tercatat ada lebih dari sepuluh keluarga petahana (incumbent) yang mendeklarasikan dirinya menjadi calon pemimpin daerah.

Menariknya, dalam pilkada Bone Bolange, Gorontalo ada seorang istri Ruwaida Mile maju menantang suaminya Ismail Mile. Bahkan di tempat yang sama Kris Wartabone melawan kakaknya sendiri Kilat Wartabone. Adapun di Jogja, ada Sri Surya Widati (istri Idham Samawi) yang dijagokan partai berlambang Banteng dalam pilkada Bantul. Di tempat lain, munculnya artis yang digadang-gadang partai politik tertentu mencerminkan minimnya stok kader yang berkualitas. Apalagi artis yang diusung cacat moral seperti Julia Perez dan Maria Eva yang sudah terkenal dengan foto dan video seronoknya beredar di dunia maya. Bayangkan jika mereka menjadi bupati, rakyatnya pun bisa ikut tak bermoral. Tak heran jika Gamawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri) mengingatkan publik dengan UU No 32/ 2004 tentang pemerintah daerah khususnya pasal 58 yang secara eksplisit menyatakan adanya syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela bagi calon pemimpin daerah dari enam belas syarat lain. 

Penulis merasa miris dan mengutuk parpol yang mendukung artis tak bermoral maju ke pentas pilkada. Jika dianalisa ada beberapa sebab mengapa terjadi demikian. Pertama, sistem demokrasi di era kini masih terjebak pada demokrasi virtual bukan demokrasi substansional. Sehingga banyak parpol mengajukan calon yang sekadar popular tanpa menguji kompetensinya. 

Kedua, ihwal ini mencerminkan parpol tidak melakukan kaderisasi jangka panjang dan pembinaan untuk penyiapan kader. Tetapi malah terjebak pada kepentingan pragmatis dengan mengumandangkan politik citra semata menjelang pilkada. Setelah itu tidak ada agenda rutin parpol untuk turut serta menyejahterakan rakyat. Padahal uang pembinaan yang dikucurkan pada parpol yang lolos electoral threshold cukup besar. Jika dimanfaatkan dana tersebut dapat digunakan untuk pencerdasan pemilih (education voters) dan memberikan garansi ke depan demokratisasi lokal semakin dewasa.

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY