Senin, 11 April 2011

Menyoal Kasus PKS

Pascagonjang-ganjing koalisi dan isu reshuffle yang akrab ditelinga khalayak memang jauh panggang dari api. Tetapi diluar pemerintahan, dua partai politik yang disangka pemberontak mendapat serangan bertubi-tubi atas tak sefahamnya dengan pimpinan koalisi. Seorang politisi Golkar dilaporkan terlibat penilapan Blackberry. Di termin lain dua petinggi PKS juga diserbu isi negatif yang menyibukkan partai berjargon bersih, peduli, dan profesional ini. Selain, Anis Matta (wakil DPR RI) dan Luthfi Hasan Ishaq (Presiden PKS) juga dilaporkan Yusuf Supendi (mantan pendiri PK) ke KPK dengan tuduhan penggelapan uang 10 Milyar saat pilkada Jakarta dengan mencalonkan Adang Darodjatun. Menyeruak kasus Arifinto (anggota DPR Fraksi PKS) yang tertangkap kamera membuka situs porno. Kendati belum terbukti kebenarannya tetapi perkara di muka sangatlah menggangu kinerja mereka di legislatif dan menuai tanda tanya kader dan simpatisan tentang fakta duduk persoalannya. 


Memang hampir semua partai mengalami faksi dan problem internal, tetapi khusus PKS hal ini menjadi perhatian khusus dilihat dari momentum terjadinya gejolak internal ini yang diduga sebagai serangan balik atas kekritisan PKS menggunakan hak angket pajak di parlemen. Meskipun kecurigaan ini hanya spekulatif kendati dan belum empiris, tetapi bau operandi politiknya sangat kuat jika mencermati momentum terjadinya perkara. Ada kemungkinan ihwal ini merupakan respon oknum luar kepada partai berlambang padi dan bulan sabit atas manuvernya di DPR. 

Mengkaji kasus PKS, Burhanudin Muhtadi (pengamat politik LSI) mengemukakan dua alasan. Pertama, ada kemungkinan Yusuf Supendi dijadikan kuda troya atau person operasional untuk mengacaukan kesolidan partai yang lahir dari gerakan dakwah. Kedua, secara internal terjadi tarik menarik antara kubu harokah pendiri partai dengan kubu hizby selaku organ partai yang dapat melakukan negosiasi dan bermanuver di pemerintahan yang dianggap bertentangan dengan khitoh partai. Tetapi ulah mantan pendiri partai yang melaporkan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq ke Bareskim Polri atas kiriman pesan singkat bermuatan tuduhan Yusuf bekerja sama dengan BIN untuk mengjungkalkan partainya. Tindakan Yusuf selama ini hanya dipandang mendramatisasi keadaan untuk menuai simpati kader lain agar turut serta mendukung dirinya. Jika tak ingin memperoleh citra negatif, sebaiknya problem internal hendaknya dituntaskan segera. Ibarat baju keluarga kotor masak mau dicuci di rumah tetangga, kan tidak etis. Berbarengan dengan itu, sebagai partai Islam penjelasan ke kader tentang fakta empirisnya juga mutlak terus dilakukan jika tak ingin kehilangan suara konstituen yang selama ini berasal dari kalangan cerdik pandai di perkotaan dan desa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Kamis, 07 April 2011

Refleksi Aksi dan Tantangan Masa Depan KAMMI

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Usia memang tidak selalu menunjukkan tingkat kedewasaan. Tetapi bertambahnya usia setidaknya memperlihatkan beragam perubahan. Apalagi bagi sebuah gerakan pemuda Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang kini menginjak usia ke 13 tahun. Angka ini bukanlah bilangan sejenak, sulit pula disebut masa tua. Namun, setiap tahun selayaknya menjadi proses pematangan bagi gerakan ini. Jika dianalogikan pada fase pertumbuhan manusia, maka KAMMI sedang menghadapi proses akil baligh dan metamorfosa gerakan. Umur reformasi itulah rentang waktu organisasi ini ada. Sebab, KAMMI merupakan salah satu elemen penggerak kran reformasi sekaligus penumbang rezim otoriter. Sudah menjadi sunatullah semakin bertambahnya usia dan kapasitas gerakan, semakin kompleks pula medan tantangan yang dihadapinya. Oleh karenanya membutuhkan desain gerakan yang tidak sederhana. 

Rijalul Umam dalam bukunya “Capita Selekta KAMMI, Membumikan Ideologi Menginspirasi Indonesia” mengatakan sebelum menetukan peran strategis KAMMI hari ini dan masa mendatang, perlu juga melakukan teoritisasi trend gerakan dari segi gerakan mahasiswa dan kebangsaan. Hal ini dilakukan untuk membaca zeitgeist (jiwa zaman), agar bila telah terbaca tingkatan zamannya KAMMI dapat menentukan peran strategis apa yang dapat dieksekusi dan pada sisi apa dapat berkontribusi demi kemajuan negeri. Sejarah menunjukkan dinamika gerakan mahasiswa biasanya terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Catatan penting sejarah KAMMI dalam sepuluh tahun pertama adalah gerakan ini mampu leading dalam penguatan aksi politik nilai yang membuatnya mendapatkan tempat terhormat di level nasional. 


Deretan isu kebangsaan mampu diusung KAMMI seperti pergantian rezim diktator, enam visi reformasi, hingga pemberantasan korupsi. Selain itu, muslim negarawan menjadi ”brand image” gerakan bagi peristilahan kepemimpinan nasional yang disuarakan hingga pemilihan presiden 2009. Prestasi ini patut dijaga dan kembangkan. Kini KAMMI jilid 2 (2009-2019) menghadapai tantangan berbeda dibanding satu dekade awal. Pemerintahan orde baru telah berganti menjadi pemerintahan demokratis yang hierarkis, dengan pengelolaan yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah. Di sini medan tantangan KAMMI semakin kompleks, maka dibutuhkan kemasan gerak dan langkah yang variatif, sistematis, dan visioner. Jika dikaitkan dengan tren teoritisasi gerakan, kini KAMMI berada di fase rekonstruksi (2009-2014) atau aksi politik nilai. Konsekuensi logisnya ialah dibutuhkan rencana strategis yang matang dan visioner di tengah kontemplasi politik nasional dan global. 

Mengaca sejarah, tren gerakan mahasiswa pascakemerdekaan ialah melawan komunisme yang diperagakan kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tahun 1950-an adalah konsolidasi ummat secara ideologis. Terlihat gerakan mahasiswa dan pemuda menyolidkan barisan ummat dalam naungan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), hingga M. Natsir terpilih menjadi perdana menteri pertama Indonesia. Maka tak heran jika kala itu HMI dianggap sebagai underbow dari Masyumi. Kesamaan ideologis dan pemikiran membuat organisasi dikait-kaitkan dengan partai politik. Amin Sudarsono, dalam bukunya Ijtihad Membangun Basis Gerakan memaparkan sejarah orde lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan menggarap mahasiswa. HMI diduga sebagai alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII nya, PNI dengan GMNI nya, PKI dengan CGMI nya. 

Bagaimana dengan KAMMI, hendaknya pada masa kini citra KAMMI tidak selalu identik dengan gerakan dakwah berwujud parpol di Senayan sana. Penulis mengangguk dua kali komentar di muka. Hanya saja bagaimana mewujudkannya?. Bukankah pandangan citra negatif harus disulap menjadi citra positif, tentunya maksud sosial independen dalam paradigma KAMMI tanpa melupakan bagian dari rekayasa dakwah Islam dengan wilayah operasional yang berbeda. Kesamaan ideologi akan tetap mengendap dalam tempurung kepala, perihal sikap inilah yang harus tegas berbeda. Persoalan independensi KAMMI, haruslah menjadi perbincangan serius di mata kader dan pengurus. Apakah ingin menjadi underbow, invisible underbow, atau independen bro...?????///>#%* Inilah yang menjadi tantangan KAMMI ke depan. Tren berlanjut tahun 1960-an dengan membangun oposisi gerakan melawan antirezim otoriterisme. Di tahun ini kali pertama gerakan mahasiswa bekerja sama dengan militer untuk menumbangkan Soekarno yang berubah menjadi otoriter dengan demokrasi terpimpin. Tahun 1970 sampai 90-an tren isunya adalah kebangkitan pemikiran Islam hingga pelembagaan forum kajian Islam menjadi lembaga dakwah kampus yang muaranya melahirkan KAMMI. 

Era 2000-an gerakan mahasiswa berganti menjadi gerakan politik dalam arti dua hal. Pertama, aksi demonstrasi mahasiswa selalu berdampak perubahan kebijakan pemerintah. Kedua, ihwal ini salah satunya dipengaruhi mobilitas vertikal alumni gerakan mahasiswa ke pusaran kekuasaan. Relasi antara alumni dengan mantan institusi menarik untuk dikaji. Bagaimanapun tokoh alumni yang menjadi aktivis parpol pastilah memiliki sisa pengaruh kuat di mata adik angkatannya. Jika demikian kesan invisible underbow akan selalu mengemuka bagi organisasi apapun itu. Pada dimensi kebangsaan dan kenegaraan agenda yang perlu dibawa KAMMI ialah mentransformasikan demokrasi formal saat ini menuju demokrasi substansial. Intisari demokrasi tak sekadar pemilihan pemimpin secara langsung. Tetapi juga mengedepankan agenda pembangunan kesejahteraan masyarakat di kancah domestik maupun internasional. 

Sebagai organisasi masyarakat oposan pemerintah, KAMMI haruslah memastikan prosesi pemilihan pemimpin pusat hingga kepala daerah berlangsung dengan jujur dan adil serta terhindar dari money politic. Selain itu, KAMMI juga perlu mengawal kerja-kerja penguasa agar on the track sesuai konstitusi dan mengemban amanat rakyat. Sebab, standar minimal hidup di alam demokrasi ialah transparansi dan akuntabilitas semua warga termasuk penguasa. Oleh sebab itu, untuk mempermudah kerja dakwah perlu dilakukan pembagian wilayah kerja KAMMI. Konkretnya berubahnya sistem pemerintahan menjadi desentralisasi, membuat KAMMI turut melebur menyesuaikannya menjadi KAMMI komisariat di kampus dengan corak intelektual akademis, KAMMI Daerah di skup kabupaten kota dan KAMMI Wilayah provinsi dengan corak gerak taktis, praksis, dan strategis dengan fokus isu lokal kedaerahan. 

Di beberapa provinsi dan kabupaten, KAMMI sudah membentuknya kendati belum seantero Indonesia. Lantas yang langkah kedua yang wajib dipraktikkan ialah menggagas isu baru sebagai brand image atau marketisasi gerakan. Agar spirit gerak KAMMI tidak melulu reaktif atas isu atau wacana yang mengemuka tingkat nasional maupun lokal, tetapi lebih proaktif dengan mengumandangkan gugus gagasan baru yang menginspirasi sekaligus menjadi trendsetter gerakan. Semisal, corak gerak KAMMI Komisariat UNY sudah terbentuk image “pendidikan profetik” dan “syariatisasi kampus” atas jualan gerakan yang digiatkannya. Derivasi programnya dapat melalui pamfletisasi, diskusi, maupun menjadikannya grand thema Ospek atau acara kampus lainnya. Tentunya ihwal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan karakteristik kampus masing-masing. Sebagai contoh kajian pemikiran Islam dapat digarap kawan-kawan KAMMI UIN, Isu ekonomi syari’ah dapat menjadi objek kajian KAMMI Hamfara atau KAMMI UII Distrik FE. Isu pangan dan pertanian menjadi tawaran KAMMI Instiper, isu kemandirian dan alternatif energi dapat menjadi jargon gerak KAMMI UPN. 

Untuk teritorial Yogyakarta, keistimewaan Yogya menjadi concern isu gerakan KAMMI Wilayah dan KAMMI Kota serta KAMMI Daerah Sleman dengan pengawal Raperda pendidikannya. Ke depan agaknya isu advokasi anggaran perlu digalakkan KAMMI. Di level nasional LSM FITRA sudah mempraktikkannya dengan mengadvokasi keluyuran bertajuk studi banding anggota DPR. Hampir semua media massa merujuk data FITRA seputar pengeluaran dana anggota legislatif yang menilap uang rakyat. Karena hanya merekalah LSM tunggal dengan fokus isu advokasi anggaran. Di kawasan daerah dan kabupaten kota agaknya KAMMI perlu membuatnya sebagai bagian dari kontrol sosial pemerintah daerah yang kini marak penyalahgunaan anggaran lantaran tidak transparan dan akuntabel segala programnya. Bukankah Peter Drucker pernah berujar “langkah terbaik memprediksi masa depan adalah dengan menciptakan masa depan”. John Naysbitt pun tak mau kalah berpetuah “keberhasilan bukan hanya didapat dari menyelesaikan masalah, melainkan juga mengeksploitasi peluang”. Mari bergerak tuntaskan perubahan. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman 

Pemerintah Harus Tegas Sikapi Ahmadiyah

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seruan dari Forum Umat Islam (FUI) agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah atau membentuk agama baru yang tak digubris pemerintah pusat, justru mendapat respon positif dari beberapa pemerintah daerah. Provinsi Jawa Timur dan Banten secara tegas melarang beredarnya ajaran Ahmadiyah melalui surat keputusan gubernur yang dikeluarkannya. Kebijakan ini agaknya harus diikuti provinsi lainnya untuk menjaga aqidah umat agar tidak terkontaminasi ajaran tak sesuai syariat. Tentu tanpa bermaksud generalisir, lantaran Ahmadiyah terpecah menjadi dua yakni Ahmadiyah Qadiyan yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad (MGA) Nabi baru dan Ahmadiyah Lahore yang hanya memandang MGA sebagai mujadid atau pembaharu. 

Setidaknya ada dua perspektif kenapa aliran Ahmadiyah harus dilarang. Pertama perspektif teologis, sejak awal berdirinya di India aliran ini memang sudah cacat dari lahir. Lanskap sosialnya kala itu umat Islam India sedang mengusir Inggris yang menjajah. Melihat kuatnya perlawanan serdadu Islam, Inggris melakukan politik devide et impera untuk memecah soliditas tentara Islam dari dalam. Dipilihlah MGA (1839-1908) sebagai tokoh pemecahnya. Menurut Abul Hasan Ali An Nadwi (Ulama India), MGA memfatwakan penghapusan syariat jihad, karena tokoh berpengaruh ihwal ini membuat semangat sebagian pejuang muslim luntur. Selain itu, menurut penelitian INSIST ia juga menggagas kitab Tazkirah sebagai rujukan dan ada beberapa ayat Al Qur’an yang dipelintir. Maka tuntutan bubarkan Ahmadiyah bukanlah melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan sebagai hukuman bagi organisasi yang menista aqidah Islam. Riset WAMY (Lembaga Pengkajian dan Penelitian) mengungkapkan, Qadiyanisme (demikian WAMY menyebutnya) merupakan gerakan yang muncul pada tahun 1900 yang dibidani penjajah Inggris di benua India dengan tujuan merusak dan menjatuhkan umat Islam dari segi ajarannya sendiri. 

Khusus dari segi jihad sehingga mereka tidak menghadapi penjajah Inggris dengan mengatasnamakan Islam. Corong gerakan ini adalah majalah “Religion” yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. (Hal 301, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Penerbit Al i’tishom). Adian Husaini dalam buku “Inilah Ahmadiyah” mengukip buku Dr. Ihsan Ilahi Zhahir “Al Qadiyaniyyah: Dirasat wa Tahlil” diterjemahkan Pustaka Darul dengan judul “Mengapa Ahmadiyah dilarang?”. Buku ini mengungkap sosok MGA dari sumber primer dokumen Ahmadiyah. Dikisahkan MGA pernah berkata “tidak diragukan lagi bahwa dilahirkan di tengah-tengah umat Muhammad saw, beribu-ribu orang wali dan orang pilihan tetapi tak seorang pun sama denganku.” Bahkan dengan bejatnya MGA memelintir firman Allah dengan menyatakan “Akulah yang dimaksud dalam firmanNya, “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam.” (Q.S. Al Anbiyah: 107).

Di bab lain MGA juga mengemukakan loyalitasnya kepada kolonial Inggris “kuhabiskan mayoritas masa hidupku untuk memberikan dukungan kepada pemerintah Britania dengan menentang ajaran jihad. Aku masih terus berupaya demikian hingga kaum muslimin menjadi setia dengan ikhlas kepada pemerintah ini.” Maka teranglah jika Ahmadiyah dikatakan sesat. Kedua perspektif sosio-yuridis, tidak tegasnya pemerintah pusat untuk membubarkan Ahmadiyah menimbulkan pertanyaan tersendiri. Tidak cukupkah bukti fatwa Rabithah Alam Al Islami, MUI, UN, dan Muhammadiyah tentang Ahmadiyah yang melecehkan agama Islam dan melanggar SKB. Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya tahun 1937 mengutip pesan baginda Nabi akan kedudukan Muhammad sebagai Nabi terakhir “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi.” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Di termin lain, rezim SBY tidak sedikitpun bertindak karena takut dipandang melanggar HAM oleh dunia internasional. Reputasi Indonesia yang tergolong sukses mengembangkan demokrasi akan luntur jika Ahmadiyah ditiadakan. 

Rumah Pensil Publisher

Pemerintah agaknya juga sengaja memelihara Ahmadiyah sebagai alat politik untuk memecah belah kekritisan umat Islam. Saharuddin Daming (Anggota Komnas HAM) berkomentar, tindakan aparat penegak hukum polisi dan kejaksaan agung dalam bentuk penangkapan atau penahanan pimpinan aliran sesat secara sosio-yuridis merupakan kebijakan sangat tepat dan berdasar. Hal ini diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (Perpres ini ditingkatkan menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pasal 1 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu.” Pasal 2 ayat 1 berbunyi “barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ayat 2 menegaskan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan, maka presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jadi fatwa MUI tentang kesesatan suatu kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam, bukanlah pelanggaran HAM. Memilihara ajaran agama adalah juga bagian dari menjalankan HAM. Kita perlu memahami, bahwa HAM dan kebebasan akan berakhir, ketika ada sistem hukum mengaturnya. (Hal 38, Inilah Ahmadiyah, BAB Pelarangan Aliran Sesat Tidak Melanggar HAM, Penerbit Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; 2008). 

Mengacu norma di atas, maka jelaslah Ahmadiyah dengan MGA nya yang mengaku Nabi baru merupakan aliran sesat yang harus ditindak tegas dan dibubarkan atau membentuk aliran baru tanpa embel-embel Islam. Bukankah Allah berkata “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (Al Kafirun: 5). Khalayak dapat mencermati latar terjadinya dua kasus Cikeusik dan Pandeglang yang berselang dua hari. Penulis menganalisa, kejadian di muka adalah respon pemerintah kepada ulama dan rohaniawan yang sebelumnya mengkritisi dan menggugat kebohongan pemerintah. Terkesan dua kasus dengan modus yang sama ini memang disetting agar tokoh agama fokus mengurus umatnya ketimbang mengontrol kebijakan pemerintah. Akhirnya jika pemerintah pusat tak serius menghapus Ahmadiyah, kita berharap kesigapan pemerintah daerah untuk melarang peredaran Ahmadiyah lebih luas. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Ponpes Takwinul Muballighin 

Analisa Teror Bom Buku


Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Teror bom buku yang menggunjang Indonesia mencuatkan ragam spekulasi tentang apa motif dibalik semuanya dan siapa dalang penggeraknya. Sejak tahun 2000 modus serangan memang bervariasi mulai dari memakai mobil, tas ransel, hingga buku disertai pesan yang tertera dijudulnya. Bom berselimut buku terbilang unik dan sederhana, apakah memang disetting demikian mengingat sasaran adalah tokoh kutu buku. Atau kemampuan finansial tak mencukupi sehingga cukup membungkus bom dengan buku. 


Menurut analisa Soeripto (Pengamat Intelijen) muncul bom buku setidaknya ada tiga motif yang melatari pelaku. Pertama, untuk mengalihkan isu politik yang sedang menyerang istana atas pemberitaan dua media massa The Age dan The Sidney Morning Herald dari Australia. Kedua, bom skala kecil ini disinyalir hanyalah ancaman atau psy war untuk mengabarkan kepada dunia internasional bahwa aktivitas terorisme masih ada di Indonesia. Ketiga, ada kemungkinan ini hanya rekayasa untuk memberitahukan kepada negara barat dan Amerika Serikat bahwa detasemen antianarki bentukan anyar pemerintah memiliki tugas memberantas teror sehingga membutuhkan suplai dana lebih dari donatur barat. Jika dicermati ketiga objek sasaran seperti Ulil Abshar Abdala (Pendiri Jaringan Islam Liberal), Goris Mere (mantan petinggi BIN), Soeryokoesoemo (Ketua pemuda Pancasila), Ahmad Dhani (Personel band Dewa 19 yang dianggap antek Yahudi). Terkesan pelaku mencari efek dari news value (nilai berita) yang dapat membentuk persepsi publik. Yakni khalayak akan mengira pelakunya adalah orang lama. 

Dampaknya adalah umat Islam selalu menjadi kambing hitam jika ada kasus kekerasan dan terorisme. Karena secara sederhana, pengamat terorisme dan mabel Polri dapat menyimpulkan pengirim paket buku adalah kalangan Islam fundamentalis. Padahal masih berbagai kemungkinan apakah kasus ini dimotori aktor lama atau baru. Jika pelaksananya tersangka lama tentu akan memberatkan persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Jika pelaku baru lantas siapa? Apakah ini pekerjaan rapi tanpa jejak ini dilakukan intelijen? Benarkah demikian, lantaran setiap ada perkara yang menyerang istana selalu muncul kasus baru untuk mengalihkan isu. Apa konspirasi besar dibalik semua ini? Semoga kita dapat mengkritisi tanpa mudah terbawa isu petinggi elite negeri ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Senin, 14 Maret 2011

Membangun Spirit Kenabian

Dimuat di Resensi Buku Kedaulatan Rakyat, 13/3/2011 

Judul : Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 
Penulis : Syarifuddin Jurdi dkk 
Cetakan : 1, Januari 2011 
Penerbit : Education Center BEM Rema UNY Tebal : 148 Halaman 
Harga : Rp. 30.000,- 


Nilai-nilau luhur universal agaknya mulai luntur dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demoralisasi mendera generasi muda, krisis katakter dan identitas menggejala warga negara. Ihwal ini dibuktikan dengan realitas masyarakat Indonesia yang semakin memprihatinkan. Pertama, diperkirakan setiap tahunnya terjadi 2-2,6 juta kasus aborsi atau teradi 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan, 30% diantaranya dilakukan penduduk berusia 15-24 tahun. Kedua, data badan narkotika nasional Februari 2006 menyebutkan dalam 5 tahun terakhir, jumlah kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik 51,3% atau bertambah 3100 kasus pertahun. Ketiga, Lembaga Transparansi Internasional tahun 2006 melansir prestasi Indonesia dengan maraknya kasus korupsi pada ranking 137 dari 159. Penyakit sosial di muka menunjukkan gagalnya output pendidikan Indonesia. 

Rumah Pensil Publisher

Maka tak heran dalam peringatan Hardiknas setahun silam, Mendiknas berpidato tentang pentingnya pendidikan karakter yang rencananya akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2011 dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Muhammad Nuh memaparkan tidak menyatunya ilmu yang dimiliki dengan sikap keseharian, dengan menyindir penegak hukum yang seharusnya menerapkan hukum dengan adil malah diadili. Pendidik yang selayaknya mendidik malah dididik. Pejabat yang berkewajiban melayani masyarakat malah minta dilayani. Hal ini merupakan fenomena buruk yang bersumber pada karakter. Merespon gagalnya proses pendidikan inilah muncul buku Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 sebagai wujud tawaran baru dalam khazanah pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya berhasil mencetak manusia yang hafal akan pelajaran, pintar menjawab soal tetapi hal itu diperoleh melalui kecurangan. Sehingga yang didapat hanyalah nilai akademik tanpa disertai moral etik (hal 12). 

Diberlakukannya ujian nasional di satu sisi memancing pelajar berpikir pragmatis dengan orientasi lulus, tanpa memedulikan cara yang ditempuh untuk mencapai hasil itu. Pengembangan gagasan profetik ke bidang pendidikan merupakan langkah tepat untuk mendesain proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan transfer ilmu saja, tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan moralitas dan kepribadian bangsa (hal 38). Atau secara sederhana dalam membentuk karakter diperlukan modeling (objek yang ditiru) agar pengembangan karakter yang diinginkan mempunyai orientasi jelas. 

Maka rujukannya adalah Nabi sebagai teladan paling lengkap dan sempurna dalam berinteraksi di dua dimensi kehidupan yakni kehidupan dalam tataran keTuhanan maupun kemanusiaan. Filosofinya tugas Nabi ialah menyempurnakan akhlah (karakter) manusia. Sebab, jatuh bangunnya pribadi maupun bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya. Pelajaran moralnya jika Nabi dicerahkan oleh wahyu, maka kita selaku pelajar dan mahasiswa tercerahkan melalui ruang kelas dan kampus. Maka selayaknyalah kita meneruskan peran Nabi di muka bumi ini. Bagi anda kalangan pendidikan maupun intelektual buku ini layak anda baca. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Jumat, 11 Maret 2011

Membaca Arah Reshuffle Kabinet

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Sepekan terakhit kata reshuffle begitu menggema di telinga masyarakat Indonesia. Khalayak menanti dengan ketegasan presiden untuk membuktikan ucapannya dalam pidatonya tentang pemberian sanksi bagi partai tak sepaham dengan koalisi. Pidato politik tersebut disampaikan sehari setelah keputusan sidang paripurna di DPR yang menyatakan menolak diberlakukannya hak angket pajak. Bukanlah hasil yang dikomentari presiden SBY, melainkan membelotnya dua partai mitra koalisi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung disahkannya hak angket untuk mengusut tuntas mafia pajak.


Padahal gugus gagasan awal digulirkannya hak angket dilontarkan politisi partai Demokrat. Faktanya menjelang perhelatan voting, sikap inkonsisten muncul dan berbalik menolak hak angket mafia pajak. Banyak alasan dikumandangkan seperti tidak efektifnya hak angket dsb. Tetapi itu hanyalah dalih. Dibalik keputusan tersebut tentu menimbulkan tanda tanya publik, kenapa partai berjargon nasionalis religius ini mendadak pindah haluan tidak menyetujui hak angket pajak. Apakah untuk mengamankan kekuasaan? Inilah yang sedang diduga khalayak. Memang secara kalimat verbal, pidato presiden selaku pimpinan lokomotif koalisi tidak mengarah langsung ke partai beringin dan partai ka’bah berlambang padi dan bulan sabit. Ini menjadi tipikal SBY yang selalu berkata multitafsir dan tidak mengucapkan kesimpulan tegas. Tetapi mencermati manuver politik keduanya dalam beberapa kasus seperti Centurygate dan perkara terbaru hak angket pajak, sangatlah terang posisi keduanya sedang terancam. Hanya soal waktu, momentum, dan lobi-lobi politiklah yang akan menentukan. Sebab, dalam pidatonya SBY mengatakan akan diberikan sanksi nanti. Ini pertanda masih ada komunikasi politik intens antar ketiganya untuk duduk bersama saling mengevaluasi, menginventarisir masalah, dan mengeluarkan policy (kebijakan) yang bisa jadi win-win solution (memuaskan ketiganya) atau malah win-lose solution (mengecewakan salah satu pihak).

Maka tak heran jika Aburizal Bakrie dan Anis Matta menyatakan siap diluar berperan sebagai oposisi atau masih dipertahankan berkoalisi jika presiden incumbent memberikan opsi diantara keduanya. Menjadi pertanyaan apakah pidato Pak Beye hanya sebuah gertakan untuk menggaungkan isu anyar dalam konstelasi politik nasional atau pernyataan serius lantaran geram terhadap tindakan kedua partai di muka yang menurutnya melanggar sebelas butir code of condact (tata kesepakatan berkoalisi). Jika peringatan serius beranikan SBY untuk mengambil kebijakan reshuffle dengan berbagai kemungkinan terburuk? Penulis berusaha untuk mengkalkulasi jika perombakan kabinet konkret dilaksanakan. Pertama, secara matematika politik jika Golkar dan PKS depak, pemerintah akan kehilangan dukungan di parlemen 29 persen. Atau setara dengan berkurangnya 164 suara, dengan rincian Golkar 107 anggota dan PKS 57 anggota. Ini angka yang sangat besar dan jika kedua bergabung dalam kelompok oposisi akan semakin kuat dan mampu mengendalikan parlemen. Maka terpangkasnya besarnya nominal dukungan di legislatif membuat partai pemerintah melakukan komunikasi politik dua arah dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan partai Gerindra untuk bergabung dalam sekretariat gabungan (Setgab). 

Namun, sebagaimana dituturkan Megawati secara tegas dan ideologis PDI-P agaknya tetap menjadi partai oposan bersama rakyat untuk mengawal pemerintah. Sementara Gerindra mengicar posisi Menteri BUMN dan Pertanian sebagai prasyarat terlibatnya dalam pasukan koalisi. Hal ini tentu membuat Demokrat menimang-nimang karena daya tawarnya terlalu tinggi. Jika partai pimpinan Prabowo tetap berkeuh menolak bersanding dalam koalisi, Demokrat akan mencari format lain koalisi dengan menyingkirkan salah satu dari dua parpol pemberontak. Kedua, jika yang ditalak adalah Golkar amatlah tidak mungkin karena selain kaya pengalaman bergelut dalam singgasana kekuasaan, partai jagoan di era orde baru ini juga memiliki basis massa kuat di DPR. Selain itu, para kadernya yang menjadi menteri menunjukkan kinerja yang tak terlalu buruk selama setahun terakhir. Jika tetap diputus tali kekerabatannya ini menyuratkan arogansi politik partai Demokrat dan tak rasional. 

Ketiga, jika PKS yang dicerai SBY mengalami beban moral lantaran partai berbasis massa kalangan terdidik ini adalah partai pertama yang diajak berkoalisi dan bercucur keringat deras mengantar SBY duduk di RI 1. Bahkan paduka presiden menjulukinya backbone (tulang punggung) koalisi bersama partai Demokrat. Disingkirkannya PKS akan sangat bergantung kesepakatan politis masuk tidaknya Gerindra dalam bahtera koalisi. Di satu sisi publik dan mitra koalisi akan sedikit kecewa karena Gerindra tak berkeluh keringat berkontribusi membawa SBY-Boediono menjadi petinggi republik ini, justru kala itu malah menjadi lawan politik. Tetapi semua dapat terjadi, jika melihat Golkar yang semula rival politik kini menjadi sahabat politik pemerintah. Inilah resiko politik transaksional. Akar masalahnya ialah pondasi koalisi tidak dibangun dengan orientasi demi kesejahteraan rakyat, tetapi justru bagi-bagi kekuasaan untuk kenyamanan SBY semata. Maka pemerintah dan partner koalisi akan saling sandera karena saling terjerat kepentingan.

Penulis sependat dengan pengamat politik J.Kristiadi bahwa pidato politik presiden tak ada urusannya dengan rakyat. SBY harus menjelaskan ke publik apa tujuan reshuffle? Apakah merupakan agenda mendesak yang kaitannya dengan kemaslahatan pembangunan di daerah. Atau sekadar menaikkan tensi politik saja agar terlihat serius mengurus umat. Terlepas dari isu pergantian jajaran menteri, tentu kita berharap agar para menteri tetap fokus bekerja untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Reshuffle Tak Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Dimuat di Fokus Anda Republika, 9 Maret 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Koalisi super jumbo dalam wadah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menjadi tak menentu, setelah SBY berpidato pascarapat paripurna di DPR yang menyatakan pemberian sanksi bagi mitra koalisi yang tak komitmen mendukung pemerintah. Kalimat ironi ini tentu tertuju pada Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang sehari sebelumnya menyatakan dukungan terhadap hak angket pajak di parlemen. Menurut penulis, reshuffle harus dijelaskan ke publik secara logis. 


Jika pergantian kabinet hanya untuk mengamankan pemerintahan tentu hal ini amatlah pragmatis. Khalayak sama-sama tahu bahwa penggagas angket pajak berasal dari internal Partai Demokrat yang didukung partai lain termasuk Golkar dan PKS. Perkembangan selanjutnya, Demokrat yang awal mula berkoar menjelang pengambilan voting tak konsisten menindaklanjuti angket pajak. Justru malah balik menolak. Ihwal ini menimbulkan tanda tanya publik, apa alasan partai SBY ini menolak? Kesan inilah yang dibaca masyarakat luas, bahwa isu reshuffle yang dilontarkan presiden sehari setelah rapat paripurna di DPR hanya untuk menaikkan tensi politik agar pemerintah terlihat serius mengurus rakyatnya. Padahal berdasarkan survei Republika (Edisi Senin, 07 Maret 2011) masyarakat tak begitu peduli dengan bongkar pasang rezim. Karena reshuffle tak menjamin pemerintahan akan semakin baik.

Kendati demikian SBY segera mungkin dinanti ketegasannya, apakah ingin merombak mitra kerjanya di eksekutif atau tidak. Analisanya, agaknya presiden incumbent ini masih mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, secara matematika politik jika Golkar (107 anggota) dan PKS (57 anggota) ditendang, maka pemeritah akan kehilangan dukungan 164 suara. Lobi-lobi politik pun dilakukan ke PDI-P untuk terlibat bersama koalisi guna menanggulangi suara yang hilang. Kedua, jika Golkar yang dipangkas Demokrat akan kehilangan dukungan sangat besar yaitu 107 suara. Selain itu, partai beringin ini juga kenyang pengalaman di kekuasaan.

Ketiga, jika PKS yang diusir, beban moral tetaplah ada karena partai dengan basis kuat di kalangan menengah ke atas ini adalah pendukung pertama koalisi. Bahkan SBY pun menjuluki Demokrat dan PKS sebagai backbone koalisi. Pertimbangan lainnya ialah masih menunggu tawar menawar dengan Gerindra yang digadang-gadang masuk ke setgab sebelum mendepak PKS. Jika partai pimpinan Prabowo masuk akan melukai partai pengusung koalisi sejak awal lantaran Gerindra tak memeras kringat untuk mengatar SBY ke RI 1. Gerindra dipandang pragmatis dan hanya berorientasi jabatan karena sebelumnya adalah lawan politik SBY.

Kalangan akar rumput ingin bergegas mendengar keputusan SBY karena perkara reshuffle jelas tak ada kaitannya dengan agenda kesejahteraan rakyat. Reshuffle pun belum tentu menjamin program kerakyatan dilakukan semakin baik. Kita berharap para Menteri tetap fokus pada program kerja mereka tanpa terpengaruh arus politik reshuffle yang saling sandera antara presiden dan partai koalisinya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute  Universitas Negeri Yogyakarta

Selasa, 08 Februari 2011

Pergantian Rezim Harus Disertai Pembaruan

Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Jogja, 8/2/2011 

Aksi massa meruntuhkan otoriterianisme rezim agaknya telah menjadi tren di daratan Afrika. Keberhasilan rakyat Tunisia melengserkan presiden Ben Ali yang diktaktor menginspirasi negara lain seperti Mesir, Yaman, hingga Suriah. Jika dikaitkan dengan teori Third Wave Democratization ala Samuel P. Huntington, maka tuntutan mundur terhadap Mubarak di negeri Piramid dan Abdullah Saleh di Yaman agar segera diganti pemerintahan baru, adalah arus gelombang demokratisasi ke empat sepanjang sejarah dunia. Negara-negara di jazirah Arab berada pada kepercayaan diri tinggi, jika mencermati geopolitik internasional di Mesir dan Tunisia. 


Rakyat di suatu negara yang dipimpin penguasa dalam waktu lama namun tak ada reformasi total kini mulai berfikir, perubahan rezim tidak harus dilakukan melalui pemilu tetapi dapat dilakukan dengan aksi massa. Sebab, rakyatlah yang memberikan mandat kuasa. Dan kini Ben Ali dan Mubarak telah kehilangan legitimasinya. Maka mundur adalah jawabannya. Amerika Serikat yang menganut dan menggaungkan demokrasi sedang diuji. Apakah mendukung reformasi Mesir ataukah tetap merestui pemerintahan Mubarak. Sementara Israel menyatakan lebih baik rezim Tirani berkuasa daripada organisasi religius yang hendak berkuasa seperti Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai oposisi terbesar. Sebab, jika IM memimpin maka akan membuat peta politik timur tengah berubah. 

Namun, yang patut menjadi titik perhatian ialah desakan suksesi harus disertai dengan kemampuan untuk mengisi kosongnya pemerintahan. Demo hanya fokus pada penurunan Mubarak, di sisi lain oposisi tampak belum kompak siapa yang akan diusung untuk mengisi masa transisi. Rakyat Mesir tidak tampak memiliki tokoh pemersatu seperti Amien Rais sebagai tokoh reformasi 1998. Sebab, Mesir kini sedang mengalami masa 98nya Indonesia. Titik persamaannya adalah. Pertama, penguasa diisi oleh kalangan Militer yang otoriter dan koruptor. Jika Fir’aun bersyahadat bernama Husni Mubarak ditopang militer maka Soehartopun demikian dengan dwifungsi ABRI nya yang membuat tentara dapat duduk di parlemen. Kedua, demokrasi mati. Tidak ada check and balances terhadap pemerintahan karena eksekutif dan legislatif keduanya dipegang oleh partai yang sama. 

Imbasnya DPR sebagai lembaga pengontrol jalannya pemerintahan menjadi terkooptasi. Presiden Mubarak dan Soeharto dapat terpilih berulang kali karena DPRnya adalah anak buahnya. Ketiga, media massa dibungkam dan dimonopoli, suara publik disumpal. Di Indonesia kala itu, jika ada koran yang mengulas kebobrokan penguasa akan dianggap melecehkan simbol negara. Pemerintah Mesir pun memblokir jaringan interner dan situs jejaring sosial yang selama ini berperan sebagai medium menggalang demonstrasi. Tiada kritik dan masukan dari luar inilah yang membuat pemerintahan menjadi serba benar. Inilah yang memunculkan otoriterianisme rezim dan korupsi, kolusi, nepotisme merebak di Istana negara. Ajang memperkaya diripun menjadi budaya bagi kerabat penguasa. Ketiga perkara di mukalah yang membuat publik muak dan merasa dibohongi, maka tak heran jika masyarakat lintas profesi berpadu turun ke jalan membentuk barisan people power. 

Tetapi ingat, menurut pengamatan penulis sejauh ini arus ‘people power’ yang sukses mengganyang rezim korup hanyalah Indonesia. Kendati kehilangan arah reformasi, tetapi Indonesia tergolong negara yang transisi kepemimpinannya sukses dengan kemajuan sejengkal demi sejengkal. Filipina yang berulang kali ‘people powernya’ menjatuhkan pemimpin puncak karena tak mampu membawa perubahan berarti ternyata tidak mengalami reformasi total ketika berganti pemerintah. Maka pelajaran moralnya ialah dorongan pergantian rezim harus disertai dengan ide pembaharuan segala bidang. Jika tidak rakyat akan menuntut pemilihan ulang.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI UNY

Rabu, 02 Februari 2011

Musyawarah KAMMI UNY


Jika organisasi ingin tetap eksis haruslah diiringi regenerasi. Petuah itulah yang hendak difahami KAMMI UNY dengan menghelat musyawarah komisariat (Musykom) yang bertempat di Masjid Nurul Ashri, 2-3 Febuari 2011. Adapun agendanya ialah laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya dan membentuk kepengurusan baru. Acara ini diawali stadium general yang dibersamai oleh Eko Prasetyo (aktivis Gerakan). Pembicara memaparkan dinamika kampus kekinian yang kian memasung kreativitas gerakan mahasiswa. “KAMMI kini menghadapi kondisi kampus yang kian pragmatis. Mahasiswa digiring studi oriented, gerakan mahasiswa dibuat mati kutu tak berdaya. Organisasi yang besar pastilah semakin kuat tekanannya. Dan inilah tantangan KAMMI sesungguhnya” ujarnya. 


Apa yang disampaikan penulis buku ‘Orang Miskin Dilarang Sekolah’ ini diamini peserta sidang. Diberlakukannya Sistem Kredit Semester (SKS) di perguruan tinggi memang membuat mahasiswa ingin segera lulus secepatnya. Sebab, jika terlalu lama di kampus peserta didik tersandera biaya kuliah yang mahal. Tidak ada yang salah dengan fokus studi di kampus, tetapi jika hal ini menjadikan mahasiswa keblinger akan persoalan kemasyarakatan yang menjadi tuntutan pemecahan, tentu amatlah naif bagi seorang mahasiswa yang katanya dilabeli ‘agen of change’ dan intelektual ‘midle class’ ini. Kampus sebagai miniatur masyarakat ini haruslah mampu mendekatkan mahasiswa dengan problem pelik aktual, bukan malah menjauhkannya. Termasuk mengkritisi rezim Kabinet Indonesia Bersatu yang terjerembab umbar janjinya. 

Lebih lanjut Eko Prasetyo berkomentar, “Nilai lebihnya KAMMI memiliki kaderisasi sistematis dan basis massa yang kuat. Ini dapat dijadikan modal gerakan untuk melawan kuasa modal yang menyeret mahasiswa menjadi hedonis dan kesewenang-wenangan birokrat kampus yang ingin memberangus gerakan mahasiswa. Contohnya, di UGM mahasiswa diminta bayar parkir motor di kampusnya sendiri” cetusnya. Ke depan, mainstrem gerakan KAMMI UNY tetap konsisten mengusung pendidikan berkarakter profetik sebagai tawaran biasnya konsep pendidikan karakter yang masih abstrak. Pendidikan karakter berawal dari modelling atau cara meniru. Tentu objek yang dicontoh ialah manusia pilihan (the chosen people) yang sempurna dalam ucapan dan perilaku (karakter). Maka meneladani Nabi Muhammad sepenuhnyalah karakter tersebut dapat utuh diwujudkan kepada anak didik kita. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI 

Sabtu, 29 Januari 2011

Mentradisikan Menulis

Mari tradisikan menulis kawan... 

Tradisi plagiarisme sama dengan mencuri, yang mengakibatkan suatu bangsa malas berfikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai originalitas, kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa (Rhenald Khasali; 2010). Pernyataan guru besar manajemen UI tersebut adalah sindiran telak akan maraknya aksi penjiplakan karya dewasa ini. Malangnya duplikat karya itu dilakukan di lingkungan akademik oleh dosen dan mahasiswa yang seharusnya menghalau kebiasaan buruk ini. Tercatat seorang calon guru besar di Parahyangan Bandung dan dua dosen di kampus swasta Jogja tertangkap basah mengkopi gugus gagasan skripsi mahasiswa S1. Akan tetapi insiden di muka tidak dapat dijadikan premis argument, matinya intelektualitas kampus? Pasalnya, tradisi ilmiah seperti forum diskusi, seminar, maupun pengajaran masih sering kita jumpai. Persoalannya adalah ketidakmauan mengabadikan kesimpulan dan mengapungnya ide di ruang ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan. 

Rumah Pensil Publisher

Tentu beragam sebab telah jamak diketahui, mulai dari majunya teknologi yang memudahkan budaya copy-paste, jarang membaca dan menelaah literatur, hingga ada yang menyatakan menulis adalah bakat khusus yang dimiliki seseorang. Sehingga ia urung untuk menulis. Cara pandang demikian perlu dirubah. Karena menulis hanya membutuhkan kemauan dan kegigihan untuk terus mencoba. Bayangkan jika kita merekam apa yang disampaikan dalam ruang kuliah kemudian mendengarkan kembali dan menulis bukankah sudah tiga kali belajar. Sebab dengan menulis dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang tidak didapat dari membaca dan mendengar. Bahkan Bobby de Potter menjadikan menulis sebagai salah satu indikator keberhasilah hidup. Menjadi pertanyaan bagaimana mentradisikan menulis. Pertanyaan ini akan susah dijawab jika anda tidak segera menulis. 

Maka budaya plagiat dapat dilawan dengan membangun kebiasaan menulis. Tentu kemampuan menulis ini harus sebanding dengan apresiasi yang diberikan pihak perguruan tinggi seperti memberikan beasiswa bagi mahasiswa dan dosen yang mengabadikan fikirannya dalam wujud tulisan dan karyanya dimuat di media massa. Kiat ini dapat memantik mahasiswa maupun dosen agar terus menulis. Tentu tidak selamanya seorang penulis dihargai dalam bentuk materi. Keinginan untuk menyebarkan pemikiran dan menciptakan perbaikan melalui tulisan patut ditanamkan. Sebab menurut Ali Syari’ati seorang intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. 

Vivit Nur Arista Putra Peneliti 
Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Menanti Kepastian Reshuffle

Dimuat di Lampung Post, 31 Januari 2011 

Tak terasa masa abdi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II telah setahun berlalu. Tak heran jika khalayak menyambutnya dengan aksi di jalan untuk mengevaluasi kinerja rezim SBY-Boediono. Sebab, publiklah yang merasakan hasil kerja presiden dan jajaran menterinya. Maka LSM, lembaga survei, dan media massa selaku pilar keempat demokrasi yang berperan mengawal jalannya pemerintahan berlomba memaparkan siapa saja para menteri yang mendapat rapor merah dan mengecewakan publik. Setahun memang waktu yang relatif pendek untuk menakar kontribusi para menteri. Tetapi paling tidak ada gebrakan kerja untuk membangun pondasi program kerja strategis empat tahun mendatang. 

SBY
Burhanudin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan Freddy Numberi (Menteri Perhubungan), Darwin Saleh (Menteri ESDM), Tifatul Sembiring (Menkominfo), Patrialis Akbar (Menteri Hukum dan HAM), adalah pembantu presiden yang mendapat penilaian negatif. Kini publik menagih janji presiden yang akan mengevaluasi setahun pemerintahannya. Hal ini tentu sangat mengecewakan, sebab kabinet ini sangat gemuk dibanding kabinet-kabinet sebelumnya. Kendati SBY berpesan agar para menteri fokus kerja menuntaskan agenda bangsa, tetapi jika melihat Kabinet Indonesia Bersatu jilid I (2004-2009) reshuffle tetaplah terjadi. Tercatat ada tiga pergantian menteri dan tiga menteri yang dirotasi. Seperti, Hatta Rajasa kala itu Menhub menjadi Menteri Sekretaris Negara menggantikan Yusril Izha Mahendra. 

Presiden SBY merupakan tipikal pemimpin yang memperhatikan opini publik yang dibangun media massa. Maka cepat atau lambat para pengamat politik memprediksikan pergantian menteri akan terjadi. Presiden harus cepat mengambil keputusan tentunya dengan pertimbangan yang matang dan rasional. Pernyataan untuk reshuffle ini penting dikeluarkan untuk meredam kegelisan para menteri dan publik yang menantikannya. Jika hendak perombakan kabinet segera lakukan, jika tidak menteri akan lebih tentram dan fokus dalam bekerja. Di termin lain, memang ada prestasi tersendiri di pemerintahan kali ini, seperti Menteri Koordinator Perekonomian dengan capaian sektor ekonomi makro mengalami kenaikan dari 4,5 menjadi 5,5. Bahkan bank dunia memperkiraan ekonomi Indonesia akan tumbuh hingga 6 persen sampai akhir tahun. 

Tetapi, klaim kemajuan di muka seperti orde baru yang mengukur keberhasilan dari kenaikan nominal angka dan tidak berdampak pada pengembangan sektor riil. Padahal sektor domistiklah yang menyelamatkan Indonesia dari terjangan krisis ekonomi global 2009 silam. Pemerintah terlalu menggembar-gembor capaian ini dengan investor negeri sakura dalam Japan-Indonesia Economic Forum. Padahal Unit Kecil Mikro dan Menengah (UKMK) banting tulang mati-matian agar tetap eksis tanpa perhatian pemerintah. Artinya alokasi kredit usaha rakyat belumlah merata dirasakan pengusaha kecil. Pengangguranpun belum dikatakan menurun drastis dari 32,5 juta menjadi 31 juta. Untuk menyerap lapangan kerja diperlukan pertumbuhan ekonomi sampai 8 persen yang mungkin menjadi tantangan pemerintah ke depan. 

Untuk mewujudkan agenda mendesak bangsa dibutuhkan kepemimpinan kuat (strong leadership) untuk mengarahkan jajarannya agar bekerja sesuai tracknya. Pergantian kabinet memang hak prerogatif presiden, khalayak berharap pertimbangan reshuffle haruslah rasional dan menjauh dari aspek politis demi terlaksananya agenda bangsa dan negara yang berorientasi kesejahteraan rakyat. Keputusan ini menjadi pertaruhan SBY di 2014 nanti. Baik buruknya kinerja pemerintahan akan berdampak pada tingkat akseptabilitas dan elektabilitas suara partai Demokrat di masa transformasi. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Universitas Negeri Yogyakarta

Rabu, 26 Januari 2011

Pesan Profetik Tokoh Agama

Dimuat di Republika, Rubrik fokus anda, 1 Febuari 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Gerakan moral tokoh lintas agama menuai perhatian publik setelah mereka menyampaikan 18 kebohongan rezim SBY-Boediono yang terdiri dari sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Malangnya pemerintah malah merespon pada persoalam diksi “bohong” bukan substansi yang disampaikan. Ihwan inilah yang membuat diskusi yang berlangsung 4,5 jam hingga pukul 12 malam tersebut tidak menghasilkan kesimpulan pasti. Dukungan terhadap tokoh umat pun marak dari berbagai elemen termasuk petisi 28 yang memang lantang mengkritisi kabinet Indonesia bersatu jilid II ini. 

Rumah Pensil Publisher

Para pengamat poletik mengatakan pemerintah SBY saat ini sedang digoyang atas kinerja yang tak sesuai janji yang diucapkannya. Tak heran jika para politisi Demokrat meminta mitra koalisi menjadi beking dan menampik tuduhan bohong. Memang pemerintah baru saja menyampaikan berbagai keberhasilan ekonomi seperti turunnya jumlah kemiskinan, pendapatan perkapita naik menjadi 3000 juta US dolar, pertumbuhan ekonomi tumbuh hingga 6 persen. Tetapi publik melihat capaian ini hanyalah prestasi statistik belaka. Masih banyak warga miskin yang semakin melarat setiap harinya, pengangguran bertambah, dan banyak industri UKM yang gulung tikar karena tak punya modal dan kalah berkompetisi dengan produk China. 

Belakangan, tuntutan dari tokoh agama dituduh sebagai gerakan politik berkedok tokoh agama seperti diungkapkan sekretaris kabinet Dipo Alam. Bahkan menyebut Din Syamsudin sebagai manusia politik karena memiliki latar karir pernah menjadi aktivis partai politik yang tidak lolos elektoral treshold dan mendeklarasikan diri menjadi capres tahun 2009. Kini spanduk anti Din Syamsudin pun terpajang di sudut-sudut ibu kota. Menjadi pertanyaan kenapa yang diserang hanya ketua Muhammadiyah ini. Seakan terjadi pengaburan isu dari seruan kolektivitas tokoh ke persoalan personal. Alasan yang menyebut gerakan moral tokoh lintas agama diarahkan sebagai gerakan politik pun tak berdasar. Pasalnya gabungan tokoh lintas agama ini sudah dikomandoi sejak zaman Gus dur oleh Buya Syafi’i Ma’arif. Bukan merupakan elemen yang mendadak mencuat mengkritik pemerintah dewasa ini.

Menurut penulis, tokoh lintas agama dapat berperan sebagai entitas baru pengontrol dan pengawal pemerintah agar on the right track memutuskan kebijakannya. Hal ini urgen dilakukan di tengah public distrust atau krisis kepercayaan publik kepada parlemen. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan pesan tokoh lintas agama -dalam diksi Islam- ialah membawa misi profetik untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana titah langit “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, mengajak pada yang ma’ruf (baik) dan mencegah pada yang mungkar, sebab mereka itulah orang yang beruntung” (Ali Imran: 104). Tafsir pertama dari Imam Ar Razi aktivitas dimuka untuk seluruh manusia (dasarnya Q.S. Ali Imran: 110). Adapun tafsir kedua, karena yang menyeru otomatis harus berilmu, maka para ulamalah yang memiliki berkewajiban melakukannya. Pemerintah hendaknya jangan terlalu reaktif dan mempolitisir masukan dari tokoh lintas agama. Sebab hal ini demi kebaikan bangsa dan negara, dan jawablah kritik tersebut dengan kinerja. Khalayak menanti hasilnya, bukan pencintraan dan data statistik berderet angka semata.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Universitas Negeri Yogyakarta

Sabtu, 15 Januari 2011

Menyoal Hak Menyatakan Pendapat

Dimuat di Lampung Post, 26 Januari 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pascaamar keputusan Mahkamah Konstitusi yang menerima uji materi Pasal 184 ayat (4) UU 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang mengatur syarat kuorum hak menyatakan pendapat dari tiga per empat anggota DPR menjadi dua per tiga memunculkan beragam tanggapan. Kendati hal ini tidak selalu linear dengan pemakzulan presiden tetapi dapat merupakan merupakan pintu gerbang untuk menuju ke sana. Pada dasarnya DPR selaku pengawas pemerintah memiliki tiga hak dalam mengontrol berjalannya eksekutif. Pertama, hak interpelasi atau hak bertanya kepada pemerintah. Ihwal ini dapat dilakukan anggota dewan secara personal. Kedua, hak angket secara sederhana yaitu hak bertanya tetapi sudah disertai prasangka kepada pemerintah atau lembaga lain. Semisal hak angket kasus Bank Century yang hingga kini masih alot penuntasannya. Ketiga, yakni hak tertinggi anggota parlemen yaitu hak menyatakan pendapat yang norma yuridisnya direvisi oleh MK kemarin. 

Rumah Pensil Publisher

Kini DPR mulai menggunakan hak menyatakan pendapat ini untuk mengusut tuntas kasus dana talangan Century yang sudah mendapat restu tanda tangan sekitar 123 anggotanya. Tetapi banyak pengamat politik mengatakan hak ini hanya akan digunakan secara politis untuk menaikkan bargaining atau daya tawar partai koalisi kepada presiden agar tidak kena imbas reshuffle. Sebenarnya ketiga hak dalam fungsi controling di muka merupakan produk hukum reformasi belajar dari kecelakaan sejarah ketiga Gus Dur diimpeachment atau diturunkan oleh MPR tahun 2001 silam. Para pakar tata negara menyimpulkan ada yang salah dengan struktur kenegaraan Indonesia yang notabene menganut sistem presidensial tetapi mudah sekali presiden untuk dimakzulkan. Jika demikian perkara ini layaknya negara penganut sistem parlementer di mana perdana menteri dapat diganti kapanpun oleh parlemen. 

Oleh sebab itu, dibuatlah instrumen UU yang rasional logis dan sistematis menganai pemakzulan presiden. Keputusan menurunkan Gus dur kala itu adalah keputusan politis bukan hukum. Terlepas benar atau salah keterlibatannya dalam korupsi buloggate faktanya setelah lengser ing keprabon kyai NU ini tidak dijerat hukuman apa-apa. Mengamati perkembangan politik terbaru agaknya untuk menyeret ke ranah pemakzulan prosesnya sangat panjang kendati MK sudah memberikan kelonggaran kuorum. Sebab, kendati dua pertiga anggota dewan membawa suatu perkara ke MK, kemudian MK masih memutuskan kasus tersebut benar atau salah. Jika terbukti salah masih MK melimpahkan ke MPR. Pada titik inilah MPR dapat memakzulkan atau memberi maaf kepada presiden. Peristiwa ini pernah terjadi ketika Bill Clinton yang terkena skandal di gedung putih dimaafkan oleh kongres dan DPR AS (House of Representative) kala itu. Tentu publik menantikan hasil kerja pemerintah untuk mencari siapa dalang Centurygate ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Senin, 10 Januari 2011

Meneladani Kemandirian Nabi

Jika anda mengaku umat Muhammad, Sejauh mana anda mengenalnya... 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Setiap memeringati hari maulud nabi. Satu catatan refleksi, kadang kala kita hanya pandai mengagumi tanpa bisa meneladani. Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya Muhammad The Leader dan The Manager mengatakan, satu fragmen kehidupan Nabi yang jarang sekali disorot orientalis dan dicontoh kaum muslimin pada umumnya ialah profesi Muhammad sebagai seorang entrepreneur (wirausaha). Padahal jika dikalkulasikan Muhammad berwirausaha atau berdagang lebih lama waktunya ketimbang menjadi menjadi Nabi dan Rasul. Anak Abdullah tersebut berinisitif magang dagang (internship) diusia 12 tahun. Di umur 17 tahun Muhammad sudah dapat mandiri dengan berdagang hingga usia 37 tahun. Sedangkan Muhammad diangkat menjadi Rasul diusia 40 tahun dan mengakhiri hidup di usia 63 tahun. Ini artinya rentang waktu menjadi pedagang yaitu 25 tahun, atau selisih dua tahun lebih banyak ketimbang menjadi Rasul selama 23 tahun. 

Keputusan ini diambilnya karena tekanan kondisi psikologis dan sosial semenjak ditinggal ayahnya ketika berada dalam alam prenatal (kandungan), Muhammad hanya hidup bersama Ibunya selama 6 tahun. Selanjutnya diasuh Abdul Muthalib hingga usia 8 tahun. Setelah ditinggal pergi kakeknya, kemudian dibawa oleh Abu Thalib. Jika pembaca membuka Sirah Nabawiyah, lanskap sosial paman Rasulullah ini tergolong sederhana dan apa adanya. Rangsangan kondisi lingkungan yang penuh keprihatinan inilah yang memaksa Muhammad memilih berdagang sebagai jalan hidup dan mencukupi kebutuhan sendiri di usia 12 tahun. Di usia muda ini Muhammad sudah melakukan traksaksi dagang ke Syam (Yaman). Peristiwa ini dapat dimaknai dengan ekspor impor barang. 

Rumah Pensil Publisher

Kesemua ini terjadi bukan secara alamiah belaka. Tetapi ada intervensi atau campur tangan dari Allah untuk mensetting manusia paripurna ini dengan memupuk kemandirian sejak dini. Sebab, jika orang memutuskan untuk mandiri mengambil tanggungjawab hidupnya dan berserah diri kepada Allah sembari berikhtiar mencapainya, maka ihwal ini otomatis akan menambah keberimanan seseorang serta berdampak pada keshalihan pribadi dan sosialnya. Itulah mengapa Hasan Al Banna menempatkan khadirul alal khasby (berkuasa atas keuangannya sendiri) pada fase keempat dalam muwashafat atau standar kompetensi yang harus dicapai seorang muslim. Setelah aqidahnya lurus, ibadahnya benar, dan akhlaknya baik. Mandirinya seseorang akan meningkatkan kualitas hidup dan memengaruhi cara pandang orang lain terhadap diri kita. Kata orang Jawa, pribadi mandiri akan lebih (diwongke) dimanusiakan, dan dihargai. Bahkan Imam Ahmad mengatakan salah satu kriteria seorang mufti (pemberi fatwa) ialah mandiri. 

Penulis pun lebih dapat memahami kenapa perantau itu jauh lebih sukses daripada warga pribumi. Karena warga pendatang sudah berikrar untuk mandiri di tanah orang. Berlepas diri dari segala ketergantungan orang lain. Niat awal ini akan memaksa diri untuk berfikir, potensi apa yang dapat diberdayakan dan dikerjakan agar dapat menghasilkan uang. Kesemuanya tidak berangkat dari zona nyaman. Karena begitulah orang-orang besar dilahirkan. Tokoh besar yang lahir dari rahim sejarah pada umumnya berada dalam lingkungan tertekan dan jauh dari kenyamanan. Muhammad terlibatnya urusan dagang sejak kecil. Maka tak heran jika banyak suara hadist shahih keluar dari beliau terkait aspek dagang. Sebab, sabda itu muncul dari orang yang faham realitas dagang secara teori dan praktik. 

Bahkan Nabi berpidato di Haji Wada’ untuk mengingatkan kepada umatnya agar berdagang secara fair atau jujur dan memberikan pesan moral agar umat Islam tidak merugi di akhirat nanti karena pola bisnis yang riba, haram, dan tidak bermoral. Akhirnya firman Allah yang menegaskan “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (Q.S. Al Ahzab: 21). Tidak hanya ditafsirkan meneladani dari sisi aqidah, ibadah, dan akhlak saja. Tetapi juga dari segi kemandirian dan setiap jejak aktivitas hidupnya tanpa mengurangi dan melebihkan baginda Nabi. 

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Membaca Transisi Media Cetak ke Elektronik

Dimuat di Lampung Post, 27 Januari 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Akankah media cetak punah?

Perbincangan kapan media cetak berganti ke media elektronik sudak lama didengungkan. Semakin berkembangnya teknologi membuat banyak orang mengira tak lama lagi media cetak akan tenggelam. Kini banyak media cetak yang menawarkan diri dalam wujud media online agar dapat diakses oleh warga lintas pulau atau bahkan antarnegara. Kenyataannya media cetak masih bertahan hingga saat ini. Bahkan semakin variatif dan bertambah. Baik media komunitas seperti di lingkungan kampus, maupun media lokal yang menawarkan warta, isu, dan opini kedaerahan. 

Menurut Muhammad Sulhan (pakar ilmu komunikasi UGM), transisi media cetak ke elektronik akan berdampak pada perubahan tren budaya literasi dan aspek sosial. Saat membaca media cetak masyarakat dapat membuka lembaran koran secara bergantian dari halaman satu ke halaman lain. Hal tersebut akan mengakomodasi rasa kebersamaan dalam komunitas sosial. Tetapi saat beralih ke media elektronik, anda akan menjadi individualis karena lebih nyaman sendiri dengan “nongkrong” di depan kotak jinjing laptop maupun personal computer (PC). Nilai lebihnya ditinjau dari komunikator, media elektronik dapat menjangkau massa lebih luas. Ketersebarannya pun maksimal, cepat, dan efisien. Dari segi pengaruh pun media elektronik jauh lebih luas. Bahkan pada titik jauh pembaca menjadikan media online acuan hidup dengan kemudahan saat membutuhkan informasi, permirsa hanya perlu menekan kata kunci dan klik. Maka tampillah di muka. Begitupun adanya situs pencari seperti google, wikipedia, memang melenakan. Tetapi juga harus diakui takaran positifnya. 

Rumah Pensil Publisher

Di sesi lain, Supadiyanto (Kepala Sekretariat Pewarta Warga Indonesia (PPWI) menyorotinya siapa yang untung dan siapa yang buntung dari dampak transisi ini. Apakah keniscayaan ekspansi media online akan membumihanguskan media cetak? lantas apakah media cetak sudah tidak diperlukan lagi?. Itu pertanyaan telaknya. Adanya koran memang dapat menghidupi banyak kalangan. Mulai dari wartawan, pegawai percetakan, iklan, marketing, sampai loper koran sekalipun. Apa dampaknya jika peralihan media cetak ke elektronik terjadi. Pegawai media mungkin akan kena PHK karena tidak diperlukan lagi. Justru pembacalah yang diuntungkan karena dapat mengakses dengan simpel dan hemat.

Lalu kapan terjadinya? Sedari dulu pengamat media sudah meramalkannya. Tapi hipotesisnya tak kunjung tepat. Buktinya media cetak masih tetap eksis. Ambil contoh, data yang dilansir Internet World Stats (2008) Negara-negara yang penetrasi internetnya (media online) tinggi seperti Belanda 82,9 persen, Denmark 80,4 persen, Jepang 73,8 persen, Singapura 67,8 persen dan Jerman 67 persen. Kenyataannya media cetak di negara tersebut masih terjaga eksistensinya. Di Indonesia harian Kompas misalnya, bertiras 500.000 eksemplar atau lebih, sedangkan terbitan buku di negeri ini rata-rata 2.000-5.000 eksemplar. Hanya ada sejumlah kecil terbitan buku yang pernah dicetak 10.000-50.000 eksemplar dalam waktu satu tahun. Transisi media cetak ke elektronik memang sulit diprediksi. Layaknya kematian yang tak dapat di tebak dan sulit dimengerti. 

Hemat penulis, kendati hegemoni media elektronik menjalar lebar, media cetak masih tetap dibutuhkan saat ini. Paling tidak media berkertas ini dapat digunakan untuk menyalurkan informasi kepada khalayak yang belum melek teknologi. Selain itu, “transaksi” antara komunikan dan komunikator dapat dikontrol langsung, jika terjadi penyaluran informasi yang bertentangan atau bahkan merusak norma sosial. Akan tetapi, yang terpenting dari muara perubahan ini ialah, janganlah mensirnakan budaya literasi. Membaca dan menulis adalah tradisi dan warisan ulama Islam yang patut dilestarikan sebagai tonggak terbangunnya peradaban. So, tunggu apalagi, perbanyaklah membaca dan menulislah mulai hari ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute di Yogyakarta

Jumat, 07 Januari 2011

Mengurai Politik Dinasti di Era Demokrasi

Dimuat di Harian Jogja, 11 Januari 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Tahun 2010 menjadi masa penuh intrik elit politik di tengah pemerintahan yang hendak menapak tahun kedua. Agenda kebangsaan dan kerakyatan pun terhambat persoalan internal yang tak kunjung tamat, seperti tidak solidnya setgab (sekretariat gabungan), mengambangnya kasus Century, dan aksi mafia pajak, sangat menguras waktu dan energi pemerintah saat ini. Di lain tempat, pimpinan parpol (partai politik) ramai menggadang-gadang RI-1 kendati pemilihan presiden masih empat tahun lagi. Suara lantang penuh pemafhuman berkumandang dari Taufik Kiemas. Pembesar PDI-P sekaligus ketua MPR ini menyatakan Megawati ada kemungkinan tak akan maju di pertarungan presiden 2014. Meskipun tingkat akseptabilitasnya bagus saat disurvai, faktor usia agaknya menjadi pertimbangan. Siasatnya, Puan Maharani selaku anak tunggalnya kini mulai diorbitkan ke publik sebagai investasi popularitas. 

Partai penguasapun tak mau ketinggalan, cepat atau lambat partai Demokrat mulai memikirkan pengganti SBY yang tak bakal maju lagi di arena pilpres. Hipotesa penulis, calon internal Demokrat belum ada sosok yang mengemuka dan dianggap menjual ke khalayak. Anas dan Abas masih terlalu muda, tak heran jika anggota dewan pembina Ahmad Mubarak berkomentar partai nasionalis religius ini membuka calon eksternal untuk diusung menjadi capres. Opsi kedua ialah mendorong Ibu Ani Yudhoyono untuk dicalonkan. Meskipun Pak Beye berulang-kali tak akan mengajukannya, tetapi mencermati kondisi partainya krisis kader tentu hal ini akan difikir ulang. Agaknya terlalu prematur memang berbicara calon presiden 2014. 

Rumah Pensil Publisher

Jika dalihnya untuk menakar keberterimaan calon di tengah masyarakat, tetapi bukankah kinerja perorangan selama masa karya KIB jilid II atau tiga tahun ke depan dapat dijadikan pertimbangan mendasar untuk memunculkan tokoh. Menyaksikan drama politik di muka, iklim demokrasi di negeri ini masih di tataran formalitas. Gejala politik donasi (money politic) dan politik dinasti (transisi kepemimpinan berdasarkan trah darah) kini mulai laku di pasaran. Agaknya akar feodalisme dan suksesi ala monarki mulai mendapat legitimasi partai politik. Jika diusut aktivitas ini sudah melestari sejak era Soekarno ke Megawati (kini ke Puan Maharani), Soeharto memberi ruang mbak Tutut dan Tommy untuk berpolitik, Gus dur mewariskan Yenny Wahid, dan kini menular SBY ke istrinya. Tidak ada yang salah. Tidak selamanya prosesi ini menimbulkan kegagalan. 

Hanya saja menurut peneliti LIPI Syamsuddin Haris, yang dikritik adalah unsur nepotisme politik yang ada di dalamnya. Dampaknya partai politik sebagai wadah idealisme tidak melembaga sebagai organisasi modern dan demokratis. Nepotisme tak hanya menutup peluang para aktivis partai yang idealis berjuang meniti karier politik dari bawah tetapi juga perangkap berkembangbiaknya personalisasi kekuasaan dan kepemimpinan oligarkis partai yang berimplikasi memunculkan praktik korupsi. Faktanya rezim Soeharto dengan enaknya menguras harta rakyat dan malah dibagi rata untuk Tommy Soeharto dan anak cucunya. Di satu sisi hal ini merupakan efek samping terburuk dari politik dinasti. 

Penulis menganalisis sebab musababnya pertama, buruknya regenerasi partai politik yang berakibat krisis figur pengganti. Kedua, alam demokrasi memungkinkan semua orang lintas profesi menggunakan hak politiknya untuk dipilih termasuk kerabat dekat petahana. Ketiga, politik pragmatis atau jangka pendek partai yang ingin melanjutkan kekuasaan pemerintahan tanpa mempertimbangkan kompetensi calon pengganti dan malah lebih mengutamakan calon terdekat incumbent yang popularitasnya tinggi. Konsekuensi logisnya, publik harus kritis terhadap budaya politik di muka dan tak terbawa arus wacana untuk menentukan sikap politiknya.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Rabu, 05 Januari 2011

Abdullah bin Uraiqith

Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"



Senarai Kilas Sejarah...


Ketika umat Islam mengurai prosesi hijrah Rasulullah saw. Kebanyakan khalayak menyebut Abu bakar, Ali, Amir bin Fuhairah, Asma dan Abdullah bin Abu bakar. Pembaca sirah tampaknya melupakan satu orang yang berjasa pada perjalanan spiritual yang menggoda marabahaya dan menentukkan tegaknya negara Islam itu. Uniknya lelaki ini musyrik. Jika diusut menurut penuturan Ibnu Ishaq sebagaimana diabadikan dalam sirah nabawiyah Ibnu Hisyam –dia berasal dari bani Ad-Dail bin Bakr dan ibunya dari bani Sahm bin Amr-. Sejarawan menyebutnya Abdullah bin Uraiqith. Tak ada riwayat yang lebih detail mengenai ciri fisik dan rekam jejak hidupnya.

Rumah Pensil Publisher

Tiga hari sebelum hijrah ke Madinah, Abdullah bin Uraiqith diupah oleh Abu bakar untuk merawat dua ekor unta yang dipersiapkannya untuk hijrah bersama Muhammad. Setelah melewati malam Jum’at, Sabtu, dan Minggu di gua Tsur, keduanya mengontak Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan untuk memulai ekspedisi ke Yastrib. Mereka berempat melewati jalur yang jarang dirambah kaki manusia yakni mengarah ke Yaman, dari Makah ke arah selatan.

Dalam catatan perjalanan seorang Nabi, menurut Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury dikatakan, setiap orang yang berinteraksi dengan Nabi ketika bertolak ke Madinah seperti Suraqah bi Malik, Abu Buraidah dan tujuh puluh orang dari kaumnya yang memburu Muhammad, setelah berdiplomasi kemudian memutuskan memeluk Islam. Begitupun dengan Abu Ma’bad suami Ummu Ma’bad yang menyuguhkan kambing kurusnya yang diperas Muhammad saw menjadi bersusu. Dalam diskusi interaktif Rasulullah dengan tokoh di muka, Abdullah bin Uraiqith menjadi audien bersama Amir bin Fuhairah dan Abu bakar. Tentu mereka merekam apa yang disabdakan Muhammad seputar keagungan keislaman yang membuat publik tertarik mengikuti ajaran Ilahi. Ibarat marketing yang menawarkan Islam pada investor agar menanamkan keyakinannya membeli rumah surga dengan memeluk Islam. Tetapi tak ada catatan berikutnya yang menerangkan Abdullah bin Uraiqith berikrar pada Allah dan Rasulnya. Jika demikian, dia tak termasuk kategori sahabat. Sebab, definisi sahabat ialah orang yang hidup di masa Nabi, bertemu dan berjuang dengan Nabi, serta berIslam hingga akhir hayatnya.

Seakan baginda Nabi memberi kaidah pada umatnya perihal kiat bermuamalah dengan kaum kafir. Usut punya usut, selidik punya selidik, ada tiga alasan kenapa seorang kafir Abdullah bin Uraiqith diajak menyertai laku hijrah. Pertama, dia adalah pemuda yang jujur. Terbukti Abu bakar menitipkan dua unta kepadanya selama tiga hari agar dipelihara untuk persiapan hijrah. Kedua, dia pria profesional dan pakar dalam merawat unta yang tetap sehat mengantar Nabi menuju Quba’. Unta Nabi inilah yang kemudian diberi nama Quswa dan berhenti di rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap. Ketiga, dia menguasai medan rute Makah-Madinah dan penunjuk jalan yang cermat.

Jujur, profesional, dan kepakaran (penunjuk jalan) menjadi pertimbangan menyertakan Abdullah bin Uraiqith dalam perjalanan melegenda itu sekaligus menjadi teladan dalam berhubungan bermasyarakat dengan orang kafir dengan syarat di atas. Tetapi untuk urusan transenden atau ibadah, kita dilarang untuk mencampuradukkan ajaran keduanya. Sebagaimana bunyi pesan langit “untukmu agamamu dan untukku agamaku” Q.S. Al Kafirun; 5.


Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Sabtu, 01 Januari 2011

Sepak Bola dan Nasionalisme

Dimuat di Harian Jogja, 4 Januari 2010 

Meratapi kekalahan timnas... 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Satu dasawarsa terakhir semangat nasionalisme atau cinta tanah air mulai luntur dari pundak lintas generasi bangsa. Kita terlalu sering menggerutu, underestimate, dan menjelek-jelekkan tanah air sendiri. Menurut penulis, faktor penyebabnya ialah maraknya centang perenang problematika yang tak kunjung tuntas dipecahkan seperti korupsi, harga pangan mahal, penegakkan hukum tebang pilih membuat kita selaku generasi muda melampiaskannya kepada pemerintah dan ibu pertiwi. Kini ketika melihat perjuangan tim nasional Indonesia di piala AFF, ekspektasi publik dan media sangat tinggi untuk menyaksikan tim Garuda menjadi terbaik di belahan Asia Tenggara.


Luapan keinginan ini wajar, sebab timnas dianggap sebagai representasi Indonesia dalam bidang olah raga yang mampu mengharumkan nama bangsa di bumi ASEAN. Kendati hanya runner up, khalayak mengapresiasi semangat tempur Firman Utina dkk. Bentangan spanduk Indonesia tetap semangat, Indonesia tanah tumpah darahku, hingga Garuda di dadaku menjadi manifestasi ungkapan semangat kebangkitan kebangsaan secara simbolik dalam benak penonton di seantero nusantara. Tentu selaku warga negara yang memiliki keterkaitan emosional dan darah menyeruaknya semangat nasionalisme adalah lumrah. Dan spirit juang putra terbaik Indonesia dalam kancah sepak bola dijadikan momentumnya. Ya, sepak bola memang dapat menyatukan batas dan ragam agama, etnis, dan budaya. Perhelatan turnamen dua tahunan ini seakan hadir untuk memberikan hiburan bagi rakyat Indonesia di tengah lilitan ekonomi dan kesulitan hidup yang mendera.

Di era rezim Soeharto loyalitas pada Pancasila dan Indonesia memang terasa. Namun jika mencermati liku sejarah, perasaan itu timbul karena paksaan penguasa melalui kebijakan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi dan kebijakan P4 (penghayatan, penerapan, dan pengamalan Pancasila). Kini rasa cinta tanah air mendadak menyeruak dengan sendirinya dengan terlibat secara emosional melihat timnas bertanding. Pelajaran moralnya, jika semangat kebangkitan kebangsaan mengemuka dengan stimulus yang disuka (baca; sepak bola). Maka menjadi pekerjaan rumah bagi kita untuk mengalihkan rasa kesuka-cintaan kepada termin hidup lainnya. Agar kita merasa memiliki, bangga, dan membela sehingga rasa nasionalism dapat berkibar tidak sekadar temporer, namun permanen dalam relung kalbu kita. 

Vivit Nur Arista Putra
Pengamat Sepak Bola