Selasa, 06 Juli 2010

Gus Dur dan Perlunya Rekonstruksi Sejarah

Dimuat di Lampung Post, Selasa 12 Januari 2009 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


 MENJELANG pergantian tahun, Indonesia kehilangan putra terbaiknya. K.H. Abdurahman Wahid alias Gus Dur menghadap Rahmatullah di saat negeri ini masih membutuhkan sosok sepertinya. Negarawan yang terkenal ceplas-ceplos ini semasa hidupnya banyak mengundang polemik, seakan terus berlanjut pascakematiannya dengan banyak pihak yang mengajukan dirinya sebagai pahlawan nasional. Perdebatan seputar pemberian gelar pahlawan kepada tokoh negarawan, sebenarnya bukanlah hal baru. Kejadian serupa dialami Soeharto dan Ibu Tien selang setelah meninggalnya, digadang-gadang sebagian khalayak layak dinisbatkan sebagai pahlawan. Nyonya Tien Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat (Rakor Kesra), tentu Presiden Soeharto tak menolaknya. 

 Pemberian gelar pahlawan memang hak prerogatif presiden. Akan tetapi di era kini, menurut UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pengajuan gelar pahlawan harus melalui dewan gelar yang dibentuk presiden. Padahal, dewan gelar yang terdiri dari tujuh orang belum terbentuk sampai sekarang. Dewan inilah yang akan menerima tokoh yang diajukan dan memberikan pertimbangan kepada presiden. Oleh sebab itu, pengusulan Gus Dur sebagai pahlawan haruslah didasari alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan dilengkapi daftar riwayat hidup serta keterangan mengenai tugas negara yang dilakukan, pemikiran, dan jasa yang ditorehkan. Hal ini untuk menghindari sangkaan, bahwa rekomendasi ini sebagai bentuk reaksi spontan emosional atas kematian mendiang tanpa mendalami dan menelusuri rekam jejak si tokoh. Penggalangan dukungan melalui situs jejaring sosial facebook hanya akan menimbulkan penilaian artifisial semata karena tidak melihat kontribusi tokoh dari kacamata sejarah sebenarnya.

 Sebagaimana dilansir UU No. 20/2009, definisi pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Gus Dur memang bukan pejuang yang melawan penjajah, tetapi gagasan dan tindakannya dalam membela kaum minoritas, seperti mengubah kembali nama Irian Barat menjadi Papua dan mengizinkan menggelar Kongres Nasional Papua, kebijakan menghapus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan Tionghoa, menyelesaikan sengketa pernikahan agama Konghucu dan membuat kepercayaan ini menjadi berkembang, serta membela kelompok kecil lain yang mendapat tekanan mayoritas menunjukkan mantan ketua PBNU ini mengakomodir pluralisme, mengawal kebhinekaan, dan dianggap membangun kemajemukan bangsa.

 Jika mencermati kode etik tersebut, mengenai syarat memperoleh gelar pahlawan BAB V Pasal 24, Gus Dur memang memenuhi kriteria umum dan khusus. Akan tetapi, kini yang perlu diupayakan ialah melakukan rekonstruksi sejarah perjalanan Gus Dur untuk membersihkan namanya sebelum dinobatkan menjadi seorang pahlawan, dan agar kesimpangsiuran ketertlibatannya dalam skandal Bulog Gate dan Brunei Gate yang membayangi publik selama ini menjadi terang. Ihwal ini menjadi urgen, agar generasi bangsa mendatang dapat menilai tokoh ini secara arif dan menempatkan perjalanan hidupnya sesuai porsi sejarahnya serta agar tidak terjadi penyesalan atau pencabutan dalam penganugerahan titel pahlawan.

 Karena itu, perlu dikaji dan didiskusikan lebih detail dan mendalam mengenai profil tokoh seperti Gus Dur atau Soeharto yang masih menuai kontroversi, dan selainnya yang hendak dipromosikan memperoleh gelar pahlawan. Rekonstruksi sejarah ini agar masyarakat dapat menakar kontribusi dan jasanya bagi kebangunan negeri secara fakta bukan dipermukaan belaka. Pemberian gelar diumumkan setiap 10 November, sehingga masih memiliki banyak waktu untuk menentukkannya. Tanpa menunggu sepuluh bulan ke depan, bagi penulis gelar pahlawan untuk Gus Dur hanya formalitas saja, sebab kepahlawanan yang sebenarnya sudah dirasakan masyarakat luas yang berinteraksi dengannya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY

Tidak ada komentar: