Ibu terkasih |
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
“Selamat hari Ibu ya Buk. Semoga sehat selalu. Mohon doakan kami selalu ya.”
Demikian pesan yang saya kirimkan ke Ibu pada
Selasa, 22 Desember 2020 bertepatan Hari Ibu. Lama tidak direspon, setelah saya
cek ternyata WA aktif terakhir pada hari Sabtu. Sore harinya, Agung memberi
tahu saya via WA. Bahwa Bapak beserta adik saya Widi, Beta, Agung, dan
keponakan saya Naira (2 tahun) membawa Ibu ke Rumah Sakit Islam (RSI) Magelang.
Seusai diperiksa di sana, malah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Magelang.
Saat dirawat di sana pada malam itu dilakukan rapid test dan hasilnya reaktif.
Lalu Ibu dibawa ke ruang isolasi. Di sana berkumpul dengan pasien reaktif
lainnya. Esok harinya Rabu, 23 Desember 2020 Ibu menjalani tes swab. Saya
sempat khawatir karena Ibu punya komorbid (penyakit bawaan) diabetes. Selama di
Jogja, saya selalu berkirim pesan via WA dan menelfon orang tua, mengingatkan
agar Bapak dan Ibu makan tepat waktu dan istirahat yang cukup agar imunitas
tubuh terjaga. Terdengar ditelfon suara Ibu batuk-batuk. Saya tak kuat.
Ibu saya adalah pensiunan PNS guru golongan IV
B. Seharusnya dibawa ke ruang kelas I. Tetapi karena penuh, maka Ibu harus
menunggu. Akhirnya pada Kamis, 24 Desember 2020 jam 12 malam Ibu dilarikan ke
wisma Dewi Ratih nomor E1. Pada Jumat malam saya datang ke RSJ Magelang. Adik
saya Agung sempat menunjukan lokasi kamar Ibu dari belakang. Kami melihat dari
celah jendela, Ibu dan Bapak sudah terlelap di sana. Sebenarnya aturan rumah sakit,
setiap pasien dengan hasil reaktif tidak boleh didampingi keluarga. Tetapi
karena kondisi Ibu, Bapak memutuskan untuk tetap bersama. Itu pun dengan syarat
tidak boleh keluar masuk kamar dan pasien tidak boleh dibesuk. Maka saya dan adik
bergantian di ruang tunggu, jika sewaktu-waktu Bapak dan Ibu butuh sesuatu.
Jika keluarga ingin mengirim apapun, harus melalui satpam yang jaga di depan
wisma.