Oleh: Vivit Nur Arista Putra
“Rasulullah saw telah tiada, sedangkan Al Qur’an belum
dibukukan” renung Zaid bin Tsabit diparuh waktu. Detik berlalu, tibalah warta
dari Yamamah, pertempuran akbar menumpas nabi palsu Musailamah al Khadzab.
Berita buruknya jumlah syuhada dalam pertarungan ini mencapai 600 orang yang
terdiri dari para Qurra’ (penghafal Qur’an) terang Ibnu Katsir dalam Al Bidayah
wa Nihayah. Mujahidin yang syahid ialah Abu Huzaifah bin Utbah, Salim bin
Hudzaifah, Syuja’ bin Wahb, Zaid bin Khatab, Yazid bin Qais, Amir bin al Bakir,
Abdullah bin Makhramah dan sahabat lainnya.
Di antara para syuhada di muka,
secara khusus Rasulullah pernah memuji Salim bin Hudzaifah dengan berkata
"dengarkanlah bacaan Al Qur'an dari empat orang yakni Ibnu Mas'ud, Salim
maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka'ab dan Mu'adz bin Jabal" (H.R. Muslim).
Syahidnya para ahli Qur’an adalah musibah besar bagi kaum muslimin kala itu,
karena sahabat lainnya yang baru masuk Islam ingin menuntut ilmu kepada mereka.
Di sudut lain peristiwa ini memberi hikmah, mengawali kisah pembukuan Al Qur’an
penuh berkah.
“Aku khawatir peristiwa serupa terjadi dengan para Qurra’ di
tempat lain. Maka raiblah sebagian besar isi Al Qur’an. Alangkah baiknya jika
engkau kumpulkan” usul Umar bin Khatab pada Abu Bakar. “Bagaimana mungkin itu
aku lakukan, sementara Rasulullah saw tak pernah contohkan” jawab khalifah.
“Demi Allah itu perbuatan baik, demi Allah itu perbuatan baik” Al Faruk
mengulang meyakinkan sahabatnya. Maka lapanglah hati Abu Bakar lalu perintahkan
Zaid bin Tsabit meneliti dan membukukan Al Qur’an. Khalifah pertama ini memberi
istilah mushaf (lembaran-lembaran). Mendengar titah khalifah, Zaid merasa tak
kuasa. Seakan mengangkat gunung lebih ringan baginya ketimbang menghimpun Al
Quran. Akhirnya Allah pun meluluhkan hatinya dan terkumpulah Al Qur’an dari
dada para penghafal, kulit binatang, lempengan batu, dan pelepah kurma. (H.R.
Muttafaqun alaih, dari Zaid bin Tsabit).
Inilah bukti firman Allah yang menurunkan Al Qur’an dan berjanji
memeliharanya (Al Hijr: 9), dengan membukakan mata hati para sahabat untuk
menghimpun pesan Tuhan. Imam As Suyuthi mengutip pendapat Al Haris al Muhasibi,
penulis Fahmu as Sunan ini mengatakan, “penulisan Al Qur’an bukanlah sesuatu
yang muhdatsah (baru dan diada-adakan), karena Nabi saw pernah memerintahkan
untuk menulisnya. Hanya saja tertulis terpisah-pisah di kulit binatang, tulang
belulang, dan bebatuan”. Zaid bin Tsabit bercerita “kami pernah berada di sisi
Rasulullah dan menulis Al Qur’an di kulit-kulit” (H.R. Hakim).
Kebijakan Abu Bakar adalah menyatukan Al Quran yang berserak itu
ke dalam satu mushaf yang diikat dengan benang agar tidak hilang dan tercecer. Mushaf Al Qur’an ini lantas dibawa Abu Bakar hingga wafat.
Kemudian berpindah ke Umar bin Khatab selaku inisiator mushaf sampai meninggal.
Lalu beralih ke Hafshah binti Umar. Setelah penulisan Al Qur’an di masa
Rasulullah, Abu Bakar, sampailah periode pembukuan Al Qur’an yang ketiga yaitu
di era Ustman bin Affan. Apakah yang membedakan pengumpulan Al Qur’an di masa
Abu Bakar dan Ustman bin Affan. Imam As Suyuthi dalam Al Itqan fi Ulumil
Qur’an, mengutip pendapat Ibnu at Tin, kebijakan Abu Bakar mengumpulkan Al
Qur’an dilatari meninggalnya para penghafal Qur’an dan belum pernah kitabullah
ini dibukukan dalam satu tempat. Maka Abu Bakar menghimpun lembaran demi
lembaran dengan urutan surat dan ayatnya sebagaimana yang beliau peroleh dari
Nabi saw.
Adapun di rezim Ustman bin Affan, penulisan ulang Al Qur’an
dilakukan lantaran maraknya perbedaan wujuhul qira’ah (cara membaca) di tengah
kaum muslimin, karena semakin luasnya wilayah Islam dengan ragam budaya dan
dialek bahasa yang dipakainya. Sehingga mereka melafalkan Al Qur’an sesuai
daerah setempat. Hal ini dikhawatirkan terjadi kekacauan dengan merasa benar
sendiri dan menyalahkan kelompok lain.
Dahulu memang Al Qur’an diturunkan menggunakan bahasa arab
Quraisy dan sempat ditoleransi dengan diperluas menggunakan bahasa lain dalam
pelafalannya, untuk memudahkan orang membaca dan menghilangkan kesulitan dalam
memahaminya. Sahabat seperti Salman al Farisi dari Persia atau Suhaib bin
Shinan dari Romawi, tentu sedari kecil tak berbicara menggunakan bahasa arab quraisy.
Mereka bertutur memakai bahasa daerahnya. Maka untuk memudahkan sahabat non
arab quraisy, diperbolehkan membaca Al Qur’an sesuai dialek yang dipakainya.
Tetapi kondisi tersebut berakhir, semenjak Ustman bin Affan meminta Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdur Rahman bin Harist bin
Hisyam untuk menulis kembali dengan menyalin mushaf yang dibawa Hafshah binti
Umar bin Khatab. Ustman berpesan kepada tiga penulis lain dari Quraisy “apabila
kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit dalam proses penulisan Al Qur’an,
tulislah ia dengan bahasa Quraisy. Sebab Al Qur’an diturunkan sesuai dengan
bahasa mereka”.
Bersambung...
Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku “Pecandu Buku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar